Wednesday, August 15, 2012

Aku, Buku dan Kereta

Oleh : David Effendi

Saya ingin share tulisan lama beberapa tahun silam tentang sebuah keasikan membaca buku dalam kereta api ekonomi yang berjubel penuh sesak dan berasap. Ini adalah hasil refleksi waktu itu.

Di malam itu jasad masih terkulai lemas. Semalam mengejar kereta progo yang meninggalkan diriku. Habis show, musikalisasi puisi di kantor Ford Foundation, Jakarta. Baru kali ini saya main di Jakarta yang didengarkan oleh puluhan doctor, dan juga kurang lebih 8 orang Amerika dan beberapa dari Negara lainnya. Puisi Taufiq Ismail saya ancang untuk dimainkan dengan beberapa improvisasi untuk menghajar koruptor, gayus, markus dan tikus termasuk para buaya darat. Ada musik yang bagus dipetik dari gitar oleh Cak Jay, seorang tuna netra yang punya energi besar untuk mengubah cara pandang saya dan siapa saja yang mengenalnya. Beliau adalah roomate saya yang ini sedang study di eropa. Beliau seorang jebolan master dari UPI dan juga seorang master gitar. Pertunjukkan berakhir dengan traditional dance pada pukul 09.30. tentu kereta progo sudah take off dari senin. Aku nyengir saja malam ini di Menteng. Entahlah saya ingin pulang!
Tanggal 10 siang. April 2010. aku langsung kabur menuju Stasiun senin untuk membeli tiket sekaligus tolak ke Jogjakarta. Apa pun yang terjadi. Meski harus berdiri dengan satu kaki. Saya harus ke jogja. (jangan bilang-bilang, saya dua kali berdiri dengan satu kaki di toilet bersama 6 orang di sana, lima diantara kami perokok, itung-itung untuk menghilangkan bau WC, tidak seperti biasanya, saya tidak berani protes kepada ahli hisab itu kali ini,waktu itu hari ahad habis liburan iedul adhah dan natal).

Jam.14.00. Di sebuah kereta rakyat kelas ekonomi yang diberi nama Gaya Baru Malam Selatan yang meluncur siang pukul 12.30 dari Stasiun senin Jakarta menuju Gubeng Surabaya melalui Lempuyangan Yogyakarta. Karena saya beli tiketnya lima menit sebelum berangkat maka saya dapatkan tiket berdiri. Ini yang kesekian kalinya menikmati perjalanan kereta ekonomi setiap seminggu dua kali atau tepatnya tiga hari dua kali meluncur dari dan ke Jogja-Jakarta.

As always, aku betul-betul menikamti keberagaman dan keanekaragaman hayati manusia di kereta mulai dari berbagai profesi dan gaya hidup kaum-kaum marginal yang merupakan sisi lain modernitas kata Antoni Gidden. Paradoks gemerlap tepat disudut lain seperti rumah yang terdapat seongok tempat sampah. Disinilah para pengais rizki tinggal, mereka tetap tersenyum dan tetap optimis menjalani kisah hidupnya yang menurut saya sebagian dari kita menuliskannya dalam cerpen, novel, atau sekedar status facebook. Demi manusia dan apa-apa yang dituliskannya.

Namanya juga kereta ekonomi. Sering kali berhenti. Kadang sangat lama dan membosankan menunggu giliran setelah bisnis dan eksekutif lewat. Beberapa orang kipas-kipas tak sabar dan beberapa memaki menggeruti soal kenapa eksekutif lama sekali gak datang-datang dan ekonomi yang jadi lama menunggu.
Jam 15.00 saya masih berdiri tegak sambil membacai buku yang saya pinjam dari teman di Jakarta. Judul bukunya antik sekali terjemahan dari luar tentunya konon di covernya tertilis international bestseler. Judulnya The Black Swan, Rahasia Terjadinya Peristiwa-peristiwa Langkah yang Tak Terduga. Ganjil. Ini kisah sederhana sebab dulunya semua angsa berwarna putih. Ketika ada yang hitam gemparlah dunia. Sama seperti kisah nyamannya orang Amerika ketika di bom WTC pada 9/11 terguncanglah ekonomi dunia. Tidak hanya Amerika. Termasuk yang membajak pesawat konon kaget sebelum meninggal karena bom yang dibikin tak sehebat yang terjadi. Inilah black swan. Keanehan yang datang. Peristiwa ganjl yang penuh tanda tanya. Karena nyata terjadi maka usaha untuk menemukan rahasia dibalik peristiwa mutlak dilakukan. Ah…saya tidak bermaksud berlama-lama. Buku ini setebal 479. cukup untuk dibaca sepanjang jalan dari Jakarta-Jogja.

Penulis buku dahsyat ini namanya Nassim Nicholas Taleb. Dari buku itu saya tertarik tentang kisah plato yang merupakan kutu buku dan juga bab tentang Umberto Eco’s dan Antilibrary, atau bagaimana mencari kebenaran. Ini kisah tenang perpustakaan pribadi Umberto yang membuat orang terheran karena saking banyaknya buku menumpuk di perpustakaan pribadinya itu. Ini saya utipkan buku The Black Swan, awal bagian pertama buku itu dimulai dengan:

”Penulis yang bernama Umberto Eco termasuk diantara hanya sedikit cendekiawan yang serba tahu, berwawasan luas dan tidak menjemukan. Ia memiliki sebuah perpustakaan pribadi yang besar, berisi 30 ribu judul buku dan membagi para pengunjungnya menjadi dua kelompok: mereka yang bereaksi dengan ” wow!signore proffesor dottore Eco! Hebat sekali perpustakaan yang anda miliki! Berapa banyak diantraa buku yang sudah anda baca?” dan sebuah kelompok lain, sedikit sekali, yang paham bahwa sebuah perpustakaan pribadi bukan pelengkap untuk menaikkan gengsi pemiliknya, melainkan alat untuk penelitian. Buku-buku yang telah dibaca memiliki nilai yang lebih rendah dari pada buku-buku yang belum dibaca/terbaca. Perpustakaan harus berisi sebanyak mungkin yang tidak anda ketahui sama seperti informasi keuangan, yang tidak harus anda kuasai sepenuhnya tetapi dapat anda ketahui ketika dibutuhkan. Anda akan menghimpun pengetahuan dan buku lebih banyak sejalan pertambahan usia, dan makin banyak buku di rak yang dengan sedih akan memandang karena belum terbaca. Marilah kita sebut sekumpulan buku yang belum terbaca ini dengan antilibrary.” (page.1)

Jam 21.00. Purwokerto. Kereta berhenti agak lama. Sama seperti di Cirebon. Banyak penumpang turun cari toilet sebab di kereta ekonomi toilet dipakek nongkrong perokok, atau memang tidak ada air sama sekali. Kecuali anda mau bilang permisi dan membawa botol aqua untuk membersihkan pipis. Tapin sayang mereka menolak permisi kita sebab memang kalau kereta diam alias tidak jalan kita dilarang menggunakan toilet sebab baunya akan kemana-mana ikut arah angin dan arah masuk angin. Saya melanjutkan membaca buku putih itu:

”Kita cenderung menempatkan pengetahuan dan buku sebagai hak milik pribadi yang harus dilindungi dan dipertahankan. Pengetahuan sejatinya seperti sebuah ornamen yang memungkinkan kita naik ke posisi lebih terhormat. Maka kecenderungan untuk meremehkan perpustakaan Eco dengan berfokus pada yang diketahui/dibacanya merupakan bias manusiawi yang selanjutnya berpengaruh pada kerja mental kita. Orang tidak berjalan kemana-mana membawa pengumuman negatif mengatakan yang belum pernah mereka pelajari atau mereka alami (itu tugas para pesaing mereka), tetapi alangkah baiknya anda mereka melakukannya. Sama seperti kita peru menegakkan logika perpustakaan di kepalanya, kita akan berusaha mendirikan pengetahuan sendiri di kepalanya. Perhatikan bahwa Black Swan dimulai dari kesalapahaman terhadap kejutan-kejutan yang dapat terjadi, terhadap buku-buku yang belum terbaca karena kita terlalu sibuk dengan yang ita ketahui meskipun sedikit.” (page.2).
Kawan, terpaksa saya bertanya. Ada berapa buku yang kamu beli yang belum terbaca? Kapan buku itu harus dikeluarkan sebagai tiang pengetahuan agar makin kokok dan mereka tidak lagi bersedih menunggu dan menunggu kapan kita pelajari dan bacai. Buku adalah misteri jika kita tidak mencoba mempelajari.

Seperti yang dilakukan Eco, Saya sedang membangun perpustakaan pribadi yang publik, perpustakaan itu berada di rumah dan juga di otak pengetahuan yang saya miliki. Jika anda berminat tentu tidak ada yang menghalangi termasuk kelakuan meminjam buku yang tidak kunjung kembali adalah bagian bahwa buku saya buka harta milik seorang yang bernama David. Miliki dan sebarkan ilmu semampu anda mengejar matahari!.
Akhirnya tulisan ini saya cukupkan. Jam.22.30. Kereta sudah mendarat di Lempuyangan. Ase dan Afif batal menjemputku dan batal pula makan malam di angkringan. Malam yang gerimis disambut sahabat dan istri dengan segelas wedang teh dan jahe hangat. Alhamdulillah. Petualangan hari ini selesai dengan sempurna. Thanks God!

Saya berhutang budi pada Rizki yang meminjami buku ini. Thanks sobat kita sama-sama berada di kereta yang sama yaitu kereta Tradisi membaca!

Perpustakaan


Oleh : Tan Malaka

Kita masih ingat berapa sindiran dihadapkan pada almarhum Leon Trotsky, karena ia membawa buku berpeti-peti ke tempat pembuangan yang pertama di Alma Ata. Saya masih belum lupa akan beberapa tulisan yang berhubungan dengan peti-peti buku yang mengiringi Drs. Mohammad Hatta ke tempat pembuangannya. Sesungguhnya saya maklumi sikap kedua pemimpin tersebut dan sebetulnya saya banyak menyesal karena tiada bisa berbuat begitu dan selalu gagal kalau mencoba berbuat begitu.

Bagi seseroang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti semen dan batu tembok buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang bahan ini, buku-buku yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan dalam arti umumnya.

Ketka saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 Maret 1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun tiada lebih dari satu peti besar. Disini ada buku-buku agama, Qur’an dan Kitab Suci Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme, perkara ekonomi yang berdasar liberal, sosialistis, atau komunistis, perkara politik juga dari liberalisme sampai ke komunisme, buku-buku riwayat Dunia dan buku sekolah dari ilmu berhitung sampai ilmu mendidik. Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa saya tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti melalui Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme. Dari beberapa catatan nama buku di atas, orang bisa tahu kemana condongnya pikiran saya.

Di Moskow saya cocokkan pengetahuan saya tentang komunisme. Dalam waktu 8 bulan disini saya sedikit sekali membaca, tetapi banyak mempelajari pelaksanaan komunisme dalam semua hal dengan memperhatikan segala perbuatan pemerintah komunis Rusia baik politik ataupun ekonomi, didikan ataupun kebudayaan dan dengan percakapan serta pergaulan dengan bermacam-macam golongan. Disini saya juga banyak menulis perkara Indonesia buat laporan Komintern. Ketika saya meninggalkan Rusia, memang saya tiada membawa buku apapun, sedang buku peringatanpun tidak. Pemeriksaan di batas meninggalkan Rusia keras sekali.

Tetapi sampai di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, saya dengan giat mengumpulkan buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, science (sajans), buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan komunisme. Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka yang tiada berdaya apa-apa. Tetapi tiada banyak bahagia yang saya peroleh. Sebab kelumpuhan otak seperti saya sebutkan di atas, maka tak lebih dari satu jam sehari saya bisa membaca buku bertimbun-timbun itu. Saya terpaksa menunggu sampai kesehatan membenarkan, tetapi rupanya pustaka tak bisa mengawani saya.

Pada perang Jepang – Tiongkok di Shanghai penghabisan tahun 1937, tiga hari lamanya saya terkepung di belakang jalan bernama "North Su Chuan Road’’, tepat di tempat peperangan pertama meletus. Dari North Su Chuan Road tadi Jepang menembak kearah Pao Shan Road dan tentara Tiongkok dari sebaliknya. Di antaranya di kampung Wang Pan Cho saya dengan pustaka saya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin kepada kampung tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam waktu 5 menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya mesti tinggal. Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah rapinya "lalilong’’ alias tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin saya putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.

Sampai saya ditangkap di Hongkong pada 10-10-1932, saya sudah punya satu peti pula. Sesudah dua bulan di dalam penjara, saya dilepaskan buat dipermainkan seperti kucing mempermainkan  tikus. Maka dekat Amoy, saya bisa melepaskan diri. Tetapi dengan melepaskan pustaka saya sendiri. Pustaka saya, tanpa saya, berlayar menuju ke Foechow. Saya terlepas dari bahaya, tetapi juga terlepas dari pustaka. Saya berhasil menyamar masuk ke Amoy dan terus ke daerah dalam Hok Kian tiga-empat-tahun lamanya, terputus dengan dunia luar sama sekali, beristirahat, berobat sampai sembuh sama sekali.

Pustaka baru yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936 sampai 1937, juga sekarang, juga sekarang terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua tiga buku-buku peringatan yang penting sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah: catatan penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke laut dekat Merqui, sebelum sampai di Ranggoon.
Putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan duka cita sekali. Tetapi putusan itu belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon memeriksa buku-buku saya yang masih ada dalam peti seperti "English Dictionary’’ dengan teliti sekali, malah kulitnya diselidiki betul-betul. Kantongpun tak aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut, disanalah terletak beberapa buku peringatan cukup dengan rancangan, catatan dan suggesti atau nasehat buat pekerjaan sekarang.

Dalam permulaan 3 tahun di Singapura saya amat miskin sekali. Gaji yang diperoleh  sedikit sekali  - enam setengah rupiah  sebulan. Dengan tak ada diploma-Singapura, tak lahir di Singapura, memakai pasport Tiongkok, walaupun bisa bercakap Tionghoa, tetapi tiada bisa membaca huruf Tionghoa susah mendapat kerja yang berhasil besar pada perusahaan Tionghoa. Susah pula mendapat izin mengajar bahasa Inggris dari tuan Inspektur, sedangkan masyarakat Indonesia tak berarti sama sekali di bekas kota "Tumasek’’ (nama Singapura sekarang di Jaman Majapahit) Ini uang buat makan secukupnya saja, pakaian jangan disebut lagi. Masuk jadi anggota pustaka (Library) tiada mampu. Disini pengetahuan saya walaupun kesehatan sempurna kembali, cuma bisa ditambah dengan isi surat kabar, dan pengamatan mata dan telinga sendiri. Tetapi lama kelamaan atas usaha sendiri saya mendapatkan pekerjaan dan hasil pekerjaan yang baik sekali.

Seperti saya sebut diatas, akhirnya saya dapat bekerja pada sekolah Normal Tinggi (Nanyang Chinese Normal School) sebagai guru Inggris dan belakangan juga sebagai guru Matematika dalam dan luar sekolah tersebut. Saya mulai kumpulkan catatan buat buku-buku yang mau saya tulis sekarang. Rafles Library memberi kesempatan dan minat yang besar. Buku yang paling belakang saya pinjam ialah Capital, Karl Marx. Tetapi armada udara Jepang tak berhenti datangnya hari-hari. Sebentar-sebentar saya mesti lari sembunyi. Cuma dalam lubang perlindungan saya bisa baca Capital, buat mengumpulkan bahan yang sebenarnya saya ulangi membacanya. Sampai 15 Febuari 1942 saya masih pegang Capital itu dengan beberapa catatan. Tetapi sesudah Singapura menyerah, semua penduduk laki-perempuan, tua-muda dihalaukan dengan pedang terhunus kiri-kanan, dengan ancaman tak putus-putusnya menuju ke satu lapangan. Disini ratusan penduduk Tionghoa ditahan satu hari buat diperiksa. Disini saya juga turut menghadapi senapan mesin. Di belakang hari kami mendengar bahwa maksud tentara jepang yang bermula ialah memusnahkan semua penduduk Tionghoa yang ada di Singapura. Tetapi dibatalkan oleh pihak Jepang yang masih mempunyai pikiran sehat dan rasa tanggung jawab terhadap dunia lainnya.

Sebelum kami dikirim ke padang tersebut, saya sudah maklum bahwa tak ada pelosok rumah atau halaman rumah yang mesti kami tinggalkan selama pemeriksaan diri dijalankan, yang kelak akan dilupakan oleh Kempei Jepang. Sepeninggalan kami rumah tempat saya tinggal diperiksa habis-habisan. Barang berharga habis di copet.

Sebelum meninggalkan rumah menuju ke lapangan pemeriksaan saya beruntung mendapat kesempatan menyembunyikan buku Capital ke dalam air. Di "upper Seranggoon Road’’ di muka rumah tuan Tan Kin Tjan, disanalah sekarang di dalam tebat (empang) bersemayam buku Capital terjemahan "Das Kapital’’ ke bahasa Inggris, pinjaman saya, Tan Ho Seng, dari Raffles Library di Singapura.

Sesudah dua atau tiga minggu Singapura menyerah, saya coba dengan perahu menyebrang ke Sumatra, tetapi gagal karena angin sakal. Saya terpaksa mengambil jalan Penang-Medan. Hampir dua bulan saya di jalan antara Singapura dengan Jakarta, melalui semenanjung Malaka, Penang, selat Malaka (perahu layar) Medan, Padang, Lampung, selat Sunda (perahu) dan Jakarta. Di jalan saya bisa beli buku karangan Indonesia. Di antaranya Sejarah Indonesia, yang mesti saya sembunyikan pula baik-baik, sebab dalamnya ada potret saya sendiri.

Inilah pustaka saya dulu dan sekarang. Ada niatan buat membeli sekarang, tetapi banyak keberatan. Pertama uang, kemudian banyak buku mesti datang dari luar negeri, dan ketiga dari pada dicatat dari satu atau dua buku lebih baik jangan dicatat atau catat dari luar buku ialah ingatan sama sekali, seperti maksud saya tentang Madilog ini. Biasanya buku-buku reference yang dipetik, atau pustaka itu ditulis di bawah pendahuluan. Biasanya diberi daftar pustaka yang dibaca oleh pengarang. Tetapi dalam hal saya, dimana perpustakaan tak bisa dibawa, saya minta maaf untuk menulis pasal terkhusus tentang perpustakaan itu.
Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri.

Ada lagi! Walaupun saya tidak akan dan tidak bisa mencatat dengan persis dan cukup, perkataan, kalimat, halaman dan nama bukunya, pikiran orang lain yang akan dikemukakan, saya pikir tiada jauh berbeda maknanya dari pada yang akan saya kemukakan.

Al Gazali pemikir dan pembentuk Islam, kalau saya tiada keliru pada satu ketika kena samun. Penyamun juga rampas semua bukunya. Sesudah itu Al Gazali memasukan semua isi bukunya ke dalam otaknya dengan mengapalkannya. Bahagia (gunanya) mengapal itu buat Al Gazali, sekarang sudah terang sekali kepada kita.

Pada masa kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan dalam bahasa ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya bantah kebisaan saya itu. Pada ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan mengapal itu tiada menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya ingat bukan lagi arti sesuatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku, dimana kalimat tadi tertulis. Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa diapalkan lagi. Tetapi saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah saya ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak.

Apalkan, ya, apalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya mengerti betul, saya apalkan kependekan "intinya’’ saja. Pada masa itulah di sekolah Raja Bukit Tinggi, saya sudah lama membikin dan menyimpan dalam otak, perkataan yang tidak berarti buat orang lain, tetapi penuh dengan pengetahuan buat saya.
Buat keringkasaan uraian ini, maka perkataan yang bukan perkataan ini, saya namakan "jembatan kedelai’’ (ezelbruggece) walaupun tidak sama dengan ezelbruggece yang terkenal. Buat menjawab pertanyaan siapa yang akan menang di antara dua negara umpamanya, saya pakai jembatan keledai saya : "AFIAGUMMI’’.
A huruf yang pertama mengandung perkataan Inggris, ialah (A)rmament. Artinya ini kekuatan udara kekuatan darat, dan laut. Masing-masing tentu mempunyai cerita sendiri dan A huruf pertama itu bisa membawa "jembatan keledai’’ yang lain seperti ALS, ialah susunan huruf pada perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces (tentara). Sesudah dibandingkan perkara Armament diantara kedua negeri itu, maka harus diuji perkara yang kedua, yakni Finance, terpotong oleh huruf "F’’. keuangan dsb.

Demikianlah "jembatan keledai’’ AFIAGUMMI ini saja boleh jadi meminta seperempat atau setengah brosure kalau dituliskan. Dalam ekonomi, politik, muslihat perang, science dan sebagainya saya ada menyimpan "jembatan keledai. Kalau buku penting yang saya baca ada dalam bahasa Inggris, maka "jembatan keledai’’ saya, susunannya tentu dari permulaan atau sebagian perkataan inggris.

Kalau tidak beratus, niscaya berpuluh ada "jembatan keledai’’ di dalam kepala saya. "ONIFMAABYCI AIUDGALOG’’ yang berbunyi bahasa Sanskreta, bukanlah bahasa Sanskreta atau bahasa Hindu, melainkan teori ekonomi yang bertentangan dengan teori ekonomi Mahatma Gandhi.

Kalau badan saya ada sehat, maka perkataan guru itu biasanya mudah saya tangkap. Isinya saya ternakkan dan masukkan ke dalam "jembatan keledai’’. Kalau kertas atau buku peringatan saya umpamanya dibeslah (disita – catatan editor) di Manila atau Hongkong oleh polisi, maka hal itu tiada berarti dia tahu membaca perkataan itu, malah sudah pernah menjadikan mereka pusing kepala berhari-hari, mengira yang tidak-tidak.

Dalam buku yang akan ditulis di belakang hari (kalau umur panjang!) saya kelak bisa meneruskan cerita "jembatan keledai’’ saya ini. Saya angap "jembatan keledai’’ itu penting sekali buat pelajar di sekolah dan paling penting buat seseorang pemberontak pelarian-pelarian. Bukankah seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Ia tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian. Hatinya terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai tolan. Dia haruslah bersikap dan bertindak sebagai "marsuse’’ (angkatan militer siap gempur – catatan editor) yang setiap detik siap sedia buat berangkat, meninggalkan apa yang bisa mengikat dirinya lahir dan batin.
Ringkasnya walaupun saya tiada berpustaka, walaupun buku-buku saya terlantar cerai-berai dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan Hindia atau dalam tebat di muka rumah tuan Tan King Cang di Upper Seranggoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya kehilangan "isinya’’ buku-buku yang berarti.
Tetapi barang yang lama itu tentu boleh jadi rusak.

Catatan atau makna yang saya kemukakan dari pikiran orang lain boleh jadi tiada cukup atau bertukar arti. Dalam hal ini sekali lagi saya minta maaf dan simpati.
__________________________________________________ 
Sumber: Pendahuluan Buku Madilog, diketik ulang dan diambil bagian "perpustakaan" oleh David Efendi (pegiat Rumah Baca Komunitas).

Galaksi Rumah Baca


Oleh : Iqra Garda Nusantara

Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan berbagai lembaga yang sudah lebih dulu eksis di negeri tercinta. Lembaga itu tak lain tak bukan adalah lembaga yang dihuni oleh Individu yang punya kepedulian akan bahaya buta baca bagi bangsa yang sedang kembang kempis ini. Membaca, tak boleh dikerdilkan hanya sebagai tugas individu tetapi tugas dan kewajiban negara.

Per Juli 2012 ini saya menemukan banyak pegiat gerakan membaca yg menjadikan semakin optimis akn ms depan bangsa. Dari sekian banyak sy merasa senang betkenalsn dengan pegiat rumah baca komunitas (jogja,online), griya baca(lampung), rumah baca kids (bogor, online), rumah baca komunitas merapi( jogja), pegiat festifal pembaca indonesia(goodsread-jkt), Jogja Atap Buku, klinik baca-tulis mizan(bandung, online), Rumah Puisi (Taufiq Ismail, Jogja), Indonesia buku-Iboeku (yogyakarta), asosiasi taman baca, pengelola taman baca dan atau perpustakaan. Selain itu ada gerakan hibah buku yang cukup militan seperti yang dilakukan oleh "gerakan 1 juta buku untuk anak Indonesia", IPM, Gerakan wakaf buku, dan sebagainya. Mereka dapat ditemui group facebook atau website. Masing punya peran dan keistimewaan. Kalau begitu ayo kita ambil bagian.

Jika kita petakan maka semuanya mempunyai keistimewaan dan persamaan. Beberapa hal yang sama adalah terkait visi dan misi gerakan literasi (membaca, iqro) dan mereka bergerak di ranah online dan offline, menyediakan 'rumah', griya sebagai wadah berkumpul baik secara online maupun ofline. Kisah pentingnya kolaborasi rumah online dan offline ini sudah dialami oleh Rumah Baca (Bogor,jkt) yang kemudian menghasilkan komunitas Rumah Baca Kids di Bogor pada tahun 2007.

Rumah baca omunitask di Yogyakarta, misalnya, punya kekhasan tentang sharing book, sharing knowledge, pelopor perpustakaan 24 jam, memadukan kampanye online dan offline untuk gerakan membaca. Rumah baca yg usianya 6 tahun sudah menorehkan banyak prestasi dan ini menjadi penyemangat bagi gerakan serumpun, sevisi, senasib, seperjuangan.

Berbagai ragam, bentuk dan sepak terjang atau kiprah komunitas2 tersebut merupakan kreatifitas sekaligus aset bangsa yg hrs dihargai dan diperjuangkan. Karena apa? karena belajar di sekolah saja tak pernah cukup kata Andreas Harefa. Sekolah sgt terbayas dan dibatasi mk perlu tambahan upaya alternatif. Sy mlihat kiprah pecinta buku dan pegiat ger. membaca itu seperti melihat planet dan bintang-bintang serta satelit yang luar biasa masing-masing perannya. Jika dilihat lebih seksama maka terbentuklah rangkain keseimbangan galaksi yang tdk kalah terang dari galaksi bimasakti. Entah kapan nama galaksi itu menjadi energi besar tuk kbngkitan bangsa kita. Satu keyakinan bahwa sinar bintang-bintang itu akn menerangi bangsa yg gelap, krn dgn buku peradaban maju dan manusia bergerak.

Mungkin kita tak prrlu bersatu ttp perlu kesungguhan mnjg peran masing agar ekosistem gerakan membaca tetap terjaga. Mari selamatkan bangsa dgn menghimpun planet pegiat get mmbaca, iqro mnjadi satu keutihan garis edar imajiner--galaksi rumah baca!

Galaksi imajiner adalah satu kekuatan tersendiri untuk merasa mnenjadi bagian potongan dari satu puzzle raksasa yg akn menentukan bwntuk peradaban manusia dlm arti luas. Bangunan imajinasi penting setidaknya kita pernah belajar bahwa ssynguhnya bangsa indonedia sendiri adalah imagined community, komunitas bayangan( ben anderson, 1984) dan itu telah menunjukan kekuatan maha besar yang myatukan ribuan deret keberagaman kita. Orang jogja, mataram, dalam batas keyakinan tertentu telah disatukan satu garis inajiner merapi, kraton-laut kidul.

Tidk ada salahnya, imajinasi yg punya muatan energi positif (proton, electron, netron) yg dpt dirangkai dlm kluatan besar mungkin akn mewujud jadi dentuman besar seperti teori "big bang" dalam kejadian semesta raya. Imajinasi saya, galaksi imajiner rumah baca juga dapat meledak dalam kuantum yang kemudian menciptakan ratusan atau bahkan jutaan galaksi baru yang dihuni oleh trilyunan komunitas rumah baca pada fase berikutnya.

Membaca sebagai Manifestasi Keimanan


Oleh : Iqra Garda Nusantara

Membaca merupakan sebuah perjalanan panjang bagi para penggila aktifitas tersebut. Membaca bukanlah proses instant yang kemudian berharap akan mendapatkan manfaat langsung dan praktis seperti orang memasak indomie rebus. Justru karena proses itulah pengendapan pengetahuan, sistem dan metodologi membaca atau mengambil manfaat dari bacaan itu semakin mapan dan berkarakter. Jadi, dalam jangka waktu panjang kita boleh berharap akan memperkuat fondasi cakrawala pengetahuan kita.

Karena itu. membaca tidak bisa dihakimi sebagai kegiatan yang sia-sia lantara kita gagal mengambil manfaat secara cepat. Itu pun tergantung bahan/jenis bacaan yang dibaca. Contohnya anda membaca buku kuning (telepon) untuk mencari informasi akurat/cepat maka anda akan mendapatkan. tetapi kalau anda membaca buku filsafat tentu anda tidak secara langsung mendapatkan pemahaman mendadak.

Dalam tulisan singkat ini kita mencoba kembali memetakan bagaimana kita memulai projek besar seputar mencintai buku dan tradisi membaca. Setidaknya ada tiga elemen penting dalam kegiatan ini yang saling melengkapi. Pertama, tekad pribadi yang memang emempunyai kesadaran bahwa membaca itu penting, buku adalah sumber pengetahuan dan membaca dapat memperkaya khasanah intelektual/pemikiran kita. Jika kita sudah yakin benar bahwa buku memberikan miliaran manfaat bagi kita secara langsung dna tidak langsung tentu menggerakan jiwa raga dan segenap sumber daya untuk memulai dan melangsungkan kegiatan membaca.

So, dalam alam pikiran kita mesti harus kita doktirn sekuat mungkin tentang komitmen kita kepada ilmu pengetahuan. Doktrin yang harus juga kita legitimasi dengan doktrin agama untuk memperkuat tancapan dampaknya. Seperti contohnya, bahwa ummat Islam atau manusia diperintahkan pertama kali untuk membaca sebagaimana dalam surat al Alaq yang turun pertama (bulan ramadhan) kepada nabi Muhammad pada waktu itu, ratusan tahun lalu (terhitung semenjak 22 Desember 609 M. Jadi kita bayangkan tuhan memberikan buku (kitab) kepada manusia. Pasti, kewajiban membacanya adalah melekat di dalamnya. Begitu juga kitab-kitab agama lainnya--pada prinsipnya mereka tidak menolak berkembangnya pengetahuan melalui buku-buku bacaan. Karena itu, kebaranian menempatkan tradisi membaca sebagai bagian dari manifestasi keimanan adalah sebuah keniscayaan doktrin yang perlu bagi kebangkitan ummat manusia yang akan menjadi rahmat bagi seru sekalian alam.

Kedua, buku. Siapa pun yang terbuka cakrawalah pengetahuannya maka mereka akan menghargai betapa buku menjadi sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Beberapa persoalan sering muncul bahwa keterbatasan buku menjadikan kita buta bacaan dan mengalami ketumpulan pengetahuan yang sangat memalukan dalam iklim dunia. Namun kenyataan membuktikan lain. Taruhlah contoh di Yogyakarta. Ada ratusan taman baca, rumah baca, dan sejenisnya atau perpustakaan sekolah/universitas tetapi tempat-tempat itu sangat sepi peminat/pengunjung. Jadi, ini bukan persoalan bahan bacaan tetapi persoalan minat/psikologi/ideologi yang masih jauh dari keyakinan bahwa buku adalah pengetahuan penting--bahwa membaca adalah tugas dan kewajiban agama.

Terakhir dan tidak kalah penting, adalah suasana lingkungan. Suasana yang membuat kita nyaman untuk memulai, melangsungkan, dan memperkuat tradisi membaca baik lingkungan sekolah, rumah, keluarga, dan masyarakat pada umumnya. Ada beberapa hal penting untuk menemukan tempat/lingkungan yang kondusif untuk memberlangsungkan tradisi membaca. Kita bisa menemukan mereka di perpustakaan dan kita bisa berkenalan, kita bisa bertanya tentang apa secara personal. Biasanya mereka mempunyai komunitas tersendiri sehingga kita akan mudah menyeleksi yang mana kita akan tertarik.

Ada beberapa model taman baca (komersial, sosial) dan perpustakaan di kantor-kantor NGO, dan lembaga sosial lainnya yang tersebar di republik ini. Jika kita bandingkan dengan nimimarket dan tempat yang paling disenangi remaja/anak-anak tentu jumlah itu masih belum seberapa. Walau demikian, keberadaan rumah baca itu sangat penting dan strategis. Mereka tentu saja mempunyai ciri khas, kelebihan masing-masing. Ada yang mempunyai karakter ideologi tertentu, inklusif, dan ada yang membuka rumah baca nya lebar-lebar kepada siapa saja dengan latar belakang berbeda-beda.Penemuan komunitas melalui tracking personal juga dapat dilakukan melalui komunitas/group yang ada di dunia maya baik facebook dan tweeter. Kita bisa selektif dan memang langkah ini perlu karena tentu kita sudah punya maksud dan tujuan dalam pikiran kita untuk bergabung dengan orang-orang baru. Sebagai mimpi, kita terus mencoba memperlopori hadinya rumah baca, sebagai rumah bersama yang dapat diakses 24 jam offline dan online adalah mimpi bersama kita dan itu tidak terlampau sulit untuk mewujudkannya.

Adapun manfaat berkomunitas adalah antara lain, 1. Komunitas pembaca dapat memotivasi kita untuk lebih banyak menimbah pengetahuan; 2. Menjadi tempat berdiskusi dan bertukar pikiran secara intensif; 3. Mampu memupuk kesadaran untuk berbagi dalam pengetahuan dan dalam persoalan lainnya; 4. Mampu menjaga keberlangsungan kebiasaan kita untuk membaca; 5. Menjadi media belajar yang efektif yang tidak dibatasi oleh aturan administrasi/birokrasi sebagaimana perpsutakaan kantor/kampus. dan sekolah. Banyak manfaat lainnya, jika kita mau merefleksikannya secara detail.

Selamat mencoba dan selamat memasuki dunia baru: Dunia buku yang akan menerbangkan pikiran dan mimpi-mimpi anda bebas ke angkasa tanpa batas. Salam Buku, Indonesia bangkit dengan paradigma ilmu.

Rumah Baca dan Revolusi Semut


Oleh : David Effendi

Merespon dari apa yang digagas oleh Fida Afif dalam tulisannya tentang lahirnya sebuah komunitas lokal yang mempunyai ekpektasi masa depan sebagai inspirasi untuk dunia. Saya sangat apresiasi dengan tulisan tersebut. Bagi saya, sangatlah wajar impian itu muncul dari semangat lokalitas yang egaliter dan saling menghargai, saling memanusiakan sesama. Doktrin Think globally, Act locally (dan sebaliknya) adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa kita campakkan. Lebih dahsyat lagi adalah bahwa langkah besar pasti dimulai dari langkah-langkah kecil. Kemenangan besar, begitu juga, senantiasa dibangun atas pundi-pundi kemenangan kecil. Inilah yang kemudian saya pahami sebagai revolusi semut. Perubahan yang dibawa dengan nuansa proses yang humanis, berlanjut, dan memberikan manfaat dari terbentuknya puzzle besar dalam peradaban manusia bumi. 

Rumah Baca
Rumah baca mempunyai padanan makna dan praktik seperti halnya taman baca, pusat belajar masyarakat dan sejenisnya. Semua menunjukkan konotasi positive dalam masyarakat pembelajar. Beberapa orang masih juga ada yang tidak mempunyai pandangan positif tentang kehadiran rumah baca sebagai pusat belajar alternatif. Dalam puzzle peradaban yang maju "rumah baca" adalah potongan yang sangat penting ibarat dalam struktur galaksi semesta. Kebaradaan potongan sekecil apa pun akan memberikan konstribusi atas keseimbangan peredaran tata surya, atau jejaring kehidupan. Jika Rumah baca sudah mampu dibudidayakan, dikembangbiakkan dalam berbagai kegiatan yang kreatif dan partisipatoris tentu banyak improvisasi pengetahuan merekah indah di dalamnya. Hadirnya rumah baca juga akan membantu menciptakan iklim tumbuh kemabngnya penulis, pengarang, peneliti, dan juga bentuk-bentuk kreatifitas lainnya. Dari sinilah kita melangkah pasti, slowly but suredalam irama revolusi semut Berjalan setapak demi setapak dan akan diikuti oleh semut lainnya membentuk deretan panjang dan arsitek rumah semut yang menawan.

Buku sendiri sebenarnya mempunyai aspek yang berbahaya jika buku-buku itu disalahgunakan dengan kepentingan tertentu. Walau demikian buku tidak perlu ditakuti tetapi perlu dipelajari mana yang berdampak mematikan (perang) mana yang berdampak menghidupan (damai). Kita ingat kekuatan propaganda komunis melalui buku, ada buku Marxist, buku Red book of Mao juga buku-buku Hitler yang mengerikan. Wajar saja ada kaos di Amerika yang bernada humor tertulis begini, "Books have knowledge, knowledge is power, power corrupts, corruption is a crime, and crime doesn’t pay..so if you keep reading, you’ll go broke."  Hubungan antara buku/pengetahuan dengan kekuasaan adalah sangat dekat sehingga dapat pula mengancam kebaikan bersama. Itu betul karena buku itu sendiri tidak bisa netral (free will) tetapi punya agenda maka kita juga harus pandai-pandai mengendalikan pikiran kita. Dengan berkomunitas tentu akan membuka pintu dialog/dialektika sesama pembaca.

Revolusi Semut
Evolusi peradaban adalah sebuah fakta bahwa perubahan tata kehidupan manusia tidak mungkin dapat berjalan seperti kilat. Penciptaan bumi, tata surya juga mengalami tahap yang sangat lama begitu juga dialektika penciptaan manusia tentu tidak bisa kita ingkari bahwa ada persoalan evolusi ada tahap dimana Adam berada di surga lalu beratus tahun/ribuan mengalami perjalanan panjang sampai pada generasi kita. Revolusi inggris, revolusi politik di Perancis adalah dua faktor yang mampu mempercepat perubahan tata kelola kehidupan di bumi. Era informasi sekarang kemudian berjalan mempercepat dan mempermuda cara manusia belajar. Tetapi betulkah kita sudah menjadi aktor dalam perubahan itu atau kita masih menjadi konsumen belaka. Ada revolusi kilat di luar kita, kita seringkali masih konservatif dalamcara berfikir dan berargumen. Revolusi semut kemudian kurang mendapatkan perhatian  lantaran asik melihat dunia eksotik tekhnologi di luar.

Taruhlah contoh perdebatan mengenai perpustakaan digital, kindle, e-book dengan model peprustakaan/taman baca konvensional yang memajang rak-rak buku. Banyak orang dengan PD mengatakan buku cetak tidak lagi penting dan e-book adalah solusi penghematan. Kita bandingkan berapa listrik yang juga harus dihabiskan oleh devise/tekhnologi tersebut. Kita tidak tahu pasti mana sebenarnya yang lebih ramah lingkungan apa alat-alat listrik (membaca online) atau buku cetak. Gilanya, kita tidak pernah beranjak sebagai bangsa pembelajar dan pembaca ilmu pengetahuan. Dari tahun 2003 (survey Taufik Ismail, nol baca) sampai sekarang, minat baca bangsa ini tidak beranjak naik secara signifikan. Apakah kita tega mewacanakan membaca digital? epakah kita dengan irrasional menganggap semua orang bisa membeli alat pembaca digital (laptop, nook, kindle, google nexus, etc). Jumlah orang miskin di Indonesia masih terlampau besar (30 juta-an) dan tidak sampai hati kita memamerkan tekhnologi kepada mereka. Banyak hal yang membuat kita salah mengerti akan arah perkembangan bangsa. Teman-teman yang sudah tunggang langgang menikmati kemajuan tekhnologi tidak bisa memandang sebelah mata kepada anak-anak bangsa yang masih buta huruf, buta baca, tidak familiar dengan buku cetak, dan tertinggal segala-galanya oleh yang kita anggap "kemajuan", modernisasi, progress, peradaban, dan kata-kata lain sepadan denganya.
  
Rumah baca adalah kebutuhan sejarah manusia. Penentu peradaban suatu masyarakat sebagaimana telah dilalui dans sampai kini perpustakaan adalah simbul peradaban. Sampai sekarang belum ada negara maju yang menghancurkan buku cetak dan beralih ke buku digital. Artinya pekerjaan kita masih terlampau mulia untuk dinafikkan, untuk diremehkan, dan dianggap tidak bermanfaat. Bagi penggerak rumah baca, mari kita bersinergi untuk bersama-sama melanjutkan pekerjaan penting untuk bangsa yang lebih baik, lebih damai, dan lebih berkeadilan sosial. Bacaan akan dapat mengubah kita, menentukan kemanah kita akan melangkah untuk kebaikan bersama. Dengan buku yanga da di rumah-rumah kecil sudt kampung, adalah sebuah langkah besar (mulai kecil) dengan jargon sharing book, sharing knowledge, and sharing the future life. Berbagi masa depan dengan buku.

Akhirnya satu keyakinan adalah bahwa komunitas kecil yang ada dalam lingkungan kita. Betapa pun banyak kekurangannya adalah layak untuk terus diperjuangkan semampu sekuat tenaga kita. Jika kita sudah melakukan yang terbaik dengan mendayagunakan apa yang sudah kita miliki, semua perubahan akan dibantu oleh invisible hand, yakinlah dengan, sekali lagi, doktrin "Do the Best, and God will do the rest". Artinya, lakukan yang terbaik dan Tuhan yang akan menyempurnakan pekerjaan kita.

Membaca adalah Bagian (Teramat Penting) dari Menulis?


Oleh : Hernowo
Klinik Baca-Tulis Mizan

Saya tentu tak hendak memungkiri bahwa pastilah ada faktor-faktor lain yang menyebabkan seseorang dapat mudah dan lancar menulis di samping (keharusan) membaca. Namun, ingin saya tegaskan di sini bahwa, menurut pengalaman dan pengamatan saya, membaca teks merupakan penyebab amat penting keberhasilan saya menulis. Saya sudah membuat 35 buku dan ratusan artikel di Facebook. Ingin saya katakana pula bahwa kemampuan menulis saya itu tumbuh dan terus berkembang berkat kegiatan membaca. Setiap kali usai membaca---baik membaca artikel pendek atau panjang, buku, atau yang lain---saya segera saja menuliskan hasil-hasil kegiatan membaca saya.

Saya juga mengamati bahwa Ustad Quraish Shihab, Kang Jalal, dan Ibu Ratna Megawangi---untuk mengambil tiga contoh yang berhasil dalam menjalankan kegiatan menulis---mampu menulis banyak artikel dan buku dikarenakan kegiatan membacanya. Satu hal lagi, hasil riset ahli linguistik Dr. Stephen D. Krashen yang dibukukan dalam The Power of Reading: Insights from the Research, juga menunjukkan hal sama dengan apa yang saya katakan. Menurut Dr. Krashen, orang-orang mampu menulis dikarenakan kegiatan membacanya. Demikianlah, membaca memang bagian sangat penting dari menulis. Mengapa membaca menjadi bagian amat penting dari menulis?

Pertama, seperti telah saya tunjukkan dalam tulisan sebelum ini bahwa membaca menjadikan seseorang akan kaya akan kata-kata. Ketika dia membaca, sesungguhnya dia sedang memasukkan kata-kata ke dalam diri (pikiran)-nya. Kata-kata yang masuk ke dalam diri (pikiran)-nya itulah yang mengembangkan sekaligus meningkatkan kualitas diri (pikiran)-nya. Dan ketika dia menulis (mengeluarkan pikirannya), kata-kata yang dimilikinya akan membantu merumuskan pikiran yang dikeluarkannya itu. Apabila dia sangat sedikit menyimpan kata-kata di dalam diri (pikiran)-nya, dia tentu akan kerepotan dalam merumuskan pikirannya tersebut.

Kedua, membaca akan membuat pikiran menjadi berbeda dengan sebelumnya. Membaca membuat pikiran berubah. Bahkan, membaca akan benar-benar meningkatkan kualitas pikiran secara signifikan. Ada sesuatu yang senantiasa baru dan segar serta tidak biasa di dalam pikiran yang suka membaca. Inilah yang membuat seseorang kemudian dapat menulis (mengeluarkan sesuatu yang tidak biasa yang ada di dalam pikiran tersebut). Hanya dengan menulislah, pikiran yang berbeda dan tidak biasa tersebut dapat dikeluarkan secara jelas dan tertata. Lewat menulis (mengeluarkan pikiran dengan bantuan kata-kata)-lah kemudian pikiran yang telah berubah itu kemudian dapat kit abaca (pahami) dengan jelas. Tanpa dituliskan (dikeluarkan), kita tak dapat memahami secara jelas apa yang ada di dalam pikiran kita.

Ketiga, membaca dapat “menggerakkan” pikiran. Pikiran yang diam alias “tidak bergerak” adalah pikiran yang sulit sekali dirumuskan. Pikiran tersebut tidak mampu memancing si pemilik pikiran untuk menangkap dan merumuskannya. Sementara itu, pikiran yang terus bergerak dan berubah akan membuat si pemilik pikiran tertarik untuk menangkap dan merumuskannya. Menulis, sesungguhnya, adalah menangkap dan kemudian secara cepat merumuskan pikiran yang bergerak tersebut. Mungkin saja, saat pertama dituliskan, pikiran yang bergerak akibat membaca itu belum jelas bentuknya. Namun, setelah berkali-kali dikeluarkan (dituliskan) dan dibaca serta diperbaiki bentuknya (dengan menatanya lewat kegiatan menulis yang berkali-kali), pikiran tersebut pun akhirnya akan memiliki bentuk yang jelas.[]

Ternyata Lebih Asik Tanpa 'Sekolah'


Oleh : Iqra Garda Nusantara

Judul provokatif itu terinspirasi dari kisah perjalanan tiga anak di "sekolah" altermatif Qoryah Thoyibah di bawah asuan Bahrudin. Diceritakan di sana bahwa ada tiga anak didiknya yang sedang melakukan penelitian akhir dengan diam-diam memutuskan mengikuti Ujian Nasional. Ketiga anak itu mendapatkan nilai cukup bagus di ujian nasional. Selain itu, dalam wkatu bersamaan ketiga anak yang bernama ina Afidatussofa, Naylul Izza, dan Kana itu juga menghasilkan karya tulis yang disebut disertasi dengan judul "Lebih Asyik Tanpa UN." Mereka melakukan wawancara dengan orang-orang terkait penyelanggara UN dan menakjubkan karena hasil ulisan itu sudah dipublikasikan oleh LKiS Yogyakarta (Baca Suara Merdeka 18/3/2008). Bagi kita, kebaranian itu adalah melampau usia mereka yang masih remaja fase awal (SMP).

Ketika saya menuliskan judul di atas juga sedikit paradok bagi beberapa teman sebab saya sendiri telah mengenyam pendidikan formal dari SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi sampai dua kali S2 di dalam dan di luar negeri. Seolah membuktikan bahwa sekolah adalah candu (Baca buku Roem Topatimasang, sekolah itu candu, 1998). Sekolah adalah reproduksi kelas yang mampu dan mempunyai kesempatan sementara yang tidak mampu (secara finansial) harus mengakhiri sekolah semenjak usia dini. Tetapi di sini saya mencoba untuk merefleksikan diri perjalanan di sekolah-sekolah bertembok besar dan berpagar tinggi itu. Lalu, saya ingin mengatakan bahwa ternyata saya lebih banyak belajar dan beraktualisasi di luar sekolah. Saya juga ingin mengatakan ternyata lebih asik di luar pagar sekolah dan ujungnya adalah bahwa lebih bahagia tanpa sekolah. Bagaimana 'thesis' ini dapat dpertanggung jawabkan. Berikut adalah refleksi singkat saya. Semoga ada manfaat.

Ketika Sekolah Dasar
Saya, mungkin, adalah orang yang paling tidak bahagia duduk berlama-lama di kelas pada saat sekolah dasar. Banyak hal yang tidak saya suka mulai dari Bapak/Ibu guru yang diskriminatif terhadap siswa, anak-anak kelas menengah kampung yang selalu berlomba membawa perlengkapan sekolah, tas bagus, sepatu, dan sebagainya. Mereka adalah jagoan kelas baik secara akademik maupun secara fisik. Sementara saya, tentu saya anak petani biasa dan memilih bergaul di luar pagar sekolah dengan binatang ternak, sapi, petani di sawah, pencari ikan di sungai, dan orang-orang yang tinggal di gubuk di tegalan. Karena ini pengalaman pribadi, saya tidak bermaksud mengeneralisir tetapi hendak mengatakan bahwa sekolah itu sama sekali bukan tempat yang membahagiakan. Sama sekali tidak. Pramuka yang mengajarkan lagu disini senang di sana senang hanyalah omong kosong sebab situasi kami tidak sama dengan anak-anak yang pulang pergi sekolah dalam keadaan kenyang. 

SMP dan SMU
Keadaan tidak pernah berubah. Pada tahun-tahun 1995-2002 bagi saya, sekolah tetap sebagai ajang berkumpul dan bersenang-senang para siswa yang mempunyai kelas sosial mapan. Mereka mempunyai habitus yang sudah melekat sebagai kelompok 'terdidik', terhormat dan secara ekonomi berkecukupan. Wajar saja selalu, para bintang kelas merepresentasikan mereka dan bukan dari kami yang hanya jagoan berenang, berlari, memanjat pohon, bersiul keras, karena kami juga tidak pernah punya buku selain buku tulis. Kejadian ini sama sejak SD tetapi waktu sekolah SMA keadaan lebih baik tetapi tetap saja kalah start dengan anak-anak kota yang sudah biasa memakan buku (kutu buku). Akhirnya saya lebih memilih egiatan di luar sekolah baik yang sama sekali gak ada hubunganya dengan sekolah maupun kegiatan exstra sekolah. Saya aktif di sana dan sampai terpilihlah saya sebagai ketua umum OSis di SMU N 2 Lamongan.

Dengan 'jabatan' ini saya selalu punya alasan untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah. Kelas 2 masuk kelas IPA adalah sesuatu yang mewah tetapi kering bagi saya sehingga saya ingin memilih kelas IPS. Karena nilai semakin memburuk nilai di kelas IPA saya pun pindah ke kelas IPS. Bapak Ibu guru BK/BP tidak senang dengan keputusan saya. Konon kelas IPA lebih bagus dan lebih 'prestisius.' Mohon maaf, jika ada bapak ibu guru saya yang membaca karena saya mengatakan itu hanya  'hipotesis' kalau tidak dibilang omong kosong. Saya kira anak-anak IPA itu hanya disiapkan menjadi pekerja dengan gaji tinggi dan status sosial baik. Tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan orang dan kepedulian terhadap orang yang kurang beruntung. Karena itu, saya menolak hipotesis tanpa bukti itu. Walau demikian, saya belajar beroganisasi melalui OSIS bukan melalui pelajaran di dalam kelas yang pengap.

Parahnya, sekolah ini tidak menjadikanku gemar membaca! hanya gemar mengerjakan PR karena terpaksa.

Kuliah di UGM
Tidak banyak anak kampung, anak udik, anak buruh tani bisa masuk UGM dengan gampang. Perjuangan sangat berat dan menantang.Akhirnya saya masuk UGM melalui tes UM UGM dengan jumlah sumbangan 0 rupiah. Karena nol srupiah saya harus diinvestigasi oleh panitia seleksi masuk UGM. Kalau gak salah waktu itu wakil rektor UGM yang berceramah bahwa kita semua sudah untung masuk UGM maka disarankan jangan menyumbang dengan NOL RUPIAH. Karena UGM dan negara sudah mensubsidi banyak katanya. Seingat saya konon setiap semester kuliah di UGM tahun 2003 itu menghabiskan subsidi negara 9 sampai 15 juta per mahasiswa. Saya tidak pernah mikir khutbah tersebut saya hanya ingin masuk UGM kalau ditolak saya tidak bunuh diri, dunia juga akan baik-baik saja tanpa saya menjadi mahasiswa UGM.

Para aktifis BEM dan organisasi lain siap-siap menadvokasi kita semua. Saya senang sekali banyak tawaran bantuan advokasi. Saya pun tetap masih PD pada hari daftar ulang tahun tersebut. Hanya jujur, tetap ada harap-harap cemas apalagi saya sudah tidak kuliah selama satu tahun mengembara di Pare Kediri. Saya sudah siap-siap segala dokumen keterangan dari RT/RW/Kepala desa/camat bahwa saya tidak mampu emmbayar SPP apalagi sumbangan puluhan juta. Akhinta saya di ACC masuk UGM, beberapa teman dan orang tua banyak berlinang air mata di samping kana kiri karena gak bisa membuktikan bahwa mereka miskin. Awal masuk kampus, yang menyedihkan. Bagaimana saya menemukan bahagaia dan asik sekolah? belum ketemu jawabannya.

Tetapi, saya terus berharap bisa keluar dari kampus dengan pengetahuan yang layak. Tetapi entahlah, merasa tidak mendapatkan apa-apa setelah  4 tahun kuliah. Bacaan-bacaan yang membebaskanku seperti sekolah candu, pendidikan populer, gagasan Paulo Friere dalam beberapa judul buku sepeti politik pendidikan, pendidikan orang tertindas, memprovokasi saya untuk keluar dari penjarah kampus/sekolah UGM. Hampir saya tidak lulus. Karena orang tua memimipikan saya wisuda dan ingin mereka datang, maka saya pun menuruti dengan menyelesaikan skripsi semampu dan sebisa, plus sesantai mungkin. Akhirnya, selesai.

Habis kuliah di UGM, tidak jelas mau ngapain. Saya mengalami disorientasi dan tidak punyai pemikiran lebih maju selain ikut beberapa aktifitas LSM (sejak masih mahasiswa) dan ormas terbesar di Yogyakarta. Mencari pekerjaans seadanya  untuk bisa survive di perantauan dan bisa membantu orang tua. Ijazah pun belum sempat saya pakai saya sudah nekat mengikuti program S2 Ilmu Politik di UGM. Intinya, saya tidak bahagia di kampus tetapi masih penasaran dapat apa kalau sudah s2? akhirnya hampir S2 berakhir saya pun masih tidak punya pekerjaan artinya tidak laku mungkin. Atau karena pasar tidak mendekatiku karena ilmuku IPS bukan IPA. Karena ini, saya berjanji tidak menemui guru BK/BP SMA saya karena saya menganggur walau masih mahasiswa. Saya pun lebih asik pada kegiatan sosial yang non profit. Kadang mbambung kemana-mana tidak jelas tetapi saya belajar dari lingkungan. Dalam batasan tertentu saya setuju pada perkataan bahwa semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah. Saya pun bahagia dengan pembelaan filosofis tersebut. 

kesimpulan masih sama. Sama-sama parahnya, yaitu kampus sebesar UGM ini tidak menjadikanku gemar membaca! hanya gemar mengerjakan tugas karena terpaksa. Kegemaran membacaku bukan karena tugas kampus tetapi karena saya harus berbagi pengetahuan dengan teman, sesama, di luar kampus.

Coba-coba Rasa sekolah di Luar Negeri
Tidak ada sprit untuk lulus S2 pada saat itu karena saya tahu banyak S2 di negeri ini. Banyak mereka mendapatkan pekerjaan yang tidak ada korelasinya dengan disiplin ilmu di universitas yang digeluti. Di tengah kegaluan ini saya ketemu dengan beberapa orang yang bicara bahwa lulusan sekolah luar negeri itu sangat laku di dalam negeri. Mungkin maksudnya punya privilage tertentu. Saya pun penasaran dibuatnya. Dalam hati kecil, mungkin saya harus mencoba. Dengan bekal ijazah S1 dan sertifikat cumlaude serta aktifitas sosial lainnya saya sangat percaya diri untuk melangkah merebut beasiswa. Proses seleksi ini pun membuat orang tidak bahagia karena harus berharap dan cemas. Manusiawi saya kira. Saya pun begitu walau tidak teramat perih. Proses mencari sekola, memang menyusahkan. Kita lihat saja sekarang. Bagaimana orang tua mau membayar joki, melakukan apa saja, untuk agar anaknya diterima di kampus/sekola dasar bahkan.

Aku pun berhasil merebut beasiswa IFP yang konon untuk orang-orang marginal/terpinggirkan secara ekonomi dan politik. Pada saat itu wawancara pun harus menggadaikan rahasia nurani saya di mana saya harus menceritakan kehidupan keluarga dan dengans egela pahir getir di dalamnya untuk meyakinkan bahwa saya ini anak tertindas baik psikologi maupun ekonomi sejak dalam kandungan. Dramatis memang, tetapi itu dalam rangkah merebut dan memasuki dunia baru: sekolah di Amrika boy, yang konon prestisius dan bahkan dikatakan oleh beberapa tim seleksi, akan mengubah hidup saya. Tapi bagi saya itu semangat, itu doa yang akan menolang saya bisa survive minimal saya bisa berdamai dengan diri saya sendiri.

Saya pun, di penghujung tahun ini akan mendapatkan ijazah luar negeri yang pertama (insyallah ada yang kedua, karena masih penasaran belum tahu hebatnya apa lulusan luar negeri). Saya pun masih pada kesimpulan bahwa sekolah itu mengungkung, menindas dan sama sekali tidak membagaiakan walau sekolah itu lokasinya di surga sekalipun. Mungkin juga karena itu, Nabi Adam dan Hawa tidak dibuatkan sekolah di surga sebab takut kebebasannya akan hilang. Ketika bebas, mereka makan buah apel, dan di usir ke bumi. Di sanalah kedua manusia itu belajar. Belajar sebagai manusia yang sebenarnya bukan ahli surga yang hanya leyeh-leyeh, santai saja. Nabi Adam itu mengajari saya sekolah alam dan harus bisa survive di bumi yang keras, seram, berkabut, salju, dan berapi. Karena saya menusia keturunan Adam, maka saya ingin mengatakan bahwa sekolah itu tidak asik. Saya ingin mengatakan bahwa lebih bahagia tanpa sekolah.

Ditulis sehari setelah ujian Thesis di University of Hawaii, USA
August 8, 2012.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK