Sunday, October 28, 2012

Buku Recomended minggu ini (buku yang memberdayakan)


1. SEKOLAH PARA JUARA : MENERAPKAN MULTIPLE INTELLIGENCES DI DUNIA PENDIDIKAN

Judul asli buku ini adalah Multiple Intelligences in the Classroom-2nd edition karya Thomas Armstrong.
Di Indonesia buku ini diterjemahkan oleh Yudhi Murtanto, disunting oleh Rina S. Marzuki, dan diterbitkan oleh Penerbit Kaifa Bandung.

--------
Pada bagian depan, Hernowo memberikan pengantar yang diawali dengan cerita mengenai kegagalan pendidikan yang berasal dari dunia binatang. Para binatang gagal memiliki prestasi yang diharapkan karena dipaksa melakukan sesuatu hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka.
Teori Kecerdasan Majemuk (KM) yang ditemukan oleh Howard Gardner, menjadi "alat" yang ampuh bagi Armstrong untuk menimbulkan paradigma baru berkaitan dengan sekolah.
Pertama, dahulu sekolah (baca guru) membedakan siswanya menjadi dua kelompok, yaitu siswa pandai dan bodoh. Menurut teori Kecerdasan Majemuk (KM) tidak ada siswa yang bodoh.
Kedua, dahulu suasana kelas cenderung monoton dan membosankan. Dengan delapan cara mengajar yang bertumpu pada delapan jenis kecerdasan, pembelajaran lebih variatif (menggairahkan dan menyenangkan).
Ketiga, dahulu, seorang guru mungkin kesulitan membangkitkan minat dan gairah murid-muridnya. Dengan Kecerdasan Majemuk, masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat.

Hernowo juga mencontohkan salah satu sekolah yang sudah menerapkan teori Kecerdasaran Majemuk (KM), yaitu SMU (Plus) Muthahhari, Bandung yang didirikan oleh Jalaluddin Rakhmat. Kurikulum yang dikembangkan di SMU Muthahhari, selain diarahkan agar siswa menguasai beberapa kompetensi, juga ditujukan agar para siswa mampu meningkatkan harga dirinya dengan meraih berbagai prestasi.
Pada bagian akhir, Hernowo menunjukkan pentingnya teori Kecerdasan Majemuk (KM) dalam menyukseskan kurikulum di Indonesia dengan KBK-nya.

Buku Multiple Intelligences in the Classroom-2nd edition, juga diberi pengantar langsung oleh Howard Gardner yang memberikan apresiasi yang tinggi dengan tulisan Armstrong yang akurat, jelas, referensi luas, dan cara penyampaian yang sesuai untuk para pendidik.

Buku ini terdiri dari 14 Bab, yaitu :
Bab 1 Dasar-Dasar Teori Kecerdasan Majemuk
Bab 2 KM dan Perkembangan Kepribadian
Bab 3 Menilai Kecerdasan Majemuk Siswa
Bab 4 Mengajarkan KM kepada Siswa
Bab 5 KM dan Pengembangan Kurikulum
Bab 6 KM dan Strategi Pengajaran
Bab 7 KM dan Lingkungan Kelas
Bab 8 KM dan Manajemen Kelas
Bab 9 Sekolah KM
Bab 10 KM dan Penilaian
Bab 11 KM dan Pendidikan Khusus
Bab 12 KM dan Kemampuan Kognitif
Bab 13 Beberapa Penerapan Teori KM yang lain
Bab 14 KM dan Kecerdasan Eksistensial

Singkatnya melalui buku ini, teori KM Howard Gardner menjadi sangat praktis untuk diterapkan para pendidik di sekolahnya.

2. JALAN PINTAS MENJADI 7 KALI LEBIH CERDAS
Jalan Pintas Menjadi 7 Kali Lebih Cerdas. Buku terbitan kaifa bandung ini merupakan gudang informasi bagi para orangtua dan guru untuk mengarahkan anak-anak pada berbagai kegiatan yang menyenangkan sekaligus mengasah ketujuh kecerdasan dasar mereka. Setiap kegiatan ditandai dengan simbol khusus, yang menunjukkan jenis kecerdasan yang akan dirangsang melalui kegiatan tersebut.

Dengan buku ini, Anda dapat mengasah kecerdasan:

- logis/matematis

- intrapersonal

- interpersonal

- bahasa

- musik

- kinestetis

- visual/spasial

pada anak Anda.

Buku ini juga dilengkapi dengan contoh 50 jenis permainan yang kreatif dan konstruktif untuk dimainkan oleh anak-anak, baik sendiri maupun berkelompok, diawasi ataupun tidak.

''Buku ini menawarkan pendekatan praktis bagi orangtua, dengan menunjukkan kepada anak-anak mereka pengalaman belajar aktif dan menarik yang akan memicu tumbuhnya rasa ingin tahu yang lebih besar dalam diri anak-anak, mengembangkan kreativitas, sekaligus memberi anak-anak rasa percaya diri dalam menanggulangi permasalahan hidup di dunia yang sangat kompleks ini.''Daniel J., M.D.,

Associate Clinical Professor of Psychiatry, UCLA School of Medicine, Director of the Center for Human Development, Los Angeles

Laurel Schmidt menjadi pendidik selama lebih dari 30 tahun dan menjadi orangtua selama lebih dari 20 tahun. Sebelum ini, dia bekerja sebagai guru dan kepala sekolah. Setelah itu, dia menjadi Administrator Layanan Siswa di Santa Monica, California, dan adjunct professor di Universitas Antioch.

Saturday, October 27, 2012

Militansi dalam Gerakan Iqro’

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Pernah terbayang bahwa suatu saat orang-orang meyakini bahwa kempanye gerakan membaca adalah bagian dari jihad fii sabilillah. Artinya, jihad dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi perintah pertama Allah yaitu IQRO!. Membumikan bacaan dan ilmu pengetahuan sebagai bagian tak terpisahkan kehidupan masyarakat Islam yang sekian lama terpuruk, atau di tengah masyarakat Indonesia yang terombang-ombing dan menjadi korban dari persekongkolan antara pasar kapitalisme dan negara yang korup.

Dari nilai-nilai islam itulah militansi harus ditumbuhkan. Setidaknya landasan naqliyah atau wahyu ilahi tentang pentingnya membaca dan belajar sudah tidak diragukan lagi hanya implementasi perlu revitalisasi. Surat al alaq, surat al qalam, dan sebagainya yang pada intinya sangat menghargai terhadap orang-orang yang mau belajar, dan berilmu seperti halnya penghargaan atas orang-orang sholeh yang beriman.

 Militansi dapat dibangun dari beberapa aspek mulai dari internal maupun eksternal. Dalam internal, militansi ditumbuhkan dari keyakinan dasar atas wahyu Allah dalam al quran sehingga gerakan membaca itu adalah menjadi bagian ibadah. Keyakinan itu ditumbuhkembangkan dalam alam pikiran dan nurani yang seiring dan sebangun dengan rasa iman itu sendiri. Jadi sekf-motivation factor ini menjadi alat yang efektif untuk membentuk militansi aktifis pelajar.

Kedua, aspek pemberdayaan diri artinya kita terlibat dalam gerakan kampanye membaca atau gerakan melek-baca itu juga merupakan cara kita memberdayakan diri sendiri. Dengan berdekatan dengan buku kita akan terpacu untuk membaca. Dengan membaca kita menambah pengetahuan dan terhindar dari kebodohan akibat kurang pengalaman dan wawasan. Lebih hebat lagi manakalah kita berdaya dan mampu membantu orang lain lebih berdaya baik secara intelektual, ekonomi, maupun politik-kebudayaan. Dengan demikian karakter masyarakat akan lebih tangguh untuk menghadapi arus globalisasi dan perubahan sosial.

Terakhir, adalah aspek eksternal yang meliputi situasi sosial di sekitar kita. Apabila kita salah mengambil komunitas tentu kita akan mengalami disorientasi dalam upaya gerakan membaca. Lingkungan yang kondusif untuk  memelihara semangat, kedekatan dengan buku adalah sangat besar pengaruhnya untuk menjadi kekuatan   para pelaku/pengerak gerakan membaca.

Jika sudah ada organisasi yang menaungi, sebenarnya spirit itu sudah terinstitusionalisasi namun hal ini belum cukup tanpa aspek spiritual yang mampu menjadikan seseorang termotivasi dari dalam. Aspek spiritual dna sosial itu wajib hadir dalam bangunan yang saling menopang sehingga militansi itu tidak saja menjadi ide yang diawang-awang tetapi menjadi kenyataan sosial dengan langka-langka kreatif dan progresif untuk mewujudkan bangsa yang tangguh!

Onggobayan, Kasihan, 19 Oktober 2012 jam 11.00 wib

Sumpah Pemuda dan Agenda Mendesak Bangsa

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Banyak fakta selama ini menunjukkan kepada kita bahwa bangsa ini gemar dengan ritual atau kegiatan seremonial. Sumpah pemuda yang biasa diperingati setiap pada tanggal 28 Oktober juga tidak bisa lepas dari kebiasaan seremonial dimana tanggal tersebut dimeriahkan dengan berbagai kegiatan, festival, lomba, dan sebagainya. Tujuannya adalah ingin mengenang militansi pemuda-pemuda pada generasi 1928-an yang telah berhasil mengobarkan semangat nasionalisme menjadi upaya merebut kemerdekaan bangsa. Tujuan yang teramat mulia itu sering didangkalkan dengan rutinitas tanpa subtansi. Buktinya, banyak anak-anak muda yang terjun di dunia politik, birokrasi, dan swasta yang mempunyai bermental inlander. Anak-anak muda yang cuek dengan masa depan bangsa dan beberapa mereka terlibat korupsi.

Autokritik pemuda itu mutlak dilakukan untuk perbaikan bangsa yang carut marut ini. Keberanian mengkritik diri sendiri bahwa pemuda masih perlu banyak berbenah dan bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan bangsa dari bangsa-bangsa lain. Kritik itu harus dilakukan secara individual dan kelembagaan. Apa yang kita butuhkan adalah memberikan karakter dan kepribadian yang kuat bagi diri kita dan komunitas kita. Dengan karakter kebangsaan tentu saja akan mampu memompa spirit perjuangan dalam segala bidang kehidupan.Bangsa yang kuat itu digambarkan dengan jelas oleh Sukarno dalam konsep trisakti: Berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam pemerintahan, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Daya saing suatu bangsa sangatlah banyak dipengaruhi oleh kemampuan, kreatifitas, dan inofasi yang diprakarsai anak muda. Sukarno pernah bilang bahwa untuk mengguncang dunia hanya diperlukan 10 pemuda saja. Artinya, kita sekarang punya jutaan pemuda punya 277.298 organisasi pemuda ( Data kemenpora, Republika 27 Okt 2012), dan kita sebenarnya tinggal hanya bergerak bersama. Untuk bergerak bersama inilah kita perlu platform bersama yang mampu mempersatukan kita. Perbedaan akhirnya hanya menjadi warna dan bukan ancaman bagi integritas anak bangsa.

Setidaknya ada tiga agenda mendesak bangsa yang dapat kita lakukan untuk memberikan gizi dan subtansi peringatan sumpah pemuda tahun ini yaitu tiga manifestasi jihad pemuda. Pertama, pemuda berjihad melawan narkoba. Kedua, Pemuda jihad melawan korupsi, dan terakhir Pemuda berjihad melawan tragedi nol baca.
Dari ketiga agenda mendesak bangsa itu dapat kita jelaskan. Pertama, Jihad melawan narkoba. Ada 3,81 juta pengguna narkoba di tahun 2011 (BNN, 2011). Sampai tahun 2012 pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5 juta orang (kompas, 12 April 2012) artinya negara kita dalam keadaan darurat narkoba. Bencana ini sebagian besar menyerang kaum muda. Dengan terjerak persoalan narkoba akan mengarah kepada pergaulan bebas dan ujungnya HIV/AIDS menjangkiti anak bangsa. Sampai tahun 2012 setidaknya 270 ribu kasus HIV dan nampaknya mengalami kenaikan terus dari tahun ke tahun. Pada 2006, angka kasus infeksi HIV dari hubungan seks berisiko mencapai 38 persen dari jumlah keseluruhan. Namun, pada pertengahan 2011, angka itu meningkat menjadi 76 persen (Tempo, 23 Juli 2012).

Bencana ini akan merusak generasi sehingga bangsa ini akan kesulitan mencari pemimpin yang mempunyai karakter kebangsaan dalam bidang politik, wirausaha, dan agama. Ketiga bidang ini sangat terancam oleh endemik narkoba.

Kedua, Jihad Melawan Korupsi. Apa yang salah dari kasus maraknya praktik korupsi adalah runtuhnya keteladanan anak muda. Semakin banyak korupsi melahirkan banyak generasi muda frustasi yang diekpresikan dengan caranya sendiri seperti narkoba, sekx bebas, tawuran dan sebagainya. Frekuensi kasus-kasus itu sebanding dengan menggilanya kasus korupsi di Indonesia. Karakter leadership dalam kehidupab berbangsa seolah dilululantakkan oleh perilaku elit politik dan pengusaha nakal sehingga apa yang dikatakan Profesor Syafii Maarif itu menemukan pembenaran bahwa "kerusakan bangsa ini nyaris sempurna."

Akibat KKN (korupsi, kolusi, dna nepotisme) ini banyak anak-anak muda kehilangan peluang untuk berbisnis lantaran akses keuangan/modal tidak dapat diperoleh dengan mudah tanpa melakukan kalikong dengan lembaga keuangan atau tanpa melalui koneksi gelap dengan pengambil kebijakan. Tidak adanya mekanisme yang fair/jujur ini juga menghanguskan semangat inofasi dan kreatifitas anak-anak muda. Makanya benar, bahwa korupsi telah menyumbang kemiskinan dan penderitaan anak bangsa baik secara lahir maupun batin, fisik maupun mentalitas. Mentalitas yang berkembang di era 'koruptrokrasi' (negara koruptor) hanyalah mentalitas menerabas, egois, mau menang sendiri. Dalam hal bisnis yang berkembang adalah upaya mendapatkan lama maksimal dengan modal dengkul.

Terakhir, jihad melawan 'tragedi nol baca". istilah tragedi ini meminjam taufik Ismail yang disimpulkan dari hasil penelitiannya pada tahun 2003 yang menunjukkan bahwa anak-anak SMA di Indonesia tidak membaca 1 buku pun karya sastra di sekolah. Hal ini jauh tertinggal dari negara-negara lain di dunia.Kemiskinan membaca ini memberi kontribusi rendahnya daya saing bangsa. Karena rendahnya peringkat angka melek baca ini juga menyebabkan tingginya plagiasi di dunia pendidikan baik dilakukan oleh peserta didik (siswa) atau pendidik (guru atau dosen).

Melek baca merupakan satu tahap lebih maju dari melek huruf. Melek baca artinya masyarakat menggunakan kemampuan membaca dan menulis untuk mengakses informasi baik dari media cetak, elektronik, buku untuk kegiatan yang produktif. Dengan demikian, kemampuan itu akan mampu merebut keuntungan dari era informasi dan pasar bebas yang sedang bergulir di bumi ini. Tetapi angka minat baca di Indonesia masih relatif lebih rendah dibanding Malaysia dan Vietnam. Membaca itu penting lantaran fungsi penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan. Pembaca yang sukses artinya mampu mencerahkan dirinya dan mampu membantu orang lain untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan akibat ketidaktahuannya. Dengan demikian orang yang melek buku akan mempunyai potensi memberdayakan masyarakat lebih besar.

Di Indonesia, kira-kira satu buku dibaca 80.000 orang (kompas, Februari 2012). Hal ini dengan perhitungan pada tahun 2011 dimana setahun diproduksi buku sebanyak 20.000 judul dengan perbandingan jumlah penduduk yang sangat besar di Indonesia. Mungkin jumlah buku lebih besar di Indonesia dibanding dua negara tersebut tetapi jika dibagi rata jumlah penduduk kita masih kalah. Anak-anak muda terutama pelajar mengalokasikan waktu dan uang lebih besar untuk kegiatan hiburan, kuliner, dan komunikasi (internet, hp, pulsa) ketimbang membeli buku sebagaimana haisl survey KR di Yogyakarta hanya 5% dari uang mahasiswa untuk membeli buku.

Dari ketiga agenda 'jihad' pemuda itu dapat disimpulkan bahwa jihad melawan narkoba artinya kita memperbaiki fisik bangsa dengan mengobati bagian yang sakit dan menyiapkan fisik yang lebih prima, jihad melawan buta baca artinya kita berupaya mengisi otak bangsa dengan pengetahuan dan jihad melawan korupsi artinya kita menyiapkan mesin pemerintahan yang lebih baik, stabil, kuat, dan gesit sehingga mempercepat pembangunan bangsa secara lebih sistematis. Inilah arti subtansi peringatan sumpah pemuda itu dan ini juga harus menjadi agenda mendesak bangsa.

Hapus PR, Ganti Membaca..

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Belum lama ini diberitakan di beberapa media nasional di Indonesia jika pemerintah Jerman melarang keras sekolah memberikan pekerjaan rumah untuk sekolah dasar karena hal ini dianggap merampas hak-hak anak untuk bermain dan waktu untuk sosialisasi di masyarakat (Koran tempo, 12 September 2012). Di Indonesia sebenarnya juga sudah ada, mislanya sekolah Budi Mulia di Yogyakarta juga tidak memberikan pekerjaan rumah untuk siswa kelas 4 sampai kelas 6 SD. Hal ini dianggap efektif untuk mengurangi stress dan menjadikan anak-anak fresh setiap datang ke sekolah tanpa harus berkerut akibat belum mengerjakan tugas rumah (home works) yang dibebankan oleh guru kelas atau mata pelajaran.

 Apa yang tejadi di Jerman dan Budi Mulia sangat layak dijadikan model pelaksanaan system pendidikan nasional di Indonesia. Hal ini perlu lantaran kewajiban mengerjakan PR itu sendiri menjadi momok, menjadikan siswa lebih banyak mengeluh dan stress dari pada termotivasi untuk terus belajar dengan suasana enjoy dan fun (senang). Hal ini tidak hanya terjadi di sekolah dasar tetapi di sekolah menengah juga snagat membebani pelajar sehingga mereka harus mengikuti les atau private untuk mengejar ketertinggalan.

 Anehnya, bukan hanya siswa yang bersangkutan yang khawatir tetapi orang tua juga harus banting tulang untuk membantu anak-anaknya agar tidak tertinggal pelajaran. Bagi kelas ekonomi menengah ke atas tentu bukan masalah harus mengeluarkan lebih banyak biaya tetapi bagi kalangan bawah akan menjadi korban dari ketakutan dan terror mata pelajaran atau PR.

 Harus ada solusi, bangsa ini tidak hanya bangkit dengan penguasaan berbagai mata pelajaran yang seabrek tetapi perlu kompetensi sehinga yang tidak senang dengan matematika tidak perlu dipaksa untuk mendapatkan nilai 9 tetapi potensi meraka harus dikembangkan sebagaimana yang ada.

 Salah satu kegiatan yang diharapkan membantu anak-anak bisa senang adalah dengan mengisi waktu luang di rumah dengan membaca buku. Buku yang ringan dan inspiratif serta kesempatan mengunjungi toko buku dan atau pameran buku. Kegiatan yang menyenangkan dan berdekatan speutar kegiatan membaca akan lambat laut menjadikan anak-anak ingin belajar lantaran banyak hal yang dibaca dan ternyata pula banyak hal yang belum diketahui secara lebih detail.

 Jadi, kewajiban membaca ini dapat menggeser tugas berat pekerjaan rumah dari guru sehingga suasana menyenangkan itu menjadi kegiatan rutin apalagi aktifitas membaca itu diapresiasi oleh guru dan dapat saling bercerita secara sukarela apa yang sudah dibaca selama weekend atau di rumah. Kegiatan lain pun dengan mudah akan menampung kreatifitas anak mislanya penggalakan madding, majalah sekolah, bulletin, dan seterusnya. Semua itu dapat dijadikan saluran energy dan potensi anak didik tanpa merasa terbebani dan stress.

Monday, October 15, 2012

Membumikan Gerakan Iqro'

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas



Gerakan Membaca atau gerakan Iqro secara harfiah mempunyai makna sama tetapi dalam perspektif ideologis gerakan Iqro mempunyai penekanan pada pentingnya ideologi pembebasan yang termaktum dalam theologi IPM 'gerakan kritis tranformatif' yaitu perlunya nilai-nilai penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan dalam gerakannya (baca tanfidz Muktamar IRM Lampung 2004). Sementara gerakan membaca terlihat agak bermadzab developmentalisme yang percaya bahwa membaca akan membantu menyelesaikan persoalan tugas sekolah/kuliah untuk naik kepada jenjang karier berikutnya. Inilah perbedaan itu. Persoalannya adalah apakah semua kader IPM paham?

Karena faktanya seringkali terjadi patahan paradigma dalam periode di IPM sehingga mengancam orientasi fisi masa depannya baik internal maupun kebutuhan untuk menawarkan alternatif atas persoalan global kekinian. Saatnyalah kita bekerja sama untuk kembali membumikan gerakan Iqro yang sampai hari ini belum beranjak ke mana-mana. Bagi saya, masih jauh panggang dari api.

Pribumisasi Gerakan iqro
Dari survey yang dilakukan oleh harian KR dan UPN di Yogyakarta awal Oktober lalu memunculkan fakta baru bahwa hanya 5% anggaran mahasiswa untuk membeli buku dan menghabiskan sebagian besar untuk wisata kuliner setiap hari. Ini di kota pelajar, bagaimana ini juga akan terjadi di kota yang lebih besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, makasar? tentu hasilnya akan sangat lebih buruk jika kita asumsikan pada tersedianya akses buku murah, pameran, dan perpustakaan. Fakta ini harus dijawab dengan langkah nyata bahwa kita perlu advokasi gerakan iqro tidak peduli siapa dan di lingkungan apa kita berada. Gerakan Iqro, ekpresi gerakan pelajar/terdidik, adalah ruh bangsa yang sedang dalam taruhan zaman.

Pribumisasi gerakan ini tidaklah sulit karena infrastruktur kita sudah terbentuk dari pusat sampai ranting, dari universitas sampai TK ABA sehingga hanya kemauan, social will atau political will dari pengambil kebijakan di organisasi untuk eksekusi pentingnya 5 pilar gerakan Iqro diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai standar kualifikasi kader/kekaderan harus diukur dengan tradisi baca-tulis yang ketat sehingga kualitas intelektual dapat dipertanggungjwabkan tidak hanya di hadapan manusia tetapi juga sebagai khalifah yang haus ilmu dengan bersandar pada wahyu ilahi: IQRO!!

Setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk revolusi damai Indonesia dengan gerakan membaca. Pertama, gerakan harus mulai dari atas dan bawah agar cepat. PP IPM, misalnya, merekrut manusia-manusia super untuk mengelola berbagai komunitas pecinta buku dan rumah baca yang sudah ada sembari menginisiasi untuk membuka yang baru dengan dukungan finansial dan material perpustakaan komunitas. Alumni pun harus dilibatkan termasuk amal usaha Muhammadiyah. Perpustakaan ranting, cabang, daerah harus menjadi target kultur organisasi baru sheingga menjadi lebih melek baca.

Kedua, menggembirakan minat baca di lingkungan sekolah yang emnjadi basis organisasi IPM sperti SMP/SMA sederajat. Perpustakaan sekolah tidak lagi boleh menjadi gudang atau formalitas tetapi harus dimanfaatkan. Pengurus IPM wajib dilibatkan menjadi pengelola perpustakaan sehingga menjadi pelajaran tersendiri bagi mereka untuk menghasilkan manusia-manusia pecinta buku/ilmu. Perpustakaan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pegawai sekolah yang dibatasi 'jam tayang' sehingga tidak bisa diakses dengan mudah.

Ketiga, kesadaran perlu dibangun dengan menggaet stake holder yang dirasa dapat memberikan konstribusi secara kongkrit seperti amal usaha muhammadiyah untuk penyediaan buku, hibah buku, ruang, dan mungkin akses-akses internet untuk memajukan budaya baca-tulis tersebut. dengan demikian,spirit Iqro ditularkan kepada institusi dan lembaga yang pada akhirnya akan membantu keberlangsungan gerakan membaca. Ini adalah persoalan kebijakan lembaga/amal usaaha untuk mengalokasikan anggaran untuk gerakan membaca. 

CSR (Social Responsibility) yang selama ini dimaknai sebagai kegiatan sosial diluar kegiatan kampanye pentingnya membaca kemudian perlu realokasi untuk kegiatan rumah baca yang secara nyata lebih berdimensi jangka panjang lantaran buku dan perlengkapan perpustakaan komunitas dapat hidup lebih lama ketimbang konsumsi lainnya. Hal ini kemudian mengetuk tranparansi para pengelola CSR perusahaan. Tidak hanya itu,  banyak kasus pengelolaan lembaga zakat yang kadang tidak mengalokasikan zakat untuk pemberdayaan sehingga berdimensi jangka pendek karena dianggap hanya untuk alokasi pangan sehari-hari orang miskin. Kebutuhan buku, layaknya, kebutuhan pendidikan harus dimaknai sebagai kebutuhan primer dan penting sehingga unsur pemberdayaan berorientasi masa depan ini harus digalakkan dan digemberikan.

Sebagai kalimat penutup catatan singkat ini, saya kembali menekankan bahwa upaya pembumian gerakan Iqro--agar dapat dengan mudah dipahami dan dilaksanakan oleh jaringan organisasi tentu saja pembumian ini tidak hanya menyangkut dimensi fisik dimana harus menghadirkan rumah baca sebagai manifestasi gerakan tetapi juga ideologisasi terhadap gerakan itu sendiri sehingga aspek ibadah, sosial menyatu atau antara yang duniawi dan ukhrowi juga berkelindan dalam gerakan ini.
Wallahu 'alam bi asshowab.

Saturday, October 13, 2012

5 Pilar Gerakan Membaca

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Ibarat bangunan rumah, Indonesia atau negara mana pun membutuhkan pilar-pilar kuat untuk menopang agar tidak cepat runtuh dimakan oleh rayap atau guncangan bencana alam. Indonesia dibangun dengan fondasi lima sila dalam pancasila untuk menghindari keruntuhan akibat pluralisme dan atau kemajemukan yang merupakan fakta sejarah dan kenyataan sosial. Agama pun mengalami hal yang sama sehingga Islam dibangun atas 5 rukun Islam dan 6 rukun Iman sebagai pilar penyangga untuk mewujudkan harmoni antar manusia dengan menusia dan manusia dengan tuhan.

 Gerakan komunisme ala Marx diperkuat dengan 10 manifesto kumunisme untuk meyakinkan kaum proletar bahwa perjuangan kelas itu mungkin dan tidak sulit diiimplementasikan. Dalam beberapa derajat, di Indonesia pernah ada gerakan rakyat untuk revolusi sosial yaitu yang dikenal "G30S PKI" yang kini kembali diperdebatkan masyarakat. Pun demikian, Gerakan Membaca, gerakan Iqro atau gerakan membutuhkan pilar untuk menjadi berhasil baik semenjak fase perintisan, pembangunan, massifikasi, dan revitalisasi.

 Setidaknya ada lima pilar penyangga yang akan membawa sukses gerakan membaca antara lain yaitu perlunya sinergi antar unsur dan lembaga diantaranya konsepsi ideologi gerakan membaca, penggerak, perpustakaan/rumah baca, industri perbukuan yang ramah, dan peran negara/pemerintahan.

 Ideologi
Tradisi melek-baca harus secara ideologis dipahami sebagai manifestasi Iman karena Islam memerintahkan ummatnya menimba ilmu dengan menggunakan pikiran baik untuk merespon teks dalam buku atau konteks realitas sosial. Hal ini tidak hanya berfungsi jangka pendek--untuk pencerahan akal-budi pembaca tetapi harus diartikulasikan dalam visi yang ;ebih jauh ke depan untuk tugas kekhalifaan. Misalnya, membaca untuk kegiatan pembelaan, penyadaran, dan pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, membaca harus menjadi bagian ritual keagamaan/ibadah sehingga menjadi terinternalisasi secara kuat dalam hati dan perbuatan.

 Penggerak
Tidak perlu sejuta orang bergerak bersama untuk promosikan gerakan membaca. Tetapi perlu insan-insan yang tercerahkan dan kreatif walau jumlahnya sedikit. Peradaban bumi manusia berubah hanya oleh manusia-manusia pekerja keras, pemikir serius untuk mengubah bumi menjadi lebih baik. Nabi Muhammad dan sahabat adalah minoritas untuk melakukab revolusi sosial-agama-politik pada masyarakat biada--menjadi beradab. Sukarno, dengan nada meyakinkan hanya membutuhkan 10 orang pemuda (kuat fisik dan pikiran) untuk menggoncang jagat dunia. Demikian juga penggerak budaya minat baca, hanya perlu komunitas yang militan dan istiqomah sebagai tentara Allah yang mengumandangkan perlunya ilmu melalui kegiatan membaca.

Ini adalah hard ware alias perangkat keras dari pilar gerakan membaca setelah perangkat lunak (ideologi dan insan tercerahkan) di atas. Sebagai hardware perlu terus inofasi. Inofasi yang sedang terjadi adalah transformasi perpustakaan pribadi menjadi komunitas, sumber buku offline menjadi online atau perpaduan keduanya. Selain itu, perlu pelopor perpustakaan 24 jam sebagai pusat belajar tanpa ada matinya. 

 Industri Perbukan
Industri buku yang terus berkembang pesat tidak boleh hanya berorientasi keuntungan tanpa ada program pencerdasan terhadap bangsa. Distribusi buku berkualitas tidak hanya di kota dan pada kelompok menengah kaya tetapi semua berhak mendapatkan bacaan yang bermutu. Caranya? perlu sinergi antar stake holder gerakan sehingga ada simbiosis mutualism yang dapat diwujudkan. Buku untuk rakyat, buku murah berkualitas untuk rakyat! menjadi jargon yang harus diwujudkan melalui dana zakat, APBN, APBD, APB Desa dan lembaga lainnya.Selain itu, perpustakaan di sekolah-sekolah negeri sejatinya adalah ruang publik yang layak dan bisa diakses semua warga negara Indonesia.

 Peran Negara
Membaca adalah kewajiban nasional untuk membangun negara sebagaimana tujuan negara ini dibuat--mencerdaskan bangsa. Karena itu, negara harus hadir dan berperan untuk mewujudkan perpustakaan rakyat dan masyarakat melek baca (bukan hanya melek huruf/angka). Misalnya, dari 20% anggaran pendidikan 5 % saja untuk perpustakaan rakyat tentu luar bviasa 25 tahun ke depan. Dengan melek baca tinggi daya saing bangsa akan naik secara signifikan. Tetapi jika tidak, bangsa ini akan merosot sampai ke liang lahat. Ini adalah tugas semua manusia, semua negara yang ingin hidup lebih damai dan lebih lama di bumi yang semakin ganas.

  Tanpa kesatuan gerak kelima pilar tersebut, gerakan membaca akan terus menjadi subordinat dari 'budaya' hedonis dan juga, ilmu pengetahuan akan menjadi formalitas tanpa ruh dan etos untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.

 Melihat secara konstruktif untuk menganalisa kenapa Jepang, atau Barat mislanya lebih kuat tradisi baca-tulisnya? Hal ini diakibatkan oleh bangsa kita yang lahir dari komunitas hierarki artinya orang mendapatkan ilmu dan pengetahuan karena ditutunkan oleh Kyai, tokoh, dan sebagainya melalui tradisi oral/cerita sementara di Barat melalui referensi buku di perpustakaan. Hal ini bisa saja karena khasanak ilmu dari dunia Islam diboyong ke Barat. Dalam kasus Jepang, etos meningkatnya tradisi membaca lebih dikarenakan etos mengejar ketertinggalan lantaran Nagasaki dan Hirosima porak poranda dan Jepang jatuh miskin pasca kekalahan dalam perang dunia ke-2.

Bangsa ini harus bergerak, paling tidak mengikuti Jepang, kerja keras mengejar ketertinggalan di segala bidang dengan membangun budaya membaca mulai sekarang, dengan segala sumber daya yang ada. Dengan demikian, akan ada harapan Indonesia masih eksis di bumi sampai seratus tahun ke depan.

Monday, October 8, 2012

Berita Foto : Aktifitas RBK

(RBK News Pictures, 09/10/2012) berita foto.

David Efendi bersama bocah onggobayan.



Volunteer RBK saat launching.


Pembaca Ideologis vs Pembaca Pragmatis

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Terminologi ideologi dan deideologisasi nampaknya seringkali disematkan pada gerakan-gerakan agama dan partai politik.  Banyak orang mengatakan bahwa ideology sudah berakhir (the end of ideology) dan beberapa meyakini bahwa leiberalisme memenangkan kompetisi ideology dunia (Fukuyama, 1998). Di Indonesia, beberapa kalangan juga mengamini adeologi yang ada sekarang hanyalah ideology perut, ideology pasar yang tidak memanusiakan manusia. Tetapi gerakan re-ideologisasi belum benar-benar berakhir karena ternyata ideology itu sendiri mewakili satu bagian kemanusiaan (jiwa).

 Pembaca ideologis

Situasi yang memberikan pelajaran kepada kita adalah mengapa ada beberapa manusia  yang sampai berdarah-darah membaca buku dan mempelajari berbagai data untuk menjawab keraguan atau menemukan bangunan teori baru. Jenis manusia ini terlihat pada diri ilmuwan-ilmuwan terdahulu atau saya sebut  ashabiqu al awwalun seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusd, al-Jabar, Muhammad Abduh, Arkoun, dan dari belahan bumi “Barat” misalnya ada Galeleo, Plato, Aristoteles, Hobes, Einstein, dan sebagainya.  Mereka inilah yang kemudian dapat disebut sebagai pembaca ‘ideologis’.

 Jadi, pembaca ideologis secara sederhana dapat diartikan sebagai metode pembelajaran yang didapatkan baik dari membaca text  maupun non-textual untuk memberdayakan diri dan masyarakat secara luas. Pemikiran ilmuwan terdahulu, misalnya, diproyeksikan jauh ke depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk ratusan generasi setelahnya. Ideology mereka adalah keberpihakan terhadap nilai kebenaran, humanisme, dan penghargaan atas karya-karya terdahulu. Walau demikian, ada juga jenis pembaca yang mempunyai orientasi ‘merusak’ yaitu upaya mempelajari sesuatu ditujukan untuk dekonstruksi yang melawan kebenaran hakiki. Contoh ini adalah Darwin yang menemukan teori evolusi yang melawan kebanaran dalil agama-agama samawi.

 Pembaca ideologis dapat pula diatikan bahwa membaca itu untuk menjadi lebih beradab dan bukan hanya sebatas penyaluran hobi dan membunuh jenuh sebagaimana dilakukan oleh para koruptor walau mereka berada dalam penjarah. Berbeda dengan para pemikir kebangsaan kita yang tidak ada nuansa lain bahwa membaca itu melawan. Melawan kondisi dan situasi yang menindas.

 Pembaca Pragmatis

Weber mempunyai teori tentang tindakan manusia yang salah satunya adalah tindakan bertujuan. Misalnya orang emmbaca untuk mengerjakan tugas dari guru/dosen. Membaca bukan dilandasi oleh kesadaran tetapi kepentingan jangka pendek (pragmatis). Situasi ini menjelaskan bahwa membaca bukan menjadi bagian tradisi (internalized) tetapi hanya menjadi mekanisme pekerjaan yang diakibatkan oleh tuntutan dari luar (membaca terpaksa, terpaksa membaca). Jenis pembaca ini cukup banyak dalam dunia pendidikan  di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dari penelitian Taufiq Ismail (2003) yaitu siswa SMA tidak emmbaca karya sastra (nol buku) karena bukan bagian dari penugasan sekolah. Manusia dididik dengan cara mesin diberikan tugas yang sudah paten dan dikerjakan secara mekanis. Masyarakat kemudian menjadi instan, suka menerabas yang penting emmenuhi tugas/kewajiban dari guru. Inilah unintended consequence dari metode pembelajaran yang salah kaprah.

 Beberapa jenis pembaca lain misalnya, membaca sebagai hiburan, mengisi waktu luang, dan mohon maaf, kadang hanya iseng. Pembaca pragmatis bisa saja merasa puas tetapi pada umumnya tidak dilanjutkan dalam upaya berbagai informasi dan membela komunitas.

Pragmatisme itu menjalar tidak hanya dalam urusan perut, urusan pendidikan/pembelajaran sudah berkembang mental menerabas sehingga wajar saja banyak kasus plagiasi baik dilakukan mahasiswa atau dosen demi meraih suatu ‘keuntungan’  jangka pendek.

Pembaca pragmatis dan iseng tidak selalu dalam makna negatif. Ada banyak juga tipe pembaca yang memang sudah menjadi tradisi akibat habitus (lingkungannya) walau tidak serta merta diikuti dengan mengimplementasikan dalam tindakan advokatif. Tetapi, se-pragmatis dan se-iseng apa pun jika masih ada waktu membaca artinya da potensi besar untuk menjadi pembaca ideologis. Anak bangsa ini, seperti halnya Sukarno, Tan Malaka, Hatta adalah pembaca ideologis yang mencurahkan seluruh pikiran, tenaga untuk mengantarkan bangsa menjadi lebih unggul secara lahiriah dan bathiniah, secara ideology dan kesejahteraan sosial-ekonomi.

 Ada jenis pragmatisme yang lebih berbahaya. Suatu saat di beberapa kesempatan yang sama ada diskusi kecil terkait film yang diangkat dari novel. Saya sendiri tidak mengoleksi film-nya tetapi saya membeli novelnya seperti Laskar Pelangsi, Sang Pemimpi, Nagabonar Jadi 2, Di Bawah Lindungan Kakbah, Hafalan sholat delisa, sang pencerah dan masih banyak lagi. Ketika ada teman mengenalkan novel-novel tersebut lawan bicaranya langsung  nyeletuk, “lebih enak nonton langsung film-nya.” Saya hanya berfikir ternyata budaya nonton jauh lebih banyak jamaahnya ketimbang membaca. Kepuasan menonton adalah kepuasan yang hobi menonton dan jarang membaca.

 Bagi pembaca ideologis, penggila baca dan jenis manusia kutu buku tentu kepuasan hasil membaca jauh lebih rasional karena selain melibatkan mata juga melibatkan pikiran, hati, dan imajinasi ketika membaca. Dari sinilah rahasia terkuak, kenapa membaca itu dapat menyehatkan. Membaca dapat mengurangi stress karena pelibatan indra yang lebih interaktif.

 Menjadi pembaca adalah kewajiban. Menjadi pembaca ideologis adalah sebuah pengharapan dan cita-cita mulia. Dari sini pula, nilai-nilai pembelaan dan kemanusiaan kita tancapkan. Demikian semoga manfaat.


Perpustakaan Rakyat

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


“Jika rakyat melek baca, maka tidak ada penguasa yang dapat berbuat semena-mena.”

Hadirnya perpustakaan rakyat adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat mengimpikan dan negara wajib mewujudkan. Inilah relasi pemberdayaan dan pencerdasan antara negara sebagai pelayan rakyat dan rakyat sebagai pemilik negara.

Untuk memahami wacana tersebut perlu melihat orientasi negara dan rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kebutuhan pokok hanya dimaknai sandang, papan, pangan, maka belajar dan membaca buku bukan bagian dari kebutuhan pokok dan ujungnya menjadi terkesampingan  begitu saja. Wajar saja apabila perpustakaan di negeri ini sering lebih sepi dibandingkan kuburan sekalipun. Negara dan masyarakat seringkali juga berada dalam situasi yang sulit lantaran tuntutan kebutuhan dasar selalu diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan perut dan rumah tetapi menegasikan kebutuhan otak. Di banyak negara maju, buku adalah kebutuhan dasar seperti kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Perpustakaan Rakyat
Ide pentingnya perumahan rakyat tidak diikuti dengan menambah kebutuhan aspek pemberdayaan masyarakat melalui aktifitas yang mencerdaskan. Perang melawan buta aksara tidak dilanjutkan dengan upaya merevitalisasi untuk melek baca sehingga kualitas warga negara lebih meningkat. Paradok lainnya adalah situasi dimana ‘negara’ tidak rela rakyatnya melek baca. Karena melek baca akan mengancam eksistensi negara.

Logikanya adalah, ketika rakyat melek baca maka mereka otomatis mengetahui hak dan kewajiban dan mampu mengkritik pelaku pemerintahan kapan dan di mana pun. Pola pikir demikian masih ada sehingga seringkali buku-buku yang diproduksi negara sering kali menyesatkan dan lebih memberikan kewajiban ketimbang hak. Kewajiban membayar pajak disampaikan diberbagai tempat smenetara hak mendapatkan informasi tentang kemana uang pajak itu digunakan. Manerik ketika PBNU mengeluarkan statemen boikot pajak sebagai protes. Organisasi ini mewakili komunitas yang melek baca-nya rendah kemudian diadvokasi oleh elit-elit yang tercerahkan. Ini disebut dengan kedaulatan rakyat yang dihasilkan oleh meningkatnya melek baca.

Perpustakaan Rakyat yang kita imajinasikan adalah perpustakaan yang menjadi pusat belajar yang manusiawi.  Perpustakaan tidak lagi diartikan sebagai institusi milik orang terdidik, kelas menengah, dan tidak identik dengan rakyat. Apa maksudnya pusat belajar yang manusiawi?

Setidaknya ada 3 syarat perpustakaan manusiawi. Pertama, perpustakaan komunitas yang mana rasa memiliki sudah merasuki denyut nadi masyarakat itu sendiri. Kebijakan membangun perpustakaan rakyat walau disubsidi negara (top down) tetapi rakyat/komunitas itu harus lebih aktif dan sebagai pengambil kebijakan. Negara juga harus memfasilitasi berupa hal-hal yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat itu sendiri.  Kedua, tidak diskriminatif. Perpustakaan adalah rumah bersama yang menjadi tempat belajar apa saja dan dengan siapa saja. Pemahaman bahwa semua orang adalag guru dan setiap tempat adalah sekolah merupakan nilai yang harus ditekankan. Dan ketiga, berorientasi penyadaran, pemberdayaan, dan pembelaan.

Dalam hal referensi, perpustakaan rakyat juga harus berisi buku-buku pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat seperti komunitas pertanian harus dilengkapi dengan buku-buku terkait pertanian agar lebih berkembang. Begitu juga di komunitas nelayan, industry, buruh, TKI/W, pengrajin dan seterusnya. Perpustakaan rakyat mempunyai visi memberdayakan dan membelajarkan tanpa skat-skat identitas kelas, pekerjaan, dan budaya. 

Jika perpustakaan rakyat dapat dimasifikasi dan mampu memberikan pengetahuan yang beragam sehingga rakyat melek wacana dan melek informasi tentu ini menjadi energy kebangkitan tersendiri bagi bangsa. Jika dulu, rakyat dipersenjatai dengan cangkul dan arit sekarang kita dapat mempersenjatai dengan buku (ilmu pengetahuan). Mari kita mulai dari langkah kecil yang pasti melalui gerakan melek-baca!

50 Tahun IPM: Pelopor Gerakan Iqro’ Untuk Visi Pembebasan

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas, dan Mantan Ketua Bidang PIP Pimpinan Pusat IPM


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masysrakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadaian.” –Pramoedya Ananta Toer”

Tidak bisa dipungkiri bahwa visi kebangsaan IPM sudah termanifestasikan dalam berbagai ranah aktifisme sejarahnya semenjak kelahiran di tahun 1961. Bulan ini genap setengah abad berdiri dengan segala kelebihan dan pekerjaan yang masih menumpuk di depan mata kita. Ke depan visi kebangsaan ini juga diperkuat dengan visualisasi gerakan untuk menopang terwujudnya peradaban yang tercerahkan sebagaimana visi-misi Muhammadiyah. Ini adalah PR bersama kita tentu saja kita secara individual bisa menyamai sendiri-sendiri dan dengan berbagai inovasi dan keterlibatan alumni IPM di berbagai lembaga dan komunitas diharapkan mempercepat (akselerasi) pertumbuhan anak bangsa yang berdaulat dan transformatif. Bagi kita, refleksi 50 tahun IPM-IRM bergerak adalah satu momentum untuk kembali memperkuat barisan IPM, alumni IPM dalam memperkokoh visi kebangsaan, keummatan, dan pengamban misi peradaban.

Sering muncul kebangaan korp ketika usia 50 tahun IPM bergerak, telah memberikan kosntribusi besar pada perjuangan mengawal reformasi dan pembentukan pemeirntahn bersaih yang digambarkan oleh kader-kader IPM yang bergerak di ranah politik dan pemerintahan taruhlah contoh ada Busro Muqodas (Ketua KPK), Hajriyanto T (Wakil Ketua MPR), dan sebagainya. Di bidang pendidikan, alumni IPM yang menerkuni sebagai guru, dosen, dan aktifis di berbagai NGO, pusat kajian, lembaga penerbitan, enterprenurship, dan berbagai komunitas sudah memberikan warna tersendiri bagi Indonesia. kemenangan-kemenangan kecil itu sudah didepan mata kita semua. Di sisi lain terhampar PR yang tidak sedikit yang akan menggelisahkan kita sepanjang usia di mana bangsa ini masih rendah jumlah bacaannya, penindasan dan kebijakan yang tidak manusiawi, melawan ras akeadilan, juga korupsi dan praktik anti-agama lainnya. Kita kadang merasa, 10 tahun terakhir ini bangsa kita involusi, mungkin kita dan IPM sendiri absen dalam progress dan inovasi yang bisa dianggap ‘luar biasa’. Kebaranian melawan arus itu masih samar-samar di lingkungan kita.

Banyak engle yang kita bisa mulai untuk membincang masa depan “IPM yang Berjaya” tanpa mengurangi ruh gerakan. Dalam kesempatan ini penulis hendak memberikan urun rembug mengenai bagaimana IPM memberikan konstribusi secara signifikan dalam pencerdasan bangsa melalai implementasi visi kelimuwan IPM yang dimanifestasikan dalam “gerakan iqro” atau gerakan membaca yang sampai hari ini belum menjadi meanstream di tubuh gerakan ini baik secara individual maupun organisasi. Hal itu membuat penulis ingin mempertajam diskusi mengenai bagaimana IPM ke depan betul-betul berada di garis terdepan dalam gerakan membaca. Ada adapun landasan pikir dan dampak akan penulis diskusikan di bagian selanjutnya.
Visi Kebangsaan Gerakan Iqro’

Sebagai orang yang pernah aktif di IRM, saya membaca visi baik IRM atau IPM melalaui rangkain kalimat yang berbeda tanpa mengurangi maksud yang termaktub dalam berbagai keputusan organisasi (Muktamar) yang setiap dua tahun diselenggarakan dengan menelan biaya ratusan juta setiap event. Setidaknya ada tiga target utama dalam menekuni IPM sebagai gerakan pelajar. Pertama, visi pembebasan manusia. Kedua, visi perwujudan generasi Ilmu. Dan terakhir, adalah visi sebagai bangsa unggul. 

Pertama, untuk memperjuangkan visi pembebasan IPM dan alumni memang harus bergumul dari mulai urusan pendidikan, social, budaya, dan politik. Karena keempat ranah itulah yang paling potensial untuk terjadinya dominasi, hegemoni dan mewabahkanya penindasan. IPM dan Muhammadiyah seharusnya berjalan seiring dan sejalan dalam konsep alternative untuk pembebasan manusia yang seringkali kita sebut sebagai teologi al-maun (teologi pembebesan Muhammadiyah). Implementasi dari teologi itu tidak boleh saling bertentangan. Taruhlah contoh, Muhammadiyah sebagaimana tuntutan sebagian aktifis IPM untuk keluar dari system pendidikan meanstream ala negara dimana segala sesuatu terpusat dan segala bentuk otoritas untuk mengatakan layak lulus dan tidak lulus dikuasai oleh negara (melalui Ujian Nasional (UN)/UNAS) maka Muhammadiyah seharusnya berada dipihak IPM dan bukan malah menghambat kritisisme yang berkembang di media. Sebagaimana Buya Syafii Maarif sering mengatakan bahwa gerakan Muhammadiyah masih sebatas sebagai gerakan pembantu karena di ranah pendidikan Muhammadiyah tidak ‘mampu’ berfikir alternative. Banyak contoh kasus yang ternyata bisa keluar dari dominasi negara seperti ponpes Gontor Jawa Timur tanpa Ujian Nasional tetapi ijazahnya bisa diakui oleh berbagai universitas dalam dan luar negeri. 

Kenapa UN ini terhubung kuat dengan visi pembebasan karena tidak bisa dipungkiri UN ini telah menjelma menjadi malapetaka bagi pelajar, orangtua, dan nilai-nilai luhur bangsa yang tercabik oleh berbagai bentuk angkara murka penipuan, korupsi, contek massal (baca: kasus Siami dan Alif di Jawa Timur), dan lalu munculnya fenomena yang disebut Dr. Haedar Nashir sebagai masyarakat yang sakit (Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 2011). Gerakan kritis menyoroti persoalan UN semakin kencang dilakukan IPM enam tahun terakhir ini namun Muhammadiyah dan diksdasmen Nampak belum bergeming. Dan ini telah menjadi hambatan serius bagi IPM untuk mengejawantahkan visi pembebasan (teologi al-maun yang perlu diperjuangkan IPM). Model-model alternative dalam dunia pendidikan sebetulnya sudah banyak dipelajari di berbagai lini perkederan IPM. Kader potensial sudah mafhum dengan pemikiran Kyai Dahlan, Paulo Freire, Ki Hajar Dewantoro, Marx, Dewey, dan sebagainya namun mereka masih bingung memahami para punggowo Muhammadiyah yang mendapat gelar sebagai “13 dewa” itu. Alternatif yang saya yakini sampai hari ini memang masih sama, bahwa kader dan alumni IPM harus menyuarakan jati diri sebagai pelajar melalui gerakan kesadaran membaca. Untuk apa? Untuk membangun kesadaran, menjaga kewarasan, membebaskan diri, dan tidak alergi terhadap apa yang disebut pemikiran ‘jalan lain’, ‘jalan ketiga’, alternative’, maupun gagasan-gagasan‘subaltern’. 

Visi kedua adalah perwujudan generasi ilmu yang akan memperkuat visi pembebasan. Semenjak tahun 2002 secara formal gerakan iqro’ (membaca) dilaunching namun secara cultural gerakan IPM semenjak kelahirannya memang dijiwai oleh semangat ‘pencari ilmu’ yaitu kaum terpelajar atau terdidik, atau meminjam bahasa Yudi Latief disebut kelompok intelegensia atau jika dirunut dalam khasanah ilmuwan Barat yaitu Antonio Gramsci menyebutnya sebagai “intelektual organik” (Gramsci, 1971) yang kemudian dibahasakan sebagai kelompok ilmuwan-aktifis untuk membedakan dengan kelompok ilmuwan ‘tradisional’, intelektual konvensional’ atau ‘official intelectual’ (label lainnya: ilmuwan menara gading, ilmuwan-pedagang, ilmuwan-pejabat dan sebagainya). Memang kita harus punya standing position dalam pemahaman terminology-terminologi kelompok intelektual yang semakin hari mengalami dinamika yang beragam setidaknya sampai hari ini kita sering dibingungkan ol;eh berbagai kategori academic seperti intelektual progresif, intelektual organic, intelektual-ulama, intelektual-liberal, dan seterusnya. Namun sebenarnya kepentingan kita adalah bagaimana kerja-kerja intelektual kita juga bisa membumi untuk kalangan pelajar kota dan desa teritama keberpihakan kita kepada pelajar marginal (marginalized community). Bagi aktifis IPM sendiri memang sering kali dianggap belum fokus gerakannya karena kecenderungan bermuka banyak wajah dalam gerakan IPM baik sebagai ortom, sebagai NGO/LSM, atau kelompok new social movement yang menyuarakan hak-hak minoritas/kaum marginal dikalangan remaja (IRM mengurusi kenakalan remaja dan sekitarnya).

Visi keilmuwan dikejawantakan salah satunya adalah gerakan membaca yang sangat membumi dalam tataran intelektualitas dan teoritis namun kering dalam praktik seharusnya tidak divonis gegal namun bisa dikatakan ‘belum berhasil’ sehingga perlu penguatan di berbagai struktur penopang, insfrastruktur, dan sebagainya termasuk bagaimana model-model perpustakaan alternative, sekolah ‘informal’ atau yang disebut Andreas Harefa sebagai “masyarakat pembelajar” dan sejenisnya untuk terus dikenbangkan sebagai model arus ‘utama’ dalam gerakan IPM. Kita tahu, beberapa alumni sudah memulai mendedikasikan diri dalam komunitas riil yang kita harus apresiasi. Kurang lebih 4 tahun lalu, ada jargon di lingkungan IPM: “Gerakan Iqro’ melawan kebodohan dan penindasan”. Ini juga menunjukkan bagaimana visi gerakan IPM melejit melampuai visi-visi gerakan kepelajaran lainnya.

Ketiga merupakan visi yang rada ‘developmentalism’ namun mempunyai manfaat untuk survive memenangkan globalisasi. Di zaman yang dilabeli sebagai ‘zaman akhir’ (ramalan Jawa) atau oleh pemikir futuristic Alvin Tofler sebagai zaman informasi, zaman tunggang langgang ( Antony Gidden), dan zaman bergerak (Takeshi Siraishi) keunggulan komparasi atau kecanggihan mengakses tekhnologi memang slaah satu senjeta pamungkas memenangkan pertempuran kapitalisme global. Satu petikan yang menarik adalah bahwa buta huruf di era sekarang ini bukan melulu sebagai ketidakmampuan (disability)membaca huruf dan angka namun lebih pada ketidakberdayaan memanfaatkan system tekhnologi dan informasi (Tofler, 2000). Maka dari inspirasi itu, IPM diharapkan, dalam usia 50 tahun ini mempunyai kemampuan menafsir tanda zaman dan menginterpretasi kembali pakem-pakem zaman dahulu untuk ditransformasikan secara lebih cerdas dan visioner.

Apa yang disebut visi pemberadaban ala IPM kemudian tidak melulu dianggap sebagai suatu yang jauh tidak tergapai namun lebih sebagai proses, keberanian melakukan perubahan (anti status que yang rasional). Pendek kata, kita berproses untuk membebaskan, mencerahkan peradaban namun prose situ harus terukur,m jelas di depan mata kepala kita dan akan kemana muara sebuah ikhtiar yang dimanifestasikan dari muktamar ke muktamar (mulai gerakan tiga “T”—tertib ibadah, organisasi, dan belajar, gerakan anti kekerasan, kritis transformatif, Pelajar berdaulat, visi gerakan pelajar baru, sampai yang terakhir gerakan komunitas kreatif) dan nanti apa lagi di masa yang akan datang. Pertanyaannya, benarkah kita telah merangkai dinamika itu dalam setiap muktamar mempunyai hubungan ideologis, epistemologi terkait sejarah apa yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan IPM. 

Pelopor Gerakan Membaca: Peran Strategis Gerakan Pelajar

Gerakan Iqro’ adalah branding aseli IPM yang secara luas diartikan sebagai manifestasi gerakan ilmu di tubuh IPM dengan dilandasi nalar kritis transformative. Adapun penjelasan gerakan ini meliputi aktifitas membaca dan menulis dengan ragam aktifitas kreatif di dalamnya mulai bedah buku, membuat media, milis, dan seterusnya (Baca Tanfidz Muktamar Medan 2006). Bahkan Quraish Shihab sendiri dalam tafsirnya menjelaskan kata iqro meliputi kegiatan membaca, memahami, meneliti baik naskah yang tertulis atau naskah yang tidak tertulis (Shihab dalam tafsir Al-Misbah, 2002). Seorang intelektual organik dari Amerika Latin pernah menyatakan ungkapan yang singkat dan tajam bahwa, “ jika semua rakyat berdaulat atas kata-kata (membaca), maka penguasa atau pendeta akan kehilangan sifat dominasi dan hegemoninya.” Pernyataan itu tidak berlebihan, dalam masyarakat yang mempunyai tingkat literasi tinggi maka kebebasan sipil tinggi lalu demokrasi berkembang dengan baik sebagaimana di beberapa negara barat walau dengan batasan tertentu (Amerika, Inggris, Perancis, dan Jerman). 

Tahun 2010 tercatat basis utama anggota dan simpatisan IPM seluruh Indonesia adalah tersebar sebanyak 1.188 Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah, 534 Mts, 515 SMA, 278 SMK, 172 MA (profil Muhammadiyah 2010), maka kerja-kerja pejuang IPM tidaklah ringan dan tentu saja penuh dengan tantangan. Tidak bisa diperdebatkan bahwa IPM mengambil peran kesejarahan dalam dinamika lokal dan nasioanl sebelukm dan pasca reformasi di bumi Nusantara ini. Peran gerakan pelajar ini yang menurut hemat penulis perlu diperkuat adalah meyakinkan bahwa gerakan membaca/iqro mampu mengantarkan anak bangsa ke gerbang masyarakat yang beradab dan adil. Dengan gerakan membaca orang pintar tidak hanya didominasi oleh jebolan sekolah tinggi dan luar negeri, anak borjuasi dan penguasa aristokrasi, namun dengan visi pembebasan melalui gerakan membaca diharapkan setiap anak bangsa bisa belajar, anak tidak terperosok sebagai kelompok remaja putus sekolah, dan anak jalanan tidak melulu mendapat stigma buruk karena seluruh bumi dan situasi ruang kita desain sebagai rumah belajar alternative, ruang membaca tanpa batas, dan ruang imaginasi untuk melakukan transformasi social (social engineering) yang sejatinya kita sudah memikirkannya hanya kapan kita harus memulainya. Ingat satu ungkapan inggris: if not us, who? If not now, when?

Penting direnungkan sbagaimana penggalan kalimat di atas yang ditulis oleh Pramudya betapa membaca dan menulis sebagai bagian penting dari bangsa beradab. Gerakan Iqro’ IPM sangatlah strategis yang sudah diusung sekian tahun dan dicoba diinstal dalam kehidupan sehari-hari kadernya hanya perlu revitalisasi mengikuti laju kencangnya arus perubahan sehingga harus ada upaya mengupdate strategi untuk mencapai target dimaksud. Taufiq Ismail (2002) lebih dramatis menyampaikan keprihatinannya pada minat baca anak bangsa sampai beliau mengungkapkan bahwa Indonesia sedang dilanda “Tragedy Nol Baca” yang entah sampai kapan akan berakhir. Gerakan membaca dan menulis adalah kembar siam yang tidak terpisahkan sehingga terus saja dipacu tanpa henti. Kontribusi IPM untuk memerangi bencana ini haruslah kongkrit diusia ke-50 tahun sebagai bagian integral dari visi pembebasan.

Secara pribadi, saya yakin tanpa kesadaran untuk mentradisikan membaca sangat mustahil lahir pada zaman itu sosok Syahrir, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Kyai Dahlan, Mahatmagandhi, Soe Hok Gie, dan seterusnya. Pribadi berkarakter kuat banyak dilahirkan oleh tradisi baca-tulis yang kuat pula. Hubungan ini hampir tidak diragukan, maka betapa stareteginya gerakan membaca ini menjadi peran strategis kebangsaan yang telah, sedang, dan akan terus diperjuangkan oleh kader persyarakitan baik structural maupun cultural, baik dilakaukan secara sembunyi atau terang-terangan, baik pribadi atau jamaah. Satu hal yang jelas, bahwa kesadaran membaca dan kewajiban baca-tulis bukanlah sesuatu hal yang bisa dihukumi ‘fardhu kifayah’ namun sebagai kewajiban utama dengan tumpuhan idelogis surat al-Alaq (ayat 1-5) dan surat al-Qalam.
Catatan Penutup

Gerakan apa pun namanya adalah sebuah proses dinamis diliputi oleh pro-kontra, pasang naik dan pasang surut dalam setiap langka perjuangannya. Bagi kita kaum terdidik, tentu menyuarakan dan menjaga idealism adalah pekerjaan yang tidak ringan ditambah beban sejarah untuk mengabdi sebagai barisan intelektual organic tentu tidaklah ringan. Konon, di negeri ini menjaga tetap waras saja susah apalagi berbuat baik dan menularkan kebaikan akal budi kita. Namun, stigma gagal, involusi, dan ‘degenerasi’ yang terus kita tancapkan kepada komunitas dan diri sendiri menjadi kabar buruk bagi bumi. Maka ikhtiar mencerahkan anak bangsa yang termarginalkan oleh pembangunan adalah kerja-kerja tidak ‘basah’ bahkan mengundang ‘sengsara’ sehingga teramat mulia untuk tidak diperjuangkan. Selamat milad IPM, selamat bergerak untuk aktifis dan alumni di mana saja berada karena hidup ini akan berhenti jika kita tidak bergerak. Dan gerakan cerdas, kritis, alternative, itu adalah lahir dari pribadi-pribadi merdeka yang lahir di setiap zamannya. 

Jika kita perhatikan sepintas, peta social dan politik serta budaya mengalami laju tunggang langgang terutama pasca reformasi dan perdagangan bebas sementara gerakan pelajar mengalami involusi artinya tidak menyesuaikan diri dengan zaman dengan inovasi dan progress maka kondisi ini sebenarnya kabar sangat buruk bagi kelangsungan IPM, Muhammadiyah dalam mengemban dakwah amar ma’ruf (humanism) dan nahi munkar (liberasi) untuk mewujudkan wajah masyarakat yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Pertanyaannya, tawaran progress dan inovasi apa yang diberikan IPM untuk ‘merayakan’ milad setengah abad? Ada secercah psimisme melanda jangan-jangan seremonial ini hanya sebuah festival yang akan segera dilupakan dan menjadi romantisme. Namun, ide member kado dalam bentuk tulisan adalah manifestasi kongkrit dari bentuk gerakan anti-kejumudan berfikir dan involusi laku.

Ke depan kaum pelajar yang tergabung dalam IPM perlu sedikit merevisi jargon idealis bahwa pelajar sebagai agen perubahan (agent of change) menjadi sedikit progresif yaitu agen perlawanan (agent of resistance) untuk men-counter budaya dominan baik dalam era kapitalisme global yang terus saja menggencet kita dari segala penjuruh mata angin kanan dan kiri, atas dan bawah yang berdampak pada meluasnya bentuk-bentuk ketidakadilan, dikatator, soft authoriatian, dan bentuk-bentuk kolonialisme dan imperaslisme gaya baru yang tercermin dalam berbagai praktik politik lokal dan nasional hari ini. Kita tahu kondisi “the silent majority” di masyarakat kita dalam berbagai peristiwa termasuk ujian nasional, pemberantasan korupsi dana pendidikan, dan sebagainya adalah isyarat buruk peradaban modern dewasa ini dan menjadikan subyek garapan IPM menjadi lebih kompleks.

Maka, jika bukan kaum pelajar yang menyuarakan perlawanan atas ketidakadilan dan system undemocratic yang anti kemanusiaan maka kita sejatinya memberikan konstribusinya atas jejaring projek maha besar yang bernama: DEHUMANISASI dan DELIBERALISASI. Kita bisa memulainya dengan membangun kesadaran baru bahwa gerakan membaca adalah konstribusi besar kita menyelematkan bangsa setidaknya adalah mengurangi dampak “silent society” yang menjadikan keadilan dan kebenaran terkubur semakin dalam. Akhirnya, selamat milad IPM semoga terus mendobrak kebobrokan berfikir dan tragesi nol baca untuk pembebasan manusia Indonesia.[]

Friday, October 5, 2012

Membaca: Strategi Tepat Guna Melawan Konservatisme

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Dalam pemahaman sederhana saya, melek huruf tidak berarti melek baca. Artinya kemampuan  membaca dan  menulis tidak serta merta diikuti dengan semangat membaca dan menelaah berbagai materi bacaan (buku, majalah, Koran, dan sebagainya). Jadi, jangan bersenang-senang dulu jika kita berhasil menurunkan angka buta huruf di Indonesia kemudian kita merasa puas. Pembangunan manusia tidak selesai dengan memberantas buta huruf.

Fakta membuktikan bahwa tradisi emembaca cukup mewarnai tokoh-tokoh revolusi baik di Indonesia maupun di luar negeri.

 Sukarno, Bung Hatta, dan Tan Malaka adalah sedikit dari manusia Indonesia yang menginplementasikan hasil pembacaan (text-kontext) dalam melawan balik kolonialisme. Konsep-konsep barat didekuntruksi dan dikawinkan dengan aspek dan nilai-nilai lokalitas untuk memperkuat bangunan pengetahuan dan militansi manusia Indonesia. Lalu, Sukarno memunculkan gagasan Trisakti yaitu pentingnya kepribadian, kemandirian, dan kedaulatan negara.

Membaca dan anti-konservatisme.
Banyak fakta memberikan ilustrasi bahwa kekurangan membaca menjadikan daya kritisi tumpul, pemikiran buntu (jumud) dan menjadikan seseorang tertutup atas kebenaran lain (closed minded) sehingga seringkali menolak dialog menegasikan kemungkinan alternative. Ujung  dari persoalan ini kemudian memantik kekerasan dalam berbagai situasi SARA. Dr. Zaenal Abidin Bagir mengatakan bahwa satu-satunya cara menjadikan kita kritis terhadap situasi adalah dengan membaca. Bekerja keras membaca adalah salah satu strategi ampuh menggempur kejumudan berfikir.

Hal ini sudah diajarkan oleh Aristotele dengan terus bertanya atas situasi yang ada. Bagi dia tidak ada kebenaran final yang diciptakan manusia sebab kebenaran itu sendiri dinamis. Kebenaran itu tidak lain dan tidak bukan adalah kekeliruan yang belum teruji. Jika kita memegang teguh kebenaran semu maka tentu akan mengalami kemandegan intelektual.

 Taruhlah contoh, Peter Berger membuat thesis tentang masyarakat sekuler dimana pengaruh agama-agama di masa depan akan semakin melemah diruang publik. Situasi justru mengatakan sebaliknya dan dia pun tidak keberana untuk mengatakan bahwa teorinya sudah using (out of date). Dari sini kita memahami bahwa di kalangan intelektual Barat mempunyai tradisi self-critique yang cukup kuat sehingga ilmu pengetahuan menjadi dinamis.

Namun demikian, bisa jadi banyak orang membaca  tetapi cukup eklusif yaitu emmbaca materi-materi yang hanya sepaham dan seideologi sehingga menjadi seperti ‘katak dalam tempurung’ sehingga hasanah pengetahuan lain tercampakkan karena ego keyakinan sesaat. Keyakinan ideologis memang terus diperdebatkan terkait penerimaan kelompok agama tertentu terhadap pengetahuan yang berasal dari dunia lain (contoh: budaya asing, westernisasi). Hal ini memang masih menjangkiti sebagian komunitas sehingga upaya untuk mendamaikan ilmu barat dan timur menjadi keniscayaan. Tuhan saja, menurut penganut islam tidak berada di Barat atau Timur, utara atau selatan tetapi meliputi dan eksis di segala penjuru sehingga ilmu pun demikian, tidak bisa didikotomikan sebagai ilmu agama dan ilmu umum/sekuler atau ilmu islam dan non-islam. Ini adalah pendangkalan ilmu secara berlebihan. 

Pertanyaan kemudian adalah bagaimana tradisi membaca dapat mendobrak kejumudan pikiran masyarakat?
 Pertama, buku harus ditempatkan sebagai sumber pengetahuan yang kebenarannya dapat didialogkan dan dinamis. Kedua, buku adalah produk yang tidak pernah 100 persen terlepas dari subjektifitas sehingga harus mencari alternatif bacaan guna melengkapi pengetahuan. Ketiga, tradisi membaca dan menulis harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat ilmu yang

Catatan Penutup
Bahwa sebuah masyarakat akan bergerak maju apabila ilmu pengetahuan menjadi bagian hidup dan terrefleksikan dalam kegiatan sehari-hari. Masyarakat ilmu yang dicita-citakan adalah masyarakat ilmu yang terintegariskan dalam ruang privat sebagai kebenaran dialogis dan tidak menjadikan masyarakat jumud dan terkungkung oleh keyakinan akan kebenarans semu (false consciousness). 
Masyarakat ilmu yang dilandasi oleh nilai-nilai keadilan dan keyakina n pentingnya memanusikan manusia. Hal ini berarti, ilmu dan agama tidak konfrontasi dan justru damai dalam satu kebaikan umum

Tuesday, October 2, 2012

Fiqh Gerakan Iqro’ (1)

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas (RBK)


Dalam hal ini fiqh diartikan sebagai landasan hukum yang memberikan justifikasi tentang pentingnya implementasi wahyu pertama dalam al-qur-an yaitu perintah membaca yang terkandung dalam al-qur-an surat al-alaq (1-5). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kekuatan spiritual dalam upaya memberantas kebodohan, penindasan, dan ketidakadilan yang disebabkan oleh lemahnya tradisi membaca dalam kehidupan sehari-hari. Kelemahan ini telah dimanfaatkan oleh penjajah, kapitalis untuk meraup banyak keuntungan. Masyarakat yang tidak well informed memang cenderung menjadi korban pasar bebas, pembangunan dan modernitas. Situasi anak bangsa yang demikian dengan apik digambarkan oleh Sukarno yaitu bangsa kuli dan kuli atas bangsa-bangsa dengan mentalitas inlander atau oleh Emha Ainun Nadjib dengan sangat dramatis ‘menjadi gelandangan di negeri sendiri’. Kita bisa tengok apa yang terjadi pada TKI/W beberapa tahun terakhir ini.

Setidaknya ada 3 landasan hukum yang sangat kuat terkait pentingnya gerakan membaca sebagai gerakan nasional untuk menyelamatkan masa depan rakyat sebagai sebuah bangsa besar. Pertama adalah surat al-alaq terkait kewajiban membaca bagi manusia dan sumber pengetahuan. Kedua adalah surat al qalam tentang ilmu pengetahuan dan bacaan, dan ketiga adalah surat tentang derajat orang yang berilmu(tradisi membaca-belajar). Berikut kita akan kupas beberapa tafsir terkait tiga bagian ayat tersebut.

Tafsir Al-Alaq (1-5)

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta” (ayat 1) Dalam suku pertama saja, yaitu "bacalah", telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi s.a.w. disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta. Yaitu "Menciptakan manusia dari segumpal darah." (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).

Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayatayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama al-Quran. Dan al-Quran itu pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: "Bacalah, atas qudratKu dan iradatKu."

Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu" Ammanya menerangkan; `Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah aI-Insan al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.

"Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia." (ayat 3). Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada makhlukNya; "Dia yang mengajarkan dengan qalam." (ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaanNya yang tertinggi. Yaitu diajarkanNya kepada manusia berbagai ilmu, dibukaNya berbagai rahasia, diserahkanNya berbagai kunci untuk pembukaperbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia "Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu." (ayat 5).

Lebih dahulu Allah Ta'ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allahkepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam tangannya;

"llmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh."

Maka di dalan susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dan segumpal mani. Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori, vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia yang sekitamya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis.

Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya: "Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagiannya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang. Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk dengan ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan, atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka merabaraba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya."

Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah mengandung qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapat difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan di tiga ayat sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian. Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan nubuwwat itu sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan.

Tafsir Surat Al-Qalam (ayat 1)

Surat ini mempunyai ketarkaitan yang sangat erat dengan surat al-alaq sebagaimana penjelasan di atas. Huruf nuun diartikan sebagai tinta sebagimana tafsir Ibnu Abbas, Qatadah, dan Hasan. Menurut Quraish Shihab ayat ini diartikan sebagai sumpah dari Allah dan peringatan bagi hamba-hamba-Nya tentang nikmat yang telah diberikan kepada manusia berupa pengajaran menulis, yang menjadi wasilah untuk mendapatkan berbagai macam ilmu. “apa yang mereka tulis” adalah berbagai jenis ilmu yang sudah diajarkan oleh Allah kepada manusia dan pena itu sendiri adalah mahkluk Allah yang pertama kali diciptakan sebagaimana hadis rasullullah: “yang pertama kali diciptakan Allah adalah kalam…”

Tafsir surat Al-Mujadalah ayat 11

Ayat ini memberikan penghargaan (reward) yang sangat luar biasa bagi pecinta buku (pengajar ilmu) sebagimana dilakukan oleh penggerak dan pegiat gerakan membaca. Jadi, ibadah yang dianggap kurang popular ini ternyata mendapatkan tempat tersendiri sebagiamana arti dari ayat ini: “Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berllmu pengetahuan beberapa derajat…”

Ayat tersebut diatas pasti tertuju kepada manusia-manusia mulia yang mau mengkampanyekan pentingnya ilmu dan kewajiban membaca sehingga kita tidak perlu GR lagi karena memang faktanya kita mempunyai tempat mulia di sisi Allah Swt. Hal ini sangat masuk akal manakalah peran ummat islam satu abad terakhir terpinggirkan oleh hegemoni dan dominasi peradaban ‘Barat” yang sekuler dan phobia terhadap Islam walau fakta tidak dapat dihindari jika pengetahuan mereka justru berasal dari peradaban Islam pada masa golden age-nya (sekitar abad ke-8). Peradaban Ilmu Barat tidak dapat dibuktikan mempunyai akar geneologis yang valid dari mana sumber ilmu pengetahuan, paradigma, dan orientasinya.

Statement Penutup

Bahwa untuk kembali merebut kejayaan Islam dibutuhkan kerja keras berkali-kali lipat serta mampu mengimplementasikan kerja cerdas dan kreatif dalam menelaah dan memperbarui khazanah pengetahuan yang telah lama ditinggalkan. Salah satu contoh adalah menurunnya minat membaca (belajar) secara sungguh-sungguh di antara ummat Islam, bangsa Indonesia sehingga menikmati saja menjadi konsumen dan pelayan bagi kapitalis dunia dan ideologi sekuler. Kenaifan lainnya adalah gampangnya terprovokasi oleh kedunguan negara-negara barat yang sekian lama telah mengeksploitasi energi ummat Islam.

Dalam kontexs yang lebih spesifik, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani apabila masyarakatnya melek huruf (tidak sekedar melek huruf) yaitu kemampuan menggali nilai-nilai kebudayaan sendiri dan kritis atas peradaban unggul yang mungkin berasal dari belahan dunia lain baik melalui proses pembelajaran texstual maupun pembacaan terhadap realitas. Tidak mungkin kita bisa bergerak maju dengan meninggalkan tradisi ilmu (membaca). Jadi mari kita mulai berbenah dengan secara diam-diam atau secara terang-terangan, secara sendiri-sendiri atau berjamaah mengakui bahwa gerakan membaca adalah mutlak perintah suci dari Allah Swt.

Monday, October 1, 2012

Inilah foto-foto pelaksanaan Launching RBK

(RBK News Pictures, 02/10/2010) Bantul, launching Rumah Baca Komunitas pada 25 September 2012

Launching simbolis buku-buku RBK


Penyematan PIN RBK

Serdadu kecil RBK


Pegiat RBK

Sumber Foto : Ca Cha Cha

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK