Monday, December 31, 2012

Akhir Tahun 2012 Menegaskan Gagalnya Peran Negara

Oleh : David Effendi
Pegiat Rumah Baca Komunitas


Perjalanan negara ini, setiap penghujung tahun selalu diuji dengan bencana alam. Baik karena natural disaster (murni kejadian alam) maupun human made (kesalahan manusia/tekhnologi). Termasuk akibat sengketa dan konflik antarwarga sebab sentimen SARA.

Kita ingat, pada akhir tahun 2004 ditutup dengan ratap tangis korban Tsunami di Aceh, akhir tahun 2009 ditutup dengan suasana pedih korban gempa Padang,  akhir tahun 2010 letusan gunung merapi meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya. Sedangkan tahun 2012 yang konon kabarnya adalah tahun 'kiamat' ditutup dengan serentetan duka konflik antarwarga. Termasuk sengketa iman, rebutan lahan, sentimen SARA semua itu semakin menegaskan, gagalnya peran negara.

Kejadian di Lampung, dilihat dari kacamata kami, warga yang tinggal di luar daerah yang dikenal sebagai say bumi ruah jurai itu mengisyaratkan integrasi bangsa ini rapuh dan proses pembangunan bangsa ini juga memang benar- benar belum usai. Menurut istilah Max Lane, unfinished nation state building. Artinya, bangsa ini terus dihantui oleh ancaman disintegrasi sosial, politik, ekonomi dan budaya--kapan dan dan tanpa dapat diprediksi dengan tepat ibarat letusan gunung merapi.

Apa yang mesti dikoreksi dari lintasan kejadian selama tahun 2012 ini. Mengutuk pemerintahan yang absen, terlalu sibuk pencintraan, dan penyelamatan diri dari jaring anti-korupsi dan sebagainya tentu saja belum cukup.

Kerentanan sosial dan politik ini, salah satunya, dapat dibaca dari konsep 'governability' dimana negara yang menurut Marx Weber adalah lembaga yang secaa syah menggunakan kekerasan itu tidak dapat difungsionalisasikan dengan tepat sehingga justru paradok yang muncul. Paradok artinya kehadiran dan ketidakhadiran 'negara' itu keduanya membawa 'petaka' bagi eksistensi kedamaian dan kerentanan sosial. Jika 'negara' yang sering diharapkan peran 'pembawa kebiakan umum' saja gagal menjalankan fungsi dasarnya tentu saja psimisme bangsa akan melanda sampai ke level paripurna. Wajar saja, komunitas Anti-Tank di Yogyakarta mempublikasikan seruan untuk 'jangan pernah perecaya kepada pemerintah' dan juga menyebutkan bahwa itu penuh “kebohongan|” dan “bajingan” (dengan gambar gedung MPR melatarinya).

Trust masyarakat telah dibunuh oleh pemerintah itu sendiri sehingga klimaknya, setelah ada gambar Budiono: antara ada dan tiada, lalu muncul di dunia maya mengabarkan kehilangan sosok presiden: Dimana atau kemana presiden pada saat silang sengkurat antara Polri dengan KPK. Sinyalemen pelemahan negara oleh pembajak demokrasi dan elit pembunuh keadilan itu kemudian bermuara pada ekpresi masyarakat tentang 'kegagalan negara dan kebohongan negara' yang juga menimbulkan kegaduhan politik yang sangat serius----lantaran, negara menjawab kritik dengan membalas kritik sehingga ada upaya menjawab dengan kerja keras dan kejujuran untuk menyampaikan fakta. Inilah sebab kegaduhan dalam pemerintahan 'yang mengedepankan pencitraan ketimbang menjawab kebutuhan riil publik.

"Kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Demikian dictum dari pasal 5 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian di Negara kita. Jelas idealnya, lembaga Negara ini diharapkan menjadi bagian dari solusi baik prefenstif maupun penindakan tetapi dalam praktiknya, lembaga Negara baik kepolisian maupun TNI justru menjadi part of problem. Kasus sengketa wewenang POLRI dengan KPK, TNI dengan insane media (di Ambon baru-baru ini setelah kejadian di Riau) dan sejarah republik ini nampaknya oknum ‘pengguna kekerasan secara sah’ ini kerap kali kontraproduktif dengan pembangunan politik dan demokrasi.

Kondisi ini tidak 100% murni kesalahan TNI ataupun polisi karena sebenarnya dalam batas tertentu mereka sudah sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan iklim demokrasi dan batasan isu Hak Asasi Manusia namun ada beberapa kondisi yang menjadikan posisi ‘agen’ jasa keamanan resmi ini dalam situasi delematis. Satu sisi, laiknya Negara transisional oknum ‘keamanan’ diharapkan mampu menjadi katalisator dari berbagai upaya kelompok baik yang pro dengan strategi kekerasan (GAM di Aceh, OPM di Papua, kelompok pro integrasi dan merdeka di Timor-Timur) dan sebagainya. Namun, di sisi lain ada batasan dan penghargaan terhadap kebebasan sipil dalam nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat serta berserikat.

Dalam situasi chaos seperti tahun 1998, 2003, konflik ‘SARA’ dan juga di penghujung tahun 2012 ini ‘negara’ benar-benar dalam keadaan sulit untuk memastikan masyarakat hidup dalam damai. Kita lihat, serentetan konflik antar desa, antar suku, antar aliran kepercayaan/agama terus terjadi dan Negara dihadapkan kepada dua pertanyaan besar dari kedua belah pihak baik yang menghendaki peran kuat Negara atau yang menghendaki tegaknya Hak Asasi Masyarakat Sipil. Satu kelompok mempertanyakan kemana Negara di saat situasi perang/konflik? Dan satu sisi melontarkan kenapa Negara bersifat represif dan tidak memanusiakan manusia?

Mencari Solusi

Setidaknya ada dua penjelasan solusi. Pertama, jika persoalan tawuran, geng motor, konflik antar keyakinan agama, dan pilkada adalah dianggap sebagai ekpresi protes dari ketidakadilan yang terjadi secara luas dan akibat Negara gagal menegakkan janji kesejahteraan maka pemerintah harus menjawab dengan kerja nyata perbaikan ekonomi, kesempatan kerja, pendidikan, secara nyata dan integral dengan tempo yang sesingkat-singkatnya dan dengan komunikasi yang proporsional selama program itu berlangsung tanpa tendensi politik musiman (baca: kepentingan pemilu 2014).

Dan kedua, apabila persoalan kekerasan dan banalitas masyarakat yang menggejala akhir-akhir ini akibat dari kegaduhan politik, korupsi, dan hilangnya kepemimpinan yang berkarakter pro- rakyat (strong leadership) atau dalam bahasa agama keteladanan pemimpin (authentic leadership) maka harus ada upaya yang sangat radikal untuk menghukum ‘pejabat’ bermental busuk dengan cara-cara yang diluar kebiasaan mekanisme birokrasi. Gebrakan melawan mentalitas permisif itulah yang sekarang dibutuhkan tanpa kehilangan dukungan moral publik.

Jika makna toleransi justru dipelihara untuk melegalkan kejahatan terhadap bangsa, maka wajar saja dan akan terus mengalami siklus kekuasaan elit yang bersifat predator dan kanibal yang pada endingnya nanti baik secara langsung maupun tidak langsung, secara radikal maupun konvensional akan turut andil meruntuhkan Indonesia. Jika demikian kondisinya, tahun 2013 akan diliputi kabut hitam untuk mimpi Indonesia yang lebih maju dan sejahtera

Sumber : koraneditor.com, (2 Jan 2013)

Taman Baca di Terminal


Oleh : Agus M Irkham
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

salah satu kegiatan Sakila Kerti, Panturanews.com
Oktober lalu saya berkunjung ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sakila Kerti Tegal. Taman baca itu berada di terminal bus, menempati ruang berukuran 5 x 3 m, yang sebelumnya ruang merokok (smoking area). Fasilitas itu terbilang unik, tidak saja menyangkut lokasi tapi juga dari sisi pengunjung yang dilayani dan pengategorian buku.

Pengelola melabeli rak buku dengan tulisan ’’bacaan surga’’, ’’bacaan neraka’’, dan sebagai-nya. Label surga menadai buku-buku yang ada di rak itu berkategori buku tentang agama. Adapun label neraka adalah kumpulan buku yang mengulas kriminalitas dan sebagainya.

Banyak orang yang beraktivitas di terminal memanfaatkan fasilitas itu, dari pegawai pengelola terminal, pedagang asongan, cleaning service, penjaga WC umum, hingga pemilik toko/warung, termasuk calon pe-numpang. Taman baca itu juga menjadi tempat istirahat penumpang transit, terutama yang membawa anak kecil.

Satu hal lagi hal menarik yang harus saya ungkapkan ikhwal TBM Sakila Kerti adalah keberadaan media komunikasi terminal yang diberi nama Stanplat Post. Media itu menjadi sarana belajar menulis pengunjung tetap (orang-orang terminal) taman baca tersebut. Media seukuran tabloid ini berisi artikel, kolom, puisi dan reportase berita seputar terminal.

Pada edisi 1 Oktober 2012, Stanplat Post membuat kolom berjudul ’’Wajah Terminal Dulu dan Sekarang’’, tulisan Syaefudin, petugas kebersihan terminal.

Adapun rubrik budaya memnuat dua puisi. Satu dalam Bahasa Indonesia berjudul ’’Semangat’’, dan satunya dalam Bahasa Jawa dialek Tegal berjudul ’’Sewidak Pitu Taun’’. Dua puisi tersebut ditulis Saryadi R Lesmana, pengasong wingko babad.

Keberadaan TBM Sakila Kerti merupakan wujud nyata mende-kat-kan bahan bacaan kepada masyarakat di kota itu, terutama komunitas terminal, mengingat minat baca masyarakat cukup tinggi. Hanya karena kesulitan mengakses bacaan, menyebabkan aktivitas membaca buku hanya angan-angan.
Salah satu cara mengatasi masalah kesulitan akses tersebut adalah dengan mendirikan taman bacaan. Bahan bacaan yang kita dekatkan kepada masyarakat, ibarat buku adalah makanan, sedangkan calon pembaca adalah bayi maka makan-an harus secara pelan-pelan dan bertahap disuapkan.

Jateng Membaca
Terbukti begitu TBM Sakila Kerti dibuka, banyak anggota masyarakat, terutama komunitas terminal ber-datangan untuk membaca. Bebe-rapa wanita pedagang merasakan manfaat taman bacaaan itu. Seperti diungkapkan Wasilah (57) yang sudah 27 tahun menjadi pedagang asongan, sebelum terminal itu pindah ke tempat tersebut.

Dunia yang penuh keramahan, keteraturan, ketenangan, dan ketenteraman. Berbeda dari dunia nyata Wasilah, yang keras, harus berteriak, dan naik turun bus, berhadapan dengan penumpang yang kadang ketus. Kurang lebih hal yang sama diungkapkan Miah (68) yang sejak usia 13 tahun berjualan di terminal, mengasong nasi bungkus.

Kehadiran taman bacaan secara umum dimaksudkan merawat masyarakat yang semula buta huruf lantas sudah melek huruf tidak kembali menjadi buta huruf lantaran tidak pernah mempraktikkan.
Bertalian dengan buta huruf atau aksara ini, Jateng menempati peringkat II dalam jumlah penduduk penyandang angka buta aksara, setelah Jatim.

Karena itu, kehadiran taman bacaan masyarakat, termasuk Sakila kerti sangat relevan dengan upaya menjaga kelompok masyarakat yang sudah melek huruf agar tidak kembali menjadi buta huruf. Dalam konteks regional, inisiatif pendirian taman bacaan itu merupakan bagian dari upaya menyukseskan Gerakan Jateng Membaca yang dicanangkan Gubernur Bibit Waluyo awal September 2012.

Taman bacaan di ruang publik juga memberi inspirasi pada ruang publik lain, seperti ruang tunggu di stasiun, pelabuh-an, bandara, rumah sakit, dan mal. Terutama terminal lain di provinsi ini. Pasalnya saat ini untuk urusan membaca buku, masyarakat masih harus didekati dan ’’disuapi’’.

Sumber : SUARA MERDEKA, 31 Desember 2012

Friday, December 28, 2012

Tolong, Jangan Jual Buku Itu Mbak..

Oleh : Jamil Azzaini


"Saya punya pengalaman menarik dengan uang dua puluh ribu rupiah. Selasa lalu (5 Juni 2012), saya pulang dari Bali. Saat perjalanan pulang dari bandara, driver saya mengisi bahan bakar di pom bensin dan kesempatan itu saya gunakan belanja di Indomaret. Saya membeli panganan kecil dan minuman untuk disantap di perjalanan.

Saat saya hendak melakukan pembayaran, seorang anak remaja bertanya pada kasir, “Mbak, buku ini berapa harganya?” Dengan cepat petugas itu menjawab, “Dua puluh ribu rupiah.” Anak remaja itu berkata lagi, “Boleh gak buku ini disimpan jangan dijual, saya akan kumpulkan uang, nanti kalau sudah punya uang saya beli bukunya.” Petugas itu menggelengkan kepalanya.

Tanpa berpikir panjang saya langsung berkata, “Dik, ambil saja bukunya, saya yang bayarin.” Anak itu terdiam menatap saya tanpa berkata apapun. Maka saya tegaskan lagi, “Bawa pulang bukunya, itu hadiah dari saya.” Anak remaja itu kemudian menghampiri saya, menjabat tangan saya, mencium tangan saya berulang-ulang. Tangan saya basah oleh tetesan air matanya.

Diapun berkata lirih, “Terima kasih, om. Saya senang membaca buku yang bagus. Saya sering beli buku di tempat ini.” Sembari menahan air mata haru yang hendak keluar dari mata, saya tersenyum menatap remaja itu. Saya segera menuju mobil dan membiarkan air mata keluar membasahi pipi. Saya hanya bisa bergumam, “Oh, betapa banyak anak yang ingin maju dan berkembang tapi terkendala karena tak punya uang.”

Dua puluh ribu ternyata mampu membahagiakan seorang anak remaja yang senang membaca. Dua puluh ribu ternyata juga bisa membuat mata saya berkaca-kaca. Air mata yang meleleh dari mata saya adalah perpaduan antara rasa haru, sedih dan bahagia bercampur menjadi satu. Mari belanjakan dua puluh ribu rupiah untuk hal-hal yang bermakna…

Monday, December 24, 2012

Mahasiswa UPN Buat Film Tentang RBK

(24/12/2012, Bantul, DIY). tanggal 18 desember sejumlah mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, terlibat dalam proses pembuatan film RBK. proses pengambilan gambar ini dilakukan di sela-sela kegiatan RBK dan masih memakan beberapa hari lagi untuk pengambilan gambar.


RBK Latih Mahasiswa UMY Public Speaking

(24/12/2012, Bantul, DIY). bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), 18 Desember 2012, Rumah Baca Komunitas (RBK) bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani (LaPSI) mengadakan pelatihan terhadap 95 mahasiswa UMY.


Saturday, December 15, 2012

Mensekaratkan (Kreativitas) Penerbit

Oleh : Bambang Trimansyah
Editor Buku, Konsultan Naskah dan Penerbitan

misterluthfi.wordpress.com
Alih-alih hendak menyiapkan buku teks yang berkualitas, bukan tidak mungkin, dengan waktu penyiapan yang singkat (kurang dari enam bulan), buku-buku tersebut dapat saja mengandung aspek kelemahan editorial karena ditangani bukan oleh ahlinya atau tenaga profesional. 

Apa yang dikhawatirkan kalangan penerbit buku teks menyangkut pemberlakuan kurikulum baru tahun 2013 akhirnya terungkap juga. Seiring dengan pelaksanaan uji publik kurikulum, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun mengeluarkan komentar bahwa buku teks atau buku pelajaran akan diadakan langsung dari Pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan), yaitu penulisan dan pengemasan editorialnya. Penerbit hanya diberi peran untuk menggandakan apa yang diistilahkan "buku babon" (buku pegangan) ini.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berkilah, hal ini demi penyediaan buku yang berkualitas, terpusat, dan tentunya menjadi jawaban atas fenomena yang berkembang dalam setahun terakhir, yaitu adanya beberapa buku (LKS) yang bermasalah: mengandung pornografi dan ketidakpatutan, juga disusupi paham berbahaya. Artinya, penerbit buku teks yang selama ini berada di industri kreatif penerbitan harus bersiap menghentikan kreativitasnya dan cukup berharap sekadar jadi pencetak, padahal tidak semua penerbit memiliki usaha percetakan. 

Pola yang serupa tetapi tak sama adalah ketika Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kemdikbud) menyediakan apa yang disebut buku teks pokok atau disebut buku paket hanya untuk SD dan SMA pada 1990-an. Buku paket ini ditulis oleh tim yang dibentuk Depdiknas (Pusbuk), terdiri atas pakar perguruan tinggi serta guru sekolah. Buku ini pun diedarkan untuk digandakan dan didistribusikan di tingkat kanwil, kandep, hingga sekolah (Supriadi, Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000). Bedanya, jika dulu ada buku teks pokok atau buku paket yang dibagikan gratis, ada pula buku teks pelengkap yang membebaskan sekolah untuk memilih. Di sinilah para penerbit swasta masih bisa berperan mengkreasikan buku-bukunya dan bersaing dalam bisnis dengan istilah buku teks pelengkap.
Sewaktu proyek buku sekolah elektronik (BSE) diluncurkan pertama kali pada masa Mendiknas Bambang Soedibyo, lonceng kematian bagi penerbit buku teks sebenarnya sudah dibunyikan. Penerbit hanya boleh berpartisipasi menilaikan bukunya ke Pusbuk (sekarang Puskurbuk), lalu buku yang lolos akan dibeli hak ciptanya secara berjangka selama 15 tahun. Belakangan, bukan hanya penerbit, tapi juga penulis boleh mengajukan bukunya sendiri yang jelas memberi peluang lahirnya penerbit swakelola (self publisher) buku teks. Buku pun bebas diunduh oleh publik dari laman Pusbuk, dan siapa pun bebas mencetak serta menjualnya. Dapat dibayangkan kekacauan peran di sini ketika pencetak juga menjadi penerbit dan penjual BSE, toko buku juga demikian, dan siapa pun bisa menjadi penerbit dan penjual BSE dengan ketentuan memberlakukan harga pagu. Industri penerbitan buku teks hampir dibuat mati suri.

Namun, dalam konteks ini, para penerbit buku teks masih melihat celah kehidupan, karena banyak juga sekolah yang enggan menggunakan BSE dengan alasan faktor pengemasan editorial yang tidak memenuhi ekspektasi mereka. Sekolah-sekolah itu lebih memilih buku teks pelengkap (supplementary text book) yang diterbitkan penerbit swasta, apalagi penerbit dengan pengalaman belasan hingga puluhan tahun di bisnis ini. Dalam masa ini pula pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang larangan penjualan buku langsung ke sekolah-sekolah dengan sanksi yang berat. Penjualan buku dialihkan ke toko-toko buku ataupun koperasi sekolah.

Industri yang Memusingkan

Industri buku teks boleh dikatakan industri yang sarat masalah dari dulu. Masalah dipicu ketika penerbit buku teks melakukan penjualan langsung ke sekolah dengan memotong jalur distribusi di tingkat toko buku. Penerbit bertransaksi dengan pengambil kebijakan di sekolah (guru, kepala sekolah, yayasan). Akhirnya, modus pemberian diskon atau iming-iming lain pun memunculkan persaingan dalam bisnis ini yang terkadang menjurus tidak sehat. Buku yang berkualitas hanya menjadi pertimbangan kesekian dibanding diskon yang besar.

Demi menguatkan eksistensi dan perannya dengan potensi puluhan juta siswa di Indonesia, para penerbit pun membangun jalur distribusi sendiri dengan mendirikan cabang-cabang di ibu kota provinsi hingga ke daerah tingkat II. Seiring berlalunya masa, kreativitas penerbit buku teks pun makin menjadi-jadi, baik dalam hal pengemasan maupun penjualan. Pergantian kurikulum ibarat blessing in disguise yang memicu penerbitan front list buku-buku baru. Alhasil, gelombang keluhan dari masyarakat pun mengalir, terutama pada masa reformasi yang menolak jargon "ganti tahun ganti buku" yang dulunya masih berbunyi "ganti kurikulum ganti buku".

Buku teks pelengkap yang dimaksudkan sebagai pendamping buku paket, seperti diungkapkan Dedi Supriadi dalam Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, malah berfungsi "menyingkirkan" buku paket. Buku paket bantuan pemerintah secara cuma-cuma itu akhirnya hanya menjadi koleksi setia perpustakaan sekolah.

Industri buku teks ini menjadi industri yang memusingkan, bahkan ditengarai seperti lingkaran setan yang tak berujung, karena terjadi konflik kepentingan antara pemerintah, penerbit swasta, pejabat pendidikan di daerah, distributor buku, pencetak, toko buku, sekolah, orang tua, dan siswa. Tidak kurang Presiden Megawati dan Presiden SBY pun menjadikan soal buku teks ini menjadi isu kampanye mereka bahwa rakyat tidak boleh lagi dibebani dengan pembelian buku teks.

Di sisi lain, industri buku teks ini juga hidup dari proyek-proyek pemerintah. Pemerintah merasa memang tidak bisa sendiri melakukan pengadaan buku hingga akhir 1990-an. Awalnya, buku paket untuk tingkat SD diadakan dengan kerja sama Pusat Perbukuan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Balai Pustaka (yang memiliki hak penggandaan). Untuk SLTP (SMP), pemerintah melibatkan penerbit swasta dengan Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca (PBMB) yang didanai pinjaman Bank Dunia (World Bank) pada 1996-2000. Buku-buku penerbit swasta--berupa buku teks siswa dan buku pegangan guru-dinilai oleh Panitia Nasional Penilai Buku Teks (National Textbook Evaluation Committee/NTEC) yang diketuai Dirjen Dikdasmen. Buku yang lulus kemudian dibeli oleh proyek. Betapa bergairahnya penerbit buku teks masa itu, meskipun hanya berimbas pada segelintir penerbit yang bukunya lulus. Belakangan, bantuan proyek ini dihentikan World Bank karena dianggap beraroma korupsi dan kolusi, sehingga beberapa penerbit masuk daftar hitam penerbit Indonesia versi World Bank.

Kerancuan Peran

Persoalannya sekarang bukan hanya kebijakan ini telah menghentikan kreativitas penerbit buku teks yang sama dengan membuatnya sekarat, melainkan benarkah pemerintah mampu menyediakan buku teks dengan muatan kurikulum tematik integratif yang memenuhi standar buku teks sebenarnya? Meskipun pemerintah memiliki dana untuk menyiapkannya dan paling tahu tentang kontennya, tentu patut dipertanyakan pula tentang sumber daya perbukuan yang dilibatkan, seperti penulis, editor, penata letak, ilustrator, dan desainer buku. SDM penerbitan adalah para profesional dengan keahlian di bidang masing-masing. Tampaknya Puskurbuk pun harus melakukan perekrutan dan pengerjaan simultan yang memerlukan tenaga terampil dengan tenggat yang ketat dan standar kualitas yang baik.

Alih-alih hendak menyiapkan buku teks yang berkualitas, bukan tidak mungkin, dengan waktu penyiapan yang singkat (kurang dari enam bulan), buku-buku tersebut dapat saja mengandung aspek kelemahan editorial karena ditangani bukan oleh ahlinya atau tenaga profesional. Buku pegangan versi pemerintah ini pun akan mubazir jika akhirnya tidak dapat digunakan di sekolah-sekolah, karena Puskurbuk Kemendikbud dalam hal ini memang bukan penerbit dalam arti sebenarnya.


Sumber  : http://budisansblog.blogspot.com/2012/12/mensekaratkan-kreativitas-penerbit.html


Surat Pegiat Literasi Indonesia


11 Desember 2012 yang lalu, seorang pegiat RBK membuat postingan menarik di sebuah website, yang banyak direspon secara positif. tulisan kali ini hanya sekedar berbagi, bahwa masih ada optimisme terhadap upaya-upaya perbaikan kualitas SDM di Indonesia melalui pemuda/i. Melalui entri Catatan RBK, berikut kami kutipkan postingan tersebut. 

Sebelumnya Mohon ijin , Saya Arif Indra Wanta adalah volunter dari Rumah Baca Komunitas di Yogyakarta dan aktifis pelajar juga mau menyampaikan tentang gerakan satu juta Ruma Baca untuk rakyat, ini Ide Kami bukan saya sendiri.

Gerakan GERAKAN 1 JUTA RUMAH BACA UNTUK RAKYAT yang disingkat GERABA merupakan salah satu bentuk gerakan creative social responsibility (CSR) yang dipelopori anak-anak muda yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap pentingnya membaca untuk menjadikan rakyat lebih sadar, maju, dan berdaya. Karena itu, salah satu misi dari gerakan membaca dalam GERABA adalah berisi tiga hal yaitu penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan. Keyakinan kami adalah dengan melahirkan masyarakat yang melek baca maka rakyat tidak dapat dibodohi dan ditindas.
Wujud kongkrit dari gerakan ini adalah program inisiasi terhadap lahirnya perpustakaan komunitas dan pemberdayaan yang sudah ada melalui gerakan buku bergulir kepada perpustakaan di seluruh tanah air. Misi mulia ini tidak akan tercapai tanpa dukungan dan peran kita semua. Anak bangsa ini akan bangkit seiring meningkatnya minat baca dan angka melek baca di kalangan masyarakat. Keyakinan kami semua adalah sama bahwa dengan membaca pengetahuan diraih dan dari sana kemudian dapat direfleksikan menjadi berbagai karya yang produktif, inovatif, dan progresif untuk memenangkan persaingan global.
Gerakan yang lahir dari komunitas anak muda ini mengetuk semua orang dari semua kalangan dan berbagai macam latar belakang untuk peduli dan memberikan sumbangsih kepada gerakan ini. informasi dapat diakses dari facebook (Rumah Baca Komunitas), tweeter (mabaca), dan blog Rumah Baca Komunitas (http://rumahbacakomunitas.blogspot.com/).

beberapa respon : 

Semoga terealisasi ya untuk menjadikan rumah baca sebagai sarana masyarakat Indonesia, dan yang terpenting adalah bagaimana kita bisa membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca, oleh karena itu perlu diiringi dengan sosialisasi kreatif keseluruh lapisan masyarakat agar lebih minat dalam menggali ilmu, pengetahuan serta wawasan lewat media membaca. wallahu yusahhil

------------------------
Saya suka dengan idenya, karena dulu juga saya dan seorang tetangga punya rencana untuk membuka rumah baca. Ada penerbit yang memberikan bukunya dengan gratis, begitupun tetangga saya itu menyediakan rumahnya untuk rumah baca tersebut. Namun ada kendala yaitu minat baca yang kurang dikalangan anak-anak (karena target utamanya adalah anak-anak), dikarenakan mereka lebih suka bermain. Berhubung saya juga tidak fokus, jadi rumah baca itu tidak digencarkan. 
Ya mudah-mudahan mas Arif tidak mengalami apa yang saya alami. Dan kalopun menghadapi hal itu semoga bisa mengatasinya, jangan kayak saya yang pada akhirnya membiarkannya begitu saja. Hehe. Maaf malah jadi curhat :D
Semoga lewat gerakan ini bisa menjadikan masyarakat Indonesia lebih cerdas ^^

kutipan diperoleh dari  : http://www.komunitassuksesmulia.com/forum/topics/social-innovation-challenge-gerakan-satu-juta-rumah-baca-untuk

RBK Bahas Peringkat Minat Baca di Indonesia


(15/12/2012, RBK News, Yogya). Berdasarkan pada rilis terbaru PISA (Program for International Student Assessment), sebuah sistem penilaian yang berada di bawah kordinasi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development ) yang bertanggung jawab melakukan analisis terhadap ketertarikan, kapasitas dan minat membaca anak 15 tahun dalam bidang literasi, matematika dan sains di Negara maju dan berkembang, menyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 56 dari 65 Negara partisipan PISA. 

Tadarus Gerakan iqro #7 di Rumah baca Komunitas-Selasa, 11 Des 2012, menghadirkan David Efendi.,M.A sebagai narasumber, dengan tema 'Minat Baca Bangsa dalam Angka" yang kurang lebih banyak mengupas persoalan literasi di Indonesia. Data tentang ketertinggalan Indonesia dalam kemampuan literasi adalah pukulan telak bagi pegiat literasi. sekarang bagaimana menghasilkan jalan alternatif?, di tengah lingkaran masyarakat yang semakin pragmatis, hedonisme yang semakin menggurita, dan pemujaan kaum muda kepada kematian berpikir. 







Thursday, December 6, 2012

RBK Hibah Buku ke Jawa Timur

(07/12/2012, RBK News)Kegiatan bertajuk "Buku Untuk Rakyat-Dari Jogja Untuk Anak Bangsa", yang diselenggarakan 30 Oktober 2012 oleh RBK sebagai salah-satu dari Program Unggulan, memberikan hibah sebanyak 350 buku untuk TBM YAA BUNAYYA Jawa Timur.



dari Kanan tampak Pegiat RBK ; Fida Afif, Direktur RBK ; David Efendi, serta rekan-rekan penerima hibah buku dari Jawa Timur.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK