Wednesday, January 30, 2013

Perpustakaan dan Pembangunan Ekonomi

Oleh : Intan Indah Prathiwie
Alumnus Fakultas Psikologi UI


Kondisi buku-buku di mayoritas perpustakaan kita, jauh dari lengkap dan menyedihkan.
Di dalam film Good Will Hunting (1999), tokoh utama Will Hunting, diperankan Matt Damon, yang meraih Oscar untuk Skenario Asli Terbaik, membuat mati kutu mahasiswa Harvard dalam perdebatan soal perekonomian kapitalis di sebuah bar. Ia pun mempermalukan telak sang mahasiswa dengan kalimat, "Sayang sekali kau menghabiskan puluhan ribu dolar uang orangtuamu untuk ilmu yang bisa engkau dapatkan secara gratis di perpustakaan umum!"

Nah, di tengah pendidikan yang kian mahal di negara ini, kutipan di atas tak pelak memberikan inspirasi untuk menjadikan perpustakaan sebagai basis untuk memberdayakan warga negara. Bahkan lebih jauh lagi, dan ini kerap terluput dari perhatian para pengambil kebijakan, peran perpustakaan sebenarnya bisa digairahkan sebagai sarana untuk memajukan perekonomian masyarakat. Singkat kata, perpustakaan punya peran strategis dalam upaya pembangunan ekonomi.

Life-Skills

lama ini, perpustakaan identik dengan ruangan suram penuh buku yang membosankan atau hanya berkutat pada kegiatan akademis semata. Paling jauh, perpustakaan hanya diposisikan sebagai tempat ngobrol atau tempat untuk tidur sejenak.

Padahal, perpustakaan sebenarnya dapat diposisikan sebagai balai keterampilan untuk melatih pengunjung dengan keterampilan hidup (life-skills) yang bermanfaat bagi siapa pun untuk menjalani realitas kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini, pengunjung melalui perpustakaan diberdayakan tidak sekadar dengan pengetahuan tapi juga dengan keterampilan yang dapat digunakan untuk hidup atau bahasa gampangnya 'cari duit'.
Caranya, perpustakaan dapat memberi pengunjung pelatihan gratis atau berbiaya murah lewat dana perpustakaan sendiri atau lewat kemitraan dengan perusahaan yang ingin menyalurkan program corporate social responsibility (CSR) mereka.

Pelatihan yang dimaksud bisa berfokus pada bidang-bidang yang beririsan dekat dengan dunia baca-membaca dan dunia intelektual, seperti pelatihan menulis novel atau skenario film, berbicara di depan publik (public speaking), membuat dan menulis blog, menyutradarai film, pemanfaatan media sosial untuk pemasaran (Twitter, Facebook dan lain-lain) dan banyak pilihan lainnya.

Sudah banyak contoh sosok yang mampu menafkahi diri dengan kegiatan intelektual terkait tulis-menulis atau baca-membaca. Misalnya, sastrawan Ajip Rosidi, kini mengajar sastra Indonesia di sebuah universitas di Jepang, hanyalah lulusan SMA yang hidup semata dari karang-mengarang. Sebagaimana diceritakan Ajip, ia mendapatkan ilmu mengarang ini dari sebuah perpustakaan di Majalengka.

Atau, Arswendo Atmowiloto. Dia juga hanya memiliki ijazah SMA, namun sukses menggeluti hidup dengan modal membaca di perpustakaan dan menulis. Arswendo kini terkenal sebagai novelis, pembicara seminar, sutradara sinetron dan berbagai profesi lain yang dipelajarinya secara otodidak lewat berbagai sarana, salah satunya adalah perpustakaan.

Dengan berfungsi sebagai balai pelatihan, perpustakaan tidak lagi sekadar tempat membaca tapi juga menjadi wahana untuk memberdayakan masyarakat sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan. Alhasil, perpustakaan jadi memiliki peran sebagai alat perekayasa ekonomi.

Sebab, terciptanya lapangan pekerjaan identik dengan terciptanya penghasilan (income generation) bagi masyarakat, yang pada gilirannya mendongkrak daya beli serta melesatkan angka-angka pertumbuhan ekonomi.

Kembang-Kempis

Sayangnya, memang, bukan itu yang terjadi sekarang. Kondisi perpustakaan di negeri kita masih jauh dari ideal. Betapa tidak, bahkan perpustakaan dengan dokumentasi rapi seperti Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin kembang-kempis dan terancam habis riwayatnya.

Kemudian, hanya ada segelintir perpustakaan umum pemerintah dan swasta yang buka setiap hari (termasuk Sabtu-Minggu) atau hingga malam hari.

Belum lagi, jika kita melihat kondisi buku-buku di mayoritas perpustakaan kita. Jauh dari lengkap dan menyedihkan! Artinya, dengan kondisi sedemikian rupa, jangankan menjadi balai keterampilan hidup yang mampu memberdayakan perekonomian, berfungsi sebagai tempat membaca yang nyaman pun masihlah jauh panggang dari api.

Berdasarkan kondisi di atas, jelas dunia perpustakaan kita saat ini tak akan mampu menjalankan fungsi pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat secara optimal. Karena itu, peran pemerintah - sebagai organ utama yang diberikan mandat untuk mensejahterakan bangsa - untuk mendorong peran perpustakaan lewat politik penganggaran dan kemitraan dengan pihak swasta yang berkepentingan menjadi suatu keniscayaan. Sebab, perpustakaan jelas merupakan wahana strategis dan cerdas bagi pemerintah untuk mencapai pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas. Semoga!

Tulisan di Rewrite dari Suara Karya, 30 Januari 2013

Saturday, January 19, 2013

Gali Ilmu di Perpustakaan Lesehan Hongkong

Oleh : Cuzzy Fitriyani


Banyak sekali manfaat membaca buku. Hal ini juga disadari oleh masyarakat Indonesia yang bekerja di Hongkong. Namun, karena mahalnya biaya hidup di sana, para tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga harus menyiasati kegemaran membaca dengan beragam cara.

Salah satunya dengan mendirikan perpustakaan untuk kalangan Buruh Migran Indonesia (BMI), sebutan yang digunakan oleh para TKW di Hongkong. Berbeda dengan konsep perpustakaan umumnya, tempat baca ini dibuat dengan konsep lesehan.

Beberapa orang BMI yang memiliki kepedulian tinggi membuka perpustakaan di tempat komunitas BMI berkumpul selama hari libur, mi­salnya di kawasan Causway Bay. Pengunjung perpustakaan bisa meminjam buku untuk jangka waktu tertentu. Ada juga yang memilih untuk membaca buku di perpustakaan lesehan sambil menghabiskan waktu santai.

Perpustakaan se­perti ini mudah ditemukan di beberapa lokasi di Hongkong. Prosedur yang diterapkan untuk meminjam buku tidak terlalu berbelit. Cukup dengan menyebutkan nomor telepon dan memberikan infak seikhlasnya, buku bisa dibawa pulang.

Buku yang tersedia cukup beragam, mulai dari buku agama, bisnis, sejarah, novel, dan lainnya. Walaupun hanya berbentuk lesehan di pinggir jalan, para wanita Indonesia yang sedang mengais rezeki itu tetap bersemangat me­nimba ilmu lewat buku-buku yang terhampar di atas terpal.

Berdasarkan catatan perpustakaan langganan saya, jumlah peminjam buku meningkat selama empat bulan terakhir. Data itu menunjukkan minat baca BMI secara perlahan sedang meningkat.

Sumber :  
http://nasional.kompas.com/read/2013/01/16/04555016/Gali.Ilmu.di.Perpustakaan.Lesehan.Hongkong

Berbagi "Virus" Lewat Perpustakaan Kampung

Oleh : Harry Susilo


Bagi Eko Cahyono (32), berbagi itu ibarat candu. Melalui perpustakaan kampung yang dirintisnya, dia menyediakan berbagai jenis buku secara gratis selama 24 jam. Dia seperti tak pernah lelah menularkan ”virus” membaca. Perpustakaan Anak Bangsa yang dia kelola terletak di Dusun Karangrejo, Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempat itu berjarak sekitar 30 kilometer arah timur Kota Malang. Ruangan perpustakaan seluas 6 meter x 12 meter itu dibangun di sudut Dusun Karangrejo. Halaman depannya ditumbuhi beragam jenis tanaman obat, membuat lokasi itu tampak hijau.

Bangunan perpustakaan itu tanpa pintu dan dibuka untuk umum selama 24 jam setiap hari. ”Perpustakaan ini tak pernah tutup. Siapa pun boleh masuk dan meminjam buku meski saya ke luar kota,” kata Eko. Sejak dirintis tahun 1998, Perpustakaan Anak Bangsa memiliki koleksi lebih dari 53.000 buku hasil sumbangan donatur dan berbagai lembaga. ”Sekitar 60 persen koleksinya saya sebar ke luar perpustakaan. Di sini ada 26 sudut baca, termasuk warnet (warung internet), pasar, dan pangkalan ojek,” ujarnya.

Jumlah anggota Perpustakaan Anak Bangsa tercatat lebih dari 8.000 orang dengan berbagai latar belakang, dari pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja pabrik, pedagang pasar, penjual bakso, tukang ojek, hingga buruh bangunan. Koleksi perpustakaan itu dihimpun Eko selama 14 tahun. Berbagai pengalaman pahit pernah dia rasakan, seperti diusir dari rumah, diprotes warga kampung, hingga digeledah aparat.

Koran dan majalah

Berawal dari hobi membaca, Eko merintis taman bacaan berbekal 30 kilogram koran bekas dan 400 eksemplar majalah usang. Bacaan itu digelar di teras rumah orangtuanya untuk menarik minat baca warga kampung. Kegiatan itu dia lakukan selepas terkena pemutusan hubungan kerja dari perusahaan konfeksi. Ia tergerak menyebarkan ”virus” membaca setelah melihat masih banyaknya warga kampung yang buta huruf.

”Saya melihat ada orang tua di kampung yang membaca koran terbalik. Hal itu membuat saya tergerak untuk membuka perpustakaan,” ucapnya. Untuk memancing minat baca warga, ia meletakkan gitar, permainan ular tangga, dan dakon di teras rumah. Berawal dari sekadar kumpul dan bermain, warga mulai tertarik membaca. Minat baca mereka membuat koleksi bacaan Eko jadi terasa minim. Ia lalu bergerak meminta sumbangan dari para pencinta buku.

Bahkan, Eko rela menunggu seharian di depan Toko Buku Gramedia, Malang, misalnya, demi ”mencegat” pengunjung yang menenteng banyak buku. Ia juga mendatangi warga dari rumah ke rumah, kalau-kalau mereka mau menyumbangkan koleksi bukunya. Alhasil, ia bisa menambah koleksi buku untuk perpustakaan. Ketika koleksi buku perpustakaan bertambah dan semakin banyak warga kampung yang datang, Eko justru diprotes orangtuanya karena rumah menjadi gaduh. Ia kemudian mencari rumah kontrakan dengan memboyong semua koleksi bukunya. Biaya untuk mengontrak dan pindah itu dia peroleh dari hasil menjual sepeda motornya.

Namun, masalah lain muncul. Perpustakaan yang dikelolanya diprotes warga. Bahkan mereka menuduh perpustakaan itu sebagai tempat maksiat hanya karena banyak anak muda suka datang ke rumah kontrakan itu. Perpustakaan Anak Bangsa pun pernah didatangi polisi karena mendapat laporan warga yang menyebutkan banyak bacaan berisi pornografi. Semua tuduhan itu tak terbukti. ”Polisi yang datang malah meminjam buku dari perpustakaan,” ucap Eko sambil tertawa.

Anak muda yang datang dan berkumpul di Perpustakaan Anak Bangsa kemudian tak sekadar membaca buku. Mereka juga belajar menulis, menggambar, dan berdiskusi. Jadilah di perpustakaan itu terpampang 17 gambar karya siswa SD, kerajinan burung dari lipatan kertas (origami), dan bundelan cerpen buatan anak kampung.

Tak ada denda


Dengan kondisi keuangan terbatas, Eko harus pindah tempat berkali-kali. Ia pernah menyewa tanah dan membangun gubuk bambu beratap asbes sebagai perpustakaan karena keterbatasan dana. Kendati begitu, ia bertekad tak memungut biaya pinjam buku kepada anggota ataupun denda jika buku tak dikembalikan.

Dia berusaha mencukupi kebutuhan operasional perpustakaan dari pendapatannya menjaga gerai pameran buku. ”Dana itu diperlukan untuk membeli alat tulis, fotokopi kartu anggota, dan perawatan buku,” ujarnya. ”Setidaknya, sebulan sekali saya menjaga stan di pameran. Hasilnya lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan operasional perpustakaan,” Eko menambahkan.

Jerih payahnya itu menuai hasil. Di pengujung 2011, perpustakaan yang saat itu berupa gubuk bambu dikunjungi Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan dan mendapat sumbangan yang bisa digunakan untuk membeli tanah seluas 12 meter x 27 meter. ”Saya lega karena tak perlu lagi mengontrak tempat,” kata Eko yang mendapat sumbangan dari PT Amerta Indah Otsuka dan Yayasan Kick Andy untuk mendirikan bangunannya. Bangunan itulah yang kini menjadi tempat beragam bacaan, mulai dari tabloid anak-anak, komik, novel remaja, novel terjemahan, buku detektif, sampai karya Pramoedya Ananta Toer.

Koleksi buku ditatanya di rak kayu. Eko mengelompokkan koleksi buku tanpa standar tertentu. Klasifikasinya sederhana, seperti Khusus Kutu Buku yang di dalamnya terdapat buku-buku berhalaman tebal dan kategori Sastra Berat berisi karya Pramoedya. Jika dulu Eko bersusah payah menumbuhkan minat baca warga, kini ia bingung memuaskan hasrat membaca mereka. Apalagi ia pun menyuplai buku ke sejumlah daerah lain di luar Malang karena adanya permintaan.”Saya baru ke Pulau Sapudi (Kabupaten Sumenep, Madura) mengantarkan tiga dus buku. Di sana anak- anak setempat haus bahan bacaan,” katanya.

Setelah berhasil mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa, kegiatan Eko tak terbatas pada menyalurkan buku. Ia juga aktif menjadi relawan penyalur kaki palsu dan kegiatan sosial lain. Sesekali ia diminta membantu warga dusun mengurus kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat. Memberi memang ibarat candu. Kita tak bisa berhenti saat sudah memulai dan tak merasa miskin meski terus berbagi. Perjuangan Eko mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa tanpa pamrih pun membuahkan penghargaan. Namun, yang membuat Eko senang, orangtua yang semula tak mendukung kini bangga. Bahkan, mereka meminta dia terus mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2013/01/19/13241520/berbagi..quot.virus.quot..lewat.perpustakaan.kampung/edukasi

Friday, January 18, 2013

Runtuhnya Moralitas Kaum Intelektual

Oleh : Masmulyadi Wijaya
Peneliti PUSHAM UII


Dunia akademik benar-benar terpukul. Setelah pemenjaraan sejumlah tokoh intelektualseperti nazaruddin syamsudin, daan dimara, dan mulyana w kusumah dalam kasus korupsi di komusi pemilihan umum (KPU). Kini sejumlah guru besar kita dalam proses menjadi saksi pada kasus dugaan korupsi di kamous merah. Kesaksiannya pun bukan dalam kapasitas sebagai saksi ahli. Di tempat yang lain kasus pembajakan skripsi marak terjadi penyuapan PT Monsanto atas sejumlah pejabat Indonesia dengan melibatkan tiga perguruan tinggi negeri (dua di Pulau Jawa dan satu di luar Jawa). Mereka ditengarai terlibat sebagai peneliti dalam proyek kapas transgenik yang akhirnya memberikan izin dan rekomendasi ilmiah kepada perusahaan asal amerika serikat itu menjalankan aktifitas bisnisnya di Sulawesi Selatan. Tawuran yang terjadi setiap saat yang melibatkan mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan sopir angkutan kota, mahasiswa dengan aparat keamanan. Bahkan sampai membakar kampus sendiri.

Praktik jual beli gelar dan mark up beserta proyek-proyek lainnya. Gerakan mahasiswa yang bahkan (maaf) menggauli ideolisme gerakan yang pernah dibangun oleh founding father bangsa ini. Gerakan mahasiswa dijual demi segepok materi oleh para penggeraknya. Fakta-fakta tersebut adalah pertanda betapa rusaknya tatanan negeri. Kampus sebagai ruang tempat kemajemukan ini diafirmasi. Di mana nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi itu diajarkan. Kampus tempat harapan keadilan dan kejujuran disandarkan. Kampus adalah simbol dan nilai herousme kini tak lagi menampakkan simbol-simbol itu semua. Simbol itu mungkin sudah, pergi entah kemana.

Di Kampus kini, dibangun tren premanisme, dunia yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan akademik. Itu dilakukan untuk membungkam anak-anak kritis yang setiap saat bisa melempar kritik kepada almamaternya. Lagi-lagi ini adalah perilaku tak akademik yang tidak pantas dipelihara dunia kampus. Premanisme kampus boleh jadi hari ini menjadi tren baru bagi penyelesaian masalah di kampus. Dunia premanisme kampus memang sengaja dipelihara dengan menggunakan anak-anak mahasiswa untuk membenturkannya dengan mahasiswa lain.

Fakta inilah yang terjadi pada kasus tawuran mahasiswa beberapa hari terakhir di Universitas Negeri Makasar (UNM). Terjadinya fenomena premanisme kampus sesungguhnya menjadi cermin bahwa seakan tidak sah penyelesaian masalah jika tidak dilakukan dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Padahal, penyelesaian masalah seperti tiu adalah penyelesaian masalah yang lagi-lagi tak akademis. Penyelesaian persoalan dengan cara-cara kekerasan sekali lagi adalah bagian dari cara-cara yang tidak berbudaya. Penyelesaian masalah mestinya dilakukan secara dialogis dengan cara-cara yang beradab. Semua orang merasa dihargai dan diperlakukan secara manusiawi.

Kehilangan Identitas

Sikap hedonisme yang melanda mahasiswa seakan memberikan trade mark bahwa kampus saat ini tak ubahnya sebuah mall. Sebuah pasar ilmiah. Mahasiswa datang ke kampus mengikuti mata kuliah,  membei diktatnya para dosen, lalu pulang kerymah atau ketempat kos. Itulah siklus yang dijalaniseorang mahasiswa tradisi diskusi yang dulu menjadi ciri mahasiswa tak pernah lagi kelihatan di kampus-kampus pun kampus menjadi tempat berkumpul tetapi berkumpul untuk sekedar canda yang tidak memiliki makna sama sekali.

Roh kampus benar-benar kehilangan identitas sebagai ruang ilmiah dan intelektual. Seorang mahasiswa yang kritis tidak boleh mendapat ruang di kampus  mereka karena kritisisme terpaksa tidak bisa lulus pada suatu mata kuliah tertentu karena berseberangan pandangan dengan dosennya. Kondisi inilah yang dikritik oleh Aslan Abidin dalam sebuah artikelnya di harian Tribun berjudul Universitas Taturu di Indonesia Timur, beberapa waktu lalu.

Menurut sastrawan muda itu, bahwa kampus sejatinya adalah kamar bagi tercapainya ‘ejakulasi’ intelektual. Tetapi kini berubah wujud menjadi forum yang hanya sekedar untuk menikmati makan dan minum. Kesan ini lalu membangun image pubik bahwa perguruan tinggi tidak lagi memiliki kekuatan dan tradisi intelektual yang memadai untuk melakukan transformasi ilmu pengetahuan kepada anak didiknya.

Anda mungkin bertanya kenapa para intelektual itu terjebak dalam dunia yang tak intelektual? Jawabannya karena intelektual itu meninggalkan garis orbitnya. Apa garis orbitnya?. Garis orbitnya adalah berupa nilai. Nilai inilah yang dijunjung dan dijadikan  sebagai standar bertingkah laku bagi seorang intelektual-akademisi. Ketika dia sedikit saja keluar meninggalkan nilai-nilai ini, maka dia tak ada bedanya dengan masyarakat lain di luar kampus. Nilai-nilai tersebut adalah kejujuran, kebenaran, pengabdian masyarakat dan objektifitas. Oleh karena itu konsistensi dalam memegang teguh prinsip-prinsip ideal itu sangat penting.

Jangan karena materi dan kekuasaan kaum intelektual mengorbankan nilai-nilai idealitas. Sebab materi dan kekuasaan merupakan godaan yang paling dahsyat membayangi kaum intelektual. Tidak jarang orang terjebak dan lalu melacurkan diri dalam kekuasaan karena tarikan materi yang lebih menjanjikan ketimbang berprofesi sebagai pegajar. Karena itu pilihan menjadi seorang akademisi dan intelektual adalah pilihan sadar yang lahir dari sebuah pemaknaan yang dalam akan arti pentingya kaum intelektual. Sehinggga sekeras dan segencar apapun godaan itu karena kita sadar bahwa intelektual adalah jalan dan pilihan kita, maka istiqomah pada pilihan itu.

Ejakulasi Intelektual

Dalam keadaan seperti itu tidak ada pilihan lain kecuali kembali membangun tradisi intelektual yang pernah lahir di negeri ini. Dan harapan itu ada di kampus. kenapa kampus? karena kampus merupakan tempat lahirnya kader-kader intelektual. Dari kampuslah diharapkan muncul tokoh-tokoh bangsa yang cerdas dan visioner. Dan dari kampus pulalah nilai-nilai kejujuran dan subjektifitas diharapkan terinternalisasi. Membudayakan bersikap jujur, objektif, dan menghargai kebenaran adalah bagian dari upaya membangun tradisi intelektual. Untuk sampai pada ‘ejakulasi’ intelektual maka pendidikan harus dipandang sebagai proses bukan hasil. Sehingga mahasiswa dan seluruh civitas akademika perguruan tinggi tidak lagi mengejar target bagaimana mahasiswa bisa menjadi sarjana dan cepat bekerja.

Tetapi berpikir bagaimana mahasiswa bisa mengenali fakta-fakta sosial, ekonomi dan politij sehingga bisa melakukan analisis dan pemecahan masalah atas fakta-fakta yang dilihatnya. ‘orgasme’ intelektual hanya akan dicapai jika terbangun budaya intelektual yang kuat dan memadai. Budaya intelektua ini akan diraih manakala terbangun kesadaran dalam diri mahasiswa atau dosen bahwa mereka adalah agen-agen intelektual yang memiliki fungsi sebagai penebar kebajikan. Mereka para intelektual harus melihat fakta-fakta sosial sebagai alat rekayasa untuk perubahan masyarakat. Dan karena itu puncak ‘orgasme’ intelektual adalah terjadinya transformasi sosial dari keadaan tidak adil kepada keadaan yang berkeadilan. Dari tak akademis menjadi akademis. Wallahu A’alm Bisshowab.

Sumber : Koran Tribun Timur, 2005

Menemukan Gagasan: Menulis di Tahun Baru 2013

Oleh : Hernowo


Bagi saya, puncak kegiatan menulis ada pada proses menemukan gagasan. Inilah sebuah kegiatan menulis yang bermakna. Meskipun tidak mudah membincangkan apa itu gagasan atau idea, tetap saja pencarian dan penemuan gagasan ini menjadi sangat penting dan, kadang, menentukan. Gagasan itu abstrak, sulit sekali dikenali sosoknya. Ia berkelebat bagaikan kilat di setiap pikiran. Kehadirannya tidak terduga.Ia hadir kapan saja dan pada saat kita melakukan apa saja. Gagasanlah, sesungguhnya, yang menentukan apakah diri kita benar-benar menjadi seorang penulis atau tidak.

Apakah gagasan dapat direkayasa kehadirannya di dalam diri kita? Tidak! Namun, kenapa saya seperti merancang sebuah pelatihan menulis yang dapat menghadirkan (menemukan) gagasan? Ya, saya memang merancang pelatihan menulis agar siapa saja yang ingin menulis dapat sampai pada proses mengalami bagaimana menemukan gagasan. Sebab, apabila seorang penulis tidak dapat mengalami kegiatan menemukan gagasan, ada kemungkinan kegiatan menulisnya, sekalilagi, akan tidak bermakna alias hampa. Ia mungkin malah akan mendapati dirinya lama-lama merasakan kebosanan menulis. Ia, bahkan, tiba-tiba saja berhenti menulis tanpa sebab yang jelas.

Dalam perspektif pelatihan menulis yang saya rancang, menemukan gagasan berarti sebuah perjalanan yang sangat mengasyikkan sekaligus menantang untuk meraih sesuatu yang penting dan berharga ketika sedang (berlatih) menulis. Sesuatu yang penting dan berharga itu dapat saja diraih lewat dua hal: pertama, proses dan, kedua, hasil menulis. Ketika seseorang berhasil meraih sesuatu yang penting dan berharga di dalam proses menulis, itu berarti dirinya tidak terikat dengan hasil kegiatan menulis atau tulisannya. Ia benar-benar hanya fokus dan mementingkan proses menulisnya.

Ia dapat dikatakan berhasil meraih sesuatu yang penting dan berharga di dalam proses menulis apabila kegiatan menulisnya dapat menyenangkan (tidak menyiksa dirinya), menyamankan (membantunya dalam membangun emosi positif), dan menghadirkan pelbagai manfaat (misalnya ia kemudian dapat “membuang” pikiran-pikiran yang menekan dan menderanya [ada perasaan lega atau plong sehabis menulis]). Ketika saya memberikan pelatihan menulis, meraih sesuatu yang penting dan berharga di dalam PROSES menulis menjadi titik tekan saya.

Bagaimana Anda mengawali kegiatan menulis? Bingung? Takut? Tertekan? Blank? Apa yang Anda tulis pertama kali ketika Anda sudah menentukan topik yang ingin Anda tulis? Judul? Kalimat pembuka? Menulis apa saja? Bagaimana Anda mengatasi kemacetan menulis? Apakah Anda pernah mencicil menulis? Menjadikan proses menulis sebagai sesuatu yang menyenangkan, menyamankan, serta dapat memberikan pelbagai manfaat langsung dan nyata adalah penting!

Wednesday, January 16, 2013

IPM Mendukung Berdirinya Gerakan 1 Juta Rumah Baca untuk Indonesia


Yogyakarta - Secara simbolis Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah menyerahkan bantuan buku kepada Rumah Baca Komunitas kemarin Selasa (15/1/2013). Rumah Baca Komunitas yang terletak di Kab. Bantul ini  merupakan perpustakaan komunitas dibawah LaPSI PP IPM (Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani) yang didirikan sebagai awal program pendirian Rumah Baca di seluruh Indonesia.

Seperti yang disampaikan, Ketua Umum PP IPM,  Fida ‘Afif, "Selain di sekolah, pelajar Indonesia membutuhkan markas sebagai tempat mencetuskan ide, gagasan, dan kreatifitas untuk membawa bangsa ini bersaing dengan bangsa lain. Bangsa yang maju adalah bangsa yang sadar akan pentingnya budaya membaca, berdiskusi, dan melahirkan gagasan baru untuk ditulis dan diaplikasikan di lingkungan. Markas yang paling sesuai ya taman baca atau rumah baca dan laboratorium."

Buku merupakan alat memperoleh ilmu pengetahuan dan pencerdasaan, terbatasnya akses untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan lewat buku kiranya menjadi salah satu faktor menjamurnya budaya nol baca di bangsa tercinta ini. Lewat program ini IPM telah ikut memberikan warna dalam merubah keadaan bangsa ke arah lebih baik, dengan memberikan akses buku lewat perpustakaan komunitas yang didirikan, harapanya mampu menumbuhkan semangat membaca di kalangan pelajar. Selain itu perpustakaan dengan design sirkulasi peminjaman yang dibuka selama 24 jam dan dilengkapi dengan laboratorium hidup ini bisa menjadi tempat alternatif para pelajar mengisi kesibukan, tantangan dan ancaman dunia global yang tengah mengincar pelajar lewat budaya-budaya populer.

Ke depan perpustakaan-perpustakaan semacam ini akan menjadi jembatan untuk membumikan gerakan membaca dikalangan pelajar. Ikhtiar yang kecil ini merupakan pancingan dan rangsangan bagi segenap masyarakat untuk ikut memperbaiki keadaan generasi muda. Dukungan dan kesinambungan dari semua pihak, terutama pemerintah,  akan membantu mensukseskan program ini sekaligus mempercepat pemberantasan hal-hal negatif dikalangan pelajar. Afif juga menambahkan, "Pelajar Indonesia jangan pernah jauh dari buku dan membaca."

Sumber : 
http://ipm.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=830%3Aipm-mendukung-berdirinya-gerakan-1-juta-rumah-baca-untuk-indonesia&catid=30%3Aberita&Itemid=67 

Monday, January 14, 2013

Upaya Tingkatkan Minat Baca Perlu Bersinergi


Hingga tahun 2012, minat baca Indonesia tergolong masih rendah. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, hanya 18,94 persen penduduk Indonesia di atas usia 10 tahun yang mengakses informasi dengan membaca. Angka ini terpaut jauh dibandingkan dengan akses informasi melalu televise yang mencapai 90,27 persen. Hal yang paling disayangkan adalah minimnya aktifitas membaca ini mayoritas terjadi di kalangan pelajar atau usia produktif.

Data statistik pengunjung perpusnas tahun 2011 menunjukkan jumlah pengunjung perpustakaan hanya sekitar 38.100 orang sepanjang tahun. Dari jumlah tersebut 2.221 pengunjung saja yang berasal dari kalangan pelajar. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan jumlah pelajar keseluruhan di Indonesia.

Ironis, karena sebenarnya manfaat membaca tak terhitung banyaknya. Di antaranya adalah menumbuhkan rasa ingin tahu, meningkatkan daya imajinasi dan kreatifitas, belajar menganalisis masalah, menyusun logika, dan mengambil keputusan dengan bijak. Manfaat ini telah disadari oleh banyak Negara maju sehingga mendorong kebiasaan membaca pada anak-anak agar kemudian hari mampu bersaing di pasar global.

Perubahan besar berawal dari langkah-langkah kecil untuk menciptakan gerakan cinta membaca di Indonesia, tidak ada cara lain selain memulai pergerakan dari diri sendir dengan menjalin kerja sama dengan pihak luar. Seperti yang dilakukan oleh Badan Perpustakaan Dan Kearsipan Daerah (Bapusipda) Provinsi Jawa Barat yang mengoperasikan tiga perpustakaan keliling untuk melayani sekitar 7 juta orang di Bandung Raya.

Sementara itu, pada 27 September 2012, Singapore Internatioanl Foundation (SIF) meresmikan armada perpustakaan keliling yang beroperasi di Bandung, yaitu Words on Wheels (WOW), rencananya, WOW akan mengunjungi 15 sekolah di Bandung dan menjangkau sekitar 4.000 siswa dari berbagai latar belakang ekonomi dan social. WOW Bandung menyediakan sekitar 1.000 buku berbahasa Inggris dan Indonesia yang disertai dengan akses internet dan fasilitas multimedia.

Selain menyediakan akses buku-buku bacaan, WOW Bandung bekerja sama dengan Unit Relawan Khusus dari National Library  Board (NLB). Programnya antara lain mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan Manajemen Perpustakaan Bapusipda dalam melayani warga kota Bandung. Semoga saja aksi ini turut mengobarkan semangat komunitas lokal untuk lebih berpartisipasi dalam peningkatan minat baca masyarakat.

Sumber : Koran Kompas, 08 Oktober 2012. disalin oleh RBK 15 Januari 2013.

Sunday, January 13, 2013

Lapsi dan RBK kerja sama bikin Workshop


(13/01/2013) Pemanfaatan perkembangan teknologi digital, termasuk rekayasa tampilan dan desain bukan lagi kebutuhan yang asing. permintaan stakeholder harus sebisa mungkin dipenuhi. Dengan begitu, otomatis pekerjaan dibidang desain apapun, termasuk pada perangkat lunak seperti Ms Power Point, Dream Weaver, Photoshop, Flash Player, bukan lagi sekedar pekerjaan ahli, tapi sudah menjadi syarat khusus yang menunjang kompetensi guru, mahasiswa, aktifis, dan sejumlah pihak lain.

Minggu, 13 Januari 2013, mengawali tahun, Lembaga Pengembagan Sumber Daya Insani bekerja sama dengan Komunitas Rumah Baca (RBK), menyelenggarakan Workshop "Pembuatan Slide Bagus" yang disajikan oleh Arif Indra Wanta, dimoderatori Labib Ulinuha di Kantor RBK-LaPSI, Kasihan, Bantul. Workshop sehari ini membahas tuntas, trik dan tips serta bagaimana mendesain tampilan slide presentasi yang menarik. sejumlah peserta nampak antusias mengikuti pelatihan memperhatikan pemaparan narasumber. 


Sumber : http://lapsippipm.blogspot.com/2013/01/lapsi-dan-rbk-bareng-bikin-workshop.html

Wednesday, January 9, 2013

Perpustakaan Rakyat

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


“Jika rakyat melek baca, maka tidak ada penguasa yang dapat berbuat semena-mena.”

Hadirnya perpustakaan rakyat adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat mengimpikan dan negara wajib mewujudkan. Inilah relasi pemberdayaan dan pencerdasan antara negara sebagai pelayan rakyat dan rakyat sebagai pemilik negara.

Untuk memahami wacana tersebut perlu melihat orientasi negara dan rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kebutuhan pokok hanya dimaknai sandang, papan, pangan, maka belajar dan membaca buku bukan bagian dari kebutuhan pokok dan ujungnya menjadi terkesampingan  begitu saja. Wajar saja apabila perpustakaan di negeri ini sering lebih sepi dibandingkan kuburan sekalipun. Negara dan masyarakat seringkali juga berada dalam situasi yang sulit lantaran tuntutan kebutuhan dasar selalu diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan perut dan rumah tetapi menegasikan kebutuhan otak. Di banyak negara maju, buku adalah kebutuhan dasar seperti kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Perpustakaan Rakyat

Ide pentingnya perumahan rakyat tidak diikuti dengan menambah kebutuhan aspek pemberdayaan masyarakat melalui aktifitas yang mencerdaskan. Perang melawan buta aksara tidak dilanjutkan dengan upaya merevitalisasi untuk melek baca sehingga kualitas warga negara lebih meningkat. Paradok lainnya adalah situasi dimana ‘negara’ tidak rela rakyatnya melek baca. Karena melek baca akan mengancam eksistensi negara.

Logikanya adalah, ketika rakyat melek baca maka mereka otomatis mengetahui hak dan kewajiban dan mampu mengkritik pelaku pemerintahan kapan dan di mana pun. Pola pikir demikian masih ada sehingga seringkali buku-buku yang diproduksi negara sering kali menyesatkan dan lebih memberikan kewajiban ketimbang hak. Kewajiban membayar pajak disampaikan diberbagai tempat smenetara hak mendapatkan informasi tentang kemana uang pajak itu digunakan. Menarik ketika PBNU mengeluarkan statemen boikot pajak sebagai protes. Organisasi ini mewakili komunitas yang melek baca-nya rendah kemudian diadvokasi oleh elit-elit yang tercerahkan. Ini disebut dengan kedaulatan rakyat yang dihasilkan oleh meningkatnya melek baca.

Perpustakaan Rakyat yang kita imajinasikan adalah perpustakaan yang menjadi pusat belajar yang manusiawi.  Perpustakaan tidak lagi diartikan sebagai institusi milik orang terdidik, kelas menengah, dan tidak identik dengan rakyat. Apa maksudnya pusat belajar yang manusiawi?

Setidaknya ada 3 syarat perpustakaan manusiawi. Pertama, perpustakaan komunitas yang mana rasa memiliki sudah merasuki denyut nadi masyarakat itu sendiri. Kebijakan membangun perpustakaan rakyat walau disubsidi negara (top down) tetapi rakyat/komunitas itu harus lebih aktif dan sebagai pengambil kebijakan. Negara juga harus memfasilitasi berupa hal-hal yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat itu sendiri.  Kedua, tidak diskriminatif. Perpustakaan adalah rumah bersama yang menjadi tempat belajar apa saja dan dengan siapa saja. Pemahaman bahwa semua orang adalag guru dan setiap tempat adalah sekolah merupakan nilai yang harus ditekankan. Dan ketiga, berorientasi penyadaran, pemberdayaan, dan pembelaan.

Dalam hal referensi, perpustakaan rakyat juga harus berisi buku-buku pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat seperti komunitas pertanian harus dilengkapi dengan buku-buku terkait pertanian agar lebih berkembang. Begitu juga di komunitas nelayan, industry, buruh, TKI/W, pengrajin dan seterusnya. Perpustakaan rakyat mempunyai visi memberdayakan dan membelajarkan tanpa skat-skat identitas kelas, pekerjaan, dan budaya. 

Jika perpustakaan rakyat dapat dimasifikasi dan mampu memberikan pengetahuan yang beragam sehingga rakyat melek wacana dan melek informasi tentu ini menjadi energy kebangkitan tersendiri bagi bangsa. Jika dulu, rakyat dipersenjatai dengan cangkul dan arit sekarang kita dapat mempersenjatai dengan buku (ilmu pengetahuan). Mari kita mulai dari langkah kecil yang pasti melalui gerakan melek-baca! 

Pembaca Ideologis vs Pembaca Pragmatis

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Terminologi ideologi dan deideologisasi nampaknya seringkali disematkan pada gerakan-gerakan agama dan partai politik.  Banyak orang mengatakan bahwa ideology sudah berakhir (the end of ideology) dan beberapa meyakini bahwa leiberalisme memenangkan kompetisi ideology dunia (Fukuyama, 1998). Di Indonesia, beberapa kalangan juga mengamini adeologi yang ada sekarang hanyalah ideology perut, ideology pasar yang tidak memanusiakan manusia. Tetapi gerakan re-ideologisasi belum benar-benar berakhir karena ternyata ideology itu sendiri mewakili satu bagian kemanusiaan (jiwa).

Pembaca ideologis

Situasi yang memberikan pelajaran kepada kita adalah mengapa ada beberapa manusia  yang sampai berdarah-darah membaca buku dan mempelajari berbagai data untuk menjawab keraguan atau menemukan bangunan teori baru. Jenis manusia ini terlihat pada diri ilmuwan-ilmuwan terdahulu atau saya sebut  ashabiqu al awwalun seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusd, al-Jabar, Muhammad Abduh, Arkoun, dan dari belahan bumi “Barat” misalnya ada Galeleo, Plato, Aristoteles, Hobes, Einstein, dan sebagainya.  Mereka inilah yang kemudian dapat disebut sebagai pembaca ‘ideologis’.

Jadi, pembaca ideologis secara sederhana dapat diartikan sebagai metode pembelajaran yang didapatkan baik dari membaca text  maupun non-textual untuk memberdayakan diri dan masyarakat secara luas. Pemikiran ilmuwan terdahulu, misalnya, diproyeksikan jauh ke depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk ratusan generasi setelahnya. Ideology mereka adalah keberpihakan terhadap nilai kebenaran, humanisme, dan penghargaan atas karya-karya terdahulu. Walau demikian, ada juga jenis pembaca yang mempunyai orientasi ‘merusak’ yaitu upaya mempelajari sesuatu ditujukan untuk dekonstruksi yang melawan kebenaran hakiki. Contoh ini adalah Darwin yang menemukan teori evolusi yang melawan kebanaran dalil agama-agama samawi.

Pembaca Pragmatis

Weber mempunyai teori tentang tindakan manusia yang salah satunya adalah tindakan bertujuan. Misalnya orang emmbaca untuk mengerjakan tugas dari guru/dosen. Membaca bukan dilandasi oleh kesadaran tetapi kepentingan jangka pendek (pragmatis). Situasi ini menjelaskan bahwa membaca bukan menjadi bagian tradisi (internalized) tetapi hanya menjadi mekanisme pekerjaan yang diakibatkan oleh tuntutan dari luar (membaca terpaksa, terpaksa membaca). Jenis pembaca ini cukup banyak dalam dunia pendidikan  di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dari penelitian Taufiq Ismail (2003) yaitu siswa SMA tidak emmbaca karya sastra (nol buku) karena bukan bagian dari penugasan sekolah. Manusia dididik dengan cara mesin diberikan tugas yang sudah paten dan dikerjakan secara mekanis. Masyarakat kemudian menjadi instan, suka menerabas yang penting emmenuhi tugas/kewajiban dari guru. Inilah unintended consequence dari metode pembelajaran yang salah kaprah.

Beberapa jenis pembaca lain misalnya, membaca sebagai hiburan, mengisi waktu luang, dan mohon maaf, kadang hanya iseng. Pembaca pragmatis bisa saja merasa puas tetapi pada umumnya tidak dilanjutkan dalam upaya berbagai informasi dan membela komunitas.

Pragmatisme itu menjalar tidak hanya dalam urusan perut, urusan pendidikan/pembelajaran sudah berkembang mental menerabas sehingga wajar saja banyak kasus plagiasi baik dilakukan mahasiswa atau dosen demi meraih suatu ‘keuntungan’  jangka pendek.

Pembaca pragmatis dan iseng tidak selalu dalam makna negatif. Ada banyak juga tipe pembaca yang memang sudah menjadi tradisi akibat habitus (lingkungannya) walau tidak serta merta diikuti dengan mengimplementasikan dalam tindakan advokatif. Tetapi, se-pragmatis dan se-iseng apa pun jika masih ada waktu membaca artinya da potensi besar untuk menjadi pembaca ideologis. Anak bangsa ini, seperti halnya Sukarno, Tan Malaka, Hatta adalah pembaca ideologis yang mencurahkan seluruh pikiran, tenaga untuk mengantarkan bangsa menjadi lebih unggul secara lahiriah dan bathiniah, secara ideology dan kesejahteraan sosial-ekonomi.

Ada jenis pragmatisme yang lebih berbahaya. Suatu saat di beberapa kesempatan yang sama ada diskusi kecil terkait film yang diangkat dari novel. Saya sendiri tidak mengoleksi film-nya tetapi saya membeli novelnya seperti Laskar Pelangsi, Sang Pemimpi, Nagabonar Jadi 2, Di Bawah Lindungan Kakbah, Hafalan sholat delisa, sang pencerah dan masih banyak lagi. Ketika ada teman mengenalkan novel-novel tersebut lawan bicaranya langsung  nyeletuk, “lebih enak nonton langsung film-nya.” Saya hanya berfikir ternyata budaya nonton jauh lebih banyak jamaahnya ketimbang membaca. Kepuasan menonton adalah kepuasan yang hobi menonton dan jarang membaca.

Bagi pembaca ideologis, penggila baca dan jenis manusia kutu buku tentu kepuasan hasil membaca jauh lebih rasional karena selain melibatkan mata juga melibatkan pikiran, hati, dan imajinasi ketika membaca. Dari sinilah rahasia terkuak, kenapa membaca itu dapat menyehatkan. Membaca dapat mengurangi stress karena pelibatan indra yang lebih interaktif.

Menjadi pembaca adalah kewajiban. Menjadi pembaca ideologis adalah sebuah pengharapan dan cita-cita mulia. Dari sini pula, nilai-nilai pembelaan dan kemanusiaan kita tancapkan. Demikian semoga manfaat.

Paradoks Negara


Oleh : David Efendi
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Kehadiran negara sebagai penjamin atas hak-hak dasar warga negara kembali dipertanyakan ketika kembali mencuat kasus kekerasan oleh oknum TNI yang menimpah jurnalis dan warga biasa di Pekan Baru, Riau kemarin dalam kegiatan meliput di lokasi jatuhnya pesawat Hawk 200.  Kejadian itu mengundang protes dan solidaritas public di berbagai lokasi di tanah air. Mereka sepakat kekerasan yang dilakukan oknum TNI AU melanggar UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Mereka juga sepakat, kekerasan terhadap fotografer Riau Pos, Didik Herawanto wajib diusut sampai tuntas di jalur hukum. Hal ini perlu, agar tidak terulang dan terulang kembali.

Berita itu kembali mengejutkan, setelah beberapa pekan negara diramaikan dengan pertanyaan, “kemana Presiden kita?” yang mana subtansinya mengandung kegalauan bahwa negara itu tidak ada, negara absen dalam persoalan serius yang mengancam kedaulatan hukum dan undang-undang. Kini oknum negara itu hadir, tetapi dengan wajah brutal dan bukan untuk melindungi tetapi bermain 'hakim' sendiri. Inilah yang kita sebut sebagai paradok negara! 

Sebagai negara hukum, presiden adalah pemegang kekuasaan politik sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Secara politik, presiden dipilih rakyat langsung sehingga presiden sebagai representasi negara dapat secara syah melakukan tindakan  walau bersifat kekerasan (Weber, 1919) demi menjaga kebiakan umum---bahwa hukum dapat ditegakkan. 

Kasus pemukulan atau kekerasan oknum angkatan Udara di Riau adalah wujud bahwa negara itu hadir tetapi hadir dalam wajah bringas tanpa orientasi penegakan hukum bahkan tindakan itu cenderung melawan hukum seperti halnya massa bringas menghakimi oknum polisi di berbagai tempat seperti di sekitar kawasan penambangan freepot, di Medan, dan sebagainya. Artinya hukum massa berlaku dan oknum penegak hukum dan agen pengamanan negara melakukan hal yang sama. Kasus penghilangan nyawa yang dialami oleh komunitas Ahmadiyah di Jawa Barat dan komunitas Syiah di Madura juga peristiwa yang jelas menggambarkan negara absen dan diam. Kealfaan negara ini menjadi kesalahan yang sangat serius manakalah alasan-alasan sosiologis dan politik memperlihatkan bahwa negara kita lemah. 

Negara lemah  ditandai dengan rendahnya kapasitas negara (weak state, incapacity to govern)  dalam melindungi dan memproteksi hak-hak dasar individu dalam masyarakat.  Ketidakmampuan itu kemudian melegalisasi  hukum rimba dimana komunitas yang kuat dapat memangsa komunitas lemah tanpa konsekuensi hukum yang berat. Disisi lain, seringkali negara hadir (berwujud polisi dan tentara) hanya berupaya mengamankan asset-aset pemilik perushaaan besar walau alat produksi mereka sedang diperkarakan oleh rakyat. Tetapi jelas, kasus Mesuji yang menewaskan dan menghilangkan banyak orang itu adalah wujud bahwa negara hadir untuk memusnahkan rakyat kecil. Ketimbang menyediakan jasa keamanan bagi seluruh rakyat tanpa pandang buluh. Dalam konteks inilah negara hukum yang kita yakini sebenarnya sedang dikhianti dari berbagai sisi.   

Rentetean fenomena yang menunjukan situasi kontraproduktif baik disebabkan oleh hadir atau ketidakhadiran negara itu menjadikan kita terus berfikir sebanarnya negara ini hendak kemana dan mau dibawah kemana. Kasus kekerasan terhadap insan media yang sudah berulang kali di era pasca reformasi ini menjadikan pertanyaan besar bahwa pola perolaku militer yang ‘kejam’ dan tidak humanis kepada masyarakat sipil ini terus berlanjut dengan aktor yang berubah (change and continuity) sehingga persoalan dihapuskannya dwi fungsi ABRI bukan jawaban pemangkus untuk mengurangi dampak buruk dari militer.

Dalam materi amandemen UUD 1945 tahun 2002 itu disebutkan bahwa reformasi setidaknya menuntut beberapa hal mendasar yaitu amandemen UUD 1945, mencabut dwi fungsi ABRI, pemberantasan KKN, otonomi daerah, demokratisasi, dan kebebasan pers. Keenam point itu jika dirangking tentu saja baru secara sempurna dijalankan adalah penghapusan dwi fungsi ABRI. Amanat reformasi lainnya nampaknya bisa dikatakan masih jauh panggang dari api terutama sekali persoalan kebabasan pers di Indonesia.

Pada tahun 2012 ini Freedom House merilis rangking kekebasan pers di dunia. Indonesia menempati urutan ke 97 dari 197 negara dan mendapatkan status ‘party free” artinya kebebasannya terbatas atau baru sebagaian. Untuk kawasan Asia Pasifik Indonesia harus puas dengan urutan ke-22 dari 40 negara untuk kebebasan pers  atau media.  Artinya perjuagan amanat reformasi dan kelompok civil society masih sangat panjang untuk dapat menjadi alat control yang independen dan tidak dihantui oleh bayang-bayang kekerasan ‘negara’ atau akibat ketidakhadiran negara. 

Rilis freedom house itu dipublis sebelum kasus kekerasan oleh oknum Angakatan Udara di Pekan Baru. Artinya rangking kebebasan pers kita bisa semakin terpuruk apabila lembaga internasional terus saja memantau apa yang terjadi akhir-akhir ini terhadap insan media. Setidaknya ini menjadi cambuk, bahwa negara kita belums ecara subtansial demokratis akibat kebebasan pers yang terus saja dianggap menjadi ancaman bagi ‘penguasa’ dalam hal ini lembaga militer baik polisi atau tentara yang rishi terhadap pemberitaan media.

Friday, January 4, 2013

Seusai Demam Qiamat

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Ramalan suku Maya tentang berakhirnya semesta yang sangat meramaikan jagat diskusi di berbagai belahan dunia ternyata gagal terlaksana. Beberapa hari sebelum deadline qiamat 2012 harian kompas meliput berita tentang adanya pembaruan kalender suku maya yang ditemukan---sebagai bukti bahwa kelander itu tidak pernah mati dan selalu berganti dengan kalender baru seperti halnya 2012 menjadi kalender 2013. 

Batalnya qiamat menjadi angin seger bagi banyak kalangan termasuk koruptor, mafia kasus, dan berbagai kelompok predator lainnya yang ada di negeri ini. Sementara bagi anak alay, cenderung mensikapi dengan berbagai 'kekhasan' termasuk bahkan obrolan 'imajiner' mereka dengan malaikat pada saat berada di alam kubur. Anak-anak alai atau mewakili generasi 4D atau i-generasi cenderung sangat rilek menghadapi kehancuran total termasuk terro yang sangat megerikan dalam berbagai buku cerita tentang siksa kubur. Begitu juga koruptor, mereka sangat rilek ketika menjadi tersangka bahkan pada saat menjalani penahanan. Inilah irisan antara kelompok alai muda dengan alai tua. 


Qiamat Gagal, 2013 bakal lebih gila

Itu adalah ungkapan serius terkait tahun 2013 sebagai tahun politik yaitu persiapan menghadapi pemilu 2014 yang sudah mulai ditabuh genderangnya. Di tahun 2013 juga ada 10 pilgubenur dan puluhan pilkada bupati/wali kota. Artinya, 2013 bakal lebih dramatis kegaduhan politiknya. Gilanya, tahun 2013 ini bisa menjadi tahun sial (an) bagi rakyat kebanyakan akibat dari rasa frustasi kepada pelaku panggung politik. Wajar saja,  Anti-Tank project (sebagai komunitas anti pemerintahan) menyambut 2013 dengan gambar besarnya dengan tulisan: Butuh Badut? hubungi senayan! Seperti biasa, karya-karya desain itu selalu menarik kita lihat di kanan kiri bangjo (trafic light) di Yogyakarta.

Demam qiamat itu sudah lewat, begitu juga demen Jokowi sehingga harapan 2013 ini masih sangat sulit untuk membangun optimisme publik. Bisa jadi banyak orang mengharap muncul berbagai jenis Jokowi di daerah sehingga mampu memberikan tawawan generik untuk mengobati luka politik atau truma publik atas ketidakpastian kehidupan politik dan demokratis. Selain mereka menjadi apatis, mereka cenderung menghukum siapa saja yang ada disekelilingnya dengan berbagai ekpresi kecemasan dan anarkisme. Lihat saja, kekerasan antar etnis di Lampung, kegalauan dan kekerasan pihak aparat atas wartawan, perlakuan diskriminatif berbau sara dan perda di daerah-daerah. Konflik antar iman atau meminjam bahasa najwa shihab, sengketa iman, melatari babak akhir tahyn 2013 dan artinya akan berlanjut di tahun 2013. Ada asap selalu akan ditemukan apinya. Jika asap 'qiamat' itu muncul di penghujung 2012 artinya ada kebakaran di tahun 2013.

Persoalan pencitraan, misalnya, dianggap sebagai persoalan serius sepanjang kepemimpinan SBY sejak tahun 2004 silam. Banyak kelompok 'oposisi' menyatakan politik pencitraan itu merugikan kepentingan publik secara luas karena pemerintah sibuk membuat image baik dan bekerja keras hanya untuk menyelamatkan nama baik tersebut. Orang yang simpatik kepada SBY kemudian sebagain besar bergeser dan berbalik akibat gagalnya politik pencitraan dan terjebaknya dalam kasus korupsi.  Orang lalu berharap tahun 2013 politik pencitraan dapat dihindarkan tetapi nampaknya itu nyaris tidak mungkin karena tahun 2013 adalah tahun klimaknya pencitraan untuk merebut simpati dan dukungan publik untuk kursi legislatif dan eksekutif: RI 1 dan RI 2. Gemuruh dan kegaduhan politik itu sudah mulai terasa---beberapa demam politik dan beberapa terlihat begitu menikmati. 


2013:  Tahun harapan?

Petanya demikian. DPR berada di urutan pertama diantara lembaga-lembaga atau institusi yang dipandang korup, demikian menurut hasil survei yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) di 33 provinsi selama 14-24 Mei 2012 dengan melibatkan 2.192 responden. Sebanyak 47 persen, atau 1.030 responden dari total 2.192 menyebut DPR sebagai lembaga yang paling korup dibandingkan dengan kantor pajak, kepolisian, dan partai politik.

Lalu, apa yang bisa diharapkan dari tahun 2013 adalah pertanyaan yang sangat sulit menemukan jawaban yang memuaskan. Alih-alih menjawab persoalan kesejehteraan, pengentasan kemiskinan, dan penyediaan lapangan kerja, panggung sandiwara pejabat negara di yudikatif, eksekutif, dan legislatif saja belum selesai merembug mekanisme sidang dan etika pejabat. Mereka cenderung melewan hukum, memutar balikan fakta, bertahan, atau melakukan upaya penghilangan bukti dan seterusnya. 

Pilar demokrasi yang berupa partai politik itu justru menjadi pilar korupsi (Syamsudin Haris, Kompas 2012), civil society dan media cenderung tersegregasi sebagai bagian supporter dari kekuasaan itu sendiri. Inilah karakteristik politik aliran yang masih tersisa di republik ini sebagai konsekuensi masyarakat plural (berbeda dengan pluralistik). Di Amerika masyarakat tidka tersegregasi demikian karena hanya ada dua partai politik peserta pemilu yang sudah well established. Jadi, kita akan berharap kepada siapa dan apa? 

Jawaban Ebiet, "tanyakan pada rumput yang bergoyong" dan "jawabnya ada di langit," dalam song theme film kartun Dragon Ball versi Indonesia.

 Ditulis di KH Dahlan 103 Yogyakarta 

Sumber : http://lapsippipm.blogspot.com/2013/01/seusai-demam-qiamat.html

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK