Monday, August 19, 2013

Potret Pengalaman

Kediaman Ibu Trias Setiawati dan Bapak Ahmad Muntaha Baisa terletak sekian deret di kompleks dosen UII. Jelang sehari, sebelum Ramadhan sampai diujung, undangan buka puasa bersama datang dari keluarga ini untuk Rumah Baca Komunitas (RBK) pada 8 Agustus 2013. Ritual ini sudah terjadi lama. Dan memang setelah bersantap dan menjalankan Sholat Maghrib, ada sesi “spesial” yang akan dimulai. Sesi tersebut tidak di-istilahi apapun selain berbagi pengalaman. Sudah jadi adat untuk berdiskusi dan bicara kebenaran di rumah ini. “Tempat diskusi tanpa batas-batas semu”, begitu pendapat yang muncul. Tidak heran jika, siapa saja bisa menyampaikan satu hingga dua gagasan. Berikut adalah rekaman sepintas mengenai berbagai pengalaman yang saya potret.

Potret pertama berbagi pengalaman datang dari pemilik kediaman, Ibu Trias. Pendidik di Universitas Islam Indonesia ini mulai dengan perjalanan akademik beberapa saat yang lalu. Di Prancis, perjalanan akademik itu beliau ceritakan. Inspirasi kemudian berbuah dari perjalanan akademik yang dipadu. Apalagi kalau bukan “romantisme” kota paris. Terhadap sebuah Katedral tua berusia 850 tahun, Ibu Trias mencoba menerangkan makna bangunan bagi identitas bangsa. Ada juga satu-dua catatan tentang World Academy of Science, Engineering, and Technology Conference (WASET) di Paris dengan berteman bersama Profesor Dyah (IPB) selama dua hari (27-28 Juni 2013).   

Potret kedua berbagi pengalaman dipersilahkan untuk Ahmad Sarkawi. Dari Eropa, pengalaman dikembalikan ke Asia, dimana Korea Selatan adalah cerita berikutnya. Summer School of CENA membuat pembahasan Nationalism and Territorial Disputes in Asia: their impacts to nation-states, democracy and Development ke dalam sekian sesi. sebuah perbincangan mengenai nasionalism yang pernah menjadi begitu ribut di Indonesia tahun 2000 an. Perbincangan ini begitu ribut karena menjadi sebuah_seperti kata Daniel Dhakidae ; pencarian berlanjut. Tidak jauh dari tempat CENA membikin kegiatan, militer begitu khas di antaranya. Pasalnya, tidak sampai puluhan kilo, ada garis antara korea selatan dan korea utara. Berbagi pengalaman yang panjang pada potret kedua ini ditutup oleh arsitektur bangunan dan hubungannya dengan konflik.

Potret ketiga berbagi pengalaman dijelaskan oleh Syahdara Annisa Ma’ruf. Dengan waktu yang singkat, Aktivis wanita ini menyelesaikan pendidikan tinggi formal strata dua di UIN Sunan Kalijaga. Cerita menarik diangkat dari kisah mimbar. Alkisah memang, mimbar-mimbar masih jadi area pria. Sejak filsafat diperkenalkan juga yang muncul adalah mimbar filsafat pria. Jadi inilah yang coba dibicarakan. Mimbar tarawih dicoba Annisa. Sebelumnya, di masjid UIN Sunan Kalijaga ceramah tarawih juga diisi oleh dosen wanita. Ide yang coba ditelusuri adalah “bagaimana jika posisi mimbar tidak didepan shaf pria?”. Ajuan pertanyaan menarik yang bisa jadi butuh kesiapan.

Potret keempat berbagi pengalaman ditutup oleh Muhibbuddin Danan. Potretnya Bicara tentang manokwari, papua. Kisah-kisah mas danan begitu luas. Bertutur mas danan tentang peta sosial hingga keadaan geografis papua. Tidak berhenti disitu. Kajian mengenai perkembangan gerakan dakwah juga disinggung. Menarik juga ketika pembicaraan mulai masuk ke orang jawa di papua. Juga, informasi mengenai Konflik papua yang merambat lewat short message service. Menurut mas danan, ada kelalaian yang terjadi,  saat konflik justru begitu dinamis berpindah melalui media itu. nampaknya analisis Mochtar Lubis saat berbincang mengenai pupuk irasionalisme dan propaganda dibalik itu, bisa juga dibaca secara sederhana dengan kasus ini. Perjalanan konflik di papua memang bukan kumpulan memoar. Indonesia seharusnya (bahasa akademisi non-teknokrat) mampu membaca alam papua. (Fauzan Anwar Sandiah)

Tajuk Singkat RBK

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Prospek hubungan barat dan Islam_satu diantara sedikit istilah yang makin sulit dipahami karena beragamnya tafsiran. Dulu, beberapa jam sebelum Agus Salim sempat berbicara dengan Nokhrasi, tawaran penolakan de jure Indonesia dengan menjual janji penyelesaian Palestina di PBB sempat dilakukan oleh Belanda. Padahal, beberapa pendapat sempat menjadi percontohan kasus Irak dan Palestina sebagai kesempatan untuk memperbaiki hubungan barat dan dunia Islam.

Melalui janji penyelesaian Irak dan Palestina yang  adil, bagi beberapa pendapat dilihat sebagai celah berbaiknya hubungan antara Barat dan Dunia Islam. Padahal, keputusan Nokhrasi untuk berkokoh dengan Agus Salim dan menolak Belanda juga adalah pertanda lain. Prospek hubungan barat dan dunia Islam akan dilupakan jua kala saudara seiman ini berakrab.

Sebuah analisis yang cukup aneh, bahwa dunia Islam yang direpresentasikan melalui mayoritas penduduk beragama islam di sebuah negara punya kecenderungan untuk mencari kekuatan eksternal untuk membangun  kekuasaan. Kita melihat bahwa teori “Ekternal Power” menyatakan kegiatan menghunus pedang pada sesama saudara di negara-negara arab didukung oleh kekuatan luar.

Lobi belanda se-jam sebelum Agus Salim masuk bisa jadi adalah upaya membangun Eksternal Power, antara Mesir dan Belanda, yang pada ujungnya ialah memperluas kekuasaan. Perluasan kekuasaan yang dilihat dari kacamata apapun akan dinilai dengan rasa frustasi akan berakibat pada konsep “halal darah”.

Namun sampai pada saat ini, keselamatan Indonesia ternyata menurut sebagian pendapat justru karena pemimpin-pemimpin Indonesia tidak fanatik dengan ideologi. Hatta dan Sjahrir misalnya dapat “dibersihkan” namanya oleh Rosihan Anwar sebagai pendukung minat sosialis, karena memang pada dasarnya hatta dan sjahrir termasuk golongan penyimak Marx yang sangat mau melakukan revisi pemanfaatan cara menganalisa Marx. keterangan ini dapat saja dengan mudah dillihat pada bagaimana hatta “berkonflik” dengan Tan Ling Djie, Hatta terlihat begitu fleksibel menggunakan pandangan Marx. Fleksibilitas ini juga diduga menjadi jalan mudah bagi masuknya demokrasi (dalam tafsiran Amerika) untuk masuk dan lebur di Indonesia. kita tahu, bahwa tahun 50 an disebut masa "optimisme" demokrasi Indonesia.


Maka dalam catatan-catatan kecil kita juga dapat menemukan pendapat bahwa konsep demokrasi tidaklah bebas dari bias kepentingan pasca perang dunia. memang tidak banyak, tapi ada yang memperkirakan bahwa definisi demokrasi yang dianut di Indonesia, andaikata rusia berjaring dengan Indonesia maka akan sama saja. Kita memang menyaksikan banyak persaksian mengenai ini. Ada yang menamakan islam menumpan dalam partai komunis. Ada juga yang bilang sebaliknya. Di dalam kajian mengenai Islam dan Partai Komunis di banten pada abad ke 20 juga ada sedikit keterangan disitu. Apalagi saat Wilson menyanggah tesis Williams. 

jadi sebenarnya kita berada dalam paradoks antara demokrasi, proses revivalisme, dan momen komunis di Indonesia yang terbuka menjelang 2014 serta prospek hubungan Islam dan barat yang tiada dapat diterka berdasarkan pada kategori klasik atau baru. entahlah. 

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK