Tuesday, October 29, 2013

Perubahan Struktural Tanpa Karl Marx

Oleh : Abdurrahman Wahid

Selama ini apa yang dinamakan perubahan struktural seolah-olah sudah menjadi monopoli kaum marxis. Maka menjadi ramailah suasana sebuah seminar, yang notabene diselenggarakan oleh sebuah lembaga pemerintah di tingkat Nasional, ketika ada paper yang menuntut keharusan perubahan struktural dalam kehidupan bangsa kita. Apa kuping tidak salah dengar dan mata tidak salah baca?

Ternyata tidak, memang kata structural itu sendiri berulang kali muncul. Apakah seminar sudah kesusupan eks-PKI? Juga tidak, karena yang membawakan paper adalah agamawan yang jelas tidak komunistis dalam pandangan hidup. Terlebih-lebih, mereka tidak pernah mengakui kebenaran ajaran Marx.

Ternyata di balik pernyataan itu ada sebuah proses penalaran. Masalahnya begini: Marx harus diikuti analisanya terhadap keadaan, tetapi jangan begitu saja diikuti dalam kesimpulan. Dengan kata lain, Marxisme haruslah dipahami sebagai kenyataan sejarah, tetapi belum tentu memiliki kebenaran transcendental. Kita sendiri harus berani melakukan kritik atas Marxisme, jika tidak ingin dijajah olehnya.

Dalam prose situ, kita semua akan dewasa. Betapa tidak, kalau dengan pemahaman analisa Marx kita akan mampu memahami hakikat keadaan yang berkembang? Lalu, dengan keberanian melakukan kritik atas cara metode Marx diterapkan (sebuah masalah metodologis), bukankah kita lalu akan mampu mencari pemecahan bagi masalah kita dengan ‘penemuan-penemuan’ yang sesuai dengan kondisi kita sendiri?

Taruhlah kita terima kebenaran asumsi Marx, bahwa perilaku warga masyarakat sangat ditentukan oleh struktrur masyarakat mereka sendiri. Dikenal dengan paham determinisme ekonomis, pendapat Marx ini akhirnya berujung pada perlunya penggulingan sebuah struktur kekuasaan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat secara mendasar. Cara lain tidak akan membawa pemecahan.

Dirumuskan dengan kata lain, yang dituju adalah transformasi struktur kehidupan masyarakat. Sedangkan struktur hanya dapat ditransformasikan, kalau kekuasaan telah direbut dari tangan pemegang kekuasaan. Ini adalah inti ideology Marxisme-Leninisme, yang dikenal dengan istilah Komunisme.

Pertanyaannya, haruskan selalu demikian caranya? Ternyata tidak. Menurut kaum Sosial Demokrat : perubahan dapat dilakukan melalui cara damai, kekuasaan dapat diraih melalui demokrasi parlementer. Artinya, setiap struktur memiliki kelengkapan untuk melakukan perubahan.

Dalam transformasi model Marx, atau lebih tepat model Marxisme-Leninisme, transformasi dimulai ketika kekuasaan telah direbut. Apa yang terjadi sebelum itu hanyalah persiapan kea rah transformasi, bukan transformasinya sendiri. Dan sesudah kekuasaan terebut, masih diperlukan semacam ‘pengawal revolusi’ untuk menjaga kemurnian transformasi yang dihasilkan agar tidak diselewengkan.

Bagi yang menolak ajaran Marxisme-Leninisme, walaupun menerima analisa sosial-ekonominya, perubahan terjadi justru sebelum kekuasaan ‘berubah kelamin’. Transformasi terjadi dalam sikap dan perilaku masyarakat secara keseluruhan, melalui proses pendidikan berjangka panjang.

Misalnya melalui perjuangan menegakkan keadilan melalui bantuan hukum struktural. Atau melalui kesadaran berperilaku politik yang menjunjung asas kebebasan dan persamaan hak, atau melalui penubuhan dan pengembangan organisasi ekonomi yang benar-benar demokratis di tingkat bawah.

Hanya mengkhayal? Lihat saja kiprah Lembaga Bantuan Hukum. Atau Yayasan Lembaga Konsumen. Juga organisasi-organisasi yang bergerak di pedesaan untuk menyadarkan warganya akan kemampuan penuh mereka sebagai manusia guna perbaikan kualitas hidup mereka. Termasuk juga media massa kita yang berfungsi edukatif. Apalagi kalau diingat adanya pejabat yang jujur dan tulus, yang mencoba menegakkan birokrasi yang memang benar-benar diperlukan bangsa kita, di tengah-tengah kebalauan hidup di kalangan pemerintahan secara keseluruhan.

Semuanya itu structural, karena akan mematangkan pandangan kita tentang apa yang harus dilakukan di tempat masing-masing. Juga akan mengubah keseluruhan watak kehidupan dalam jangka panjang, tanpa memakai Marxisme dalam pemecahan pokok masalah yang dihadapi.

****
Tempo 13 Februari 1982
(ditulis kembali oleh : Fauzan Anwar Sandiah, 10/29/2013)

Saturday, October 26, 2013

Kaum Intelektual dan Sosialisme (Leon Trotsky, 1910)

"The Intelligentsia and Socialism"
Penerjemah    : Ted Sprague, Agustus 2009
Pertama kali diterbitkan di The New International Vol 4. No.8, Agustus 1938, hal. 249-250


Sepuluh tahun yang lalu, atau bahkan enam atau tujuh tahun yang lalu, para pembela pemikiran sosiologi Rusia yang subjektif (yakni kaum “Sosialis Revolusioner[1]”) mungkin telah berhasil menggunakan brosur terbaru dari ahli filosofi dari Austria, Max Adler[2], untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, selama lima atau enam tahun terakhir, kita telah melalui “pemikiran sosiologi” yang cermat dan objektif, dan pelajaran-pelajarannya tertulis pada tubuh kita di bekas-bekas luka yang sangatlah ekspresif, dimana contoh yang paling baik dari kaum intelektual, bahkan yang datang dari pena “Marxis” Max Adler, tidak akan bisa membantu subjektivisme Rusia. Sebaliknya, nasib dari kaum subjektivis Rusia adalah sebuah argumen yang paling serius terhadap gagasan-gagasan dan kesimpulan-kesimpulan Max Adler.

Subyek dari brosur ini adalah hubungan antara kaum intelektual dan sosialisme. Bagi Adler, ini bukan hanya sebuah masalah analisa teori tetapi juga masalah hati nurani. Ia ingin meyakinkan orang-orang. Brosur Adler, yang berdasarkan pidato yang dia berikan pada kaum pelajar sosialis, dipenuhi dengan keyakinan yang kuat. Semangat untuk merubah keyakinan seseorang memenuhi brosur kecil ini, dan ini memberikannya sebuah nuansa yang spesial pada ide-ide yang tidak baru ini. Untuk memenangkan kaum intelektual ke idenya, untuk meraih dukungan mereka dengan cara apapun, hasrat politik tersebut benar-benar menutupi analisa sosial di dalam brosur Adler. Dan ini memberikannya sebuah nada yang partikular, dan merupakan kelemahannya.

Apa itu kaum intelektual? Tentu saja Adler memberikan konsep ini bukan sebuah definisi moral tetapi sebuah definisi sosial: kaum intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk menarik garis demarkasi antara kerja “manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual cukup jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada satu kelas saja – Ed.], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis di dalam kerangka masyarakat borjuasi. Dan bagi Adler pertanyaannya adalah: siapa yang memiliki hak untuk memiliki jiwa dari kelas ini? Apa ideologi yang menjadi dasarnya, sebagai hasil dari fungsi sosialnya? Adler menjawab: ideologi kolektivisme. Adler tidak menutupi matanya dari kenyataan bahwa kaum intelektual Eropa, selama mereka tidak menentang ide kolektivisme, berdiri mengambang jauh dari kehidupan dan perjuangan rakyat pekerja, tidak panas dan tidak dingin. Tetapi semua tidak harus seperti itu, kata Alder, tidak ada basis objektif yang cukup untuk itu. Adler secara pasti menentang kaum Marxis yang menyangkal keberadaan kondisi-kondisi umum yang dapat menyebabkan sebuah gerakan massa kaum intelektual menuju sosialisme.

Dia menyatakan di pembukaannya “Ada faktor-faktor yang memadai – walaupun bukan faktor ekonomi secara murni, tetapi dari lingkupan yang lain – yang dapat mempengaruhi seluruh massa kaum intelektual, bahkan terlepas dari situasi kehidupan kaum proletar, faktor-faktor yang dapat menjadi motif yang cukup bagi mereka untuk bergabung dengan gerakan buruh sosialis. Kaum intelektual hanya perlu dibuat sadar akan sifat dasar utama dari gerakan ini dan posisi sosial mereka.” Apa faktor-faktor ini? Adler mengatakan, “Karena kesakralan, dan terutama, peluang untuk perkembangan kepentingan spiritual yang bebas adalah kondisi kehidupan kaum intelektual yang utama, oleh karena itu kepentingan intelektual adalah sama dengan kepentingan ekonomi. Maka, bila basis bagi kaum intelektual untuk bergabung dengan gerakan sosialis harus dicari di luar lingkupan ekonomi, ini adalah karena persyaratan eksistensi ideologi tertentu untuk kerja mental daripada isi kebudayaan sosialisme” (halaman 7). Terlepas dari karakter kelas seluruh gerakan (toh, gerakan hanyalah sebuah jalan!), terlepas dari gambaran partai-politik sehari-hari (toh, partai politik hanyalah sebuah alat!), sosialisme pada dasarnya, sebagai sebuah ide sosial yang universal, berarti pembebasan semua bentuk kerja otak dari segala macam belenggu dan batasan sejarah. Premis ini, visi ini, menyediakan jembatan ideologi dimana kaum intelektual Eropa dapat dan harus lewati untuk menuju ke kamp Sosial Demokrasi[3].

Ini adalah titik pandang Adler yang utama, yang merupakan isi dari seluruh brosurnya. Kekeliruan utamanya, yang segera mencuat ke mata kita, adalah karakternya yang non-historis. Dasar sosial bagi kaum intelektual untuk memasuki kamp kolektivisme yang digunakan oleh Adler sudah ada sejak dulu; akan tetapi tidak ada sama sekali gerakan massa intelektual menuju Sosial Demokrasi di negara Eropa manapun. Tentu saja Adler tahu hal ini seperti juga kita. Tetapi dia cenderung melihat terasingnya kaum intelektual dari gerakan kelas pekerja adalah karena kaum intelektual tidak memahami sosialisme. Pada satu pihak ini benar. Tetapi bila begitu apa penjelasan untuk ketidakpahaman ini, yang eksis bersama-sama dengan pemahaman mereka akan hal-hal yang lebih kompleks? Jelas, ini bukan karena kelemahan logika ideologis mereka, tetapi karena kekuatan elemen-elemen irasional di dalam psikologi kelas mereka. Adler sendiri berbicara mengenai ini di dalam babnyaBĂĽrgerliche Schranken des Verständnisses (Batas Pemahaman Kaum Borjuis), yang merupakan salah satu bab terbaik di dalam brosur tersebut. Tetapi dia berpikir, dia berharap, dia yakin – dan disini sang teoritis menjadi pengkhotbah – bahwa Sosial Demokrasi Eropa akan bisa menghancurkan elemen-elemen irasional di dalam mentalitas pekerja-otak bila saja Sosial Demokrasi merekonstrusi logika hubungannya dengan mereka [baca kaum intelektual – Ed.]. Kaum intelektual tidak memahami sosialisme karena sosialisme dari hari-ke-hari tampak bagi mereka ada dalam bentuk rutinnya sebagai sebuah partai politik, seperti yang lainya. Tetapi bila kaum intelektual bisa ditunjukkan wajah sosialisme yang sesungguhnya, sebagai sebuah gerakan kebudayaan sedunia, mereka pasti akan bisa melihat harapan dan aspirasi mereka yang terbaik. Begitulah pikir Adler.

Kita sudah sampai sejauh ini tanpa memeriksa apakah benar persyaratan kebudayaan murni (perkembangan teknik, ilmu pengetahuan, kesenian) jauh lebih kuat, sepanjang kaum intelektual disangkutkan, daripada pengaruh kelas dari keluarga, sekolah, gereja, dan negara, atau kepentingan material. Dan bahkan bila kita menerima ini sebagai argumen, bila kita setuju untuk melihat bahwa kaum intelektual adalah pendeta kebudayaan yang sampai sekarang hanya gagal melihat bahwa penumbangan rejim borjuis dengan sosialisme adalah cara terbaik untuk melayani kepentingan kebudayaan, pertanyaan yang utama tetap adalah: dapatkah Sosial Demokrasi Eropa Barat menawarkan kaum intelektual, secara teori dan moral, sesuatu yang lebih meyakinkan atau lebih menarik daripada apa yang sudah ditawarkan sampai sekarang?

Kolektivisme sudah memenuhi dunia dengan suara perjuangannya selama berpuluh-puluh tahun. Selama periode ini jutaan buruh telah bersatu di dalam organisasi politik, serikat buruh, koperasi, organisasi pendidikan, dan organisasi-organisasi lainnya. Seluruh kelas telah bangkit dari dasar kehidupan dan memaksa masuk ke dalam politik, yang sampai sekarang dianggap sebagai hak tunggal dari kelas yang berada. Setiap hari, koran-koran sosialis – koran teori, politik, serikat buruh – mengevaluasi ulang semua nilai-nilai borjuis dari sudut pandang sebuah masyarakat yang baru. Tidak ada satupun masalah mengenai kehidupan sosial dan kebudayaan (perkawinan, keluarga, sekolah, gereja, tentara, patriotisme, kebersihan sosial, prostitusi) yang tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai sosialisme. Sosialisme berbicara dalam semua bahasa kemanusiaan yang berbudaya. Di dalam gerakan sosialis ini, orang-orang dengan pemikiran yang berbeda-beda dan bermacam temperamen, dengan masa lalu, hubungan sosial, dan kebiasaan hidup yang berbeda-beda, mereka semua saling bekerja dan saling berseteru. Dan bila kaum intelektual tetap “tidak memahami” sosialisme, bila semua ini tidak cukup untuk membuat mereka, mendorong mereka untuk mengerti pentingnya gerakan sedunia ini secara historis dan kultural, maka bukankah kita harus menarik kesimpulan bahwa alasan dari ketidakpahaman ini sangatlah mendasar dan usaha-usaha untuk mengatasi ini dengan teori dan tulisan adalah tidak berguna sama sekali?

Gagasan ini menonjol bahkan lebih jelas bila kita melihat sejarah. Influks kaum intelektual yang terbesar ke dalam gerakan sosialis – dan ini benar di seluruh negara Eropa – terjadi di periode awal dari keberadaan partai pekerja, ketika partai tersebut masih muda. Gelombang influks pertama ini membawa ahli-ahli teori dan politisi yang paling terkemuka ke dalam Internasionale Kedua[4]. Semakin Sosial Demokrasi Eropa tumbuh besar, semakin banyak rakyat pekerja yang bergabung, dan semakin lemah (bukan hanya secara relatif tetapi juga secara absolut) influks elemen-elemen baru dari kaum intelektual. Koran Leipziger Volkszeitung lama mencari dengan sia sia, melalui iklan koran, seorang pekerja editor dengan pendidikan universitas.  Disini kita terpaksa menerima sebuah kesimpulan, sebuah kesimpulan yang bertentangan dengan Adler: semakin sosialisme menampakkan isinya secara tegas, semakin mudah bagi setiap orang untuk memahami tugas sosialisme di dalam sejarah, dan semakin kecut kaum intelektual terhadap sosialisme. Walaupun ini bukan berarti mereka takut akan sosialisme sendiri; jelas kalau di negara-negara kapitalis Eropa telah terjadi perubahan-perubahan sosial yang dalam yang menghalangi pergaulan antara orang-orang universitas dengan buruh, pada saat yang sama dimana perubahan-perubahan sosial tersebut telah memfasilitasi masuknya buruh ke dalam gerakan sosialis.

Apa perubahan-perubahan tersebut? Individu-individu, kelompok-kelompok, dan strata kaum proletar yang paling cerdas telah bergabung dan sedang bergabung ke Sosial Demokrasi. Pertumbuhan dan konsentrasi industri dan transportasi hanya mempercepat proses ini. Sebuah proses yang sepenuhnya berbeda sedang terjadi di dalam kelompok intelektual. Perkembangan kapitalisme yang besar dalam dua dekade terakhir sudah mengikis lapisan atas dari kelas ini. Kekuatan intelektual yang paling cakap, yakni mereka yang memiliki inisiatif dan kreatifitas, telah dihisap oleh industri kapitalis, oleh sindikat-sindikat, perusahaan-perusahaan rel dan perbankan, yang membayar mereka gaji yang sangat besar untuk mengorganisasi rejim mereka. Hanya kaum intelektual kacangan yang tersisa untuk pelayanan negara dan kantor-kantor pemerintah; dan editor-editor koran dari semua tendensi mengeluh mengenai kekurangan “orang”. Dan perwakilan dari kaum intelektual semi-proletar yang jumlahnya semakin meningkat, mereka tidak dapat lari dari kehidupan yang selamanya tergantung pada orang lain dan secara material tidak aman. Bagi mereka, yang melakukan fungsi yang tidak lengkap dan rendah mutunya di dalam mekanisme kebudayaan yang besar, daya tarik kebudayaan yang diajukan oleh Adler tidak cukup kuat dengan sendirinya untuk mengarahkan simpati politik mereka kepada gerakan sosialis.

Terlebih lagi adalah situasi dimana setiap kaum intelektual Eropa yang secara psikologi bisa pindah ke kamp kolektivisme tidak memiliki harapan untuk bisa meraih posisi yang berpengaruh di partai-partai proletar. Ini adalah satu hal yang penting. Seorang buruh menjadi seorang sosialis sebagai sebuah bagian dari keseluruhan, bersama-sama dengan kelasnya, dimana dia tidak punya prospek untuk keluar dari kelasnya. Dia bahkan puas dengan perasaan persatuan moral dengan rakyatnya, yang membuatnya lebih percaya diri dan kuat. Akan tetapi kaum intelektual menjadi seorang sosialis sebagai seorang individu, dengan memutuskan tali pusat kelasnya sebagai seorang individu, dan secara tak terelakkan berusaha untuk menggunakan pengaruhnya sebagai seorang individu. Tetapi disinilah dia terbentur oleh rintangan-rintangan – dan seiring waktu berjalan rintangan ini semakin bertambah besar. Pada permulaan gerakan Sosial Demokrasi, setiap kaum intelektual yang bergabung ke Sosial Demokrasi, bahkan bila dia bukan di atas rata-rata, dapat meraih sebuah posisi di gerakan kelas pekerja. Sekarang setiap pendatang-baru menemukan, di negara-negara Eropa Barat, struktur demokrasi kelas-pekerja yang kolosal sudah eksis. Ribuan pemimpin buruh, yang secara otomatis datang dari kelas mereka, membentuk sebuah aparatus yang solid dimana diatasnya berdiri veteran-veteran aktivis buruh yang terhormat, yang memiliki otoritas, figur-figur yang telah menjadi sejarah. Hanya seorang yang memiliki bakat luarbiasa yang dapat berharap untuk meraih posisi kepemimpinan untuk dirinya – tetapi orang seperti itu, daripada meloncati jurang menuju sebuah kamp yang asing baginya, dia biasanya akan mengikuti jalan yang rintangannya paling kecil, yakni bekerja sebagai pelayan negara atau industri. Selain semua itu, di antara kaum intelektual dan sosialisme berdiri sebuah tembok, yakni aparatus organisasi Sosial Demokrasi. Aparatus organisasi ini membuat tidak senang para intelektual yang memiliki simpati sosialis, karena aparatus ini menuntut disiplin dan sikap menahan-diri; ini kadang tidak sesuai dengan “oportunisme” mereka, dan juga kadang tidak sesuai dengan “radikalisme” mereka yang berlebihan, dan ini menakdirkan mereka ke peran penonton yang ribut yang terombang-ambing antara anarkisme dan liberalisme-nasional. Simplicissimus[5]adalah panji ideologi mereka yang tertinggi. Dengan modifikasi yang berbeda-beda dan dengan kadar yang berbeda-beda, fenomena ini terulang di semua negara di Eropa. Orang-orang ini, lebih daripada kelompok-kelompok lainnya, terlalu sombong dan terlalu sinis untuk bisa menerima arti penting kebudayaan dari sosialisme ke dalam jiwa mereka. Hanya sedikit sekali “kaum ideolog” – dengan konotasi baik dan buruknya – yang dapat meraih keyakinan sosialisme di bawah stimulus pemikiran teori murni, dengan, sebagai titik tolak mereka, tuntutan hukum seperti Anton Menger[6], atau persyaratan teknik seperti Atlanticus[7]. Tetapi bahkan kasus-kasus seperti ini, seperti yang kita ketahui, biasanya tidak bergerak terlalu jauh dari gerakan Sosial-Demokrasi, dan perjuangan kelas proletar di dalam hubungan internalnya dengan sosialisme bagi mereka tetap merupakan sebuah buku yang terkunci dengan tujuh segel.

***
Dengan mempertimbangkan bahwa tidaklah mungkin memenangkan kaum intelektual ke kolektivisme dengan sebuah program yang bersifat material, Adler sungguh benar. Tetapi ini tidak berarti bahwa mungkin untuk memenangkan kaum intelektual dengan cara apapun, dan juga tidak berarti bahwa kepentingan material segera dan ikatan kelas tidak mempengaruhi kaum intelektual lebih dari prospek historis-kebudayaan yang ditawarkan oleh sosialisme.

Bila kita tidak ikutsertakan kaum intelektual yang secara langsung melayani rakyat pekerja, sebagai doktornya buruh, pengacara buruh, dan sebagainya (sebuah strata, yang secara umum, terdiri dari perwakilan yang kurang berbakat dari profesi-profesi tersebut), maka kita bisa melihat bahwa kaum intelektual yang paling penting dan berpengaruh mendapatkan penghidupannya dari laba industri, uang sewa tanah, atau anggaran negara, dan oleh karena itu mereka secara langsung atau tidak langsung bergantung pada kelas kapitalis atau negara kapitalis.

Bila dipertimbangkan secara abstrak, ketergantungan material ini hanya menihilkan aktivitas politik militan dari kaum intelektual yang anti-kapitalis, tetapi tidak menihilkan kebebasan spiritual mereka dari kelas [kapitalis - Ed.] yang memberikan mereka penghidupan. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak begitu. Justru karena karakter “spiritual” dari kerja kaum intelektual yang membuat kaum intelektual secara tidak terelakkan membentuk sebuah ikatan spiritual antara mereka dan kelas penguasa. Manajer-manajer pabrik dan insinyur-insinyur pabrik dengan tanggungjawab administratif selalu menemukan diri mereka di dalam antagonisme dengan para buruh, dimana mereka harus membela kepentingan kapital. Jelas sekali kalau fungsi yang harus mereka lakukan, pada analisa terakhir, merubah cara berpikir mereka dan opini mereka terhadap diri mereka sendiri. Dokter dan pengacara, walaupun karakter profesi mereka yang independen, harus selalu berhubungan secara psikologi dengan klien-klien mereka. Seorang tukang listrik dapat setiap hari memasang kabel listrik di kantor-kantor para menteri, bankir, dan istri-istri gelap mereka, dan dirinya tetap terisolasi dari mereka. Ini berbeda bagi seorang dokter, yang harus menemukan nada di dalam jiwa dan suaranya yang sesuai dengan perasaan dan kebiasaan orang-orang tersebut [para menteri, bankir, dsb – Ed.]. Terlebih lagi, hubungan semacam ini secara tidak terelakkan terjadi bukan hanya di lapisan atas masyarakat borjuis. Para suffragette [perempuan yang membela hak memilih untuk perempuan – Ed.] dari London menyewa pengacara pro-suffragette untuk membela mereka. Seorang dokter yang mengobati istri-istri para jendral di Berlin atau istri-istri pemilik toko-kecil “Kristen-Sosial” di Vienna, seorang pengacara yang membela kasus ayah, saudara, dan suami mereka [para jendral dan pemilik toko-kecil tersebut – Ed.] tidak bisa membiarkan dirinya merasa antusias mengenai prospek kebudayaan kolektivisme. Semua ini benar bagi para penulis, artis, pemahat, seniman – tidak secara langsung dan segera, tetapi tetap tak terelakkan. Mereka menawarkan ke publik karya mereka atau kepribadian mereka, mereka tergantung pada persetujuan dan uang mereka, dan oleh karena itu, secara terbuka atau tertutup, mereka menundukkan kekreatifan mereka pada “monster besar” yang mereka benci: kaum borjuis. Nasib para penulis “muda” Jerman – yang sudah semakin menipis – menunjukkan kebenaran ini. Gorky, yang dijelaskan oleh kondisi epos dimana dia tumbuh besar, adalah sebuah pengecualian yang hanya membuktikan kebenaran ini: ketidakmampuan dia untuk mengadaptasi dirinya pada degenerasi anti-revolusioner kaum intelektual secara cepat mengikis “popularitasnya”.

Disini tersingkap sekali lagi perbedaan sosial antara kondisi kerja otak dan kerja otot. Walaupun kerja pabrik memperbudak otot dan melemahkan badan, ia tidak bisa menundukkan pikiran buruh. Semua kebijakan telah dicoba untuk menundukkan pikiran buruh, di Swiss seperti di Rusia, yang terbukti tidak berguna. Otak kaum buruh dari sudut pandang fisik lebih bebas. Penulis tidak harus bangun tidur ketika ayam berkokok, di belakang punggung dokter tidak ada mandor, kantong pengacara tidak diperiksa ketika dia meninggalkan pengadilan. Tetapi sebagai gantinya, mereka [penulis, dokter, pengacara, dsb] bukan hanya harus menjual tenaga-kerjanya, bukan hanya ototnya, tetapi seluruh kepribadiannya sebagai seorang manusia – dan bukan karena rasa takut tetapi karena kewajiban. Sebagai akibatnya, orang-orang ini tidak ingin melihat dan tidak bisa melihat bahwa baju jas profesi mereka adalah hanya sebuah seragam penjara yang lebih baik.

***
Pada akhirnya, Adler sendiri tampak tidak puas dengan formulanya yang abstrak dan pada dasarnya idealistik mengenai inter-relasi antara kaum intelektual dan sosialisme. Di dalam propaganda dia sendiri, dia sesungguhnya berbicara bukan kepada kelas pekerja otak yang memenuhi fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat borjuasi, tetapi kepada generasi muda kaum intelektual yang sekarang hanya berada di tahapan persiapan untuk peran mereka di masa depan – yakni kepada para pelajar. Bukti untuk ini bukan hanya dapat ditemukan pada siapa brosur Adler ditujukan: “Kepada Serikat Mahasiswa Bebas di Vienna”, tetapi juga dari nada brosur tersebut, agitasinya yang penuh semangat dan nada ceramahnya. Tidak terpikir untuk bisa mengekspresikan diri sendiri seperti itu di hadapan para profesor, penulis, pengacara, dokter. Nada seperti itu akan langsung tersumbat di tenggorokan seseorang setelah beberapa kata. Oleh karena itu, terbatas oleh kondisi material manusia yang harus dia kerjakan, Adler sendiri membatasi tugasnya. Sang politisi memperbaiki formula teorinya. Pada akhirnya, ini adalah perjuangan untuk mempengaruhi parapelajar.

Universitas adalah tahap akhir pendidikan yang diorganisir oleh negara untuk anak-anak kelas penguasa, seperti halnya barak-barak militer adalah institusi pendidikan akhir untuk generasi muda kaum buruh dan tani. Barak membentuk kepatuhan dan kedisiplinan yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi sosial yang akan dipenuhi selanjutnya. Pada prinsipnya, universitas melatih kemampuan manajemen, kepemimpinan, dan pemerintahan. Dari sudut ini, bahkan kelompok fraternitas mahasiswa Jerman adalah institusi kelas yang penting, karena mereka menciptakan tradisi yang menyatukan para ayah dan anak-anaknya, menguatkan kebanggaan nasional, menanam kebiasaan-kebiasaan yang dibutuhkan di lingkungan borjuis, dan, akhirnya, meninggalkan sebuah cap yang menandakan bahwa seseorang adalah bagian dari kelas penguasa. Orang-orang yang melalui barak-barak, tentu saja, jauh lebih penting bagi partai Adler dibandingkan mereka yang melalui universitas. Tetapi pada situasi sejarah tertentu – yakni ketika, dengan perkembangan industri yang pesat, tentara memiliki komposisi sosial dari kelas proletar seperti halnya di Jerman – partai dapat mengatakan: “Saya tidak perlu pergi ke barak-barak. Cukup bagi saya untuk mengantarkan sang buruh muda sejauh pintu barak dan yang paling penting adalah menemui dia saat dia keluar lagi. Dia tidak akan meninggalkan saya, dia akan tetap menjadi milik saya.” Tetapi dalam hal universitas, bila partai ingin melakukan perjuangan independen untuk merekrut kaum intelektual, dia harus mengatakan yang sebaliknya: “Hanya disini dan hanya sekarang, ketika sang pemuda bebas dari keluarganya, dan ketika dia belum menjadi sandera dari posisinya di dalam masyarakat, saya dapat merekrut dia ke dalam kelompok kita. Sekarang atau tidak sama sekali.”

Di antara kaum buruh, perbedaan antara “ayah” dan “anak” secara murni hanya perbedaan umur. Di antara kaum intelektual perbedaannya bukan hanya perbedaan umur tetapi juga perbedaan sosial. Kaum pelajar, tidak seperti kaum buruh muda dan ayahnya sendiri, tidak memenuhi fungsi sosial apapun, tidak merasakan ketergantungan langsung kepada kapital atau negara, dan – setidaknya secara objektif bila bukan subjektif – bebas di dalam penilaiannya akan apa yang benar dan salah. Di dalam periode ini semua yang ada di dalam dirinya sedang berkembang, prasangka kelasnya tidak terbentuk seperti halnya juga ketertarikan ideologinya, masalah hati nurani sangat penting baginya, untuk pertama kalinya pikirannya terbuka pada generalisasi ilmu pengetahuan yang agung, segala sesuatu yang luar biasa hampir menjadi sebuah kebutuhan psikologi baginya. Bila kolektivisme dapat menguasai pikirannya, sekaranglah saatnya, dan kolektivisme dapat melakukan ini melalui karakter ilmiahnya yang luhur yang menjadi basisnya dan isi kebudayaan yang komprehensif dari tujuan-tujuannya, dan bukan melalui masalah “pisau dan garpu” (baca masalah perut – Ed.) yang membosankan. Di poin terakhir ini Adler sungguh benar.

Tetapi disini juga kita sekali lagi harus berhenti di hadapan sebuah fakta yang jelas. Bukan hanya kaum intelektual Eropa secara keseluruhan tetapi juga anak-anaknya, sang pelajar, yang secara pasti tidak menunjukkan ketertarikan apapun terhadap sosialisme. Ada sebuah tembok di antara partai buruh dan kaum pelajar. Mencoba menjelaskan masalah ini hanya dengan alasan tidak cukupnya kerja agitasi, yang belum mampu mendekati kaum intelektual dari sudut yang tepat, yakni apa yang Adler coba jelaskan, berarti mengabaikan seluruh sejarah hubungan antara kaum pelajar dan “rakyat”. Ini berarti melihat kaum pelajar sebagai sebuah kategori intelektual dan moral dan bukan sebagai sebuah produk dari sejarah sosial. Benar, ketergantungan mereka pada masyarakat borjuasi hanya mempengaruhi mereka secara tidak langsung, melalui keluarga mereka, dan oleh karena itu ketergantungan ini lemah. Tetapi, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelas darimana kaum pelajar ini berasal tercerminkan di dalam perasaan dan opini kaum pelajar dengan kekuatan yang penuh, seperti sebuah resonator. Sepanjang seluruh sejarah – di dalam momen-momen heroiknya yang paling hebat dan juga di dalam periode kebangkrutan moral total – kaum pelajar Eropa telah menjadi barometer kelas borjuis yang sensitif. Mereka menjadi ultra-revolusioner, dengan tulus hati dan terhormat bergaul dengan rakyat, ketika masyarakat borjuis tidak ada jalan keluar kecuali dengan revolusi. Mereka secara de facto menjadi kekuatan demokrasi borjuis ketika kebangkrutan politik kelas borjuis mencegah mereka [kelas borjuis] untuk memimpin revolusi, seperti yang terjadi di Vienna pada tahun 1848. Tetapi mereka [kaum pelajar] juga menembaki kaum buruh pada bulan Juni pada tahun yang sama, di Paris, ketika kaum borjuis dan kaum buruh saling berhadapan di barikade yang berseberangan. Setelah peperangan Bismark telah menyatukan Jerman dan memenuhi keinginan kelas borjuis, kaum pelajar Jerman dengan cepat menjadi figur yang mabuk dengan bir dan penuh dengan kesombongan, yang bersama-sama dengan pejabat militer Prusia selalu muncul di koran-koran satiris. Di Austria, para pelajar menjadi pembela eksklusifitas nasional dan sovisnisme[8] militan, seiring dengan menajamnya konflik antara nasionalitas-nasionalitas yang berbeda di negara tersebut untuk menguasai pemerintah. Dan tidak diragukan bahwa di dalam semua transformasi sejarah ini, bahkan yang paling menjijikkan sekalipun, kaum pelajar menunjukkan ketajaman politik, dan kesiapan untuk berkorban, dan idealisme yang militan; kualitas-kualitas yang sangat diandalkan oleh Adler. Walaupun kaum filistin[9] berumur 30 atau 40 tidak akan mengambil resiko mengorbankannya wajahnya untuk diremukan demi “kehormatan” yang abstrak, anaknya akan melakukan itu, dengan semangat yang tinggi. Para pelajar Ukraina dan Polandia di Universitas Lvov baru-baru ini menunjukkan sekali lagi kepada kita bahwa mereka bukan hanya tahu bagaimana memimpin tendensi nasional atau politik sampai garis akhir tetapi juga tahu bagaimana menyongsongkan dada mereka di depan moncong senjata. Tahun lalu para pelajar German di Prague siap menghadapi kekerasan massa untuk menunjukkan di jalanan hak mereka untuk eksis sebagai sebuah masyarakat Jerman. Disini kita saksikan idealisme militan – kadang-kadang seperti ayam jago – yang merupakan karakteristik bukan dari sebuah kelas atau sebuah ide tetapi dari sebuah kelompok-umur; di pihak yang lain, isi politik dari idealisme ini sepenuhnya ditentukan oleh semangat historis kelas-kelas darimana para pelajar tersebut berasal dan kemana dia akan kembali. Dan ini alami dan tidak terelakkan.

Pada analisa yang terakhir, semua kelas yang kaya mengirim anak mereka ke universitas dan bila para pelajar ini, ketika ada di universitas, menjadi sebuah tabula rasa (kertas kosong – Ed.) dimana sosialisme dapat menulis pesannya, apa jadinya keturunan kelas dan determinisme sejarah yang tua dan malang ini?

***
Kita tetap harus memperjelas satu aspek lainnya, yang akan mendukung dan menentang Adler.

Satu-satunya cara untuk menarik kaum intelektual ke sosialisme, menurut Adler, adalah dengan mengedepankan tujuan akhir dari gerakan sosialis, di dalam keseluruhannya. Tetapi tentu saja Adler tahu bahwa tujuan akhir ini menjadi semakin jelas dan menjadi semakin lengkap seiring dengan progres konsentrasi industri, proletarianisasi strata menengah dan intensifikasi antagonisme kelas. Terpisah dari kehendak para pemimpin politik dan perbedaan-perbedaan dalam taktik nasional, di Jerman “tujuan akhir” ini berdiri dengan jauh lebih jelas dan lebih segera dibandingkan di Austria dan Itali. Tetapi proses sosial yang sama ini, yakni intensifikasi pertentangan antara buruh dan kapital, mencegah kaum intelektual dari menyeberang ke partai buruh. Jembatan antara kelas-kelas runtuh, dan untuk menyeberang, seseorang harus melompati sebuah jurang yang semakin dalam seiring dengan berlalunya waktu. Oleh karena ini, pararel dengan kondisi-kondisi yang secara objektif membuat lebih mudah kaum intelektual untuk memahami secara teori esensi dari kolektivisme, halangan-halangan sosial tumbuh semakin besar yang mencegah kaum intelektual untuk bergabung dengan pasukan sosialis. Bergabung dengan gerakan sosialis di negara maju manapun, dimana kehidupan sosial eksis, bukanlah sebuah tindakan spekulatif, tetapi sebuah tindakan politik, dan disini kondisi sosial menang melawan logika teori. Dan akhirnya ini berarti bahwa sekarang lebih sulit untuk memenangkan kaum intelektual dibandingkan kemarin, dan akan lebih sulit esok hari dibandingkan sekarang.

Akan tetapi, di dalam proses ini juga ada sebuah “perpecahan di dalam proses yang berjalan lambat ini”. Sikap kaum intelektual terhadap sosialisme, yang sudah kita jelaskan sebagai sikap yang terasingkan yang semakin membesar dengan tumbuhnya gerakan sosialis, dapat dan harus berubah secara pasti sebagai akibat dari perubahan politik secara objektif yang akan menggeser perimbangan kekuatan sosial secara radikal. Di antara gagasan-gagasan Adler, sebanyak ini yang benar: bahwa kaum intelektual ingin mempertahankan eksploitasi kapitalis tidak secara langsung dan tidak tanpa syarat, selama kaum intelektual secara materi tergantung pada kelas kapitalis. Kaum intelektual bisa menyeberang ke kolektivisme bila mereka dapat melihat kemungkinan kemenangan kolektivisme yang segera, bila kolektivisme muncul di hadapan mereka bukan sebagai sebuah idealisme dari kelas yang berbeda, jauh, dan asing [baca kelas buruh – Ed.] tetapi sebagai sesuatu yang dekat dan nyata; dan akhirnya, bila – dan ini bukan kondisi yang paling tidak penting – perpecahan politik dengan kelas borjuis tidak mengancam setiap pekerja-otak dengan konsekuensi materi dan moral yang menyeramkan. Kondisi-kondisi seperti itu hanya bisa diciptakan bagi kaum intelektual Eropa melalui kekuasaan politik sebuah kelas sosial yang baru; dan sedikit banyak melalui sebuah periode perjuangan langusng dan segera untuk kekuasaan tersebut. Apapun yang menjadi sebab keterasingan kaum intelektual Eropa dari rakyat pekerja – dan keterasingan ini akan tumbuh semakin besar, terutama di negara-negara kapitalis muda seperti Austria, Itali, dan negara-negara Balkan – di sebuah epos rekonstruksi sosial yang hebat kaum intelektual – mungkin lebih awal dari pada kelas-kelas intermediate lainnya – menyeberang ke sisi pembela masyakarat yang baru. Sebuah peran yang besar akan dimainkan oleh kualitas sosial kaum intelektual dalam koneksinya dengan ini, yang membedakan mereka dari kelas borjuis kecil komersial dan industrial dan kelas tani: hubungan okupasinya dengan cabang kebudayaan kerja sosial, kapasitasnya dalam menggeneralisasi teori, fleksibilitas dan mobilitas cara berpikirnya; pendeknya, intelektualitas mereka. Dihadapi dengan kenyataan pemindahan seluruh aparatus masyarakat ke tangan yang baru [baca kelas buruh – Ed.], kaum intelektual Eropa akan mampu meyakinkan diri mereka bahwa kondisi baru yang tercipta ini tidak akan mencampakkan mereka ke jurang dalam tetapi justru akan membuka peluang-peluang yang tak terbatas bagi mereka untuk mengaplikasikan kekuatan-kekuatan teknik, organisasi, dan ilmiah; dan mereka akan bisa membawa ke depan kekuatan-kekuatan tersebut dari barisan mereka, bahkan pada periode awal yang sangat kritis ketika rejim yang baru harus menghadapi kesulitan-kesulitan teknik, sosial, dan politik yang besar.

Tetapi bila penaklukan aparatus masyarakat tergantung sebelumnya pada bergabungnya kaum intelektual ke partai kaum proletar Eropa, maka prospek kolektivisme sangatlah buruk – karena, seperti yang sudah kita coba tunjukkan di atas, bergabungnya kaum intelektual ke Sosial Demokrasi di dalam kerangka rejim borjuis, berlawanan dengan harapan-harapan Max Adler, menjadi semakin mustahil seiring dengan berlalunya waktu.

*******

Catatan

[1] Partai Sosialis Revolusioner dibentuk pada tahun 1902, mewarisi banyak ide dan praktek dari Partai Kehendak Rakyat dan Narodniki.  Mereka menekankan bahwa kaum tani adalah kelas yang revolusioner, bukan pekerja kota. Pada tahun 1917, partai SR pecah menjadi SR Kiri dan SR Kanan. SR Kanan mendukung Pemerintahan Sementara sedangkan SR Kiri beragitasi untuk penggulingannya. Dengan munculnya pemerintahan Soviet, SR Kiri bergabung dengannya namun SR Kanan meneruskan taktik teroris mereka dan akhirnya dilarang.
[2] Max Adler (1873-1937) adalah seorang kaum intelektual, politisi, dan ahli filosofi dari Austria. Dia adalah perwakilan dari garis pemikiran Austromarxisme.
[3] Sebelum tahun 1914, semua kaum Marxis and Sosialis menyebut diri mereka sebagai kaum Sosial Demokrat. Setelah pengkhianatan parta-partai Sosial Demokrasi yang mendukung Perang Dunia Pertama (tahun 1914), kaum Marxis revolusioner mencampakkan nama Sosial Demokrasi untuk memisahkan diri mereka dari kaum reformis.
[4] Internasional Kedua - Pada tahun 1880, Partai Sosial Demokrat Jerman mendukung seruan dari kamerad-kamerad Belgia untuk mengadakan kongres sosialis internasional pada tahun 1881. Kota kecil bernama Chur dipilih dan kaum sosialis Belgia, Parti Ouvrier dari Perancis, Sosial Demokrat Jerman dan Sosial Demokrat Swiss berpartisipasi dalam persiapan kongres yang akhirnya menuju pada pembentukan Sosialis Internasional atau Internasionale Kedua. Tidak seperti Internasionale Pertama, Internasionale Kedua terdiri dari partai-partai politik yang memiliki pemimpin terpilih, program politik dan keanggotaan yang berbasiskan di negerinya masing-masing. Seksi nasional dari Internasionale Kedua membangun serikat buruh, terlibat dalam pemilihan umum dan sangat terlibat dalam kehidupan klas pekerja di negerinya masing-masing.
Permulaan Perang Besar pada tahun 1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang menyebabkan krisis didalam Internasionale Kedua. Kaum Sosial Demokrat bertemu di Zimmerwald pada tahun 1915 untuk mencoba membentuk platform oposisi bersama terhadap pembantaian yang terjadi dalam Perang. Konferensi Zimmerwald gagal untuk menyatukan kaum Sosial Demokrat ataupun mengakhiri Perang. Namun konferensi tersebut mampu menyatukan sebuah Sayap Kiri yang mendukung Revolusi Rusia dan memberikan basis bagi Internasional Ketiga (Komunis Internasional).
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan pekerja internasional dalam periode ini adalah: Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Karl Liebknecht, G V Plekhanov, August Bebel, Clara Zetkin, Daniel De Leon, Franz Mehring dan V I Lenin.
[5] Simplicissimus adalah sebuah majalah satiris mingguan yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1896. Ini adalah koran kaum intelektual liberal.
[6] Anton Menger (1841-1906) adalah seorang profesor hukum dari Austria. Dia menulis banyak buku mengenai reformasi hukum untuk membela hak-hak rakyat miskin dan buruh. Beberapa buku yang dia tulis di antaranya: Hak untuk memiliki seluruh hasil produksi dan Hukum sipil dan kaum miskin.
[7] Atlanticus, nama pena Karl Ballod atau Karlis Balodis (1864-1931), seorang ahli statistik ekonomi dari Latvia. Menjabat sebagai profesor di Universitas Berlin. Dia menulis banyak buku mengenai ekonomi sosialisme dan terlibat di dalam perencanaan proses ekonomi Uni Soviet.
[8] Sovinisme: nasionalisme sempit
[9] Filistin adalah seseorang yang tidak tertarik dengan persoalan intelektual

Tan Malaka, Idealisme tanpa Kompromi

Jelang Pemilu 2014 konstalasi politik Tanah Air mulai memanas. Masing-masing partai dan elite politik mulai melancarkan manuvernya untuk meraih kursi kekuasaan di negeri yang katanya kaya raya akan sumber daya alam ini.

Tak jarang intrik buruk, saling serang antar-mereka dilakukan. Politik saling ungkap keburukan pun terjadi. Tujuannya satu, untuk menjatuhkan lawan di mata rakyat sehingga memiliki citra negatif dan tidak dipilih rakyat di 2014.

Bermodal kata 'demi rakyat' di media, kampanye dan mimbar bebas di tengah publik, para politikus itu menebar janji politik kepada rakyat. Dari kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan segudang persoalan lainnya dijanjikan mereka akan diberantas. Semua itu hanya untuk menempati empuknya kursi kekuasaan.

Namun, ketika berkuasa, kemiskinan, anak putus sekolah, pengangguran tetap tak terselesaikan. Rakyat masih ada yang kelaparan, hingga makan nasi aking. Bahkan sampai-sampai aset negara pun tergadai dijual ke asing.

Sementara para pejabat yang dipilih banyak yang ditangkap KPK karena terlibat korupsi. Miris, itulah kondisi Indonesia. Para pejabat di negeri ini seakan tak pernah belajar dari para pejuang dahulu yang dengan susah payah memerdekakan negeri ini.

Dulu kita pernah memiliki seorang Bapak Bangsa yang memiliki idealisme tanpa kompromi demi Indonesia. Idealisme tak bisa dibeli atau ditukar dengan apapun. Dia adalah Ibrahim Sutan DatukTan Malaka atau yang akrab dipanggil Tan Malaka .

Pria kelahiran Pandang Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 itu lah yang pertama kali menulis konsep kemerdekaan Indonesia lewat bukunya 'Naar de Republiek Indonesia' (Menuju Indonesia Merdeka) pada 1925. Setelah itu baru Hatta menulis 'Indonesia Vrije' (Indonesia Merdeka) sebagai pledoi di depan pengadilan Den Haag pada 1928, kemudian Soekarno menulis 'Menuju Indonesia Merdeka' pada 1933

Buku itu kemudian dilarang beredar, dimiliki dan dibaca oleh pihak kolonial. Buku Tan Malaka itu lah yang kemudian menginspirasi para pemuda untuk segera memerdekakan Republik. Bahkan,Soekarno pun menjadikan buku itu sebagai bacaan wajibnya kala itu.

Atas hal itu, Muhammad Yamin menjuluki Tan Malaka sebagai 'Bapak Republik Indonesia'. Sementara, Soekarno menjulukinya sebagai 'orang yang mahir dalam revolusi.' Tan Malakaadalah seorang yang telah melukiskan revolusi Indonesia dengan bergelora.

Pria yang kenyang keluar masuk penjara di luar negeri dan pulau Jawa karena pemikirannya itu tak pernah lelah berusaha melepaskan Indonesia dari kolonialisme Belanda dan Jepang saat itu. Baginya Indonesia harus menjadi negara yang merdeka, mandiri. Namun, hal itu harus direbut bukan atas pemberian. Hal itu di kemudian hari yang membuat Tan Malaka bersilang pendapat dengan Soekarno dan Hatta.

Tan Malaka kecewa karena Soekarno-Hatta yang kala itu dikenal sebagai motor gerakan kemerdekaan Indonesia lebih memilih jalan 'damai' dan bernegosiasi dengan Belanda dan Jepang. Bagi Tan Malaka kemerdekaan harus direbut bukan diberikan. Menurutnya, kaum pribumi adalah pemilik dari Tanah Airnya. Jadi tak pantas jika harus menghamba kepada pihak kolonial untuk meminta kemerdekaan. Perundingan baru bisa dilakukan setelah kemerdekaan di raih.

Tan Malaka adalah sosok yang seakan dilupakan oleh bangsanya sendiri. Di era rezim Soekarno ,Tan Malaka dimusuhi. Bahkan pada Kabinet Sjahrir Tan Malaka dipenjarakan hingga 2,5 tahun tanpa pengadilan.

Di era Soeharto, semua yang menyangkut Tan Malaka seakan dihilangkan. Hal itu dikarenakan ideologi komunis yang dianut Tan Malaka saat itu menjadi musuh rezim Soeharto. Padahal, walaupun Tan Malaka adalah seorang komunis, dia adalah seorang yang nasionalis dan beragama. Hal ini terbukti dari sejumlah pemikirannya. Tan Malaka yang sejak muda itu sudah hapal Alquran itu bahkan pernah berucap "Di depan Tuhan saya adalah seorang muslim."

Tan Malaka adalah putra bangsa yang cerdas dan memiliki idealisme. Dia tak mau bangsanya diinjak-injak negara lain dan meminta-minta kepada penjajah untuk kemerdekaan yang merupakan hak alami Tanah Airnya. Tan Malaka tak gila publikasi dan popularitas seperti politikus saat ini. Meski hasil karya pemikirannya banyak dijadikan rujukan dan inspirasi banyak orang di eranya, tak banyak orang yang mengenal rupa dan bagaimana wujud dari seorang Tan Malaka .

Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya kala itu, Tan Malaka bekerja dari menjadi guru matematika, bahasa Inggris hingga tukang jahit. Padahal jika dia bermental 'penjahat' dan memiliki idealisme palsu, tak sulit untuk mendapat pundi kekayaan saat itu lewat bekerja sama dengan pihak kolonial. Namun hal itu tidak dilakukannya. Baginya perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi nomor satu. Membebaskan rakyat dan kaum proletariat dari penindasan kolonial adalah iman utama.

Sungguh sosok yang sangat pantas dijadikan teladan bagi para elite dan politikus Tanah Air saat ini.

Tuesday, October 22, 2013

Saling Menyapa Antarsubkultur

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Seorang negarawan sejati pasti bisa mengendalikan keakuan (egoisme) politik kekuasaannya untuk kepentingan yang lebih besar dan mulia--sebutlah kepentingan bangsa dan negara. Bung Karno dan Bung Hatta sebenarnya tidak perlu berpecah sekiranya masing-masing pihak mampu memahami subkultur yang berbeda. Berdasarkan pemahaman itu, Bung Hatta semestinya akan lebih sabar menghadapi egoisme politik Bung Karno yang pada era 1950-an tampak mulai sulit dikendalikan.

Sikap Bung Hatta yang selalu menggunakan “kultur pintu depan” (terbuka dengan bahasa dan argumen yang tajam) jelas tidak enak bagi Bung Karno. Perpecahan politik dua proklamator ini ternyata berbuntut panjang bagi perjalanan sejarah Indonesia merdeka. Integrasi nasional hanya bisa menjadi mantap, jika ratusan subkultur yang sangat kaya di nusantara mengembangkan budaya saling menyapa, saling memahami.

Ada ungkapan Jawa yang tidak dipahami Bung Hatta: “Ngono yo ngono, nanging ojo ngono” (Begitu ya begitu, namun jangan begitu). Sekiranya Bung Hatta sedikit bisa mengendalikan kekuatan rasionalnya berhadapan dengan Bung Karno dengan subkulturnya yang canggih, tetapi ruwet itu, perpecahan akan dapat diatasi. Sebagai seniman, Bung Karno punya perasaan halus dan lembut, asal tidak disikapi dengan senjata “kultur pintu depan” yang belum tentu bijak. Umumnya etnis Minang, Bugis, Batak, dan banyak lain lebih memilih “kultur pintu depan,” dibandingkan dengan etnis Jawa plus kulturnya yang sangat tua, piawai, dan kaya, tetapi belum tentu mudah dipahami oleh pendukung subkultur lain.

Dua tokoh ini sebenarnya saling melengkapi dengan kepribadian khasnya yang kontras masing-masing. Jika berpidato, Bung Karno, salah seorang orator terbesar abad ke-20, akan mampu menghipnotis massa selama berjam-jam, sekalipun menahan lapar. Sebaliknya Bung Hatta akan menyebabkan orang mengantuk jika berpidato terlalu panjang, karena disampaikan secara datar, dingin, sekalipun sangat teratur dan bernas. Kedua tokoh ini adalah pembaca dan kutu buku yang dahsyat. Keduanya sudah sama-sama melalap hasil peradaban Barat modern, termasuk di dalamnya Marxisme, sosialisme, dan kapitalisme. Mungkin dalam filsafat Yunani kuno, Bung Hatta lebih mendalam.

Bangsa ini patut bersyukur karena kedua tokoh itu mewariskan karya tulis yang berjibun. Tetapi, siapakah di antara kita sekarang yang masih mau membaca warisan berharga mereka itu? Menyikapi kejahatan kapitalisme dan imperilisme, keduanya berada dalam satu biduk, hampir tidak ada perbedaan. Tetapi, sikap terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), antara Bung Karno dan Bung Hatta berlawanan seperti siang dan malam. Bung Karno yakin bisa menjinakkan PKI. Bagi Bung Hatta, PKI tidak bisa dijinakkan, karena kesetiaannya kepada Uni Soviet atau kemudian kepada Cina Komunis melebihi kesetiaannya kepada nasionalisme Indonesia, kecuali komunisme Tan Malaka yang nasionalistik.

Bung Karno sejak 1950-an, mungkin dengan maksud baik, berupaya untuk memegang tampuk kekuasaan secara penuh, demi mencapai tujuan revolusi kemerdekaan. Maka, melalui Dekrit 5 Juli 1959, dengan dukungan Angkatan Darat mimpi itu telah diraihnya.

Setelah bertahan selama enam tahun dalam format sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966), tanpa didampingi Bung Hatta, kekuasaan Bung Karno berakhir dengan cara dramatis dan pedih, digantikan oleh rezim militer di bawah kendali Jenderal Soeharto (1966-1998) yang berkuasa selama 32 tahun dengan Demokrasi Pancasila yang minus demokrasi itu, tidak banyak berbeda dengan sistem politik yang digantikannya.

Mencermati hubungan Bung Karno dan Bung Hatta yang pernah bersatu untuk kemudian terbelah secara politik, banyak pelajaran berharga yang dapat diambil di sana. Untuk ke depan, di saat kedaulatan kita yang kini nyaris tergadai, saya mengimbau semua pihak, terutama tokoh-tokoh partai, agar mau mengendalikan egoisme politik kekuasaannya dan tancap gas untuk berlatih menjadi negarawan, demi kepentingan bangsa dan negara yang kini sedang oleng.

Kultur politik yang sangat kumuh sekarang ini, jika tidak segera dibersihkan oleh nalar sehat dengan penuh keberanian, tidak mustahil bangsa ini sedang menggali kuburan masa depannya. Kita semua wajib membendungnya. Indonesia tidak boleh tenggelam di tangan anak-anaknya yang serbatuna. Sikap tegas Bung Karno dan Bung Hatta terhadap imperialisme dan kapitalisme perlu diwarisi, sedangkan perpecahan antara keduanya harus disesali, jangan ditiru, dan harus dikubur untuk selama-lamanya. Sikap saling menyapa antarsubkultur sebagai bagian dari proses dinamis konsep nation and character buildingperlu semakin dipercepat dan diintensifkan, sehingga tercipta sebuah kebudayaan nasional yang agung dan anggun, dipatri oleh unsur-unsur subkultur yang kaya untuk saling menguatkan.


Catatan Hidup dan Buku

Oleh : David Efendi

Pada awalnya buku adalah sesuatu yang 'asing' bahkan di saat sekolah di madrasah buku-buku paket dari pemerintah itu sangat tidak menarik. Wajar saja perpustakaan di sekkolahku sangat sepi tahun-tahun itu 1990-an. Sebuah sekolah kampung di tepi bengawan solo. Asingnya buku itu seperti asingnya dunia luar bagiku sebab yang aku tahu hanyalah homogenitas yang ada di desa kecil. Manusia dan kebudayaanya hingga makanannya nyaris seragam antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Belum ada "aq*a gelas." Rasanya-rasanya tahun itu belum pernah ketemu "ind*mie".

Di saat tahun akhir madrasah, aku mengenal majalah kuntum. Majalah edisi lama yang tetap menarik karena menghibur dan memberikan informasi. Puisi dan tebakan mang kunteng adalah halaman yang harus segara dibaca---kadang-kadang dibaca di depan umum pada saat "muhadhoroh IPM" setiap malam jumat. Rasa penasaran itu kemudian terus merasuk dalam otak, bukan hanya saya, tetapi banyak teman lainnya. Di sini saya akan memperkenalkan manusia-manusia yang memberikan warna dalam petualangan mencari 'bacaan' dalam hidupku.

Pak Guru muda dan revolusioner bernama Abdullah Abede Rozieq, membantuku membangun banyak mimpi, aku pun dikenalkan dunia organisasi dan teater begitu juga buku-buku yang beliau bawah dari Surabaya tentang banyak hal. Beliau juga bersama Kepala sekolah Pak Nur Sholeh yang mendatangi rumahku dan berbicara dengan "Mak"ku agar saya bisa dan didukung lanjut ke sekolah favorite di Lamongan--SMA N 2 Lamongan. Sekolah ini kelak menjadi banyak impian orang di kampungku. Aku bukanlah satu-satunya manusia Godog lulus dari sekolah 'keren' itu. Tetapi sudah angkatan ke 3 atau empat.

Abraham Isnain adalah manusia penting dalam awal-awal pengembaraan pertamaku keluar dari 'lingkaran setan' atau tepatnya 'tempurung kelapa' bernama kampung kecilku. Dia mengenalkanku dengan banyak teman aktifis IPM, mengenalkanku tekhnologi 'mesin ketik' sampai foto kopi. Di saat foto kopi dokumen organisasi dan undangan ke Paciran dan karang geneng, aku kemudian mengenal banyak majalah mulai al-muslimun, al-hidayah, suara muhammadiyah, sabili, annida, ummi, dan sebagainya. Begitu juga koran Jawa Pos aku menjadi tahu. Walau tidak bisa membeli, nyaris setiap minggu menimal bisa membaca satu dua edisi sembari menunggu foto kopi. Teman-teman lainnya mungkin ada yang asik menikmati pantai Tanjung Kodok. Aku lebih memilih membaca di warung-warung foto kopi--tepatnya di pertelon paciran disingkat "telon paciran".

Di saat SMA di kota, saya punya teman berburu buku bernama Abdul Alam Abdul Allam Amrullah, Mas Jai, Imanul Khan, dan Adiyta Nuryanto. Mereka ini semua dekat dengan dunia buku. Setiap hari setiap waktu kadang nongkrong di samping masjid sembari membaca buku dan majalah di kios mas Jai. Dengan Imanulkhan, dan Aditya biasanya membaca di kios sekitar/samping SMA 2 bahkan sampai ke Mblauran di Surabaya. Ini membuat jatuh cinta berat pada bacaan umum diluar mata pelajaran di kelas. Kadang aku pun mengesampingkan buku-buku mata pelajaran. sering juga meminjam buku di perpustakaan yang bukan berurusan dengan mata pelajaran.

Sejak mengenal banyak berita dalam koran dan media menjelang tahun reformasi. Diam-diam aku merasakan bahwa dunia itu luas. Aku pun berlama-lama memandangi setiap goresan peta di dalam buku atlas yang ada di pasar Kliwon. Beberapa teman membeli mercon, sementara aku membeli atlas Indonesia dan dunia dan juga RPUL (buku ini memang sakti, bahkan saya sampai hafal halaman-demi halaman dan isinya). Tidak heran, nantinya pada saat pelajaran geografi di SMP dan sejarah saya memang 'terdepan.' Saya masih ingat untuk ujian geogafi dan sejarah di SMP maksimal hanya 1-2 saja aku salah mengisi jawaban.


Lamongan kota kodok
Hidup di lamongan kota bukanlah impian yang aku pelihara. Seolah tuhan mengutusku untuk pergi dari rumah dan belajar ke kota tanpa persiapan tanpa mimpi. Aku pun berada di kota kodok--kalau hujan gak bisa ndodok kalau kekeringan gak bisa cebok. Hari-hari awal sekolah memang dibayangi kesulitan hidup yang dialami keluarga di rumah. Sawah-sawah terancam banjir dan bahkan terancam dibeli 'paksa' oleh pemerintah untuk proyek sudetan bengawan solo. Jika itu terjadi, sumber penghidupan keluargaku akan terhenti. Dan itu memang benar-benar terjadi. sesak nafas setiap malam dan gelisah setiap saat. Di sisi lain, aku melihat anak-anak lain di sekolahku seolah terpenuhi segala apa yang menjadi kebutuhan.

Optimisme itu terus terbangun tanpa ada upaya dari diri saya. Ada banyak faktor yang menguatkan diri dan jiwaku. Inilah invisible power--saya yakin ini adalah kerana keikhlasan orang tua dan ibuku yang mengirimkan balatentara dari langit untuk mengencangkan ikat pinggangku. Bacaan yang aku makan, adalah, bagian penting energi yang membuatku terus bertahan dalam membangun karakter 'anti patah arang.' Aku lihat banyak laporan di koran dan majalah yang menceritakan banyak manusia yang nestapanya jauh dari apa yang aku rasakan--pasti itu diluar kemampuanku karena aku pun yakin dengan mantra dari ustadz dan kyaiku Bapak Sutaman yang terus mengirimkan doa untuk santri-santrinya, "Allah tidak akan memberikan cobaan kepada kita apa yang diluar kemampuan kita." Beliau juga meyakinkan, 'orang-orang yang dekat dengan masjid tidak akan pernah sengsara hidupnya." Ini ajaran agung yang sampai sekarang pun saya terapkan. Padaa saat kuliah nantinya juga hampir 3 tahun tinggal di Masjid yang merupakan jasa besar Mas Kholiq Imron.

Cak Kholik Imron, atau Cak Imron adalah manusia unik. Nyaris tidak ada kekurangan dan keburukan dalam dirinya. Itu yang aku tahu, tidak ada kamus prasangka dan negatif thinking selama hidupnya yang aku tahu sejak waktu itu. Dialah orang yang menjerumuskanku ke perpustakaan gelap dan toko buku besar sampai kakiku ngringgen karena harus membaca dan menunggu dia selesai membaca. Di sosial agency sagan dan khususnya di Gramedia sudirman aku beberapa kali ditegur petugas keamanaan karena duduk saking capeknya berdiri berjam-jam hingga toko buku nyaris tutup jam 9 malam. Ketekunan membaca inilah yang hingga saat ini mempengaruhi kebahagiaanku dan hobiku yang kemudian aku tularkan ke teman, dan anak, istriku.

Tuhan mengirimkan mukjizat berupa manusia yang mau membimbing rasa optimisku hingga aku diterima di UGM. Masjid lembah code atau MLC menjadi saksi hidup perjuangan itu dengan bimbingan spiritual dan kemanusiaan dari Triyanto Sugeng dan bimbingan optimisme serta matematika dari Mas Iswarto (mahasiswa fisika UNY). Cak Imron membimbing dalam sastra dengan mengajakku mencintai karya sastra dalam buku dan juga ikut dalam komunitas pecinta sastra bulak sumur setiap kamis di bawah bendera gedung Graha Sabha Pramana.

Bersambung...

Friday, October 18, 2013

CATATAN RBK FOR KIDZ BAGIAN 1 ; “Bagaimana Anak-anak menyelesaikan Masalah?.”

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

*Pada intinya catatan ini dibuat hanya untuk mengatakan bahwa apa yang disebut kemerdekaan adalah merasa tidak perlu untuk berkuasa.

Setiap minggu, saya akan menghabiskan sore hari bersama anak-anak. Kami menamakan kegiatan ini dengan sebutan “RBK For Kidz”. Paling sedikit, atau rata-rata ada sekitar 7 anak yang akan hadir. Oleh karena varian umur mereka berbeda secara ekstrim, maka saya putuskan untuk mengajak mereka menemukan sendiri kebahagiaan apa yang dikehendaki mereka setiap minggunya. Pertama-pertama biasanya akan kami habiskan dengan menyantap makanan kecil, seperti buah-buahan. Sesi ini akan menghabiskan paling tidak sepertiga dari pertemuan saya.

Kembali ke menemukan kebahagiaan. Saya merasa upaya advokasi literasi yang menjadi misi utama komunitas kami adalah sebuah proses untuk sama-sama belajar menemukan kebajikan-kebajikan. Mencari optimisme dalam tumpukan jerami kehidupan yang kadang dipandang keras akan kita hancurkan dengan pandangan yang menghasilkan kekuatan positif. Maka, anak-anak yang mengikuti sesi saya pada awalnya tidak mendapatkan apa-apa. Pertemuan pertama saya habiskan untuk bercerita saja. Pertemuan kedua saya habiskan untuk pelajaran sekolah. Saya nampaknya belum menemukan sesuatu yang bisa menginspirasi diri saya dan kami semua pada saat itu.

Pada suatu ketika, saya merasa bingung ketika ada sedikit pertentangan di antara anak-anak. Saat sedang mengajar matematika, sebagian anak minta diajari puisi. Saya sudah sepakat untuk mengikuti kemauan anak-anak, tapi seperti biasa, itu tidak dapat lurus dengan cepat.  Saya melihat seorang anak yang sedang antusias mengerjakan pecahan desimal mengkerutkan dahi karena tidak setuju pada permintaan pelajaran puisi. Nah, saya berusaha untuk tidak mengambil tindakan apa-apa. Saya meminta kepada masing-masing anak untuk mendiskusikan masalah tersebut. Saya katakan kepada mereka, mari kita buat komitmen kecil hari ini—harus ada yang mengalah. Ternyata diskusi tersebut malah berubah menjadi beku. Masing-masing anak kemudian mulai mengkritik saya, kata mereka, saya saja yang memilih. Akhirnya saya minta kubu matematik untuk menyelesaikan pecahan desimal, sembari saya menuliskan puisi di papan tulis. Anak-anak tiba-tiba fokus kembali.

Menurut saya, itu bukan keputusan yang tepat, meskipun dapat meredakan keributan (keramaian) sebentar. Tapi saya cukup senang, mereka ingin aktif mengemukakan pendapat. Apapun itu, saya benar-benar ingin mereka menjadi begitu orisinal. Ya, dengan mengemukakan pendapat biasanya kita akan menemukan makna baru. Saya masih belum memutuskan apakah harus menyela di antara debat anak-anak yang menjurus pada pelecehan verbal atau tidak. Jadi saya menunggu hingga selesai sesi baru kemudian saya menutupnya dengan doa yang isinya kurang lebih tentang penerimaan diri, penghargaan terhadap sesama manusia.


Saya sadar sepenuhnya anak-anak mengajari kita hal-hal yang sederhana tentang betapa pentingnya menjadi diri sendiri. Betapa pentingnya berkutat dengan “ego-halus” dan kemudian mencari sendiri kebaikan. Setelah selesai berdoa, anak-anak menjadi ramai lagi dan mulai mengucapkan salam. Nampaknya pertentangan tadi tidak berbekas sedikit pun. Benar, mereka pulang tanpa membawa kebencian. Ah, saya jadi iri dengan mereka, pasti pulang kembali dalam pelukan alam, dalam pelukan angin, seperti kata seorang pujangga yang saya lupa—Anak Angin.

Ketika Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Berbentuk Buku

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah* 

Judul buku        : Menuju Indonesia Makmur
Penulis               : Drs. Afnan Hadikusumo
Penerbit             : Cerah Media
Cetakan             : 1, 2013

Tebal                  : xiv+248 halaman

Motivasi berangkat dari Pesan Buya Syafii Maarif pada Afnan Hadikusumo tahun 2003, Afnan Hadikusumo yang akrab dipanggil mas Afnan kala itu berkunjung dalam rangka sowan. Buya Syafii berujar, “sebagai calon legislatif, maka kamu harus banyak mendengar, membaca, berbicara dan menulis.” Kejadian bersejarah itulah yang menjadi pendorong Afnan melakukan pekerjaan intelektualnya melalui menulis. Setelah menulis Melangkah Memperjuangkan Daerah pada 2012, kini di 2013 Afnan menulis lagi bukunya dengan judul Menuju Indonesia Makmur. Catatan perjalanan Afnan dalam Menuju Indonesia Makmur adalah Bunga Rampai dari sekian opini Afnan yang tersebar di media massa.

Afnan Hadikusumo adalah anggota komite III DPD RI untuk DIY periode 2009-2014 yang tangguh dalam memperjuangkan kepentingan rakyat melalui fungsi legislasi. Saat menduduki posisi sebagai anggota komite III luas jangkauan perhatiannya tidak terjepit pada bidang khusus tapi juga bidang lain seperti tatanan politik dan pemerintahan. Perhatian tersebut terlihat dari kecemasan Afnan mengenai peringkat Failed State Index(FSI) tahun 2012 dimana Indonesia berada pada peringkat 63 dari 178 Negara. Menurut Afnan ini adalah indikasi dari masih minimnya perhatian pemerintah dalam membangun Indonesia. Padahal di Zaman Global Teknologi seperti sekarang ini Negara-negara lain sudah berkembang amat jauh sedangkan Indonesia masih berputar-putar dengan masalah yang sama dan tak kunjung selesai.

Kontemplasi Afnan dalam bukunya hadir melalui empat kajian utama, yakni; Pendidikan, Kesehatan, Tatanan Politik dan Pemerintahan, serta Sosial dan Budaya, keempat permasalahan ini dikupas tuntas secara tematik. Apa yang menjadi keresahan Afnan mengenai empat hal tersebut?. Dan bagaimanakah Afnan menawarkan jalan alternatif bagi pemecahan masalah-masalah bangsa tersebut melalui kacamata praktisi politik?.Afnan menggelitik pembaca untuk menyadari permasalahan yang sesungguhnya sangat mendesak dan penting namun jarang disadari. Salah-satu tulisannya dalam buku ini,Undang, Undi Lalu Tipu, mengangkat lagi kepala pembaca bahwa persoalan remeh-temehseperti penipuan masih berkeliarah dari satu rumah ke rumah lainnya. Mengapa pokok ini menjadi penting?, Sasaran utama afnan adalah bahwa kenyataan laten seperti ini merupakan pukulan telak bagi semua elemen bangsa untuk selalu melakukan upaya-upaya edukatif kepada masyarakat. Ketakutan dari Afnan adalah jika pepatah orang jawawong bodho dadi pangane wong pinter (orang bodoh menjadi objek rezeki orang pintar),terus-terusan terjadi di Negara ini. Maka sejumlah saran dalam pembentukan regulasi yang terkait dengan pendidikan dan peningkatan mutu kesejahteraan masyarakat dipaparkan oleh Afnan pada setiap akhir dari tulisannya.

Penyakit yang dialami oleh bangsa ini menurut Afnan lebih banyak karena program pembangunan pemerintah yang kurang berorientasi pada pemerataan dan cenderung berfokus pada pertumbuhan. Afnan meminjam pendapat Samuel Huntington dalam mengkritisi arah kebijakan pemerintah yang berfokus pada pengejaran pertumbuhan daripada pemerataan. Arah kebijakan yang mengejar pertumbuhan cenderung top-downdan pada akhirnya akan berubah menjadi dominasi segelintir manusia. Arah kebijakan top-down akan menyebabkan disparitas sosial, ekonomi, kesehatan dan politik yang tidak kunjung selesai.

Memoar Afnan mengingatkan pembaca terhadap beberapa karya Praktisi Politik semisal Amien Rais dengan Selamatkan Indonesia (2008) dan Jusuf Kalla dengan Mari Ke Timur (2000) yang banyak meletakkan rumusan performance pemimpin sebagai adonan utama dari upaya menyelamatkan bangsa. Melalui Menuju Indonesia Makmur Afnan juga melihat pemimpin visioner sebagai salah-satu jalan menapaki kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan dan politik di Indonesia. Useem, Direktur Center for Leadership and Change Management di Wharton School berkomentar melalui Dian R Basuki, “Orang menjadi pemimpin hanya di dalam momen performance”. APBD Pro Rakyat, akses terhadap jaminan kesehatan, kesempatan mengenyam pendidikan yang bermutu tinggi adalah agenda yang tidak bisa ditawar oleh pemimpin manapun. Namun kegagalan Negara secara sistemik memang ditentukan oleh pemimpin, ibarat Ikan busuk selalu dari kepala.

Sekarang bagaimana Afnan menyelesaikan semua itu?, mengutip rumusan the four I’syakni; Pemimpin yang dihormati, pemimpin yang menginspirasi, pemimpin yang mau mendengar dan bertindak serta pemimpin yang tulus serta ikhlas. Afnan berpendapat, karakteristik the four I’s akan bisa menghapus model-model politik picik. Politik Transaksional, Korupsi Elit, Marking-up budget, yang telah berhasil memporak-porandakan bangunan kemakmuran Negara harus secepatnya dibasmi. Meskipun begitu, Afnan tidak melihat kesia-siaan pada perjuangan yang tidak kenal henti bagi setiap elit politik yang masih bersih dan berani mengawal pembuatan hingga implementasi UU.

Afnan memang jeli dalam merangkai semua persoalan bangsa secara tematik dan populer. Keluasan wawasan praktisi politik seorang Afnan terlihat dari caranya menyajikan persoalan lokal tapi tetap berwawasan global. Kritik Afnan juga banyak ditujukan pada banyaknya pengabaian aspirasi kalangan bawah, dalam mengawal rancangan UU. Pada tema-tema yang sensitif Afnan memberikan pukulan khusus, terutama mengenai persoalan kaum difabel. Melalui tema-tema sensitif seperti Ide Revisi UU Keormasan, Potret Suram Badan Kehormatan, hingga Kontroversi Ide Pembagian Kondom oleh Menkes tahun 2012, Pembaca dibawa ikut merasakan bagaimana dinamika seorang praktisi politik yang harus berada diantara arus mainstream opini masyarakat, telaah ilmiah dan kepentingan egoistik kalangan elit. Cara Afnan memetakan tema-tema ini tergolong unik dan begitu apa adanya.

Kajian yang dituturkan oleh Afnan lebih banyak bersifat penjabaran, gaya ini dihadirkan sebagai cara untuk menampilkan pentas debat argumentasi secara lebih elegan hingga nampak tidak ada preferensi tertentu yang biasa menjadi bumbu personal interest. Kajian Afnan menjadi berbeda pula dengan sejumlah buku atau kajian serupa yang membahas empat hal pokok tersebut. Kelebihannya terletak pada pengaruh tulisan ini dalam konteksnya sebagai bahan wacana yang diajukan oleh Afnan sebagai praktisi politik kepada elit pemegang palu sidang. “beliau adalah senator yang cukup piawai” sanjung Irman Gusman dalam kata Pengantarnya pada buku ini.

*)Penulis adalah Pengurus Rumah Baca Komunitas Yogyakarta dan aktif di LaPSI Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada periode 2011-2012.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK