Wednesday, November 20, 2013

Sudahkan Anda Menulis Hari ini?


David Efendi
Aktifis Gerakan Literasi Di Yogyakarta

Banyak orang mempunyai kebiasaan menulis tetapi tentu saja jauh lebih banyak dari populasi bumi ini yang tidak ‘peduli’ dan tidak punya ikatan emosional dan moral dengan kegiatan tulis menulis. Hal ini bias dilihat dari tingkat produktifitas buku di seluruh dunia dibandingkan dengan jumlah manusia. Dari fakta yang kita dapatkan itu kita dapat membuat satu premis kesimpulan bahwa jumlah populasi manusia penduduk bumi bertambah seperti deret ukur (2,6,12,24, dst) sementara karya tulis manusia bertambah hanya sekencang deret hitung (1,2,3,4,dst). Ini satu hal yang memprihatinkan sehingga seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika menyebut era diatas tahun 2000 sebagai senjakala ilmu pengetahuan karena minimnya inovasi dan temuan manusia dalam karya pikir dan karya tulis.

Saya akan bercerita lingkungan kerja saya yaitu di sebuah universitas swasta ternama lantaran prestasi akademik berbasis pemerinkat nasional maupun iinternasional menempatkan posisi kampus ini diatas rata-rata kampus swasta lainnya. Sayang, ketika kasaran saya hitung selama satu tahun dari satu jurusan hanya sekitar 2 buku dan 3 artikel dimuat di jurnal ilmiah kampus. Ini jumlah yang sangat sedikit dengan kepadatan dosen antara 20-30 orang. Dari sekian dosen hanya 1% mungkin yang aktif menulis di blog pribadi yang disedikan oleh kampus atau freeblog (tidak berbayar). Salah satu dosen dapat dibilang cukup menonjol mewarnai wacana di media nasional (kompas dan republika).

Menulis bagi akademisi harusnya ditempatkan bukan hanya sebagai tugas formal administrative tetapi jauh melampaui itu bahwa menulis adalah kewajiban sebagai intelektual dimana dimensi dan pengaruh dari karya cipta berupa tulisan itu adalah mampu memperbaiki keadaan—paling tidak menyuarakan kebenaran tentang suatu praktik penindasan baik laten maupun manifest baik simbolik maupun fisik. Inilah sebenarnya didisebut dengan intelektual membumi atau meminjam bahasa Habermas sebagai intelektual organic dan yang disebut lebih awal sebagai intelketual konvensional atau tradisional. Tugas-tugas kemanusiaan yang tidak diperankan itu artinya terjadi apa yang disebut Benda sebagai pengkhianatan intelektual.

Menulis, menurut Pramudya Ananta Tour, adalah tugas nasional dengan demikian karya tulis haruslah dihargai dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga tak boleh ada oknum apalagi rejim kekuasaan yang dibolehkan membakar buku. Jika ini dlakukan maka peradaban suatu bangsa akan mundur berabad-abad ke belakang. “Orang yang membakar buku pada akhirnya akan membakar manusia.”, demikian pesan Heinrich Heine (1821). Dua tahun lalu saya mengikuti sebuah kampanye di Taman ismail marzuki bertajuk jangan bakar buku! Gerakan ini adalah ekpresi penolakan terhadap kepongahan rezim Negara yang senantiasa memata-matai rakyat dengan berbagai operasi senyap terhadap buku-buku tertentu.

Sangat menarik membincang dunia buku di republic ini. Tahun 2003 Persma Balairung UGM menerbitkan jurnal bertajuk industri penerbitan dan minat baca masyarakat Yogyakarta yang menginvestigasi berbagai cerita dunia perbukuan yang selama ini undercover. Dunia penerbitan yang semakin lintang pukang itu juga mempunyai korelasi pada rendahnya daya beli masyarakat walaupun keinginan membaca lebih tinggi. Senada dengan laporan jurnal tersebut, pada tahun 2007 di Yogyakarta terbit buku berjudul DECLARE! Ditulis oleh Adhie yang mengupas tuntas dunia perbukuan dari sudut pandang “orang dalam.” Refleksi ini sangat menggugat lantaran dunia buku di Yogyakarta adalah salah satu ruh dari kebudayaan local di Yogyakarta.

Kesatuan senyawa antara buku dengan budaya Yogyakarta itu sangat terlihat dalam kebudayaan fisik (tangible) seperti banyaknya lembaga pendidikan kemudian Jogyakarta disebut sebagai kota pelajar. Lalu inovasi dalam penyajian pameran buku pun tak terlepas dari upaya mengawinkan tradisi local dengan perbukuan dalam berbagai topic seperti “Jogja itu boekoe”, “gerebek buku”, “sekaten buku,” “Jogja Book Fair”, dan sebagainya.

Kembali ke jalan yang benar tentang pertanyaanan “sudahkah Anda menulis hari ini?” maka kita akan juga mempertanyakan kenapa pertanyaan itu mampir pada pembaca dan saya? Ada beberapa alasan mengapa pertanyaan ini muncul. Pertama, rendahnya karya tulis kita bukan hanya untuk komunitas kita tetapi kontribusi akademisi dari Indonesia dari dunia persilatan ilmu pengetahuan dalam lingkungan internasional. Untuk publikasi jurnal internasional Indonesia jauh kalah disbanding Malaysia, Singapura,, India, dan China. Jika capaian publikasi internasional dan nasional akademisi Indonesia kita kurangi dengan standar plagiasi maka angka kita semakin terpuruk di bawah permukaan tanah. Ini sangat Ironi (irony) walau tidak serta merta menjadi “enemy”.

Kedua, budaya atau tradisi membaca kita sangat rendah sehingga menulis itu lambat laun akan mendorong kita membaca karena menulis tidak akan berkembang tanpa aktifitas membaca tekun dan keras. Membaca dan menulis adalah kembar siam, kata Taufiq Ismail. Menulis adalah aktifitas aktif untuk melakukan refleksi. Artinya, menulis juga akan banyak mencegah frustasi dan stress. Ini tujuan kesehatan psikologi, tetapi jika dikembalikan kepada tujuan peradaban dan pembedaraban tentu saja menulis adalah satu keniscayaan sejarah untuk mengisi dan sekaligus membuktikan bahwa kita adalah manusia berkebudayaan!

Wednesday, November 13, 2013

Pelajaran dari Pembakaran Buku

Geger Riyanto,
Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia

Kata orang, itu buku cetakan mereka. Suka-suka merekalah mau buku itu disobek, dibuang, atau, seperti yang sudah kejadian, dibakar. "Lagi pula kamu pada dasarnya tak terlalu tertarik dengan isi buku tersebut, kan? Jadi apa urusanmu?" kata suara apatis yang saya imajinasikan di benak saya sendiri. Tapi sayang, seandainya saja semua memang sesederhana itu.

Boleh saja ada yang berpikir bahwa pembakaran buku saban hari merupakan buah dari kesepakatan mutualistis dua pihak dan apalah urusan pihak-pihak lain untuk ikut mencampurinya. Namun, mau dikatakan apa pun, ancaman tetaplah ancaman. Bila kita hidup di negara hukum, ia adalah sebuah perbuatan kriminal. Kalaupun pihak penerbit mengaku tidak diancam dan pembakaran tersebut merupakan inisiatif perusahaan untuk mengoreksi kekhilafannya, saya kira saya mewakili para pekerja pengetahuan ketika mengatakan bahwa pemusnahan buku Lima Kota Paling Berpengaruh di Duniamenodongkan ancaman kepada kami semua.

Cukup dalam hitungan menit setelah peristiwa itu, setiap pekerja buku yang memiliki BlackBerry mengetahuinya. Seperti yang bisa Anda duga, ada yang mengutuk tindakan tersebut, ada yang menyesalkan kebungkaman pemerintah, ada yang sekadar menyatakan keprihatinan. Tetapi di antara beragam tanggapan yang mencuat, cepatnya penyebaran informasi itu punya satu pesan gamblang tersendiri: ini adalah situasi darurat bagi mereka yang bergiat di dunia buku.

Dan benar. Para penyalur buku memperingatkan penerbit-penerbit, jangan mencetak buku bertema sensitif. Menyayat? Jelas. Namun lebih jauh, adegan tersebut mencangkokkan pada benak mereka bayangan mencemaskan didatangi gerombolan pria berjubah--perasaan yang, ironisnya, berpadanan dengan kerisauan para jurnalis di rezim-rezim otoriter membayangkan kantornya diketuk oleh pria berseragam. Dan lagi, dengan ikut melaporkan penerjemah dan penyunting buku karangan Douglas Wilson ke polisi, pihak pelapor sudah membantu membangun kesadaran bahwa kerja mengolah naskah pun bisa jadi identik dengan kejahatan.

Apa pun motif pelakunya, entah membela keyakinan, entah mengoreksi pihak yang mereka anggap keliru, asap dari pembakaran ini adalah sinyal besar yang bisa dilihat oleh semua: jangan macam-macam, ini wilayah kami. Mengingat buku adalah produk dari aktivitas pikiran, berarti lebih tepatnya kecaman itu berbunyi, jangan berpikir macam-macam. Dan sialnya, garis-garis kekuasaan yang bahkan tak pernah diperoleh mereka secara legal ini kian dipertegas lewat kebergemingan aparat hukum, entah ada kesepakatan apa di baliknya. Bila para penegak keamanan sipil itu sudah menetapkan sasaran, rasanya sudah menjadi pengetahuan yang sangat umum bahwa sang korbanlah yang justru akan diperlakukan sebagai pelaku kejahatan itu sendiri oleh negara.

Apa lagi yang bisa kita tafsirkan dari pengkambinghitaman yang demikian vulgar selain ia adalah upaya untuk menjejalkan ke benak kita bahwa otoritas para penguasa kekerasan tersebut memang sah serta mesti diindahkan? Mengalami perlakuan tak menyenangkan lantaran mengolah pengetahuan yang merupakan rutinitas keseharian kami, bahkan setelahnya kami diancam dikriminalisasi, apa lagi yang bisa kami artikan dari hal ini selain kami sedang dipaksa untuk mengakui bahwa kebenaran tidaklah adil--hanya milik segelintir yang cukup kuat untuk menegakkannya?

Belum lama ini, ada sebuah kasus yang tak banyak mendapat sorotan, namun sekadar membayangkannya saja, lidah rasanya kelu; seorang sosiolog, akibat kesaksiannya di pengadilan, dihukum adat oleh sebuah organisasi kesukuan. Di samping dituntut untuk membayar denda yang sangat besar, penelitiannya bahkan diperintahkan untuk dimusnahkan karena dianggap mencemarkan nama suku tertentu. Ya, Anda tidak salah dengar, sebuah temuan riset dipaksa untuk dimusnahkan seakan ia narkotik, pornografi, DVD bajakan, atau barang-barang haram lainnya. Dan seperti biasa, negara bergeming. Kali itu tidak hanya membiarkan pembayar pajaknya menjadi korban yang sekaligus pihak yang bersalah, tapi juga mempersilakan irasionalitas dirayakan.

Pada masa mendatang, seperti apa yang kita harapkan bila logika mendapat tempat yang sedemikian rendah, jauh di bawah kapasitas untuk mengasari orang lain? Bila konstitusi sebagai aturan main tak lebih nyata dari kebuasan? Masa depan distopis yang diproyeksikan George Orwell dalam novelnya 1984? Dalam salah satu bagian dari novel tersebut, interogator dari partai yang berkuasa bertanya kepada tahanannya, berapa dua tambah dua. "Empat," jawab Winston. "Tidak selalu," ujar O'Brien, sang petugas interogasi. Bisa jadi lima, katanya, kalau partai menghendakinya demikian. Dan O'Brien pun melanjutkan menyiksa Winston sampai ia menjadi waras berdasarkan standar partai.

Kalau, ya, kita mendambakan masa depan di mana 2 + 2 = 5, maka biarkan saja apa yang terjadi sekarang terus berlarut-larut. Biarkan kebenaran terus-menerus ditentukan oleh perangai liar dan destruktif. Mengutip slogan presiden kita sekarang ini sewaktu berkampanye tempo hari, "lanjutkan!" Biarkan lidah kami kelu. Biarkan tangan kami terkekang oleh ketakutan. Biarkan bernalar menjadi aktivitas yang tabu.

Bakarlah buku-buku. Kecamlah pemikiran dengan parang. Bungkamlah pernyataan-pernyataan seseorang yang didasari bukti empiris yang kokoh dengan pengadilan yang tak mungkin dimenangkannya. Biarkan mereka yang memenangkan kebenaran dengan kekerasan terus menikmati kebenarannya, dan luruskanlah kami yang mendayagunakan pikiran kami ke dalam barisan penganut kebenaran tersebut. Kerasilah kami agar melupakan metode berpikir rasional dan meyakini pandangan dunia Anda tanpa perlu kami renungkan.
Maka bersiap-siaplah menyambut Indonesia yang tegak di atas reruntuhan sesuatu yang dulu pernah dikenalnya dengan nama akal sehat. Apa, toh, kuasa kami untuk mencegahnya?

_________________________
tulisan pernah dimuat di Koran Tempo 07 Juli 2012

Tuesday, November 12, 2013

Minat Baca

Oleh : Muhidin M. Dahlan
iBoeKoe

Masyarakat seperti dikutuk selalu menjadi dasar bagi lahirnya sebuah proyek dari pemerintah. Tak sudah-sudah. Di semua bidang kehidupan. Dari soal kebodohan, kekumuhan, hingga "minat baca" yang payah.

Saya ingin mengutipkan kegeraman seorang pemikir perpustakaan kelahiran Jakarta tahun 1959 bernama Putu Laxman Pendit. 

Ini kutipannya: “Pemerintah Indonesia bersama beberapa elit Kepustakawanan Indonesia melakukan propaganda lewat media massa untuk menyatakan bahwa masyarakatlah yang “rendah” atau “kurang” atau “tidak” memiliki minat baca. Lalu setelah menyalahkan masyarakat, mereka akan meminta dana (kepada rakyat tentu saja) untuk menyelenggarakan sebuah 'kampanye' dalam bentuk upacara-upacara, festival, lomba, atau membayar tokoh-tokoh masyarakat sebagai duta baca”.

"Minat baca"—bukan "budaya baca"—adalah frase yang sangat abstrak untuk menunjukkan bodohnya orang Indonesia berhadapan dengan baca-an. Dan secara politik, "minat baca" adalah kutukan yang telak hanya kepada rakyat jelata. Hanya rakyat jelata yang disisir dengan tajam angka “minat baca” dan oleh karena itu mereka harus di(h)ajar.

Ketika angka "minat baca" jeblok ditemukan, maka disusunlah runtutan asumsi-asumsi yang berakhir pada "perlu peningkatan" dengan cara proyek ini dan itu. Putu Laxman Pendit, penulis buku Mata Membaca, Kata Bersama (2007), ini sudah menyusuri UNESCO tak mengenal kata “reading interest” (minat baca), melainkan “reading habits”. Padahal UNESCO ini selalu jadi “rujukan” untuk menentukan angka “minat baca” ini.

Ketimbang terus menjadi “sinterklas” yang posisinya memberi, aparatur penyelenggara pendidikan masyarakat sebaiknya menjalankan saja kewajibannya yang diamanatkan UU untuk membuka ratusan sarana bacaan. Idealnya ruang bacaan itu mengikuti banyaknya jumlah desa yang ada di Indonesia, yakni sekira 82 ribu desa.

Pemerintah lewat pendidikan nonformal memang sudah mendirikan ribuan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Namun dari sisi jumlah sama sekali tak signifikan, yakni tak lebih dari 10 ribu. Dari jumlah sarana baca yang kecil itu akses masyarakat terhadap bacaan memang mengalami hambatan luar biasa.

Kita pun jadi tahu bahwa bukan “minat baca” itu mula-mula letak masalahnya, tapi ketersediaan akses dan infrastruktur baca yang memadai yang menjadi kewajiban negara untuk menyiapkannya. Kita belum sampai pada soal yang juga tak kalah peliknya bagaimana agar budaya baca terbangun mengikuti ketersediaan sarana yang ada.

Budaya baca adalah sasaran utama yang dituju dari proyek pencerahan ini. Dan budaya baca menyaratkan tersedianya sarana baca yang representatif berupa taman bacaan dengan segenap bentuk kreatifnya. Budaya baca juga menyaratkan lingkungan di mana masyarakat “bebas memilih jenis bacaan yang ingin dibacanya” dan bukannya dipilihkan. Selain ihwal adanya agensi atau pengelolaan yang baik, kultur baca juga terbangun oleh kehidupan jaringan.

Domain pemerintah ada dalam penyediaan sarana dan prasarana baca yang representatif, sementara ketersediaan agensi dan bahan bacaan adalah domain masyarakat sipil (komunitas literasi, perpustakaan, penerbit). Adapun arsiran keduanya ada pada pembentukan jaringan dan komunikasi serta penciptaan lingkungan “kebebasan memilih apa yang dibaca”.
Sampai di sini, jika boleh, berhentilah mengutuk masyarakat jelata itu dengan seringnya mengulang gabungan frasa ini: “minat baca rendah/buruk”.

_________________________________________________________

Monday, November 11, 2013

Mantra Si Guru

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Kita akan berbicara mengapa sebuah buku atau karya tulis dapat mengajak pembacanya menjadi demikian terikat. Gagasan dalam sebuah buku memberikan peluang bagi pembaca untuk memutuskan apakah menjadi bagian dari yang memperjuangkan gagasan atau mempertanyakan gagasan dan memilih untuk menciptakan anti-thesis temporer. Tapi sebenarnya yang akan kita kejar adalah bayang seorang guru yang mulai membuat mantra karena membaca buku.

Suatu kali, seorang guru mendapati buku-buku “asing” saat berjalan pulang menuju surau tempat dia juga “nyambi” mengajar. Dalam pertanyaan-pertanyaan dia memutuskan untuk membawa buku-buku tersebut dan tenggelam selama beberapa waktu setelah isya. Apa yang kemudian disadari oleh guru tersebut adalah kenyataan atau realita yang berbeda. Penemuannya menyeretnya kepada kepentingan untuk mulai mempertanyakan strata sosial, dan objek-objek semu dari yang dihasratkan manusia. Dia mulai mempertanyakan apakah kita tidak sedang tertidur?. Apakah kita tidak sedang dalam fase yang begitu miris dan begitu kosongnya nilai-nilai hakiki pada setiap putaran-putaran sejarah?. Si guru mulai meraba-raba tentang muka-dua manusia, sebuah kedustaan yang berangkat dari sistem.

Nampaknya buku-buku tersebut membantu si Guru untuk menata realita yang sebelumnya hanya berupa potongan-potongan gambar tanpa ada interpretasi. Kejadiannya mirip seperti, dua orang yang memperhatikan sebuah lukisan Jojing-nya Delsy Syamsumar. Yang pertama interpretasinya adalah mengenai kumpulan wanita yang berlenggak-lenggok di depan tamu undangan lurah. Atau seperti lazimnya acara-temu di kampung-kampung di mana kepala desa akan menyediakan hiburan-hiburan “wanita dangdut”. Yang kedua akan menganggapnya sebagai realita dari “sesajen” politik bagi tamu. Mana yang benar?. Itu bukan pertanyaan yang memuaskan.

Dalam kasus membaca potongan-potongan gambar realita, ada penemuan baru tentang tatanan realita. Bagi si Guru, dia akhirnya menganggap telah melihat realita yang “sebenarnya”.  Maka si Guru mulai akan menasehati murid-muridnya dengan cara begini, yang dia sebut “mantra”.

“anak-anakku, kalian akan jadi penghamba tanpa membaca
Akan jadi apa kalau tidak kau paham apa-apa?.
Bukan soal uangnya mereka, tapi soal nuranimu kemana?.
Memang kau tidak mau kebebasan?”
Jauhi pengecut-pengecut menjijikkkan, para pencipta neraka dunia
Yang bahkan syaitan pun enggan menerima kawan macam mereka
Kau harus sadarkan duniamu, dan kalau bisa selamatkan”

Dengan agitasi begitu, si Guru mulai bernafas lega dan menimbang dilemma. Apakah cukup?. Si Guru ingat dengan Nasihat untuk Anakku, Karya Motinggo Busye.

“Ya sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa tulis apa saja yang bisa kutulis…dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap…dengan buku harian…aku merasa jauh lebih merdeka..biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk diriku sendiri saja”.


Si Guru menambahkan mantranya dengan kebajikan-kebajikan yang dia pelajari dari kitab suci, buku-buku dan hasil renungnya siang-malam. Dan suatu kali di tengah kerumunan orang di pasar, tanpa sengaja dia membaca mantra itu lagi di depan muridnya yang sedang menjual ikan di pasar “ba’da shubuh”. Orang-orang melihatnya dengan senyum sinis seakan sebuah optimisme adalah jualan murahan yang tidak laku lagi di kehidupan nyata. Si Guru membalas dengan mengatakan, “sepertinya waktu aku belum tiba”, tapi mantraku semoga saja berhasil. “barangkali warta atau mantra ini masih aneh”.

Sunday, November 10, 2013

Orang Lemah yang dipaksa Kalah

Oleh : David Efendi
Pecinta Antropologi Politik

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari".(Pramoedya Ananta Toer)

Tulisan ini diinspirasi dari dua buku yang sangat terkemuka karya maestro antropolog politik James scott dalam buku Weapon of the Weak (diterjemahkan oleh Yayasan Obor dengan judul Senjata Orang Tertindas, 2004) dan kumpulan tulisan yang disematkan judul padanya “Orang-Orang Yang Dipaksa Kalah” (Bungaran A Simanjuntak, 2010). Dua buku ini mewakili manusia yang suaranya dibungkam oleh hegemoniknya kekuasaan budaya (budaya kekuasaan) dan kapital.buku pertama mengambil latar di sebuah kampong di Malaysia yaitu kedah dan serawak dan buku yang kedua memotret situasi lokal di Sumatra Utara. Dua buku ini akan penulis bincangkan dengan segala kelebihan dan keterbatasannya masing-masing termasuk keterbatasan akibat subjektifitas pe-review.

Buku senjata orang lemah karya James Scott ini menjadi fenomenal lantaran kekuatan buku mengangkat situasi personal dan lokal menjadi suatu ‘kisah’ yang dapat dipahami dengan pendekatan teori universal dimana perilaku kelompok ‘tuna kuasa’ yang cenderung tidak peduli, pura-pura cacat, pura-pura bodoh sampai sabotase yang terjadi di kampong itu dapat dipotret dan ditemukan padanannya dalam Negara-negara besar di banyak tempat. Jadi,. Scott berhasil membawa study empiric local menjadi cerita yang gampang dimengerti karena terjadi di tempat lainnya misalnya di situasi perburuhan di industri dan di Negara-negara fasis atau otoriter. Perilaku simbolik itu bukan hal yang spesifik terjadi di asia tenggara (ubiquitous). Kita juga kemudian menyadari, perilaku yang sama terjadi di tempat-tempat tak berjarak dengan kita misalnya perilaku karyawan, OB, penarik becak, pedestrian, pembantu rumah tangga, anak-anak di sekitar kita dan banyak tempat lainnya. Ini semua dapat diamati dengan mata kepala telanjang.

Bentuk kontestasi keseharian dalam masyarakat ‘modern’ yang dipraktikkan tak teroganisir itu juga menggejalah dalam bentuk kontestasi ruang publik yaitu missal yang terjadi di Yogyakarta belum lama ini dalam laga festival mencari haryadi terjadi wacana yang sangat sarkastik dalam berbagai media seni seperti mural jalanan dan juga selebaran yang mengkritik keberadaan pemerintah kota yang seolah tanpa wali kota. Kedigdayaan para seniman menguasai ruang publik membuat pemerintah kota kesulitan mengendalikan ‘ketertiban umum’, semakin menekan seniman semakin massif ‘banalitas’ yang dilakukan—suara seniman suara rakyat. Itulah pamungkas yang menjadikan pemerintah kota tak berdaya hadapi sindiran: JOGJA ORA DIDOL.

Sementara buku kedua yang diedit oleh Bungaran Simanjuntak lebih memperlihatkan drama perlawanan yang lebih manifest yang juga diawali dengan perlawanan simbolik atau bergerak bersamaan baik perlawanan konfrontatif maupun perlawanan sporadik dan indirect (tidak langsung). Hal ini dapat dilihat misalnya aksi melempar ikan busuk yang jumlahnya berton-ton ke dalam truck pengangkut milik IIU (Indorayan) yang kemudian berganti menjadi TPL (Toba Pulp Lestari). Bentuk aksi ini sebagai ungkapan bahwa perusahaan ini telah mengirim racunnya dalam bentuk limbah yang mematikan sumber kehidupan mereka.

Dalam posisi ini, mahasiswa dan masyarakat yang bersatu padu karena kesamaan nasib menempatkan industry ini sebagai kekuatan yang ber-ideologi Neo Liberalisme-Kapitalisme yang disokong penuh oleh kekuatan tentara. Mahasiswa menghadapi masalah yang sama di kampus—berhadapan dengan moncong bedil pasukan berseragam yang tak tanggung-tanggung melakukan kekerasan (banal). Dalam situasi ini, Negara ini sempurna mempraktikkan Negara weberian dimana Negara berkuasa penuh untuk menegakkan “ketertiban umum” dengan kekuatan kekerasan penuh. Selain itu, Negara ini juga membenarkan tesis Foucault bahwa Negaralah yang berhak memfonis dan memveto siapa yang dikatakan normal atau tidak normal, waras atau sakit, benar atau salah. Tidak ada kekuatan yang dapat menandingi Negara.

Buku yang berisi tulisan setebal 233 halaman ini mengespresikan ketidakpuasan terhadap Negara dan agency militernya yang cenderung memilih berpihak kepada kapitalis ketimbang melindungi tumbah darah rakyat Indonesia. Situasi ini tidak pernah benar-benar berubah sampai hari ini dimana perusahaan besar multinasional (corporation) terus saja mengangangkangi kekuasaan militer yang seharusnya menjadi pelindung rakyat. Bahkan, perusahaan ini sudah membeli jasa-jasa kemanaan non-negara termasuk berlindung dibalik nama-nama jenderal dan pensiunan militer untuk mengamankan alat produksi agar terus mengeksplotasi keirngat dan darah manusia dan bumi nusantara.

Seharusnya buku ini bisa menjadi ‘buku wajib’ bagi generasi muda Batak. Seharusnya setiap komunitas yang memiliki basis anggota bersuku Batak menyediakan buku ini sebagai bahan bacaan. Harus disadari bahwa waktu terus berputar, orang-orang yang dulu gigih menentang keberadaan TPL mungkin akan pergi satu persatu. Jangan sampai generasi itu berganti dengan generasi yang sama sekali tidak mengerti sejarah hitam TPL. Yang menganggap keberadaan TPL sebagai sesuatu kewajaran tanpa keinginan memikirkan dan mengkajinya lebih jauh. Yang menganggap petani Batak menjadi buruh di tanah leluhurnya sendiri adalah sebuah kewajaran.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan buku ini, saya sungguh mengapresiasi KSPPM yang, menurut buku ini, konsisten memberi pendampingan bagi masyarakat. Apresiasi dan terima kasih juga saya haturkan atas terbitnya buku ini. Buku ini menjadi satu dari sedikit referensi tentang konflik antara masyarakat dengan IIU/TPL.

Sebagai catatan penutup, satu hal yang hendak ingin disampaikan adalah bahwasanya orang lemah itu tidak identik dengan kalah sebagaimana kasus ‘menangnya’ orang-orang kampung di Kedah dan juga kaum Samin di Jawa Tengah yang dapat survive dari dominasi kuasa capital dan politik. Orang lemah dipaksa kalah adalah masalah lain—dimana senjata dan legitimasi kuasa bersatu padu untuk terus meminta korban yang tidak sedikit. Di sinilah keterbatasan senjata orang lemah disaat senjata dan peluru dibenarkan untuk melepaskan nyawa dari sarangnya. Inilah kisah kedigdayaan yang dapat pula berujung pada kehancuran total akibat upaya paksa untuk penghabisan total. Tetapi kita saksikan juga, siklus kedigdayaan dan kelimbangan it uterus saja menyertai perjalanan sejarah tanpa titik jenuh karena memang betul bahwa Gusti Ora Sare (Tuhan itu tidak pernah tidur!)

Buku Bacaan Lanjutan :
  1. Two Cheers for Anarchism: Six Easy Pieces on Autonomy, Dignity, and Meaningful Work and Play. Princeton University Press, 2012 
  2. The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia. Yale University Press, 2009
  3. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. Yale University Press, 1998
  4. Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts. Yale University Press, 1990 
  5. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Yale University Press, 1985 
  6. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press, 1979 
  7. Scott, James. 2004. Senjata Orang Lemah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  8. Simanjuntak, Bungaran.A, 2010. Orang-Orang Yang Dipaksa Kalah: Penguasa dan Aparat Kemanan Milik Siapa?. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

)* catatan ini ditulis di sela-sela momong dua anak Hafiz (4,5 tahun) yang kelebihan energi dan Garda (1 th) yang butuh diadvokasi karena masa transisi untuk bisa berjalan. Pada saat dua makhluk tuhan ini aktif terus bergerak, ibunya sudah kecapekan dan harus tidur lebih awal. Tulisan ini selesai dengan 7 kali berdiri dan duduk di meja kerja. Anak-anak masih ‘hidup’ setelah tulisan ini kelar yang memakan waktu antara maghrib dan isyak. Terima kasih Tuhan telah menjaga malaikat kecilku: sehat dan full of attraction

Saturday, November 9, 2013

Mistis dalam Kertas dan Manusia

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Membaca adalah pengalaman mistis. Suatu kali Einstein pernah mengatakan bahwa dia “menahan napas” saat membaca buku People’s Books on Natural Science, karya Aaron Bernstein. Saat Max Talmud membawakan buku tersebut, Einstein berusia sepuluh tahun. Ini adalah pengalaman yang begitu lain dan mistis. Pengalaman yang begitu mempengaruhinya. Hingga Walter Isaacson menulis, "buku karya Bernstein tersebut tampaknya telah memberi pengaruh terhadap Einstein yang kelak menyusun teori relativitas."

Setiap buku adalah makhluk. Kepercayaan ini tampak tidak berlebih-lebihan kalau kita menimbang bahwa buku sebagai eksistensi yang mempesona itu disebabkan oleh adanya pengaruh, gugatan, dan candu dalam buku. Kita tidak tahu bahwa buku lahir untuk membuktikan bahwa kata-kata, konsep selalu menjadi indikator dari peradaban.

Tempo dulu, kemampuan menyusun puisi, atau sajak-sajak bukan pekerjaan sembarang lipat. Kemampuan membaca puisi atau sajak-sajak dan kemudian menafsirkannya adalah kemampuan yang begitu diidamkan. Maka, tidak heran pendengar akan berebut ke keramaian pasar di daerah gurun pasir timur tengah dulu hanya untuk menunggu dibacakannya sebuah puisi atau sajak. Atau saat pencatat hikmah kehidupan Yunani dulu berpidato di sekumpulan pemuda-pemudi Athena yang mengharapkan oase untuk perbaikan kualitas hidup.

Sekarang rasa-rasanya, pekerjaan tidak butuh lagi keagungan membaca, menulis dan berpikir, asal bisa tercapai kegunaan dan fungsi.

Saat Pram didatangi oleh sekelompok oknum tentara di rumahnya, permintaan Pram Cuma satu “kalian boleh membawa semuanya, tapi saya mohon jangan ada kertas yang dirusak. Jika Negara membutuhkan ambillah, tapi jangan rusak satupun”.

Bagi seseorang yang memahami pentingnya membaca dan menulis, kertas adalah karya Tuhan yang memikat. Dalam kesederhanaan yang memikat, kertas melakukan pekerjaannya sebagai media tinta kehidupan pengarang. Maka kertas adalah media penghubung pengalaman empiris dan kacamata perspektif pengarang terhadap realita. Sungguh menakjubkan.

Pengarang diajak setia untuk terus menggores tinta, tidak untuk memastikan pemikiran, tapi juga dengan imperatif berkata pada diri “ini belum selesai”. Pengarang meletakkan sebuah kebajikan subjektif melalui kata-kata dan sambil bertanya-tanya. Akhirnya pembaca akan sadar bahwa ada proses metafisik yang terjadi antara kertas dan manusia. Sebuah proses yang tidak akan selesai andaikata pohon-pohon ditebang untuk membikin kertas dan lautan berubah jadi tinta.

Friday, November 8, 2013

Gramsci

Oleh : Goenawan Mohamad

Tadi malam saya baca satu adegan dalam hidup Antonio Gramsci. Pada senja hari 8 November 1926, tokoh Partai Komunis ini ditangkap pemerintah Fasis Italia, dan dua tahun kemudian hukuman 20 tahun penjara dijatuhkan. Hari itu jaksa berkata, "Untuk selama 20 tahun harus kita hentikan otak ini berfungsi."

Banyak cara buat menghentikan pikiran, banyak penjara dan bukan penjara, terkadang efektif, terkadang gagal. Penegak hukum itu gagal. Setelah disekap dalam sel Regina Coeli di Roma, Gramsci akhirnya dikurung di penjara Turi, hampir di ujung selatan Italia, dengan kesehatan yang kian memburuk. Ia meninggal karena perdarahan di otak pada umur 46 tahun, 27 April 1937. Namun kemudian diketahui, dari 11 tahun di dalam sel sendirian itu lahir ribuan catatan, berisi pikiran-pikirannya, di samping sekitar 500 pucuk surat untuk keluarga dan teman-temannya.

Catatan-catatan itu kemudian dikumpulkan dalam tiga jilid (versi Inggrisnya:Prison Notebooks) yang kemudian jadi sumber yang segar dalam perdebatan tentang revolusi dan Marxisme. Memang ada jaksa dan Mussolini, tapi tak ada kurungan pikiran bagi Gramsci. Meskipun tak dengan sendirinya ada kemerdekaan.

Catatan-catatannya baru bisa diterbitkan dengan leluasa beberapa tahun setelah Perang Dunia II. Di sana tampak kemampuannya secara orisinal meninjau pokok-pokok Marxisme—di samping kita temukan renungannya tentang hal-hal lain, tentang bahasa, misalnya. Namun semua itu baru diketahui luas setelah Stalin meninggal. Sebelumnya, teman-teman seperjuangannya menyiarkannya dengan hati-hati. Bukan hanya karena rezim Mussolini. Hubungan Gramsci dengan Stalin, pengendali gerakan komunisme internasional yang bertakhta di Kremlin, tak selamanya lurus. Pemimpin PKI (Partai Komunis Italia) yang lain, termasuk Togliatti, kawan dekatnya sejak satu sekolah, bisa dengan jinak menerima titah dari "pusat". Gramsci tak bisa patuh pada saat ketika ia harus patuh. Andai tak dipenjarakan Mussolini, ia mungkin akan dihabisi Stalin seperti ratusan orang revolusioner lain.

Barangkali karena ada dua sosok Gramsci. Keduanya bisa dibedakan, tapi tak terpisahkan. Sejarawan Marxis Eric Hobsbawm pernah menulis: berbeda dengan Lenin, Gramsci seorang intelektual sejak awal. Ia "seseorang yang hampir-hampir secara fisik tergugah hanya karena daya tarik ide-ide". Dalam tergugah, tak ada yang bisa memerintah. Tapi pada saat yang sama, ia pemimpin Partai. Partai adalah ide, program, kerja, disiplin. Ia, seorang Marxis sejati, yang selalu berada di tengah konfrontasi, tak hanya hendak menafsir dunia, tapi juga mengubahnya. Ia memihak.Vivo, sono partigiano. "Aku hidup, aku seorang partisan. Aku merasakan denyut aktivitas negeri masa depan yang dibangun mereka yang berdiri di pihakku."

Seorang partisan sering harus meringkas ide jadi doktrin dan mengemas doktrin jadi pedoman. Peta masa depan harus dibuat jelas, langkah harus dibikin pasti. Gramsci tentu pernah lebih memilih cara yang efektif itu ketimbang melanjutkan pemikiran yang dalam.
Tapi tak selalu demikian agaknya. Ia bisa berubah sebagaimana tafsir tentangnya berubah. Februari 1934, di sebuah berkala Partai seseorang melukiskan profil Gramsci dengan kagum tapi memperlihatkannya sebagai penyabar yang selalu mempertanyakan segalanya, seperti Sokrates. Ia, kata sang penulis, bukan jenis tokoh Partai yang selalu cepat memberi jawab. Dengan kata lain, bagi Gramsci, tak selalu ada jawab yang siap pakai.

Tulisan itu tampaknya satu kritik terselubung terhadap kecenderungan PKI yang makin doktriner. Tak mengherankan sang penulis dengan segera dikecam. Bagi para pembesar Partai, Gramsci bukan seorang Sokrates yang bertanya. Dalam kegalauan ideologis masa itu, ketika di Moskow Stalin mengubah dasar-dasar yang ditegakkan Lenin, PKI harus punya Gramsci yang stabil.

Tapi dalam selnya, Gramsci merasa ada yang bisa berubah dalam dirinya:
Aku merasa, andaikata aku dibebaskan dari penjara sekarang, aku akan terus hidup dengan otakku semata-mata... melihat orang-orang, bahkan yang seharusnya kuanggap dekat, bukan sebagai makhluk yang hidup, melainkan sebagai teka-teki yang harus dipecahkan.
Bertahun-tahun terasing dari gemuruh perdebatan dan keasyikan kebersamaan, seorang pemikir memang mudah terseret ke dalam sunyi Cartesian: liyan akan hanya hadir sebagai obyek analisis. Manusia ada untuk dirumuskan. Doktrin akan kian menentukan pandangan sang pemikir, bukan hubungan yang tak terduga antarmanusia. 

Bagi Gramsci, di situlah kematian seorang pejuang revolusi. "Berapa kali aku bertanya-tanya sendiri, bagaimana mungkin menjalin hubungan dengan orang banyak ketika kita tak pernah punya simpati yang kuat kepada siapa pun, bahkan kepada orang tua kita sendiri: seakan-akan kita sanggup punya kebersamaan sementara tak ada orang-orang yang mencintai kita."
Mencintai dan dicintai sering jadi banal dan tak pernah disebut dalam teori revolusi. Tapi kita ingat Gramsci dalam sel: menulis, menulis, menulis. Ia menjangkau mereka yang bukan obyek analisis yang bisa dirumuskan. Tiap kata yang ia pakai mengandung ucapan orang lain yang entah di mana pernah memakainya dan akan memakainya. Kata adalah kesepakatan, benturan, kesalahpahaman, pergulatan. Tak bisa sendiri. Bahasa, meskipun memihak, bisa hanya sepihak. Ia bukan produk ketidakpedulian.

"Aku benci ketidakpedulian," tulisnya. "Ketidakpedulian dan apati sama dengan benalu, sikap pengecut."


_____________________________________________
Artikel dengan kategori "Pojok Kliping" ini bersumber dari http://www.tempo.co/read/caping/2013/10/28/129062/Gramsci

Arete, Sebuah Buku Filsafat Populer

Resensi Buku
Agustinus Setyo Wibowo, 2010, Arete : Hidup Sukses Menurut Platon, Yogyakarta : Kanisius.

Voltaire pernah berujar bahwa mempelajari filsafat bukan sebuah jalan untuk mengasihani kemalangan, tapi agar kemalangan tersebut menjadi hikmah. Pernyataan Voltaire tersebut adalah jawaban bagi pandangan yang menolak filsafat karena dianggap tidak memfasilitasi produktivitas.  

Sekarang muncul pertanyaan, Apakah filsafat memang tidak menyediakan tempat bagi hal-hal yang diyakini bukan bagian dari filsafat?. Pertanyaan ini juga sebenarnya harus dijawab dengan keyakinan bahwa setiap upaya mencari pengetahuan adalah tindakan filsafat, termasuk berpikir pragmatis. Bagaimanapun, filsafat adalah sebuah penghubung yang unik dan mempesona.

Agustinus Setyo Wibowo dalam Arete : Hidup Sukses Menurut Platon (2010)__yang akan disebut selanjutnya dengan Arete saja__paling tidak adalah sebuah karya filsafat popular yang sangat menarik. Alasannya pertama adalah bahwa penguasaan penulis, yang dapat disapa Romo Setyo terhadap materi filsafat, tidak meragukan. Kedua, adalah bahwa buku filsafat dengan gaya populer jarang yang benar-benar disiplin dengan kajian literatur, artinya sebuah karya dapat saja diklaim berdasarkan pada pemikiran salah seorang filsuf tapi metode riset yang digunakan terkadang tidak memadai untuk disebut “representasi”.

Arete membicarakan perkara-perkaran “hidup sukses” yang jika dalam bahasa Yunani disebut Arete. “keutamaan”, “Kesuksesan” adalah kata-kata yang terkandung dalam Arete. Sebagai buku filsafat populer, maksud buku ini adalah hendak menjelaskan perihal pandangan-pandangan platon tentang manusia dan bagaimana platon memandang cara-cara yang dapat ditempuh manusia untuk meraih “keutamaan”.

Dalam Arete, Setyo Wibowo mencoba menyajikan pemikiran Platon mengenai pentingnya “mendidik hasrat” atau dalam sebuah konsep dapat saja diistilahi dengan “Pendidikan Hasrat”. Menurut Platon, cara terbaik membangun masyarakat adalah dengan mendidik tiap-tiap individu dalam masyarakat untuk cenderung pada pandangan akan “keutamaan”, akan tetapi “keutamaan” ini memerlukan upaya mendidik hasrat (eros) agar cenderung pada hal-hal yang mulia.

Menarik untuk diikuti, Arete mungkin semacam buku petunjuk praktis, yang juga menyediakan ruang untuk merenung. Pembaca tidak sekedar mengikuti petunjuk sebagaimana yang ditemukan dalam bacaan lazim mengenai buku “panduan”. Dalam beberapa kasus, kita lebih sering menemukan buku-buku panduan yang tidak menyisakan ruang untuk memfasilitasi atau menjadi jembatan antara pengetahuan lokal nan personal pembaca dengan paradigma yang ditawarkan penulis. (Fauzan Anwar Sandiah)

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK