Tuesday, February 11, 2014

Resensi Buku: "Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir"

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Judul     : Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir; Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer".
Penulis  : Ausgust Hans den Boef & Kees Snoek
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun   : 2008

Tidak ada puncak dari ekspektasi Pramoedya Ananta Toer (seterusnya disingkat Pram), selain “semuanya berakhir”, begitu bagian utama untuk memulai babak buku “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir” (disingkat SILSIB). Buku ini secara praktis akan menjelaskan mengapa politik rekonsiliasi yang digagas oleh Goenawan Mohamad tahun 2000 mengalami kendala besar dan buntu dengan Pram. Dan mengapa niatan baik dari pemerintah untuk duduk berangkulan secara damai dengan masa lalu tahanan politik (Tapol) justru selalu menunjukkan sisi antipati bagi Tapol. Tidak sederhana untuk menjelaskan semua ini, paling-paling yang terbersit adalah keengganan orang untuk mempelajari secara mendalam hierarki kejiwaan tapol-tapol. Representasi kuat tapol tentu saja adalah Pram. Bagaimana Pram sulit untuk menerima rekonsiliasi bukan sulit secara subjektif, tapi juga sulit secara kemanusiaan. Seorang pram hidup dengan ausdauer (daya-tahan) memahami betul tentang apa yang disebut-sebut sebagai “maaf”. Kita melihat bahwa ide untuk mengajak para tapol memaafkan rezim Orde Baru wajar saja ditolak. Egoisme memang harus diletakkan secara hati-hati bagi para tapol. Mereka bukan kawanan misterius yang akhirnya hidup menjadi penganut sinisme terhadap “kebaikan-kebaikan formalitas”. Mereka hanya terlalu memahami bahwa “kebaikan-kebaikan formalitas” tidak pernah membuahkan harapan, justru perlahan menjadi senjata membunuh. Tapol seperti sekelompok orang yang dibenci oleh rezim dengan menggunakan kekerasan psikis. Para tapol diberikan harapan bebas, harapan kehidupan, tapi justru itu akhirnya menjadi siksaan.

Menulis di Pasir

Bagi Pram, kekerasan yang melukai adalah kenyataan tulisan-tulisannya dilarang bahkan dirampas tanpa sisa naskah satupun. Kees Snoek, salah-seorang kontributor buku SILSIB, menulisnya dengan gaya yang dramatis, “kadang-kadang Pramoedya merasa kecewa atas sedikitnya jumlah peredaran buku-bukunya di Indonesia, seperti menulis di pasir…”(hlm.102). Tampaknya Kees Snoek ingin menutupi atau menyelubungi kekecewaan Pram dengan “kadang-kadang”. Terbukti, bahwa Kees Snoek sendiri menyadari bahwa ada perlakuan tidak pantas untuk Pram dari kolega-koleganya pada suatu pertemuan di Bulan April 1988, “…beberapa dari kenalan saya itu sepertinya tidak begitu menghargai perkenalan mereka dengan Pramoedya…mereka santun…tetapi setelah itu mereka langsung pergi…” (hlm.103). Sejarah sastra Indonesia yang dipegang oleh kelompok Humanisme Universal hampir setengah abad lebih antara 1965-2000-an tidak menyisakan ruangan untuk Pram. Menulis di pasir jadi kemewahan yang sia-sia untuk Pram, fenomena yang terbukti menghantamnya cukup keras sampai ke titik jauh.

August Hans, Kees Snoek, dan Pram

Buku SIlSIB meletakkan dasar historis yang cukup penting untuk memulai memahami Lebenswelt Pram. August Hans dan Kees Snoek menangkap perihal itu dengan cara yang berbeda. August Hans secara diametral menghadapkan Pram dengan realitas kritikus barat abad 20 serta pemahaman umum tentang dirinya yang berkembang sebagai opini formal di masyarakat. August Hans sah-sah saja bertindak begitu, mungkin hanya untuk menyadarkan kepada kita bahwa tantangan yang dihadapi Pram tidak sekedar tindakan represif pemerintah, tapi juga kecenderungan kritikus di Barat serta rekonstruksi opini masyarakat tentang dirinya. Dan memang, August Hans, menangkap belokan-belokan corak Pram dari fatalisme menjadi komunisme. Belokan-belokan demikian kemudian akan menjelaskan Lebenswelt yang selama ini salah dipahami. Oleh karenanya informasi-informasi mengenai perdebatan apakah PKI harus dimaafkan atau PKI memberi maaf harus dibaca melalui laporan-laporan dokumentatif tentang masing-masing subjek yang memegan symbol utuh tapol seperti Pram. August Hans membuat SILSIB menjadi bacaan wajib untuk itu, walaupun laporannya cukup singkat.


Bagaimana dengan peran Kees Snoek?. Kees Snoek merekam dengan tersirat bahwa ada mutual knowledge dalam pembacaan orang terhadap Pram dan aktivitasnya. Apakah mutual knowledge tersebut? itu menyangkut dengan satu proses yang membuat Pram “luar biasa terluka” menurut Kees Snoek. Pram menganggap diskursus mengenai kritik-kritik kerasnya terhadap kelompok Humanisme Universai bukan suatu yang penting untuk diajukan di dalam sejarah sastra Indonesia. Bagi Pram yang penting adalah penelusuran terhadap pembantaian kelompok-kelompok komunis. Hal ini menjadi lebih terang lagi setelah memasuki pembebasan Pram, dan kemudian mulai membuka pendalaman terhadap isu ini. Yang pasti, Pram ingin melihat semua ini berakhir.. 

Saturday, February 8, 2014

Ratusan Mata di Mana-Mana

Oleh: Martin Aleida
Penulis Buku  "Mati Baik-Baik, Kawan" (2009), "Langit Pertama, Langit Kedua" (2013).

Dengan menjinjing nasib yang malang saya mengetuk pintu TEMPO. Melalui
pintu kayu yang tinggi kokoh dari sebuah bangunan berbentuk rumah-toko
peninggalan zaman Belanda di Jalan Senen Raya 83, saya masuk ke dalam.
Berkelok ke kiri dan berjingkat menaiki tangga batu ke atas, saya
kemudian berdiri di tengah gang sempit. Melangkah masuk, lantas saya
disambut sebuah ruangan yang cukup besar dengan dua jendela kayu
terbuka mengundang masuk angin dari arah matahari terbenam. Hampir
sepuluh pasang meja-kursi berderet merapat ke empat sisi dinding. Tak
satu pun yang menonjol dibanding yang lain. Rupanya semua orang
sama-rendah- sama-tinggi di sini. Mesin tik seperti berkejaran,
berdentam-dentam, di semua sisi. Saya terpaku sesaat, merasa tidak
lebih berharga dari sebutir debu yang sewaktu-waktu akan dikebutkan.
Tak ada yang menyapa. Mempedulikan pun tidak. Mata saya menyelidik ke
sekeliling. Saya tak mengenal siapa-siapa di sini, kecuali Goenawan
Mohamad. Melongok kanan-kiri.. . Nah, itu dia! Jendol di kening,
mungkin penanda kelebihan kearifannya dibandingkan yang lain, masih
menggantung dengan berat di situ. Di jari kirinya terjepit sebatang
rokok putih yang masih berasap. Dia kelihatan seperti seorang Nabi
yang terlalu letih setelah menempuh perjalanan jauh dan bekerikil.

“Mas…”

“Hei…” sambutnya begitu melihat saya. Matanya redup.

“Boleh saya bergabung?” Langsung saya merogoh hatinya.

“Boleh…, boleh…” katanya enteng sambil merapikan kertas yang

berserakan di daun meja. Walau terasa seperti tak acuh, saya mencium
kehangatan dalam suaranya ketika dia mengatakan, “Kapan mulai?”
Seingat saya percakapan tersebut tidak lebih dari itu. Tak ada
basa-basi. Juga tak ada ujian masuk. Mungkin karena Goenawan sudah
mengetahui kemampuan saya ketika bekerja sebagai reporter di majalah
berita EKSPRES yang juga dia pimpin. Cuma sebulan saya bekerja di
majalah itu, karena penghasilan yang tidak pasti. Ketika memutuskan
berhenti, saya membawa pulang Rp 6.000. Lebih rendah dari gaji sebulan
pelayan toko – pekerjaan yang kemudian menjadi pilihan saya.
Begitulah, keesokan harinya, 15 Januari 1971, dengan mengenakan hem
hitam pekat dan pantalon putih, sepasang sepatu hitam pula, semuanya
pinjaman dari seseorang di Tanah Abang, saya terjun kembali menjadi
wartawan. Ya, kembali. Mengapa menggunakan kata “kembali”? Nanti akan
saya ceritakan.

Baju hitam, celana putih! Setelah bergaul intim dengan sesama
reporter, seperti Yusril Jalinus, Syahrir Wahab, Herry Komar, dan
Harun Musawa, kalau dalam suasana bercanda, pakaian hitam-putih saya
itu sering menjadi bahan ledekan. Saya tak tahu, apa asosiasi yang
berada di kepala mereka melihat saya berpakaian seperti itu. Marhaenis
sesat! Pengikut Mbah Suro! Saya tak tahu. Buat saya sendiri setelan
itu telah mengantar saya mengarungi putaran hidup yang baru, walau
tetap diburu kecemasan. Saya masih beruntung dibandingkan dengan
kawan-kawan saya yang masih ditahan di dalam kamp dan penjara yang
dikuasai angkatan darat di Jakarta.

Menjelang nomor perdana TEMPO, 6 Maret 1971, kami, para reporter
dilatih oleh Usamah, seorang redaktur yang cekatan, dengan tatapan
mata seorang wartawan tulen, tak gampang percaya, menyelidik. Ketika
baru berusia 19 tahun dia sudah menulis novel dengan setting
mirip-mirip Eropa, dimuat bersambung di majalah Sastra. Latihan
berlangsung malam hari setelah semua reporter menyelesaikan tugas
harian. Untuk melatih ketajaman pengamatan, setiap hari kami disuruh
menulis laporan pandangan mata dalam perjalanan dari rumah ke kantor.
Usamah memberikan pelatihan dengan meyakinkan. Ibu jari tangannya yang
lancip dan hitam tak pernah lepas memberi tekanan. Dia membimbing kami
bagaimana membuka tulisan, menganyam data, dan menutup tulisan dengan
menarik. Tak diragukan lagi, dia seorang penulis yang tangkas dan
cepat. Usamahlah yang menemukan “kecap” yang kemudian menjadi masyhur:
“TEMPO, Enak Dibaca dan Perlu.”

Cuma, seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat sesekali
jatuh juga. Sekalipun Usamah, dia tetap bisa terpeleset! Ketika
menulis kembali tulisan mengenai permainan semacam yoyo, yang ketika
itu bernama “Nok-Nok,” saking syurnya menulis, dia lepas kendali, dan
menambahkan kata-kata di dalam tanda kurung di belakang nama permainan
itu: (Jangan dibaca….) Dia membuang huruf “k” pertama dari nama
permainan yang sedang populer ketika itu. Usamah bikin geger! Untuk
menutup muka mengatasi malu, TEMPO buru-buru memesan stempel buta. Tak
ada kata-kata, cuma blok hitam pekat membujur. Bagian redaksi dan
administrasi dikerahkan untuk “menimpa” kata yang tiba-tiba menyelusup
itu dengan blok hitam supaya tak terbaca. Tiras majalah ketika itu
sudah 25.000. Bayangkan, betapa repotnya! Seharian orang-orang harus
menggempur kata tak senonoh yang ngelantur di kepala Usamah.
Bagaimanapun, saya senang mengikuti latihan jurnalistik model Usamah.
Ini gaya baru, saya pikir. Dan, dari gelanggang latihan itu paling
tidak saya tangkap bahwa para pendiri TEMPO, terutama para
wartawannya, tidak main-main dalam mempersiapkan majalah berita yang
ingin disajikan dengan bahasa yang baik, lengkap isinya dan enak pula
dibaca.

Assignment memang ada, namun pada dasarnya laporan-laporan berita
TEMPO berasal dari bawah. Para reporter mengajukan usul atau laporan
yang sudah jadi. Para redaktur mengolahnya kembali menjadi tulisan
yang siap saji. Atau menolaknya samasekali. Tulisan yang dipersiapkan
reporter memperoleh sentuhan yang memperkaya dari para redaktur.
Pernah ada tulisan untuk rubrik “Ilustrasi” tentang bangku-bangku
taman di Jakarta yang berubah fungsi dan menjadi sarang penganggur.
Penyair Isma Sawitri, yang menerima laporan itu, memolesnya dan
memberi judul “Batu Berpikir,” dengan pembukaan paragraf yang elok
nian, dan mengasosiakan para penganggur tadi sebagai patung “Pemikir”
karya pematung masyhur Perancis, Rodin.

Mempersiapkan bahan untuk laporan utama bukanlah pekerjaan yang mudah
buat para reporter. Menantang, juga bisa melukai perasaan. Suatu
ketika, rapat perencanaan TEMPO memutuskan untuk menurunkan laporan
utama mengenai hiburan malam. Seluruh reporter dikerahkan. Redaktur
Putu Wijaya, yang ditugaskan untuk menuliskan laporan siap cetak, juga
ngeloyor ke lapangan. Inilah peroyek penulisan paling spektakuler masa
itu. Total laporan yang masuk dari reporter hampir 200 halaman! Hasil
kunjungan mereka ke pusat-pusat hiburan malam di Ibu Kota yang sedang
genit-genitnya menggoda mereka yang haus hiburan berbau seks di tiap
pojok kota. Ya, hiburan berlumur seks.

Saya dan reporter D.S. Karma mendapat tugas meliput pertunjukan
striptease di lantai paling atas gedung CTC di Jalan Kramat Raya. Yang
kami tonton tidak hanya seorang perempuan kulit putih bahenol yang
bermata tajam ala perempuan dari Timur Tengah, yang menanggalkan
pembalut tubuhnya helai-demi-helai sampai bugil, gil…, tapi juga
adegan persetubuhan! Sejawat saya, Karma, terguncang imannya melihat
pertunjukan itu dan mengucapkan istigfar sambil berlindung di balik
tiang beton, seraya tangannya sebentar-sebentar menggelepar di pisak
celananya. Saya yakin, Karma yang berdarah Banten itu, tak percaya
akan apa yang sedang dia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.
Begitu majalah keluar dari percetakan, para reporter dengan
bersemangat membacanya, dan yang membuncah adalah rasa ingin tahu
sejauh mana bahan yang mereka masukkan dikutip. Putu Wijaya, yang
selalu menulis dengan headset yang terus membekam kedua belah
telinganya, menampilkan laporan yang menarik dan lancar. Dan, ternyata
bahan yang masuk dari reporter hampir tak ada yang dipakai. Kalau pun
ada, cuma barang secuil. Mereka yang kecewa menggelepar, uring-uringan
seharian. Yang dikutip dari laporan saya sendiri cuma huruf e untuk
kata “seks” dan sebuah koma. Saya sudah siap menelan kepahitan seperti
itu. Jadi saya tak begitu hirau. Saya teringat pantun di kampung saya,
di Sumatera, “Kalau takut di ombak pasang jangan berumah di tepi
pantai.” Tapi, urusan menjadi repot juga, ketika sang istri di rumah
ngomel: “Pulang-pulang pagi…, ngapain aja sih? Tak secuil juga dipakai…”
Ketidakpuasan para reporter mendarat juga ke kuping Goenawan Mohamad.
Dan, hati mereka yang ciut bertambah mengkerut. Goenawan
membolak-balik tumpukan laporan yang masuk dari para reporter.
Tiba-tiba keluarlah lidahnya yang bermerek Amerika. “Memang, cuma
rubbish,” umpatnya tajam. Saya tak paham mengapa dia harus menggunakan
Inggris untuk mengatakan “sampah.” Sebab, bagaimanapun geliat kata itu
di lidah, ia tetap tak bisa menawar perasaan para reporter yang sedang
dirundung sebal.

Menulis berpuluh-puluh halaman, tapi tak sekalimat pun dikutip, memang
bisa membuat hati terluka. Tetapi, haru-biru yang diakibatkan kisah
tentang “hiburan malam” itu tak mematahkan semangat para reporter.
Keesokan harinya, kami ngeluyur lagi di tengah-tengah kota, mencari
apa saja yang bisa dilaporkan, dengan menumpang bus, becak atau naik
motor milik kantor yang jumlahnya, ketika itu, masih terbatas. Ibarat
kata orang Melayu, kami kembali “bertungkus- lumus” mencari cerita. Ya,
berita yang ditulis dengan gaya bercerita. Dada kami tetap mongkok
karena romantisme masih saja mekar di antara para pencari berita.

Kesetiakawanan dan cita-cita tentang sebuah jurnalisme yang baru masih
kental. Waktu itu, Goenawan tinggal di rumah kontrakan yang sederhana
di daerah pasar Genjing, di salah satu rumah di deretan tempattinggal
yang terletak agak menjorok di bagian dalam dari Jalan Pramuka.
Acapkali dia datang ke kantor dengan menumpang becak, atau dibonceng
reporter Farkhan Bulkin naik scooter Lambrette tua, milik orang-orang
Batik Pekalongan yang bermarkas di Jalan Kramat Pulo, dekat bioskop
Rivoli, Jalan Kramat Raya.

Sudah menjadi kebiasaan, apabila TEMPO menurunkan berita yang menarik,
apalagi laporan utama, ada pengantar pendek, semacam “kecap pemanis”
yang dimuat di halaman awal. Suatu ketika, TEMPO tampil dengan laporan
yang agak panjang mengenai satu kasus manipulasi bank. Sementara
koran-koran hanya memuat keterangan polisi di sebuah konferensi pers,
TEMPO tampil dengan kisah yang lengkap, bagaimana penipuan terhadap
bank Pemerintah itu berlangsung. Saya dan reporter kawakan, Leopold
Gan, berduet untuk menyelidiki dan melaporkan kejadian. Foto kami
berdua nampang di halaman pengantar.

Laporan tersebut di kemudian hari diklaim sebagai perintis
investigative reporting. Tak lama sesudah itu, TEMPO muncul dengan
scoop yang membuat iri hati saingannya, yaitu berita tentang Wayne
Sargent, seorang wanita dari Amerika Serikat, yang membikin sensasi
dengan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa dia telah mengawini
Obahorok, kepala suku Dani, di Papua. Bayangkan, seorang wanita dari
zaman modern mengawini laki-laki yang baru bisa menutup harkat
kejantanannya dengan labu kering. Koteka! Ketika Wayne singgah di
Jakarta, dalam perjalanan pulang ke Amerika Serikat, perempuan
langsing berambut merah jagung itu dicegat Bur Rasuanto. Bur lantas
“menyimpan” Wayne di suatu tempat rahasia, sehingga tak ada wartawan
lain yang bisa menemuinya. Kiat membuat berita eksklusif seperti ini
membikin perhatian pembaca TEMPO semakin menggila.

Suatu hari, saya yang turut larut dalam prestasi-demi- prestasi yang
dijalin TEMPO, tiba-tiba bagaikan kena sambar sampar. Pada suatu pagi,
ketika kami para reporter sedang asyik-asyiknya membaca koran di ruang
repoter (ada yang sambil duduk di ujung tangga yang memisahkan ruang
kerja reporter dan redaktur), muncullah seorang pemuda, yang
sepertinya pernah saya kenal di kamp tahanan militer di Jalan
Kemuliaan, yang di kalangan para tahanan dikenal sebagai kamp Air
Mancur, karena dekat kolam penghias kota dekat Taman Monumen Nasional
itu. Dia langsung menghampiri saya. Menyebutkan nama saya untuk
memastikan surat yang dia tenteng tidak nyasar, dia lantas menyerahkan
amplop di tangannya itu kepada saya. Lantas dia melangkah ke bawah
menuruni tangga. Amplop saya buka, dan membaca surat yang terasa
ditulis dengan kata-kata yang berladam sepatu tentara. Isinya tegas:
saya harus datang ke Komando Daerah Militer Jayakarta untuk interogasi.
Hari itu saya pulang dengan perasaan sebagai pesakitan. Cemas, hampa.

Pada pagi hari yang ditetapkan supaya saya datang ke markas komando
militer, saya menghadap Goenawan dan membertahukan, sekaligus meminta
izin, bahwa saya dipanggil KODAM, untuk diperiksa. Waktu itu saya
isaratkan bahwa pemeriksaan terhadap saya kemungkinan tidak ada
hubungannya dengan berita TEMPO. Pastilah tentang saya sebagai
pesakitan Orde Baru. Goenawan sudah tahu mengenai latarbelakang saya.
Karena ketika melamar EKSPRES dulu, sudah saya katakan kepadanya –
dan hanya kepadanya, dan saya tak tahu apakah kemudian dia gosipkan
pula kepada orang lain — bahwa saya bekas tahanan politik.

Sudah lupa saya, apa yang dia katakan ketika melepas saya di pintu
ruang para redaktur. Tak ada emosi yang terbaca di situ. Bersyukurkah
dia? Bersimpatikah dia? Kayaknya, dia mengharapkan saya baik-baik
saja. Sampai jumpa Martin, kira-kira begitulah kata tatapan matanya!
Sungguh saya tak tahu apa yang berada di dalam hatinya.

Saya diinterogasi di sebuah ruangan khusus di Jalan Gunung Sahari.
Saya duduk dengan manis, dengan kedua tangan terlipat. Di depan saya,
duduk orang yang memeriksa saya, orang yang saya kenal bernama
Sartono; orang yang dulu pernah menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan
Rakyat di Jakarta. Saya berpura-pura lupa dengan masa lalunya. Dosa
yang dia tanggungkan bukan monopoli dia sendiri. Dia adalah contoh
dari sekian banyak orang yang telah mendurhakai dirinya sendiri, dan
teman-temannya, untuk menyelamatkan diri. Begitu hinanya sejarah
menyaksikan orang-orang seperti dia ini. Di depannya terbuka halaman
majalah TEMPO, dan terpampang foto saya dan Leopold Gan, dengan
sejumlah paragraf “kecap manis nomor satu,” sebagai pengatar dari
redaksi. Nafas saya tertahan. Jantung saya berdentam cepat begitu mata
saya membentur halaman itu.

“Bagaimana Saudara bisa selalu bekerja di media yang besar dan
terpandang. Dulu di Harian Rakyat, ZAMAN BARU, sekarang di TEMPO?
Coba, bagaimana? Dan bagaimana Saudara bisa berkenalan dengan
Goenawan? Ada hubungan apa Saudara dengan penandatangan Manifes
Kebudayaan itu? “

“Nasib telah menjelma menjadi sungai yang besar dan deras, yang
memisahkan jalan hidup kita berdua! Aku di sini. Kau di situ, dan cuma
sebagai seorang pendurhaka!” Kata-kata itu bergulung-gulung di dalam
hati saya seperti batu menggelinding menuruni lereng gunung yang
sedang terbakar. Tetapi, kata-kata yang gagah namun sinis itu cuma
tersekat di dalam hati. Leher saya terlalu pendek dan lidah saya
terlalu majal untuk mengucapkannya. Ekor pari yang bergerigi
tajam-tajam menyeringai, kumparan kabel pengejut listrik yang
terlampar di lantai yang dingin, dan mata yang tajam mengancam dari
seorang bertubuh kekar hitam di pojok ruangan, membuat saya tak kuasa
melafalkannya. Lagipula, tak ada kemenangan yang harus di petik di
ruangan yang bengis ini, yang menjadi saksi bagi ratusan orang tak
bersalah, yang disiksa, diperkosa, untuk memperoleh keterangan tentang
orang yang tak tahu entah mengapa dikaitkan dengan terbunuhnya para
jenderal.

“Saya menulis beberapa cerita pendek di Horison. Goenawan salah
seorang staf redaksi majalah itu. Dengan cerita pendek itu kemudian
saya melamar di majalah EKSPRES. Goenawan pemimpin redaksi di situ.
Tak sampai sebulan, saya keluar, karena gaji kecil. Sewaktu Goenawan
Mohamad hendak mendirikan TEMPO, saya melamar lagi, dan saya
diterima,” jawab saya berupaya menenangkan diri.

Saya teringat, ketika ditangkap militer tahun 1966, saya luput dari
pembantaian, pemencilan ke dalam penjara, maupun pembuangan ke Pulau
Buru, besar dugaan saya, karena dari kantong saya interogator
menemukan surat wasiat kedua orangtua saya yang hendak berangkat
menunaikan ibadah haji. Kalau tak pandir bukan interogator namanya.
Dan, saya kira, wasiat itu telah menjadi mukjizat yang membuka pintu
kebebasan bagi saya si anak malang. Menjadi pesakitan di depan
interogator, yang adalah teman saya sekarang ini, saya tak punya
apa-apa. Saya tidak mengharapkan mukjizat yang lain dari sorga.
Militer toh sudah lelah, kekenyangan menangkap, menyiksa, mengayau
atau membuang orang-orang merah. Sudah tak ada sisa-sisa yang
tertinggal di alam bebas. Arah pertanyaannya adalah apakah saya masuk
TEMPO karena rekomendasi seseorang. Siapa?

Sang interogator, kelihatannya menerima uraian bagaimana saya masuk
menjadi wartawan majalah itu. Kemudian muncullah niat busuknya sebagai
pendurhaka untuk menggaet pengkhianat baru, atau paling tidak,
menjadikan saya seorang informan. Seraya tangannya menunjuk foto saya
dan Leopold Gan, dengan berseloroh dia katakan pastilah saya punya
hubungan luas. Dia menanyakan apakah saya kenal dengan tokoh
pemuda-mahasiswa garis keras, seperti Siner Key Timu dan beberapa nama
lagi? Saya katakan tidak, saya bukan wartawan politik. Ketika saya
dipertemukan dengan Komandan Intelijen KODAM, yang kebetulan datang ke
ruangan interogasi itu, saya bertanya, “Apakah saya harus keluar dari
TEMPO?” Perwira yang mengenakan pakaian sipil dengan wajah bundar
bertabur bekas jerawat batu itu, saya dengar punya istri gelap,
seorang wanita yang suaminya mendekam dalam tahanan. “Tidak…, tidak
perlu,” katanya dingin.

Interogasi tidak saya biarkan mematahkan hati saya. Justeru
perkembangan di dalam TEMPO sendirilah yang menggoyang ketenangan
kerja. Bur Rasuanto diberhentikan menyusul ketegangan yang menyebabkan
dia melemparkan segelas kopi, yang gagal menghantam muka Goenawan, dan
pecah berantakan menghantam tembok yang tak ikut-ikutan. Tersiar
kabar, Bur berencana menerbitkan majalah berita mingguan baru.
Beberapa wartawan mengundurkan diri dan dikabarkan bergabung dengan
jabang bayi majalah itu. Karena kedekatan dan kerjasama yang baik
dengan Bur selama ini, saya pun jadi sasaran gosip, yang sampai ke
telinga saya bagaikan teror. “Tin, kapan kau berangkut?” tanya Fikri
Jufri. Maksudnya kapan saya mengangkut kopor dan berangkat mencium
tangan Bur.

Rivalitas Fikri dengan Bur Rasuanto sangat tajam, sampai-sampai anak
Gang Haji Murtado itu minta bantuan Irsyan Djunud, pesilat Betawi yang
bekerja sebagai teknisi kamar gelap. Dia meminta kesetiaan Irsyan,
bahwa dia akan melindungi Fikri kalau Bur menyerang secara fisik.
Maklumlah, konon di laci Bur sering terselip martil atau pun golok.

Tak sekali-dua-kali Fikri menteror saya dengan sindiran gaya
Hadramaut-Betawi yang memanaskan kuping seperti itu. Saya hanya
mengelus dada untuk tidak melawan, walau saya punya senjata untuk
membalas. Saya tahu betul, karena dia sendiri yang bercerita kepada
saya, hubungan apa yang terjalin antara Pertamina dengannya, setelah
dia menulis laporan yang sangat kritis mengenai perusahaan minyak itu.
Itu dia katakan kepada saya menjelang keberangkatannya ke Amerika
Serikat untuk mengikuti studi jangka pendek di Stanford.

Terus terang, setelah diinterogasi aparat intelijen angkatan darat
tempo hari, saya selalu merasa seratus pasang mata mengincar saya ke
mana dan di mana pun saya berada. Mata Goenawan, mata Fikri, mata
Yusril dan mata-mata yang lain. Saya tak tahu apa yang terjadi dengan
Salim Said. Ketika saya diundang menghadiri rapat pembagian saham,
dengan lantang dia berkata kepada hadirin bahwa, “Martin tidak berhak
atas saham,” katanya. Alasannya saya datang belakangan. Sebelum
ditahan Zen Umar Parba dan yang lain, saya mengambil langkah seribu
dan meninggalkan rapat, tanpa membela diri, sekalipun saya, misalnya,
sudah bergabung dengan TEMPO tiga bulan sebelum terbit. Saya juga
pernah bekerja dengan EKSPRES, walau saya tak menunggu sampai Goenawan
dikeluarkan oleh lawan politiknya, pemilik modal, Nurman Diah.
Saya tak mengharapkan saham. Tapi, mengapa Salim begitu bergairah di
dalam rapat itu. Padahal, belum lama dia mengajak saya tidur di
rumahnya, yang sesungguhnya hanyalah ruangan dapur dari gedung Gerwani
di pojok Jalan Tegalan, Matraman, yang sedang diduduki kekuatan
bersenjata. Dia memberikan saya sepucuk pistol untuk berjaga-jaga,
agar ditaruh di bawah bantal, kalau perlu. Saya tolak, karena tak
memerlukannya. Sebelum mata terpejam, tiba-tiba pintu diketuk
seseorang. Muncullah Sarwo Edhie Wibowo, legendaris hidup yang mengaku
telah menghabisi “tiga juta orang komunis” dalam gerakan penumpasan
yang dipimpinnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Untung saya
tidak diperkenalkan kepadanya. Kalau diperkenalkan tak tahu saya
bagaimana harus mencuci tangan saya yang baru menjabat tangan
seseorang yang berlumuran darah orang-orang yang tak bersenjata dan
tak bersalah.

Nasib buruk menimpa laporan-laporan saya. Saya mendapat berita bagus
mengenai diplomat Uni Soviet yang melarikan diri dan kabarnya minta
suaka di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Cerita itu
ditolak. Berita saya mengenai kericuhan di Dewan Kesenian Jakarta,
yang ketika itu dipimpin Umar Kayam, juga diputuskan oleh Goenawan
untuk tidak diturunkan.

Namun, sebagai wartawan, saya tidak mau membiarkan diri saya gepeng.
Saya punya hubungan yang baik dengan dokter Gunawan di Cisarua yang di
sementara kalangan terkenal mengobati kanker dan tumor dengan singkong
gendruwo, singkong racun. Beberapa kali saya melihat bekas Wakil
Presiden Muhammad Hatta, bekas Duta Besar Sudjono dan Sawito duduk
bercakap-cakap sambil menghadap perapian di rumah dokter Gunawan. Tak
lama setelah itu, secara terbuka Sawito, bekas pegawai Departemen
Pertanian, itu mengakui telah menerima “wangsit” bahwa Soeharto harus
turun karena tidak layak mengelola pemerintahan. Kelompok Cisarua itu
dituduh penguasa mau menjatuhkan pemerintahan Soeharto. Sawito
ditangkap. Saya merasa diri “orang dalam” dan tidak menuliskan
laporan. Namun, saya bercerita panjang-lebar secara lisan kepada
Goenawan Mohamad, dan TEMPO menurunkan berita yang cukup lengkap,
berjudul “Voodoo Revolution.”

Kami, para reporter, merasa sudah bekerja habis-habisan untuk
membesarkan TEMPO, dan kami sadar gaji yang kami terima saban bulan
bukanlah seluruh nilai yang telah kami berikan kepada majalah itu.
Karena, kalau semua jerih payah kami, nilai lebih yang kami berikan
dibayarkan, sudah barang tentu majalah itu tidak akan bisa menanamkan
modal untuk terus berkembang. Yang tidak berkenan dipikirkan oleh
perusahaan, kami upayakan sendiri. Kami memerlukan pemondokan yang
layak. Ed Zoelverdi dan saya menguruskan penerimaan jatah perumahan
dari Perumnas di Depok. Tetapi, Goenawan tidak senang dengan
jerih-payah kami itu.

Benih ketidakpuasan tanpa diundang mulai bermunculan. Ketika terbetik
ada majalah kedokteran yang mau terbit di Jakarta, saya ditugaskan
menulis laporan dengan misi menggagalkan usaha pihak Hong Kong itu,
dengan tujuan untuk mempertahankan MEDIKA, majalah kedokteran dan
farmasi milik TEMPO, supaya tetap memegang monopoli. Laporan saya
diterbitkan. Betapa sakitnya hati melihat kenyataan yang pahit ini.

Saya harus melacurkan hati-nurani kewartawanan saya untuk monopoli
perusahaan yang mengabaikan hajat hidup wartawannya Ketika para
wartawan akan diberikan jatah mobil, pendapat kami tidak diminta.

Kecuali satu-dua wartawan yang jadi “anak emas” Goenawan. Anak-anak
kesayangan yang masih bujangan itu, karena kepingin kelihatan “gaya,”
memilih Toyota hardtop. Gila! Siapa yang membayar bensinnya?! Jatah
bensin dikalkulasi berdasarkan jarak antara kantor dengan rumah
pemimpin redaksi yang terletak di Cipinang. Sementara Syu’bah Asa, Ed
Zoelverdi dan saya tinggal di Depok. Syu’bah terkaing-kaing. Setengah
dari gajinya habis untuk membeli bahan bakar. Saya, yang tidak
bergairah dengan mobil penghisap darah itu, memilih meninggalkannya di
rumah tiga-empat hari dalam seminggu. Kadang-kadang saya jalan dan
lari ke kantor yang berjarak 31 km.

“Tin, mana mobilmu,” desak Fikri.

“Saya tinggalkan di rumah. Tak ada uang untuk beli bensin.”

“Kau gak bisa begitu! Kau desk, bukan reporter!”

“Ambil kembali juga boleh. Silakan!”

Kuping Fikri panas. Dia tak menjawab, dan nglengos meninggalkan saya.
Keterlambatan terbit menjadi musuh laten. Pengambil keputusan sampai
pada kesimplan untuk merekrut tenaga wartawan baru. Kami, pada
redaktur, tidak diajak rembuk. Rekrutmen tidak didasarkan pada
kemampuan menulis calon wartawan, tetapi kelulusan tes psikologi.
Keadaan tetap tak tertolong. Para wartawan baru ini tidak bisa
menuliskan laporan dengan gaya piramida terbalik, sehingga para
redaktur harus membaca seluruh laporan meraka yang berhalaman-halaman,
dan datang dari beberapa wartawan, sementara tenggat waktu sudah
mendesak. Jadinya jadual terbit tetap dikhianati. Dan yang ketiban
pulung adalah redaktur, mereka yang juga dinamakan “jabrik” atau
penanggungjawab rubrik.

Teater TEMPO semakin menyakitkan hati manakala Zulkifly Lubis, yang
gagal di gelanggang redaksi dipindahkan ke bagian pendidikan. Bagian
itu kemudian berubah menjadi bagian manajemen yang sangat dominan.
Hitam katanya hitam kata Goenawan. Dari situlah anak Medan, yang
sekolah di Yogyakarta, itu mengatur bagian dari mana dia sudah
terisisih, kalah berkompetisi, persaingan sehat yang justeru
dianjurkan Goenawan dalam sebuah pidato di awal usia majalah tersebut.
Pembersihan terhadap mereka yang tidak disenangi dihumbalangkan
seperti mengaduk-aduk air yang bersih. Eka Budianta, yang gemar
berbicara puitis (yang membuat dia sering diejek) dalam rapat
perencanaan redaksi, digeser ke bagian lain. Suatu hari, saya
bertandang ke meja kerjanya. Masyaallah, dia memang menghadapi mesin
tik. Tetapi, sang penyair bukannya sedang menulis laporan, dia cuma
mengisi rupa-rupa formulir. “Aku jadi juru ketik sekarang…,” katanya
sinis. Tak lama setelah percakapan itu dia berhenti, harakiri gaya
Melayu, untuk melawan rasa malu, tersebab merasa dikerjain dengan
semena-mena.

Nasib saya tidak seburuk Eka, agaknya. Setelah bekerja lebih dari
delapan tahun, saya mendapat hadiah berupa subsidi rumah sebesar 20
kali gaji. Saya juga diberikan kesempatan untuk memperbaiki bahasa
Inggris dan pengetahuan linguistik di Georgetown University,
Washington D.C. Hubungan telepon, yang sampai sekarang masih saya
manfaatkan, adalah fasiltas dari perusahaan. Kalau dikenang lucu juga.
Sambungan telepon itu disediakan hanya untuk memberikan kesempatan
kepada saya untuk memberitahukan kepada istri maupun anak, bahwa saya
tak bisa pulang, karena masih harus berjuang melawan deadline. Maaf,
harus pulang besok pagi, sayang! Tetapi, kesemrawutan manajemen, pilih
kasih, dan tetek bengek yang sebenarnya tak perlu terjadi, menggoda
saya untuk berhenti. Ditambah kecemasan kalau-kalau pemerintah akan
mengamangkan kekerasan dalam melaksanakan larangan bagi tapol untuk
bekerja di media massa. Saya tergoda untuk menyudahi hubungan cinta
dan sakit hati dengan TEMPO secara baik-baik. Kepada Lukman Setiawan,
juga A. Bastari Asnin, senior saya, saya mengutarakan niat saya, dan
meminta mareka untuk membantu supaya niat saya terlaksana dengan
lancar, tanpa hambatan. Dan saya tidak menuntut apa-apa. Kecuali
pesangon sebesar tiga bulan gaji.

Suatu hari, sekitar awal Juni 1984, saya menghampiri Goenawan di meja
kerjanya. Saya katakan, saya ingin mengundurkan diri.
“Tunggu, saya mau membersihkan meja saya. Jangan sekarang,” katanya.
Saya pikir, ternyata saya tidak lebih berharga dari sebutir debu.
Kabarnya, dia sudah mendengar rencana saya dari Salim Said.
Saya sabar menunggu selama dua minggu. Kemudian saya datang lagi
menghampiri daun mejanya. “Jangan sekarang,” katanya lagi mengulang
seperti mengebutkan kemoceng.

Apa pun yang terjadi, sayalah yang berkuasa atas nasib saya. Dan saya
putuskan menulis surat permohonan berhenti yang ditujukan kepada
Direktur Haryoko Trisnadi. Goenawan merasa terkepung, barangkali.
Sekitar seminggu kemudian dia memanggil saya ke ruang rapat.
“Saya tak bisa menahanmu, Martin,” katanya singkat. Dan pada saat itu
juga saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang dia berikan
kepada saya untuk bekerja di majalah yang dia pimpin. Mata saya
tiba-tiba terasa hangat. Saya yakin saya menitikkan air mata, walau
sebisa mungkin saya tahan dengan menggigit bibir. Saya menjabat
tangannnya dan kami berbarengan keluar ruangan.

Dengan menjinjing nasib yang malang, saya mengarahkan punggung saya
yang rapuh ke arah kantor di mana saya sudah menghabiskan 13 tahun
dari usia saya. “Selamat tinggal TEMPO! Kau sudah dibesarkan oleh
cinta, sakit hati, juga kebencian…” Tiba-tiba, saya sudah berada di
jalan raya, terkepung oleh lalulintas yang tak mengenal ampun. Saya
terus berjalan mengikuti hati saya. Tak siapa pun yang saya harapkan
mengikuti langkah saya. Namun, tak berapa lama kemudian, terjadi
eksodus besar-besaran. Lebih dari 30 wartawan sekaligus menyatakan
berhenti, termasuk Syu’bah Asa, yang secara terbuka menyatakan keluar
untuk membunuh TEMPO, ya membunuh tuannya sendiri selama ini. ***


_______________________________________
Sumber: http://terpelanting.wordpress.com/2008/01/21/ratusan-mata-di-mana-mana/

Tuesday, February 4, 2014

Renungan Pemikiran: Sebuah Pertanggungjawaban

Redaksi blog rumahbacakomunitas memandang penting bagi golongan intelektual pro-rakyat untuk membaca kembali ide-ide tentang manusia, ekonomi, sosial dan etika yang selama ini menjadi wilayah wawasan manusia Indonesia. Maka pada berbagai kesempatan, redaksi akan menerbitkan, atau mempublikasikan kembali tulisan-tulisan dari kalangan intelektual Indonesia, atau siapa saja untuk memberikan kontribusi bagi keseimbangan wawasan intelektual. 

________________________________________________________________________


Oleh : M. Dawam Rahardjo

Dalam kata pengantar untuk buku saya, "Nalar Ekonomi-Politik Indonesia" (IPB Press, 2011), Prof. Didin S. Damanhuri menarik kesimpulan bahwa ia tidak menemukan satu aliran pemikiran yang saya ikuti secara konsisten. Tapi menurut pembacaannya, saya mengambil dan mengkombinasikan berbagai teori untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah ekonomi-politik, misalnya masalah ekonomi kerakyatan yang menjadi benang merah buku kumpulan karangan itu. 

Dengan kata lain, saya, menurut penilaian Didin, mengikuti metode eklektika, suatu kesimpulan yang di masa lalu juga pernah dilontarkan orang mengenai metode pemikiran Soedjatmoko, namun dengan nada yang merendahkannya. Memang, dalam karangan-karangannya Soedjatmoko membahas berbagai masalah pembangunan dan perkembangan masyarakat. Ia sendiri dikenal sebagai seorang yang berfaham sosialis dan menulis buku mengenai kebudayaan sosialis. Tapi sebagaimana nampak pada Sjahrir, Soedjatmoko tidak nampak sebagai seorang penganut sosialisme ortodoks tertentu. Benang-merah yang dapat ditemukan orang adalah bahwa ia adalah seorang penganut paham humanisme universal, yang sesungguhnya dekat dengan faham Liberalisme, padahal faham ini dilawankan dengan sosialisme. Bahkan Herbert Feith menggolongkan aliran pemikirannya, bersama-sama dengan Arief Budiman yang menyatakan diri sebagai seorang Sosialis itu, dalam aliran yang disebut critical-pluralism.

Terus terang saya agak kaget dengan kesan Didin S. Damanhuri itu, karena dia memang sangat mengenal pemikiran-pemikiran saya. Saya berpendapat bahwa kesan itu tidak adalah sebuah kesalah-pengertian. Tapi munculnya kesimpulan semacam itu atas pemikiran saya, sepenuhnya dapat saya mengerti. Saya sendiri ingin menjelaskan kepadanya, bahwa aliran epistemologi yang saya ikuti dalam membahas masalah-masalah ekonomi-politik adalah “ekonomi-kelembagaan” (institutional economics), yang memandang ekonomi sebagai gejala yang kompleks dan selalu berubah, dan oleh karena itu perlu didekati dari berbagai sudut dan perspektif. Saya sendiri pernah menulis bahwa saya mengikuti metode berpikir “historis struktural”, yang dapat ditelisik dalam buku kumpulan artikel saya di Majalah Prisma. Benang merah itu dapat ditemukan oleh cendekiawan muda, Tarli Nugroho, sebagaimana dapat dibaca dalam kata pengantar panjangnya terhadap buku tersebut, yang berjudul Ekonomi Politik Pembangunan (2012). Metode itu pernah saya terapkan terhadap gejala ketergantungan perekonomian Sumatera Utara, sebagai suatu gambaran mengenai perekonomian Indonesia di tingkat regional.

Kesan lain yang juga saya nilai sebagai “stigmatik” terhadap pemikiran saya adalah apa yang pernah dilontarkan oleh Hidayat Nataatmadja (1932-2009) pada tahun 1980-an, ketika ia mengatakan bahwa saya adalah seperti “perpustakaan berjalan”, karena ia melihat tulisan-tulisan saya di Prisma selalu mencantumkan banyak catatan kaki sebagai referensi. Saya tahu bahwa Hidayat waktu itu merasa tersinggung terhadap kritik yang pernah saya lontarkan pada suatu forum terhadap karangan-karangannya. Dalam sebuah seminar terbuka saya memang pernah melontarkan penilaian bahwa tulisan-tulisannya memang lancar bahasanya, tapi sulit dipahami, karena tidak jernih dan sederhana. Kesan njelimet itu pada akhirnya mengesankan ketidak-jernihan pemikirannya, meskipun sebenarnya tidak.

Penilaian Hidayat terhadap pemikiran saya dapat saya pahami, karena saya ketika itu memang masih mengikuti metode penulisan akademis yang harus mempertahankan kejujuran pemikiran. Hidayat sendiri saya akui tergolong sebagai seorang pemikir kritis-kreatif yang melampaui pemikiran akademis dan bidang-bidang keilmuan yang bersifat fakultatif, sehingga saya paham kenapa ia tidak merasa perlu mencantumkan catatan-catatan kaki pada karangan-karangannya. Sebagaimana halnya Soedjatmoko, Hidayat mampu menulis pemikiran tentang banyak hal melampaui suatu disiplin tertentu, karena ia memang memiliki bacaan luas yang diinternalisasikan ke dalam cara berpikirnya itu. Tapi ketika menulis artikel di Prisma, saya masih dan harus berpikir pada level akademis.

Saya memang memiliki minat terhadap berbagai bidang pemikiran, sejak ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, filsafat dan agama. Dan sejak muda, saya memang seorang pengumpul buku, sehingga sekarang bisa memiliki sebuah perpustakaan pribadi yang cukup lengkap. Saya juga membaca buku-kuku dan mempelajari berbagai aliran pemikiran dan epistemologi. Tapi dalam metode pemikiran, saya tertarik kepada Marxisme, terutama Neo-Marxisme atau Kiri-Baru, teori kritis Mazhab Frankfurt, dan nalar Islam Liberal atau “Kiri Islam”. Saya juga tertarik pada ajaran sosial gereja Katolik dan gagasan Teologi Pembebasan Amerika Latin.

 Namun saya tidak puas dengan semua aliran pemikiran dan epistemologi itu dalam berbagai aspek tertentu. Karena itu saya tidak menganggap diri saya ortodoks atau tidakkaffah, atau tidak konsisten mengikuti aliran pemikiran tertentu, termasuk dalam pemikiran keagamaan. Saya lebih mengikuti pemikiran kritis. Karena itu saya menjadikan Marxisme dan nalar Islam sebagai suatu kritik ideologi. Saya pernah menulis bahwa Marx saya temukan mengambil banyak pemikiran dari para pemikir sebelumnya yang lalu ia jungkir-balikkan pemikiran-pemikiran yang telah dipungutnya tersebut, tapi dari situ kita bisa melihat bahwa teori yang dihasilkan Marx adalah orisinil.

 Namun dalam pangalaman berpikir saya, aliran pemikiran kritis itu mengandung kelemahan yang tidak bisa saya terima, misalnya teori perjuangan kelas dengan cara kekerasan. Itu saya jumpai ketika saya terlibat dalam gerakan sosial. Dari pemikiran-pemikiran kritis itu tidak saya dapati konsep-konsep solusi. Dari situlah saya tertarik pada gagasan-gagasan pembangunan alternatif. Tapi titik tolaknya adalah teori modernisasi dan perubahan sosial yang konvensional. Ternyata kecenderungan ini juga melahirkan kritik dari Saiful Mujani. Ia mengatakan bahwa pemikiran saya tidak konsisten, karena di satu pihak saya mengikuti pemikiran kritis Marxis, tetapi ketika berpikir mengenai pembangunan dan gerakan sosial, saya kembali kepada teori modernisasi, yang juga dikritik oleh seorang Neo-Marxis, Andre Gunder Frank, itu. Namun dalam pembangunan alternatif, menurut saya, teori modernisasi itu dibangun berdasarkan temuan-temuan kajian kritis, sehingga sudah berbeda dengan teori modernisasi konvensional.

Di sini saya teringat pada perdebatan antara pandangan idealis-spiritualis Hegelian-Weberian dengan pandangan materialis Marx-Engel. Sebagai seorang yang beragama, tentu saya cenderung pada pandangan Hegelian-Weberian yang percaya bahwa ide dan spirit itu mampu membentuk dan mengubah dunia. Tapi saya juga tertarik pada pandangan materialis, bahwa kondisi itu sangat mempengaruhi ide dan semangat manusia. Di sisi lain, saya juga memperhatikan Karl Popper yang menentang pandangan historisis-deterministis yang menurutnya justru menimbulkan pandangan tentang kelemahan manusia yang dibelenggu oleh lingkungannya. Di sinilah saya menemkan makna ayat al Qur’an, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mengubah apa yang ada dalam diri (kepribadian) kaum itu sendiri. 

Sementara itu Gramsci mengeluarkan pandangan bahwa manusia itu memiliki kemampuan untuk menciptakan sejarah. Saya lalu teringat kepada kata-kata Marx sendiri bahwa hanya ide-ide revolusionerlah yang mampu mengubah sejarah. Jika ajaran agama itu dijelaskan dengan pandangan Hegelian-Weberian sebagai tesis di satu pihak, dan Marx-Engel sebagai anti-tesis di lain pihak, yang disintesiskan melalui pandangan Popper dan Gramsci, maka itu adalah adalah suatu jalan pemikiran ekletisisme juga. Itulah pula yang dikembangkan oleh Tan Malaka dalam bukunya, Madilog (1946), yang menggabungkan pandangan Marxis dengan teologi. Melalui proses materialisme, dialektika, dan logika itulah maka Tan Malaka membimbing bangsa Indonesia untuk menemukan teori dan kesadaran revolusioner guna mencapai Indonesia Merdeka. Proses pemikiran itu pulalah yang terkandung dalam pamflet Mencapai Indonesia Merdeka (1936) yang ditulis Bung Karno.

 Para perintis dan pejuang kemerdekaan pada umumnya adalah kaum terpelajar yang pemikirannya dibentuk oleh pendidikan modern Barat, tetapi tetap berjiwa religius dan memiliki kesadaran kebudayaan kebangsaan. Pemikiran dan pandangan mereka itu sangat beragam dan bahkan pula saling bertentangan. Namun pandangan antara lima tokoh utama, yaitu Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Soepomo dan Sjahrir, meskipun sangat berbeda, kesemuanya mengarah kepada pandangan tentang “Indonesia Merdeka”. Memang masing-masing tokoh itu memilih mengikuti seorang tokoh tertentu, khususnya Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Tetapi tentang demokrasi, muncul perbedaan diametris antara pandangan Soekarno yang mengarah kepada kolektivisme atau integralisme, dengan pandangan Sjahrir yang mengarah kepada demokrasi-liberal. Pengaruh perbedaan pandangan yang cukup mendasar antara dua tokoh itu masih nampak dalam perkembangan politik dewasa ini.

Di antara para pemikir Indonesia kontemporer telah timbul suatu gagasan untuk mengembangkan “Filsafat Nusantara”. Upaya untuk merumuskan Filsafat Nusantara itu nampak dalam buku Negara Paripurna (2011) yang ditulis Yudi Latif dalam usahanya untuk mengembangkan interpretasi terhadap Pancasila dengan menggali pemikiran para pendiri bangsa. Dalam pembahasan itu ia bertolak dari realitas pluralitas Nusantara, sehingga menimbulkan gagasan pluralisme. Dalam pemikiran itu maka metode yang digunakan adalah sintesa pemikiran, yang akan menimbulkan kesan eklektisisme.

 Itulah sedikit penjelasan saya terhadap “tuduhan” Didin. S. Damanhuri, Hidayat Nataatmaja, dan Saiful Mujani, sebagai pertanggungjawaban terhadap karier pemikiran saya dalam ilmu-ilmu sosial.
__________________________
Babarsari, Yogyakarta, 26 Juli 2012
sumber: 
https://www.facebook.com/notes/m-dawam-rahardjo/renungan-pemikiran-sebuah-pertanggungjawaban/451563354863711


Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK