Wednesday, April 30, 2014

Menyoal Pekerja Anak Sebagai Buruh

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
(Pegiat Rumah Baca Komunitas)

Memperingati hari buruh yang jatuh pada tanggal 1 mei, saya hendak mengetengahkan beberapa isu berkenaan dengan pekerja anak (child labor) di Indonesia. tema mengenai buruh memang selalu menjadi pembicaraan yang menarik dalam literatur negara-negara maju hingga negara berkembang. Tentu saja bukan berarti bahwa tema ini begitu eksploitatif hingga melampaui kebutuhan substantif mengapa tema buruh dipersoalkan. Akan tetapi lebih kepada bagaimana buruh, sebagai warga negara selalu termarjinalisasikan hak-haknya. Dalam sejarah pun, posisi buruh meskipun diberikan pengakuan tertentu tetap saja tidak cukup untuk mengantarkannya menjadi kelas sosial yang setara dengan kelas borjuis. Faktor utamanya adalah bahwa, sebagai kelas, buruh dianggap sebagai kelompok sosial yang harus patuh terhadap mekanisme modus-modus produksi.  Faktor kedua, buruh mengalami problem akut mengenai posisinya yang makin ditekan dengan alasan efisiensi dan efektifitas proses produksi melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor terakhir, buruh kelas sosial yang kembali dipertanyakan secara teoritis mengenai perannya dalam memperbaiki krisis kapitalisme. Yang tentu saja dalam pandangan Marxian sendiri, harus diikuti oleh tindakan dan upaya politik yang berlanjut. Sedangkan pada kenyataannya buruh justru_berdasar pada faktor kedua_tidak dapat berbuat banyak karena kekuatan legitimasi kapitalisme sudah merebut ruang kultural dan celah komunikatif antara pemilik modal dan negara.

Hal menarik yang dapat diperhatikan pada faktor terakhir tersebut, dengan jelas terekam pada apa yang disebut Vedi R Hadiz dengan “hubungan industrial pancasila” pada masa Orde Baru. Pemanfaatan pancasila sebagai basis legitimasi tindakan otoritatif membawa konsekuensi paradigmatik bagi langkah buruh untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga yang memiliki kepentingan khusus. Semangat pancasila demikian yang memiliki legitimasi tertentu untuk menekan hak buruh menyampaikan aspirasinya bahkan melalui tindakan kultural. Buruh, melalui legitimasi tersebut diarahkan untuk menolak tindakan mogok, atau boikot. Perlakuan negara era Orde Baru tersebut telah memposisikan buruh sebagai pengganggu stabilitas politik dan ekonomi. Perlakuan itu diperkuat dengan tuduhan komunis, apalagi pada tahun 1996 tingkat pemogokan buruh dilaporkan hingga 350 kasus.[1]

Buruh di bawah Umur

Jika kita ingin menarik variabel umur buruh, maka buruh di bawah umur atau pekerja anak menurut lansiran data Komnas PA hingga tahun 2013 mencapai 4.7 Juta, dengan prosentase terbesar yakni sekitar 34.7 % berada di Papua, dan terbanyak kedua sekitar 20.46% berada di Sulawesi Utara. Rincian lain diberikan oleh badan statistik mengenai jumlah pekerja anak sebesar 1.7 Juta jiwa, dengan rincian 674 Ribu berusia dibawah 13 tahun, 321 Ribu berusia 13-14 tahun dan 760 berusia antara 15-17 tahun.[2] Rincian statistik tersebut memang belum memiliki tafsiran apakah tren ini berjalan cukup baik dalam kacamata industrialistik atau tidak. Dalam arti apakah pekerja anak merupakan narasi penting pada masa reformasi mengenai hubungan antara kebutuhan ekonomi dan perkembangan masyarakat. kenyataannya, pekerja anak tidak mendapat posisi yang layak dalam hubungan industrial. Meskipun dalam kacamata moral kita dapat memperbincangkannya dengan berbagai macam perspektif. Misalnya bahwa mempekerjakan anak merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja yang secara konstitusi dilindungi negara dari tindakan diskriminasi, kriminalisasi dan eksploitasi. Pada tataran diskursus tersebut, pekerja anak adalah term yang memiliki kontradiksi dan bentuk paradoks. Artinya meskipun usia produktif diakui secara politis tetapi tidak selalu diikuti dengan implementasi yang berpihak. Pekerja anak misalnya dibayar dengan upah yang tidak sesuai UMR, atau sebagai bagian dari korban kebijakan pasar bebas yang pada sisi lain mendorong bentuk-bentuk penelantaraan kualitas sumber daya manusia melalui orientasi keberhasilan pertumbuhan ekonomi. Mengingat Indonesia yang tidak seperti pada negara-negara Eropa dengan segala kesiapannya karena sejarah hegemonik penguasaan terhadap sektor-sektor penopang kebijakan ekonomi liberal, justru melestarikan eksistensi buruh dan secara perlahan memarjinalkannya kembali.

Pekerja anak adalah sub-varian di bawah buruh sebagai sub-sistem. Pertumbuhan penduduk dan keadaan pasca krisis ekonomi Asia Tenggara tentu saja berdampak sangat buruk untuk Indonesia. Maka industri yang berkembang di daerah-daerah pinggiran, atau daerah-daerah periphery Indonesia tidak menuai keberhasilan sebagaimana Hong Kong, Singapura, Taiwan atau Korea Selatan karena proses produksi yang memang pada dasarnya tidak dapat bertindak adil. Pekerja anak dengan demikian menjadi termarjinalisasikan hak-haknya selain karena sebab Indonesia sebagai negara pasca kolonial tidak mampu keluar dari krisis tersebut juga karena Indonesia pada dasarnya tidak dengan sempurna menjalankan sistem kapitalisme, yang pada level tertentu baru berkembang justru pasca era reformasi.

Relasi antara pekerja anak dan negara memang tidak dapat dipandang sebagai hubungan yang relatif mengikuti pola-pola yang tetap. Persoalannya karena representasi kepentingan buruh di elit politik sulit mencapai tangga kekuasaan karena buruh tidak mampu memberikan dukungan politik. Buruh sendiri menjadi kesulitan menarasikan kepentingan-kepentingannya karena rasionalisasi bahasa yang tidak sama. Menyalahkan buruh sebagai penyebab utama kegagalan tersebut tidak menunjukkan hal yang berarti. Posisi tawar buruh di hadapan politik dan ekonomi sebagaimana yang sudah disinggung, menjadi dilematis. Secara historis juga, kelas pekerja/buruh berasal dari perubahan regulasi ‘kerja-paksa’ menjadi kerja upahan. Pada awalnya buruh (dalam hal ini petani) berperan sebagai pemiliki tanah dan penyedia jasa bagi pengolahan tanah perkebunan. Posisi demikian tidak lantas membuat petani memiliki posisi tawar yang cukup untuk menghindarkan dirinya sebagai pihak yang selalu dirugikan karena tidak dapat memperoleh kesempatan atas penentuan harga jual komoditas yang dihasilkannya. Bagaimanapun, perkebunan merupakan perpanjangan perkembangan kapitalisme agraris barat yang disosialisasikan melalui sistem ekonomi kolonial.[3]

Hak Pekerja Anak

Pekerja anak__kita dapat memperdebatkan apakah istilah ini cukup memuaskan atau tidak__memiliki hak sebagaimana pekerja pada umumnya. Hak pekerja anak melekat secara politis karena menyangkut kewajiban majikan untuk memperhatikan perkembangannya. Negara secara konstitutif tidak dapat membiarkan hak pekerja anak untuk menempuh jenjang pendidikan, dan mememunih tugas-tugas perkembangannya. Proses marjinalisasi manusia yang sistematis selalu berawal dari bagaimana negara memperlakukan warga negaranya yang tidak bersandar pada asas egaliterisme. Di satu sisi negara sanggup memberikan subsidi bagi sekolah-sekolah yang cukup mandiri untuk membangun institusinya, tetapi lalai dalam memperhatikan institusi yang secara geografis tersingkirkan dari peta regulasi perbaikan kualitas sarana pendidikan. Pekerja anak bukan fenomena yang muncul sebagai bagian yang terpisah dari tanggungjawab negara secara utuh untuk memperhatikan seluruh warga negara. Tetapi lebih merepresentasi secara kecil bagaimana negara memperlakukan warga negara pada umumnya. Pengabaian terhadap hak-hak pekerja anak juga menunjukkan realitas pengangkangan negara terhadap hak-hak warga negara.






[1] Lihat, Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 63.
[3] Sartono Kartodirjo & Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 3.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK