Sunday, September 21, 2014

Bagaimana Polanyi Menyelesaikan Kapitalisme?

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Judul Buku          : Ekonomi Insani “Kritik Karl Polanyi terhadap Sistem Pasar Bebas”
Penulis                 : Justinus Prastowo
Penerbit              : Marjin Kiri
Tahun Terbit      : 2014
Dimensi Buku    : xx + 183 hlm, 14 x 20,3 cm

Pasca-modernisme di dalam filsafat dan konteksnya terhadap pemahaman global bagi perkembangan diskursus mendapat tantangan serius. Kecurigaan terhadap filsafat pasca-modernisme dan corak filsafat liberalisme di dalam ekonomi ditenggarai bertanggungjawab atas kondisi kapitalisme yang tidak mengartikulasikan secara maksimal model pembangunan ekonomi di negara-negara dunia ketiga. Konteksnya dengan kebijakan pasar bebas terhadap negara-negara berkembang justru menimbulkan kebijakan-kebijakan paradoksal. Antara lain dengan proporsi tidak berimbang yang harus ditanggung oleh warga negara melalui industri ekonomi kreatif melalui PDB. Sedangkan industri manufaktur menjadi proyek yang terbengkalai dan mengalami privatisasi. Justinus, mengawali penulisan mengenai Karl Polanyi dengan pertanyaan utama, apakah kapitalisme dan seluruh turunannya dapat dikritik?.

Karl Polanyi adalah ekonom sekaligus filsuf politik (political philosopher) yang menulis karya penting; The Great Transformation (GT) dengan apresiasi Hans Kohn ketika memberikan resensi atas karya tesebut yang dimuat di harian New York Times; “will learn much for a better under­standing of the elements of 19th‐century society and thought”. Hans Kohn menyandarkan komentarnya karena Polanyi dalam GT mengungkap empat prinsip yang menjadi “tiang peyangga tatanan sosial abad ke-19”. Sama halnya dengan Hans Kohn, Justinus Prastowo dalam Ekonomi Insani (EI) pun mendasarkan penjabaran ini sebagai pintu prinsipil untuk bangunan kritik Polanyi atas sistem pasar bebas. Keempat prinsip tersebut ialah, pertama, sistem keseimbangan kekuatan; kedua, tata keuangan berdasarkan standar emas internasional; ketiga, tata Negara liberal; keempat, sistem pasar swatata (hlm.21). 

Bagaimana sebenarnya Justinus akan mengeksplorasi Polanyi?. Sebagaimana Karl Marx di dalam Capital Jilid I yang mengambil tema penggunaan dan pertukaran sebagai pembahasan awal, posisi Polanyi pun secara ideal tidak berbeda jauh keberadaannya pada titik demikian. Justinus dalam EI melakukan hal ini dengan menggembirakan. Selain berbicara persoalan mengenai ide-ide Polanyi pada bagian awal EI, posisi individu dan kepemilikan pribadi juga diletakkan dengan cermat pada setiap pembahasan tiap Bab dengan simpul penutup secara spesifik di bagian akhir.

Sebelum memasuki pemikiran Polanyi melalui EI, hal menarik yang perlu diperhatikan adalah pembabakan sejarah pemikiran Polanyi sendiri dalam konteksnya dengan bidang kajian yang menjadi sasaran utama kritik-kritik Polanyi. Pembabakan sejarah intelektual Polanyi berdasarkan acuan pada karyanya; GT, masuk ke dalam tahap ke-III (hlm.18). sebelum skematisasi pemikiran Polanyi berdasarkan GT, hembusan dari pandangan Polanyi dalam artikelnya yakni; Essence of Fascism (EF) memberikan kesimpulan prediktif atas resiko berbahaya dari sistem pasar bebas. Dalam EF, Polanyi mengatakan bahwa benturan antara sistem pasar bebas dan masyarakat dapat mengarah pada kemungkinan fasisme. Hal ini disinggung kembali di dalam Mystery of Capital oleh Hernando de Soto. Pembabakan sejarah intelektual Polanyi ini akan turut kita lihat juga terkait dengan posisi Polanyi sebagai ekonom substantif secara diametral dengan ekonom formalis yang dekat dengan ide-ide ekonomi neo-klasik pada karya Anumertanya, The Livelihood Man.

Untuk melihat bagaimana Justinus sampai kepada apa yang disebutnya sebagai Ekonomi Insani kita akan mencoba turun dari beberapa dasar premis pembentukan istilah ini—yang masih terkait erat dengan pembabakan intelektual Polanyi. Turunan umum dari gagasan penting Polanyi seperti dissembedded economy berasal dari Aristoteles (hlm.47). Aristoteles membagi dua jenis sistem pertukaran yakni, pertukaran alamiah (natural exchange) dan pertukaran tidak-alamiah (unnutural exchange). Dua jenis pembagian Aristoteles ini sebagaimana yang akan kita lihat, ditelusuri oleh Justinus di dalam kerangka pembentukan istilah Ekonomi Insani. Gagasan tentang jenis pertukaran memperlihatkan kepada Polanyi mengenai bagaimana sebenarnya sistem pra-kapitalis bekerja.

Menurut Justinus, terdapat dua indikator dari metode yang digunakan oleh Polanyi. Dua indikator tersebut yang kemudian meletakkan Polanyi sebagai ekonom substantif. Pertama, Polanyi mengajukan ekonomi substantif sebagai senjata untuk melawan ekonomi arus utama dengan mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang dibangun oleh ekonomi arus utama. Asumsi itu adalah masalah asumsi kelangkaan dan asumsi pengejaran keuntungan. Polanyi mempertanyakan secara tegas mengenai bagaimana sebuah kondisi dinyatakan sebagai “langka”, ketidakcukupan”?. Menurut Polanyi asumsi-asumsi ini diturunkan dari postulat yang dibangun oleh ekonomi formalis. Kedua, ekonomi substantif membuka celah untuk mengkritik ideologi Hobbesian di dalam ekonomi arus utama.

Indikator metode tersebut digunakan oleh Justinus untuk mendefinisikan Ekonomi Insani sebagai “...tidak meletak pada ketidakterbatasan keinginan dan kebutuhan atau fakta kelangkaan, tetapi berakar pada proses sosial atau konteks kultural” (hlm.47). Postulat mengenai kelangkaan dan keinginan yang tak terbatas menurut Justinus adalah “menggambarkan distorsi kultural ketimbang fakta alamiah”. Ketercerabutan ekonomi di dalam masyarakat berawal dari distorsi kultural. Melalui distorsi kultural tersebut, ketercerabutan ekonomi dari masyarakat berakhir dengan proses identik antara ekonomi dan pasar. Logika pasar secara dominan menguasai alur kerja ekonomi. Sistem-sistem logika, budaya, tradisi, politik—antropologi tidak masuk di dalam logika pasar. Dalam hal ini Polanyi membantu diskursus kritik terhadap ekonomi arus utama dengan mengintegrasikan antropologi ke dalam analisis perbandingan sistem ekonomi (hlm.49).

Bagaimana jalan yang sedang diupayakan oleh Justinus untuk mengkritik kapitalisme melalui metode ala Polanyi di dalam EI?. Jawabannya, pertama, mengkritik kapitalisme yang selalu bersandar pada asumsi mengenai keterbatasan, kelangkaan, dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Sedangkan pada kenyataannya, sarana, yang menjadi media untuk mencapai tujuan sebenarnya adalah aras soal penentuan dan pilihan. Polanyi menyatakan bahwa soal kelangkaan bukan pada ketidakcukupan sarana, sebagaimana yang diyakini oleh ekonomi formalis, melainkan pada soal pengalihan sarana kepada alternatif yang tersedia dengan mendasarkan asumsi pada Aristoteles mengenai manusia sebagai makhluk yang secara kodrati cukup-diri (self-sufficient). Cara ekonomi formalis mendefinisikan komoditas sama artinya dengan sebuah proses dehumanisasi. Komodifikasi mencerabut manusia dari alam dan masyarakat yang secara serius membangkitkan dua model di dalam gerak ganda; ekstensi dan proteksi. Komodifikasi merampas materi yang tak terbatas, yang disediakan oleh alam tanpa diproduksi, dan mengubahnya ke dalam logika sarana-tujuan. Dalam aras tersebut, problematika mendasar kembali kepada daya beli masyarakat terhadap komoditas.

Kedua, bangunan kritik Polanyi terhadap kapitalisme, menurut Justinus adalah mengembalikan persoalan moral di dalam ekonomi tanpa terjebak—yang disebut oleh Justinus sendiri yakni; Eisegesse. Pada titik ini, level institusi ekonomi memerlukan landasan ideologi yang tepat bagi pembangunan negara yang memperhatikan seluruh lapisan masyarakat.

Ketiga, Justinus melalui kritik Polanyi atas kapitalisme berupaya untuk menunjukkan jalan awal proses rekonstruksi asumsi antropologis dalam ilmu ekonomi. Ketercerabutan ekonomi dari tujuan asalinya adalah salah-satu penyebab ekonomi formalis memainkan logika pasar sebagai domain utama pelandasan ekonomi. Maka proses integrasi antropologi di dalam ekonomi adalah perihal penting untuk membangun kritik dan pemecahan bagi kapitalisme.


Secara menarik, Marjin Kiri, sebagai penerbit buku Ekonomi Insani berkontribusi terhadap minat yang tinggi dari khalayak atas pemikiran Polanyi. Penerbitan buku ini menurut Ronny Agustinus, Redaksi Marjin Kiri, menjadi momentum gerbang awal bagi pembaca di Indonesia untuk menunggu penerbitan kumpulan karangan Polanyi di dunia Internasional yang akan dirilis dalam satu tahun ke depan di AS dan London. Selain itu, buku dapat menjadi langkah awal untuk memahami perdebatan tanpa akhir antara Polanyi dan Raymond Firth. 

Urgensi Basis Materialisme Dalam Gerakan Intelektual (Bagian I)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Perkembangan mengenai proyeksi dan visi gerakan intelektual tidak berada dalam ruang vakum. Perkembangannya selalu mengalami benturan yang khas dengan berbagai macam varian. Menganalisa perkembangan proyeksi dan visi gerakan intelektual akan menyeret banyak hal dasariah. Tulisan ini akan mempersoalkan salah-satu kecenderungan utama dari visi semu pendekatan romantisme di dalam pengembangan formulasi gerakan intelektual. Tentu saja, gerakan intelektual yang penulis maksudkan di sini adalah gelombang mobilisasi massa pasca-strukturalisme. Ada ciri yang menarik dari gerakan pasca-strukturalisme. Pertama adalah proses mistifikasi subjek radikal. Proses mistifikasi ini berjalan sesuai dengan kecenderungan untuk menghapuskan subjektivitas dengan kebenaran. Penghapusan otoritas subjek berakibat pada keberhasilan membunuh ide metafisika—daya spiritual—sebagaimana Derrida mentenggarai penyebab dukungan Heidegger terhadap Nazi. Kedua adalah berkembangnya kecenderungan untuk mereduksi konflik sosial sebagai persoalan simbolis belaka. Konflik diskriminasi dan kekerasan akhirnya berakhir pada konsolidasi elit dan membuahkan kebijakan serta strategi dalam paradigma emansipasi hanya berhenti pada model deklaratif. Kecenderungan terakhir ini membuat paradigma emansipasi menjadi ladang baru bagi proyek-proyek intelektual di dunia ketiga. Ketiga terjadi proses ketercerabutan basis-basis materialisme di dalam ilmu pengetahuan yang selama ini digunakan oleh gerakan intelektual. Setelah perlawanan sengit dengan dikotomi dari empirisme, gagasan berhenti pada model Derridean.  Tentu saja, gerakan intelektual ini kemudian memproklamirkan distingsi naif antara yang realistis dan yang otentik. Dalam konteks ini, ontologi gerakan ini bersandar pada postulat kekeliruan besar mengenai kesucian ilmu pengetahuan dan keterbatasan manusia. bagi mereka, kesadaran adalah tema utama dari gerakan intelektual, yakni memberikan semacam kesadaran kepada masyarakat yang diasumsikan tidak tercerahkan. Pada kenyataannya, kondisi demikian memang memberikan kesempatan bagus untuk membangun formasi gerakan intelektual yang ril bagi proyek-proyek emansipasi, tetapi menyimpan permasalahan laten.

Tetapi seperti yang sudah nampak dari beberapa perkembangan gerakan intelektual yang sedang dirintis oleh kalangan universitas terjebak pada romantisme. Gerakan intelektual ini mencoba merumuskan dunia dan perjuangan emansipasinya bukan untuk manusia melainkan untuk proyeksi adiluhung seperti memperjuangkan ilmu sebagai bagian yang harus dimasuki oleh manusia bukan sebaliknya. Perjuangan gerakan intelektual ini menempatkan ilmu sebagai sumber pemecahan masalah manusia. tetapi kalau merunut menggunakan sejarah material, sudah ada tanda-tanda bahwa perjuangan mendekati satu abad itu tidak berbuah sebagaimana yang dirasakan pada awal kebangkitannya.

Gerakan Intelektual dan Kapitalisme

Gerakan intelektual bukan agen utama untuk mengkondisikan kapitalisme hidup dan menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru. Tetapi dalam banyak hal, gerakan intelektual menjadi ladang penyesuaian-penyesuaian kapitalisme. Proses demikian terjadi bukan karena kapitalisme masuk ke dalam agenda-agenda gerakan intelektual tetapi masuk melalui keyakinan gerakan intelektual pasca-strukturalisme yang mengaburkan antara basis epistemologi dan ontologi. Kritik keras terhadap hal ini dapat dimulai dengan memperhatikan kritik marxian terhadap marxian yang lain, atau lebih tepatnya kritik terhadap marxian kontemporer terhadap Marxian-Hegelian yang kental dengan Doktrin Relasi Internal seperti Bertell Ollman. Di Indonesia, perspektif marxian kontemporer dibangun oleh Martin Suryajaya melalui buku berjudul Materialisme Dialektis (2012).

Kecenderungan psikologisme dalam gerakan intelektual yang mengembalikan kenyataan “sekedar” sebagai problema realitas berakibat pada kesimpulan yang disederhanakan dalam tataran ontologi-epistemologi. Akibat paling nampak dari kekaburan basis ontologi dan epistemologi ini dalam agenda gerakan intelektual dapat terlihat dari tindakan sarkastik terhadap konsep kapitalisme. Perjuangan emansipasi akhirnya dilihat sebagai bagian dari agenda intelektual muda yang belum mengenal realitas. Kajian-kajian mengenai kapitalisme direduksi sekedar pengejaran hasrat intelektual muda. Padahal, konteks kontemporer terhadap beragam tesa kemunculan fenomena sepeti korupsi, ketimpangan sosial dan kekerasan serta diskriminasi banyak berputar dan terjebak pada analisa simbolisme yang bukannya menyatakan bagaimana cara terbaik untuk menghasilkan solusi tetapi menjadi “tesis penangguhan”. Bagi penulis, ini adalah salah-satu penyebab mengapa ada tuduhan terhadap kelompok intelektual sebagai tangan pembenar represi kapitalisme (bukan negara sebagaimana yang dituduhkan selama ini) bagi rakyat. Kapitalisme berkembang justru ditopang oleh ketersediaan intelektual menara gading yang jumlahnya dibatasi sehingga menjaga ketersediaan rakyat dengan kemampuan-kesadaran praxis yang pada awal kemunculannya berfungsi sebagai buruh sedangkan pada masa ini berfungsi sebagai produsen kecil sekaligus konsumen. Kelompok rakyat ini dipaksa untuk mengeluarkan kemampuan berwirausaha dengan bantuan negara sekaligus dimanfaatkan untuk membantu PDB. Dari agenda ini, ekonomi kreatif yang didukung oleh gerakan intelektual melalui representasi komunitas epistemiknya masing-masing atau melalui akademisi universitas memberikan dukungan utuh atas nama kreatifitas. Tetapi sebagaimana kritik dari lapangan seni realisme, hasil akhir dari babak ini adalah kecenderungan seni kreatif pragmatik karena rakyat didorong untuk ikut bertanggungjawab atas kegagalan pemerintah dan swasta yang menghancurkan bidang manufaktur dalam pertanian dan perkebunan serta sumberdaya kelautan—dan tentu saja—migas dan non-migas.

Materialisme sebagai Basis


Posisi intelektual sebenarnya adalah melawan kecenderungan kehadiran Doktrin Relasi Internal menggunakan materialisme di dalam agenda-agenda keilmuan yang dirintis. Terdengar janggal bagi sebagaian intelektual dari lapangan pasca-strukturalisme mengenai kehadiran materialisme sebagai basis di dalam agenda gerakan intelektual untuk melawan Doktrin Relasi Internal. Alasan yang paling memungkinkan adalah kesadaran mengenai ketidaksesuaian materialisme dengan kondisi temporer paradigma keilmuan. Alasan ini sebenarnya terdengar seperti dongeng dan mitos ditengah kepentingan kita bersama untuk mempelajari dengan cermat penyebab dehumanisasi di dalam aras yang sekarang dinarasikan secara cantik melalui agenda-agenda buntu gerakan intelektual transendensi. Gerakan ini tentu saja hanya memikirkan tentang kerangka pembentukan ilmu yang lepas dari konteksnya dengan masyarakat. Hal yang sama terjadi ketika aras ekonomi tercerabut dari integrasinya dengan lapangan antropologi. Akhirnya kita melihat agenda-agenda yang dijalankan terkesan berputar kepada kepentingan ilmu sebagai dirinya sendiri. Eksistensi manusia sebagai pegulat dan aktor dialektis tercerabut dengan alasan yang tidak dapat diterima. Manusia dan dialektika yang dikembangkannya dianggap melawan narasi progresif. Berlawanan dengan fenomena empirisme di dalam ilmu yang banyak mendasarkan diri pada keadaan yang terinderawi, gerakan intelektual yang menggaungkan ilmu sebagai kesucian sekarang sampai pada tahap yang lebih mengerikan karena melangkahi kesakralan lainnya. Gerakan ilmu seperti ini tidak menempatkan manusia sebagai aktor yang menyentuh ilmu karena dianggap akan memberikan kejumudan. Manusia, ilmu dan alam adalah garis dialektika yang utuh. Memposisikan salah-satu sebagai yang dominan atas yang lainnya adalah kekeliruan fatal. Ilmu adalah bagian integral yang akan menyatu dengan manusia dan alam, bukan sebaliknya. 

Thursday, September 18, 2014

Agama Bukan Akar Kekerasan Massa

Oleh: George Junus Aditjondro
Peneliti kekerasan komunal di Poso. Pengajar pada Program Studi Ilmu, Religi, dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

BETULKAH agama-agama dunia, khususnya agama-agama Samawi, mengajarkan perdamaian? Ya, kalau hanya membaca ajaran yang tertuang dalam kitab-kitabnya. Tidak, kalau kita melihat praxis para pengikutnya.

Hal ini tidak hanya berlaku untuk ketiga agama Samawi yang sama-sama mengakui Ibrahim sebagai cikal bakal para penganutnya, tapi juga untuk agama-agama dari lembah Sungai Indus, di mana para militan Hindu pernah merusak sebuah mesjid di India. Mahatma Gandhi pun mati dibunuh oleh seorang militan Hindu karena menolak sang pejuang anti-kekerasan (ahimsa) itu menentang pembagian India menjadi dua negara: Pakistan untuk pengikut agama Islam, dan India untuk semua penganut agama lain.

Namun ada juga agama-agama di Indonesia, yang tidak dekat dengan kekerasan, yakni agama-agama suku. Di kalangan pemeluk agama Islam, agama suku ini dikenal dengan istilah agama-agama “ardi” (= “bumi”) untuk membedakannya dengan agama-agama Samawi yang disebut agama-agama “wahyu.” Jarang sekali kita dengar, penganut agama suku menyerang sebuah gereja atau mesjid. Malah sebaliknya, di Sumatera Utara, para pemimpin HKBP pernah berusaha menghalangi pembangunan gedung ibadah agama Parmalim, agama suku orang Batak Toba, di kota Medan.

Citra kedekatan agama dengan kekerasan menjadi marak dan baru-baru ini mencuat lagi dengan penangkapan delapan orang pemuda di Klaten  dan Sukoharjo, Jawa Tengah, oleh satuan Densus 88. Delapan laki-laki itu – termasuk dua siswa SMK - langsung dilabeli sebagai “diduga teroris”oleh media yang meliput peristiwa itu (Kedaulatan Rakyat, 26 Januari). Bukan cuma itu, mereka pun langsung dituduh terlibat dalam aksi terorisme. Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Anton Bachrul Alam, para “terduga teroris” yang masih remaja merupakan pelaku teror bom bulan Desember 2010 dan awal Januari 2011 di Jawa Tengah. Ini suatu bentuk pelanggaran asas praduga tak bersalah yang semakin lumrah di Indonesia.

Menurut KR, “para tersangka” itu dituduh telah meletakkan bom di delapan lokasi di Klaten dan Sukoharjo. Empat dari delapan lokasi itu merupakan tempat ibadah, yakni Gereja Polanharjo, Gereja Kristen Jawa Manjung Ngawen, Gua Maria Sriningsih, dan sebuah masjid di Delanggu. Satu lokasi bukan tempat ibadah, melainkan Pos Lalu Lintas dekat Rumah Sakit Islam.

Kemudian, di antara “barang bukti” yang ditemukan di sejumlah lokasi penggrebegan,  juga ditemukan apa yang polisi sebut sebagai “buku-buku agama”. Seolah-olah buku agama bisa dipakai sebagai bahan peledak. Berarti, di samping meliput kejadian itu, koran tertua di Yogyakarta itu memperkuat prasangka pembaca terhadap kelompok agama tertentu sebagai pihak yang dekat dengan kekerasan.

Nah, kalau kekerasan terhadap penganut agama lain, atau kekerasan terhadap fihak yang punya interpretasi berbeda  tidak bersumber pada ajaran agama-agama itu sendiri, lalu apa penyebab maraknya kekerasan terhadap penganut berbagai agama belakangan ini?

Sebenarnya, agama yang dianut penyerang dan korban tidak berdiri sendiri. Mereka juga punya kelas sosial dan etnisitas. Walaupun sama-sama Batak Toba, pimpinan HKBP di Medan dan para penganut agama Parmalim tidak berasal dari kelas sosial yang sama. Mereka yang menolak pendirian rumah ibadah Parmalim di Medan berasal dari kelas menengah dan atas. Sementara para penganut agama Parmalim kebanyakan berasal dari masyarakat desa di Kecamatan Porsea, Sumatera Utara.

Dalam konflik Poso, kelas dan etnisitas juga memainkan peranan, atau setidaknya melatarbelakangi konflik itu. Massa Islam umumnya pendatang dari Gorontalo, Sulawesi Selatan, Jawa, dan kebanyakan nelayan dan buruh pelabuhan di samping segelintir pengusaha berdarah Arab dan pribumi. Sedangkan massa Kristiani, umumnya berasal dari ketiga suku asli Poso, yakni Pamona, Mori, dan Lore, serta migran dari Toraja, dan kebanyakan pegawai negeri, pegawai gereja, serta segelintir petani dan buruh perkebunan kelapa sawit. Jadi secara menyeluruh, mereka termasuk kelas menengah atas, sementara massa Islam kelas menengah bawah.

Penyerangan gereja-gereja di kota Poso pun  tidak bersifat acak. Gereja Sion di pusat kota, gereja kaum elit Poso yang dulu mendominasi pemerintahan, itu yang pertama diserang oleh massa demonstran. Sedangkan gereja di Desa Kasiguncu di pinggiran barat kota Poso, tidak disentuh sama sekali. Perbedaan citra kedua gereja itu, dan mengapa demonstran bersikap "diskriminatif," kurang disadari oleh warga Poso yang Kristiani, yang merasa gereja Kasiguncu selamat dari serangan, berkat perlindungan arwah Papa I Wunte, orang Poso pertama yang masuk Kristen, yang dikuburkan di sebelah gereja itu.

Konflik Poso menghasilkan semacam ‘Lebanonisasi’ di Kabupaten Poso. Masyarakat Muslim kebanyakan terhimpun di kota Poso di utara, sedangkan masyarakat Kristiani terhimpun di kota Tentena di selatan, termasuk pegawai Kabupaten Poso yang harus ngelaju dari Tentena ke kantor mereka di kota Poso.

Ketumpangtindihan antara kelas, etnisitas, dan agama juga terlihat di Banjarmasin. Di tengah gema krisis moneter 1997,  sejumlah toko serta  gereja diserang oleh demonstran Muslim. Umat di gereja-gereja yang diserang kebanyakan Tionghoa, dari kelas sosial yang lebih tinggi dari pada pihak penyerang.

"Dendam kelas" yang melatarbelakangi konflik-konflik komunal di Poso dan Banjarmasin juga berpotensi meledak di kawasan-kawasan mewah di kota-kota besar seperti Jakarta. Maklumlah, di hari-hari Minggu puluhan mobil mewah dan sepeda motor di seputar gereja-gereja elit merupakan pameran kekayaan yang sekaligus penyebab kemacetan lalu lintas.

Faktor "dendam kelas" ini berkelindan dengan merosotnya toleransi terhadap perbedaan agama dan etnisitas, yang semakin parah di negeri kita. Semboyan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, dalam prakteknya berubah menjadi “bersatu kita teguh, berbeda kita gebug.”

Seluruh kesemerawutan itu diperparah oleh agen-agen provokator yang sengaja mengipas-ngipasi kemarahan massa, terutama setelah era pasca Soeharto. Dalam kerusuhan 1967 di Banjarmasin, sholat Jumat di Mesjid Raya kota itu dikacaukan oleh suara kampanye Golkar, sehingga yang berbaju batik Golkar juga jadi sasaran demo. Sedangkan yang dijadikan kambing hitam adalah kelompok Islam, terutama PPP.

Kesimpulannya, percuma saja mencari akar maraknya kekerasan massa yang meningkat belakangan ini dalam agama para demonstran, sebab akarnya bersifat sosio-ekonomis dan politis.***


Tulisan ini sebelumnya dimuat di harian Suara Pembaruan. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.


sumber: http://indoprogress.blogspot.com/2011/01/agama-bukan-akar-kekerasan-massa.html

Sunday, September 7, 2014

Seni Rupa dan Ekonomi (Kreatif?) di Indonesia

Oleh: Ronny Agustinus 
Pemimpin Redaksi Marjin Kiri

Bahan diskusi untuk peluncuran "Seri Katalog IVAA#3 KOLEKTIF KREATIF: Dinamika Seni Rupa dalam Perkembangan Kerja Bersama Gagasan dan Ekonomi (Kreatif) 1938-2011, Galeri FSR-IKJ, 24 Januari 2012

Tampaknya benar sinyalemen Aminuddin Th. Siregar bahwa konstruksi wacana seni rupa Indonesia selalu bertumpu pada dua kutub: perbincangan tentang identitas di satu sisi, dan polemik tentang pasar di sisi yang lain.[1] Dua kutub ini punya banyak varian nama: ideal­isme vs. komersial, paradigma vs. pasar, kerakyatan vs. pasar, kreati­vitas vs. bisnis dll. Namun, yang menarik dari Seri Katalog Data IVAA #3 ini adalah bahwa keduanya (di sini disebut “Gagasan” dan “Ekonomi”) tidak diperten­tangkan secara diametral, namun saling “bekerja bersama” dalam melihat perkembangan seni rupa Indonesia melalui kolektif-kolektif kreatif yang pernah mewarnai perjalanannya dalam kurun 1938-2011.

Bab-bab buku ini bisa dibilang sebagai pembabakan/periodisasi dalam melihat per­gulatan ekonomi dan gagasan dalam medan sosial seni rupa di Indonesia. Pertama adalah masa pra Revolusi Fisik sampai Demokrasi Terpimpin di mana negara bertindak sebagai patron utama seni rupa. Kedua adalah masa kemunculan pendidikan for­mal seni dan berkembangnya pasar (galeri-galeri seni profesional, balai-balai lelang dll). Ketiga adalah kemunculan kelompok-kelompok dan ruang-ruang alternatif sebagai penangkal dominasi pasar. Dan keempat adalah masa belakangan ini, ketika –mengutip Budi Ira­wanto—“dunia seni rupa Indonesia agaknya tidak bisa mengelak dari dinamika industri kreatif yang kini terus mengalami perkembangan”;[2] masa-masa ketika “gagasan” dan “ekonomi” seharusnya sudah tidak dipertentangkan lagi dalam apa yang disebut “industri kreatif”. Saya ingin melengkapi dan meng­garisbawahi beberapa hal.

Karya cukil kayu Abdoelsalam mencemooh komersialisme Basuki AbdullahKritik terhadap komodifikasi dan komersialisasi seni rupa modern sesungguh­nya sudah setua seni rupa modern itu sendiri. Namun, bila ditilik lebih jauh, kritik terhadap pasar bukan ditujukan pada pasar (atau nilai uang) itu sendiri, tetapi pada distorsi-distorsi yang bisa timbul akibat komodifikasi tersebut, yakni: (1) distorsi insentif untuk berkarya; dan (2) distorsi pemahaman mana yang bermutu dan mana yang tidak, ketika mutu dipandang senantiasa berbanding lurus dengan harga.

Kita bisa lihat, misalnya, kritik Soedjojono/PERSAGI terhadap naturalisme-roman­tis Basuki Abdullah dan sejenisnya (“Sebab pelukis-pelu­kis di sini hanya hen­dak mela­yani si turis saja [ja­di hanya mencari uang belaka] … Mereka barang­kali cerdas dari segi tekniknya, akan tetapi … berdiri di luar lingkungan hidup kita.”)[3] Di balik kecaman ter­hadap larisnya lukis­an-lukisan Basuki Abdullah tersirat gugat­an yang lebih men­dalam tentang keberpihakan dan jiwa nasionalis­menya.

Namun Soedjojono tak berpan­dang­an negatif mengenai pengaruh ekonomi terha­dap kemajuan seni. Sebalik­nya, ia sangat menyetujuinya:

Bakat seni lukis di antara pemuda-pemuda kita rupanya tidak kalah banyak de­ngan sumber-sumber minyak kita di lepas pantai. Mudah-mudahan keadaan iklim ekonomi di kemudian hari mengizinkan untuk bisa mengebornya sebanyak mung­kin […] Orang ma­cam Nashar, meskipun saya tidak berapa suka, tapi dengan lukisan-lukisannya yang peng­habisan, saya berbalik terhadap diri saya sendiri. Betul, dia mungkin orang besar. Begitu juga Zaini. Tetapi kesempatan tidak ada. Dan itu saya katakan mudah-mudahan iklim ekonomi lebih bagus. Tidak bisa orang meskipun berbakat Van Gogh, berbakat Picasso, di Kalimantan akan men­jadi Picasso, tidak bisa! Saudara jangan mengkhayal. Jangan impian. Ini realita. Bagaimana orang bisa melukis kalau dia mati.[4]

Pada era pra-Revolusi Fisik hingga Demokrasi Terpimpin, pertanyaan “bagaimana orang bisa melukis kalau dia mati” itu dijawab sebagian besarnya oleh negara, yang bertindak sebagai patron dengan memberikan subsidi pada sanggar-sanggar dan kelom­pok-kelom­pok kesenian seperti didokumentasikan oleh buku IVAA ini. Pemerintah kolonial Jepang menggelontorkan dana yang terbilang banyak untuk proyek konsolidasi seniman demi maksud-maksud propagandanya (meskipun kemudian dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis sebagai media propaganda ke­merdekaan). Jumlah pelukis Indonesia pada era Jepang ini, catat Claire Holt, “melipat dua, atau mungkin melipat tiga dibanding masa sebelum perang.”[5] Soekar­no sendiri konon selalu menyisihkan 100 guilder dari upah 800 guilder yang diterimanya dari pihak Jepang untuk membeli lukisan.

Seni rupa era Jepang ini menarik untuk diteliti lebih jauh, karena masih banyak ke­tidaksinkronan dalam narasi sejarahnya. Pertama, Jepang se­benarnya lebih menitikberat­kan pada medium-medium audio-visual seperti film, teater, wayang, dan musik untuk me­dia propagandanya ketimbang seni rupa dan me­dia cetak.[6] Kedua, sekalipun Keimin Bunka Shidosho mempunyai program seni rupa, sesungguhnya prog­ram seni rupa itu difokuskan untuk mempro­mosikan seni tradi­sional Indonesia dan mem­perkenalkan serta menyebarkan kebuda­yaan Jepang. Tak disinggung-singgung sama se­kali tentang pengem­bangan atau bah­kan ketertarikan Jepang pada seni rupa modern. Pe­nelitian sejarawan Louis Zweers tentang koleksi lukisan milik industrialis Belanda Pierre Alexander Regnault yang tertinggal di Jawa dan tak bisa dikirim balik ke Belanda akibat masuknya Jepang ke Indonesia mene­gaskan hal ini. Koleksi berharga yang antara lain berisi karya Van Gogh, Chagall, Kandinsky dll tersebut disembunyikan di peti-peti dalam gedung Javanische Bank, Batavia. Ketika Jepang datang, tulis Zweers, “mereka menemukan peti berisi lukisan-lukisan itu dan membuka­nya. Namun kanvas-kanvas itu dibiarkan saja. Enam lukisan Van Gogh dengan perkiraan nilainya yang pada masa sebelum perang men­capai 30.000 guilder juga dibiar­kan tak ter­jamah.”[7] Jepang bahkan tidak melihat tinggi­nya nilai moneter yang bisa dida­pat dengan menyita lukisan-lukisan itu untuk dijual kem­bali. “Pendu­dukan Jepang lebih tertarik pada benda-benda seni Timur Jauh seperti patung dan keris serta lukisan tradi­sional Bali ketimbang lukisan dan gambar-gambar modern,” lanjut Zweers. Melihat dua fakta ketidakhirauan Jepang pada seni rupa ini, maka masih menjadi perta­nyaan mengapa seni rupa modern justru berkem­bang pada masa-masa itu dan jumlah pe­rupa meningkat pesat seperti ditulis Holt?

Trisno Sumardjo (1952) melukis adegan proklamasi. Kemungkinan besar pesanan negara.Apapun itu, yang jelas “tradisi” patronase negara ini berlanjut pada ma­sa pemerin­tahan republik melalui berbagai pesanan Kementrian Penerangan maupun sub­sidi negara pada sanggar-sanggar. Ada kalanya, dana sub­sidi ini menjadi sumber per­cek­cokan antar seniman. Hendra Gunawan misalnya, ke­luar dari Seniman Indonesia Muda (SIM) bukan karena perbedaan prinsip berke­seni­an, me­lainkan karena perselisihan teknis pembagian subsidi bulanan dari pemerintah.[8]

Komersialisme kembali jadi sorotan di era Demokrasi Terpimpin. Pe­lukis Misbach Tamrin dari Sanggar Bumi Tarung Yogyakarta –satu-satu­nya sanggar yang secara terbu­ka menyatakan berafiliasi dengan LEKRA—dalam tulis­annya di Harian Rakjat 16 Maret 1963, memaparkan kecemasannya ten­tang merasuknya komersialisasi seni lukis Indo­nesia (setidaknya di Yogya­karta). Ia bicara tentang “mobil-mobil sedan” dan “kolektor di dalamnya dengan beberapa lukisan hasil perbelan­jaannya dari sanggar-sanggar”. Tapi bila kita amati lebih lanjut, sasaran kritik Tamrin ternyata juga bukan si kolektor atau pasar senirupa, tapi seperti Soedjojono dulu, yang di­sasar ada­lah gaya seni lukis yang “sangat laris seperti pisang goreng.” Namun gaya itu bukan lagi naturalisme-romantis, melainkan formalisme dan abstrak.

Bagi Tamrin isunya bukan pasar atau antipasar,[9] melainkan “apakah lukisan yang laris itu memang seperti pisang goreng yang sehat untuk konsumsi masyarakat.” Sebagai seseorang yang meyakini bahwa seni harus berideologi, tentu saja Tamrin meyakini bah­wa kondisi seni lukis saat itu tidak sehat bahkan berbahaya, karena gaya formalisme dan abstrak adalah “bentuk tanpa isi,” “kecanduan terhadap artistik melulu secara ber­lebih-lebihan.”

Apa itu formalisme? Menurut salah satu eksponen utamanya, A.D. Pirous:

Dalam formalisme, karya seni dipandang sebagai susunan bentuk (form) yang murni, yang unsur-unsurnya terdiri dari garis, warna raut bentuk dan tekstur. Meskipun dalam karya seniman Bandung, objek-objek representasional seperti sosok manusia, peman­dangan atau alam benda masih dapat diidentifikasikan, objek-objek tersebut tunduk pada perpotongan garis geometris yang seolah menenggelamkan objek-objek itu dalam susunan tersendiri. Pada tingkatan lanjut, seniman Bandung itu tidak lagi memerlukan objek. Mereka ber­kreasi hanya dengan unsur rupa yang murni.[10]

Bagi kubu Thamrin dan LEKRA, dengan “tidak memerlukan objek,” dengan men­jauhkan seni dari cerita kehidupan, “ke­merdekaan diartikan sebagai keleluasaan beriseng sendiri dalam lingkaran kesenian thok, tanpa menyadari seni sebagai alat revolusi.” De­ngan ini semangat revolusioner dilemahkan dan “neokolonialisme” pun merayap masuk.

Penyokong formalisme sering disebut sebagai “mazhab Bandung” (kare­na se­bagian besarnya bernaung di Seni Rupa ITB), namun ini simplifikasi yang kurang tepat, karena sebagian pelukis Yogya sendiri bisa dikategorikan ke dalamnya, misal­nya Widayat dan Fadjar Sidik. Widayat bahkan sama sekali menafikan fungsi-fungsi sosial-politik seni rupa sebagaimana yang diyakini LEKRA, dan menyatakan de­ngan tegas bah­wa me­lukis adalah kerja menghias: “Lukisan itu berfungsi sebagai benda hias, untuk digan­tung di dinding rumah, di kantor, di art gallery, di museum, dan lainnya.”[11]

Kita tahu, pameran pelukis-pelukis formalis dari Bandung ini di Balai Budaya, Jakarta, pada 1954 menuai banyak kecaman. Istilah terkenal “Bandung labo­rato­rium Barat” dicetuskan Trisno Sumardjo pertama kali sebagai kritik atas pameran ter­sebut.[12] Namun demikian, pergolakan politik 1960-an akhirnya memenangkan kubu formalisme ini di lapang­an seni rupa. Ada satu catatan saya: lembaran timeline di buku ini justru me­lewatkan tanggal krusial yang menandai babakan baru dari keterkaitan “gagas­an” dan “ekonomi” di seni rupa,[13] yakni 13-22 De­sember 1966. Pada tanggal itu, sekali lagi di Balai Budaya, Jakarta, diadakan pameran besar “Sebelas Seni­man Bandung”. Inilah tanda keberhasilan pengukuhan lahirnya rezim estetik/politik baru yang di­dominasi oleh for­malisme dan penyingkiran ide-ide progresif di segala bidang. Tak terdengar lagi kecam­an-kecaman dari “kubu nasionalis kiri” yang telah dibungkam secara poli­tik. Kenneth M. George men­catat bahwa pameran tersebut “berfungsi untuk menetapkan Ban­dung dan para seni­mannya se­bagai ke­kuatan yang sedang menanjak dalam ruang pentas pada era Orde Baru. Pengaruh, patronasi, dan kesempatan untuk menilai dan diakui mulai menjadi milik mereka—dan akan tetap menjadi milik mereka selama tiga dekade.”[14] Katalog pameran tersebut di­tulis dalam bahasa Inggris –sesuatu yang belum lazim pada zaman­nya—karena sengajaditujukan pada kolektor asing. Apa yang terjadi di seni lukis berlaku paralel dengan ke­ter­bu­kaan rezim baru ini pada modal asing, seba­gaimana ter­tuang se­kian bulan sesu­dahnya dalam undang-undang pertama yang di­hasil­kan oleh Orde Baru: UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dan dari penyataan Widayat di atas kita bisa melihat gambaran bagai­mana kedudukan “gagas­an” vis-a-vis “ekonomi” dalam kerja seni pasca 1965.

Berikut kesejajaran-kesejajaran yang bisa kita lihat dalam konsepsi dan praktik politik dan seni-budaya semasa Orde Baru:


Dengan demikian, “perhatian” yang diberikan Orde Baru pada kesenian semata-mata dilakukan hanya untuk mengendalikannya demi mengamankan kepentingan-kepen­tingannya sendiri. Di satu sisi praktik-praktik kesenian dipantau ketat, namun di sisi lain tidak ada langkah institusional yang diambil untuk menjamin akses pada ke­senian sebagai hak publik. Ini dialami oleh seni modern maupun tradisi. Budaya Toraja misal­nya. Sejak Tana Toraja ditetapkan sebagai “objek wisata” oleh pemerintah Orde Baru pada 1984, seni budaya Toraja diperah habis-habisan sebagai peraup devisa sampai-sampai menim­bulkan protes dari pemuka-pemuka adat setempat. Kesakralan situs dan ritual pe­makaman serta seni-seni terkait ditundukkan pada logika ekonomi.[16] Pada 1987 ketegang­an me­ninggi saat desa-desa tersebut memutuskan menutup diri dari wisatawan.

Dampak negatif kebijakan ekonomi Orde Baru macam itu kita rasakan sampai sekarang, misalnya dengan menguatnya kembali sentimen-sentimen adat dan sektarian akibat suatu perasaan keterampasan kultural selama berpuluh-puluh tahun. Oleh karena itu, ketika be­berapa tahun terakhir digembar-gemborkan soal pe­ngembangan “industri kreatif,” “eko­nomi kreatif,” kita perlu berhati-hati menyikapinya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kita perlu mencari tahu apa konsepsi “ekonomi kreatif” ini serta persamaan dan perbedaannya dengan subordinasi seni pada ekonomi seperti era Orde Baru. Saya sendiri tak terlalu antusias dengan prospek “ekonomi kreatif” ini, untuk alasan-alasan yang akan saya uraikan lebih lanjut.

Entah bagaimana, dalam pandangan teknokratis-birokratis negeri ini, kesenian dan kebudayaan se­lalu “dijual sepaket” dengan pariwisata,[17] kendati namanya terus berubah-ubah: Kementerian Pariwisata, Seni, dan Budaya (1998), Kementerian Negara Pariwisata dan Kesenian (1999), Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata (2001), Kemen­terian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011). Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2011 adalah yang pertama kalinya mengu­kuhkan “ekonomi kreatif” sebagai suatu kementerian. Untuk Menterinya ditunjuk Mari Elka Pangestu yang sebelumnya menjabat Menteri Perdagangan. Tentu bukan kebe­tulan. Departemen Perdagangan di bawah Mari sejak 2007 telah melakukan pelbagai kajian atas sektor ini, bahkan telah menyusun visi “Bangsa Indonesia yang ber­kualitas hidup dan bercitra kreatif di mata dunia” yang dituangkan sebagai cetak biru dalam dua terbitan:Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 serta Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif 2009-2015.

Di sinilah konsepsi resmi “ekonomi kreatif” yang hendak dibangun pemerintah bisa didapati, dan tampaknya konsepsi tersebut berseberangan dengan yang dibayangkan seca­ra “agak romantis” oleh para pegiat seni. Buku IVAA ini, misalnya, mencontohkan eko­nomi kreatif itu adalah: majalah alternatif, seni tato, artist merchandise, t-shirt, sebagai “bentuk-bentuk seni visual dalam konteks gerak kekuatan informalitas dan krea­tivitas ekonomi sosial-nya yang berbasis pada produksi dan distri­busi karya.” Sementara Agung Hujatnikajenong saat membahas ekonomi kreatif Bandung dalam artikelnya di Pikiran Rakyat 25 Februari 2006 berbicara tentang “menjamur dan suksesnya bisnis independen” (distro, artist initiative art space, perusahaan rekaman independen dll). Padahal, tak ada warna “independen” sama sekali dalam konsepsi ekonomi kreatif menurut cetak biru Departemen Perdagang­an, yang sepenuhnya mengukurnya ber­dasarkan: 1) kon­tribusinya pada Pro­duk Domestik Bruto; 2) peningkatan ekspor nasional; 3) peningkatan penyerapan tenaga kerja; 4) peningkatan jumlah perusahaan berdaya saing tinggi; 5) pen­ciptaan nilai ekono­mis dari inovasi kreatif.[18] Sama sekali tidak ada kriteria-kriteria ke­budayaan (pen­cerdasan kehidupan bangsa, penye­baran informasi dan pengeta­huan secara cuma-cuma, penyedia­an alternatif kultural dll) yang dipakai sebagai krite­ria untuk mengukur dampak eko­nomi kreatif ini, melulu kriteria ekonomi yang sangat mainstream.


PDB industri kreatif                 Persentase PDB industri kreatif terhadap PDB nasional


PDBC = PDB yang didapat dari industri kreatif.
NTBKC = nilai tambah yang didapat masing-masing subsektor industri kreatif.
i = 1 – 14 lapangan usaha industri kreatif: periklanan; arsitektur; pasar seni dan barang antik; kerajinan; desain; fesyen; film, video dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan.
PDB = PDB nasional Indonesia.

Dalam konsepsi seperti ini, maka pelaku industri kreatif yang sebenar-benarnya menurut Depdag bukanlah IVAA, bukan Ruangrupa, atau MES56, atau Forum Lenteng, tapi Raam Punjabi. Peduli setan bahwa Forum Lenteng menawarkan edukasi film dan media pada masyarakat luas, sementara sinetron menawarkan pembodohan. Inti soalnya adalah: Raam Punjabi meng­hasilkan rupiah jauh lebih besar daripada Forum Lenteng, titik. (Riset AGB Nielsen Media Research Januari 2008 di empat kota besar di Jawa menunjukkan hampir 50% waktu pemirsa di teve dihabiskan untuk menonton sinetron). Yang bukan perusahaan berdaya saing tinggi, yang tidak menciptakan nilai ekonomis dari ciptaannya, yang tidak memberi kontribusi pada PDB, tidak masuk hitungan ekonomi kreatif. Dengan ini, bah­kan yang dilaku­kan Butet Manurung di Suku Anak Dalam tidak bisa dibilang sebagai kerja kreatif, ka­rena ia meng­ajar dan membagi pengetahuan secara gratis. Untuk bisa disebut kerja kreatif mungkin ia harus seperti Mario Teguh, mengge­rakkan rupiah lewat iklan teve, pelatihan motivasi, penjualan buku, CD dll secara masif.


Perupa F.X. Harsono dalam paparannya tentang topik yang sama di Departemen Perdagangan bulan lalu, juga menyampaikan skeptisismenya atas hal ini, terutama di bidang seni rupa:

Jelas bahwa seluruh tatanan dan sistem dalam pelaksanaan ekonomi kreatif berjalan di atas logika pasar, yaitu supply and demand. Hanya seni yang bisa diserap oleh pasar dan ber­sifat industri yang dikategorikan dalam industri kreatif. Sedangkan seni yang dianggap ku­rang mampu mendongkrak pemasukan devisa negara tidak akan mendapat perhatian. Hal ini bisa dilihat dalam “Instruksi Presiden RI No 6 Th 2009 Tentang Pengembangan Eko­nomi Kreatif”, karya seni yang tidak memenuhi logika pasar tidak termasuk dalam peng­kategorian apa itu ekonomi kreatif […] Seni rupa tidak terdapat dalam kategori ekonomi kreatif secara independen, kemungkinan seni rupa dimasukkan dalam kategori “Pasar Seni dan Antik”, maka hanya seni rupa yang bisa terserap oleh pasar saja yang mendapat per­hatian. Sedangkan seni rupa yang memakai media-media baru dan media alternatif yang sangat eksperimentatif yang sulit diserap oleh pasar tidak akan mendapat perhatian.[19]

Maka, seproduktif apapun, Alit Ambara tidak bisa dibilang sebagai pelaku industri kreatif karena poster-poster politik yang rutin dihasilkannya lewat Nobodycorp Inter­nationale Unlimited sama sekali tidak menghasilkan devisa.

Pemahaman tentang ekonomi kreatif dan industri kreatif sesungguhnya dicetuskan pertama kali pada 1997 sebagai salah satu gagasan Partai Bu­ruh Inggris dari golongan pembaharu(New Labour) untuk menentang konsepsi-konsepsi lama dari kubu Old Labour di Partai Buruh. Tentunya, ini sejalan dengan konsepsi ekonomi Jalan Ketiga yang diusung Tony Blair saat itu yang mengedepankan kewirausahaan, pengetahuan, kreativitas dalam era masyarakat informasi. Inggrislah yang pertama kali mengeksplorasi gagasan ini, maka tak heran bila penjajakannya ke seluruh dunia banyak dilakukan oleh British Council, yang di Indonesia penjelasan ten­tang pentingnya industri kreatif ini ba­nyak dilakukan antara lain oleh rekan pembicara saya ini, Yudhi Soerjoatmodjo (saat itu bekerja di British Council).

Di Inggris dan negara-negara Eropa serta AS, transformasi dari masyarakat dan perekonomian industrial menuju masyarakat dan perekonomian berbasis pengetahuan/ informasi –tempat berpijak “industri kreatif”—berlangsung alamiah (dicanangkan sejak 1973 oleh sosiolog Daniel Bell melalui The Coming of Post-Industrial Society). Semen­tara di Indo­nesia sangat bisa dipertanyakan apakah industrialisasi pun pernah berlangsung sung­guh-sungguh. Karena itulah saya khawatir bahwa “ekonomi kreatif” adalah upaya peme­rintah untuk menutupi kegagalannya mengembangkan sektor pertanian dan industri manu­faktur yang sesungguhnya di Indonesia (dua sektor penyerap tenaga kerja terbesar namun terus mengalami penurunan). Bagaimana mungkin industri kreatif (yang kontri­businya pada PDB masih berkisar 4%) hendak digenjot sebagai diversifikasi dari sektor pertanian dan industri manufaktur yang kontribusinya pada PDB masing-masing 20,83% dan 15,63% (2011). Saya tak menyangkal bahwa masyarakat Indonesia ini luar biasa kreatif dan potensi pengembangannya sebagai usaha yang mandiri sangat besar. Tapi yang terjadi sekarang: industri kreatif tiba-tiba di­perah habis-habisan (diminta kontri­businya pada PDB bahkan penyerapan tenaga kerja) padahal sekian lama ini sama sekali tak diberi perhatian baik dalam pengembangan, pen­didikan, maupun pembangunan infra­strukturnya. Contoh kecil saja: JIFFest yang dibiar­kan mati kekurangan dana dan industri tas Tanggulangin yang dibiarkan mati oleh lumpur Lapindo. Kita tak bisa menggenjot secara mendadak sebuah industri yang selama ini tak diurus, sebagaimana Habibie tak bisa memaksa negara agraris ini berubah menjadi pro­dusen pesawat hi-tech dalam waktu singkat.

Pemerintah tampaknya terpukau oleh “ekonomi kreatif” karena badan-badan dunia seperti PBB (terutama melalui konferesi dagangnya, UNCTAD) ikut menyokongnya  se­bagai usaha diversifikasi ekonomi negara berkembang, begitu pula organisasi-organisasi kerjasama ekonomi seperti OECD. Contoh-contoh suk­ses yang dikemukakan dalam laporan PBBCreative Economy Report 2010, misalnya, memang bisa sangat menge­sankan. Contohnya keberhasilan peme­rintah Senegal menye­lenggarakan Bienale Seni Afrika Kontemporer Dak’Art, untuk memposisikan Dakar se­bagai pusat pertukaran buda­ya di Afrika. Tapi kita lupa bahwa Senegal punya tradisi pan­jang seniman dan sastrawan besar seperti Léopold Senghor, Ousmane Sèmbene, Mariama Ba, dan Festival Kesenian Negro Sedunia telah mereka gelar sejak 1966. Pres­tasi seperti ini tidak dibangun dalam semalam.

Apakah kita tidak punya penulis-penulis dan seniman-seniman besar seperti Senegal? Tentu saja ada, bahkan bisa dipastikan lebih banyak, tapi sekali lagi, infra­struktur untuk memposisikan mereka dalam pentas dunia tak pernah dibangun. Datangi­lah kedubes RI di manapun di dunia ini dan mintalah buku-buku Pramoedya Ananta Toer dalam terjemahan Inggris atau bahasa ne­gara ber­sangkutan, bisa dipastikan tidak ada, sekalipun Pram telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa besar dunia. Bandingkan ini dengan dukungan pemerintah Jerman pada sastra dan industri penerbitannya. Setiap ta­hun, biasanya menjelang Frankfurt Book Fair, sebagai pemimpin redaksi sebuah pener­bitan saya selalu mendapat kiriman tabloid 28 halaman berjudul Ãœber: Blick—German Book Industry Insight, yang mengulas kondisi penerbitan di Jerman dalam seta­hun ber­selang: buku-buku terbaru dan terbaik menurut para kritikus independen, potensi-poten­sinya untuk diterjemahkan dsb. Mereka bahkan punya semacam “kedutaan besar khusus masalah perbukuan” di lima negara: AS, India, Cina, Rusia, dan Rumania. Sentra-sentra informasi buku Jerman ini bisa membantu pengurusan copyrights, kontak penulis dan penerbit dsb. Sementara Indonesia tak mencapai bahkan apa yang dilakukan oleh India: membebaskan pajak buku dan membantu pembelian copyrights serta pembentukan bank data copyrights buku-buku terkenal dunia agar bisa dibaca masyarakat dengan harga ter­jangkau. Sebaliknya, industri buku Indonesia justru ditimpa tiga jenis pajak sekaligus: pajak pembelian kertas, hak cipta penulisan, dan pajak penjualan.

Dari sini bisa kita lihat, definisi industri kreatif di negara-negara ini ternyata men­cakup juga aspek “Gagasan” (penyebaran pengetahuan), bahkan dalam kadar yang besar. Suatu bidang didukung bukan hanya untuk diminta kontribusinya pada PDB, namun juga untuk mencapai kuali­tasnya yang mencerdaskan. Namun justru aspek inilah yang absen dari cetak biru Departemen Per­dagangan. Padahal definisi UNCTAD tentang ekonomi kreatif juga mencakup capaian-capaian non-ekonomi seperti “inklusi sosial, keragaman budaya, dan pemba­ngunan manusia.”[20] Sementara definisi UNESCO tentang industri budaya mencakup “peran sentral dalam mendorong dan mem­pertahankan keragaman budaya dan menjamin akses demokratis pada kebudayaan.”[21]

Karena itulah, tidak tercakupnya seni rupa secara khusus dalam cetak biru De­partemen Perdagangan –hanya sebagai bagian dari Pasar Seni dan Barang Antik—tidak terlalu mengkhawatirkan saya. Dengan ini kita sebagai kolektif-kolektif kreatif justru bisa terus bebas bereksperimen dan berkarya. Kondisi seni rupa kontemporer kita sangat sehat tanpa itu semua, seperti dibilang dengan tegas oleh F.X. Harsono: “Tanpa ekonomi kreatif seni rupa juga bisa berkembang dengan baik dan mampu mengangkat citra Indonesia di mata internasional.”

---------
1.     Aminuddin Th. Siregar, “Kita Tidak Punya Romantic Agony,” katalog pameran “Seni: Pesanan”, koleksi Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2006.
2.     Budi Irawanto, makalah pada senimar “Menimbang Ulang Mediasi dan Jejaring Seni Rupa di Era Industri Kreatif,” FSR ISI Yogyakarta, 27 Desember 2008. Dikutip dari buku IVAA ini, hlm. 131.
3.     S. Soedjojono, “Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang,” Seni Lukis, Kesenian dan Seniman (Yogyakarta: Penerbit Indonesia Sekarang, 1946). Ejaan telah diubah.
4.     Transkripsi ceramah Soedjojono dalam acara Dewan Kesenian Jakarta di TIM, tak bertanggal, sekitar 1980-an. Diunduh dari arsip IVAA.
5.     Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Changes (Ithaca: Cornell University Press, 1967), hlm. 200.
6.     Baca riset Aiko Kurasawa, “Propaganda Media on Java Under The Japanese 1942-1945,”Indonesia vol. 44, Oktober 1987.
7.     Louis Zweers, “Art Collections in Wartime in the Netherlands East Indies 1942-1945,” newsletter International Institute for Asian Studies no. 54, musim panas 2010.
8.     Holt, op. cit.
9.     Hal ini juga ditegaskan mantan penulis LEKRA, Hersri Setiawan, bahwa LEKRA sesungguhnya mendorong para senimannya untuk berpameran di galeri-galeri dan menjual karya mereka. Lihat misalnya pendapat Hersri dalam tesis Heidi Leanne Arbuckle, “Taring Padi and the Politics of Radical Cultural Practice in Contemporary Indonesia” (Perth: Curtin University of Technology, 2000), hlm. 58.
10.  A.D. Pirous, “Seni Rupa ITB dalam Perkembangan Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Masa ke Masa,” pidato pada semiloka pendidikan Seni Rupa ITB, 12 September 2001.
11.  Dikutip dari Sanento Yuliman, “Dari Hiasan ke Perlambangan”, Dua Seni Rupa (Jakarta: Yayasan Kalam, 2001), hlm. 292.
12.  Mingguan Siasat, 5 Desember 1954.
13.  Padahal IVAA memiliki arsip yang terbilang lengkap mengenai kelompok “Sebelas Seniman Bandung.”
14.  Kenneth M. George, Politik Kebudayaan di Dunia Seni Rupa Kontemporer: A.D. Pirous dan Medan Seni Indo­nesia, terjmh. Fadjar I. Thufail dan Atka Savitri (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2004), hlm. 37.
15.  Centre for Strategic and International Studies, Ali Moertopo: 1924-1984 (Jakarta: CSIS, 2004), hlm. 32.
16.  Antropolog Toby Alice Volkman bahkan menengarai bahwa upacara pemakaman megah Toraja yang kita kenal sekarang adalah dampak dari pembangunan ekonomi yang membuat sebagian orang kaya baru Toraja ingin memamerkan status sosial mereka. Rebutan status itu pun jadi semakin “jor-joran” ketika ritual pemakaman dieksploitir sebagai program wisata oleh pemerintah. Ritual pemakaman asli Toraja tidak semegah yang dipertontonkan buat turis. Volkman menyebutnya “inflasi ritual.” Kita bisa melihat kesamaan analisa Volkman dengan analisa Clifford Geertz tentang Bali. Baca Toby Alice Volkman, Feasts of Honor: Ritual and Change in the Toraja Highlands (Chicago: University of Illinois Press, 1985).
17.  Bandingkan dengan negara-negara lain, misalnya: Singapura memperlakukan seni sebagai bagian dari informasi dan komunikasi (Kementrian Informasi, Komunikasi, dan Kesenian). Irlandia menganggap seni, warisan bangsa, dan bahasa sebagai satu kesatuan (Departemen Seni, Warisan Budaya, dan Gaeltacht [Bahasa Gaelic]). Sementara Amerika Serikat tak merasa kesenian sebagai sesuatu yang harus dikontrol di tingkat departemen/kementrian. Dua badan nasional di AS terkait seni hanyalah National Endowment for the Arts (sebagai komitmen pemerintah untuk mendukung perkembangan seni) serta Commission of Fine Arts. Kepengurusan keduanya pun independen tanpa campur tangan pemerintahan federal.
18.  Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Program Kerja Pengembangan Industri Kreatif Nasional 2009-2015 (Jakarta: Departemen Perdagangan, 2008), hlm. 5.
19.  F.X. Harsono, “Nilai Kreatif vs. Nilai Ekonomi,” makalah dalam seminar sehari “Menuju Perekonomian (yang) Kreatif”, Rabu, 14 Desember 2011, Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jakarta.
20.  UNCTAD & UNDP, Creative Economy Report 2010, hlm. 10.


sumber: https://www.facebook.com/notes/ronny-agustinus/seni-rupa-dan-ekonomi-kreatif-di-indonesia/10150543017178400

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK