Oleh : Yusrizal KW
Wartawan Padang Ekspres
Laki-laki
itu, seorang ayah, menutup halaman terakhir novel yang baru dibacanya. Ia pun
melayangkan pandang, pada sebuah ruang restoran yang dikunjunginya
bersama keluarga. Pandangan terakhir, tertumbuk pada istri dan dua anak
remajanya. Ketiga orang dalam tatapannya ini, sebagaimana sebagian besar
orang di dalam restoran yang sama-sama menunggu hidangan tiba, melakukan
aktifitas yang berbeda dengan dirinya.
Jika
ia barusan sempat menuntaskan membaca novel yang “tergaing” lima sampai enam
halaman, sementara yang lain jari-jari tangannya terlihat bagai “berzikir”,
bersitungkin pada Blackberry dan Android atau jenis smartphone
lainnya. Termasuk dua anak dan istri tercintanya.
Tiba-tiba,
laki-laki sebagai ayah ini sedikit tercenung. Seorang gadis imut, sekitar
usia 13 tahunan, pada sebuah meja arah ke samping kirinya, khusyuk membaca
sebuah buku. Laki-laki sebagai ayah ini merogoh saku, mengeluarkan handphone,
kemudian menekan tombol kamera, dan mengarahkan ke si gadis imut yang
sedang baca. Klik!
Laki-laki
ini mendekati si anak, pura-pura lewat, kemudian, ia mengetahui membaca buku
“Lima Sekawan” karya Enid Blyton. Ia menjadi semakin kagum, ketika melihat
di mejanya ada sebuah buku Cerita Rakyat Minangkabau, yang mungkin stok jika
buku yang sedang dibaca tamat buku tersebut segera dilahap. Oya, gadis kecil
pembaca novel ini, bersama ayahnya yang sedang membaca majalah berita
mingguan.
“Dua
contoh yang sama-sama asyik sendiri-sendiri, sama-sama tidak peduli dengan
orang sekitarnya,” gumamnya. Kemudian, ia menatap “kaum smartphone”,
lalu menoleh pada gadis kecil pembaca.
Laki-laki
tersebut pun kembali ke mejanya. Istrinya baru saja meletakkan telepon pintarnya
di meja, di sisi gelas juice yang baru dihidangkan. Kemudian
anaknya terlihat hanya memegang-megang Android danBlackberrynya. “Kalian
lihat anak di samping kiri kita ini,” katanya pada istri dan dua anaknya.
Orang-orang tercinta laki-laki ini pun menoleh. “Ia sedang bertamasya ke dunia
lain, dunia yang menghidupkan imajinasinya. Ia membaca buku cerita, membaca
senilai karya sastra,” katanya.
Baik
istri dan dua anaknya termangu. Salah seorang bertanya, “Lantas bagaimana
dengan anak yang sedang membaca itu Ayah?” “Dunia ayah kalian ini ada pada anak
itu, bukan pada telepon pintar di tangan kalian….” Si ibu, istri si ayah
tercinta ini, tersenyum. Sedikit merasa tersindir. Kemudian, “Kan ayah
juga yang membelikan kita-kita.”
“Ayah
membelikan buku dan smartphone untuk kalian, tapi, buku cerita dan
buku lainnya, kalian abaikan. Masih berbungkus plastik. Sementara smartphone,
sudah terlihat usang, sesaat lagi akan diganti. Ini artinya, kalian tidak membaca.
Ini artinya, ajakan ayah membaca itu penting, menikmati karya sastra itu bermakna,
belum kalian pahami….
Hidangan
yang dipesan pun datang. Laki-laki sebagai ayah, sebagai suami ini pun
cepat-cepat tersenyum, sembari berkata, “Mari kita makan…. Ayo!”
Sembari
makan, sang ayah ini, masih melihat dua anak remajanya, memencet tombol mungil
hurufsmartphonenya. Sesekali mereka saling memperlihatkan tulisan yang
tertera. Mereka tampaknya sedangupdate status di Facebook. Isinya status
mereka: Ayah aneh deh. Hari gini ngomong soal baca dan sastra.Anak satunya
lagi juga update status: Gadis imut si kutu buku rusak suasana kita sama
ayah. Ayah malah kagum anak meja sebelah yang lagi baca. Malamnya,
laki-laki dengan koleksi buku ribuan ini, mengajak istrinya bicara.
“Aku
ingin mengajak hidup kita lebih bermakna.” “Aku akan memenuhi harapanmu. Atas
nama cinta!”
Sang
suami, ya si ayah ini, sesungguhnya mengatakan, saat ini, orang tak banyak
gemar membaca. Apalagi karya sastra. Jika pun punya sedikit koleksi buku atau
novel sastra, atau buku-buku lainnya, sejak orang berada di jalur internet,
sejak satu sama lain terhubung di jejaring sosial, buku jarang terbaca. Mereka
seakan tak sempat. Malam dan Pagi, ketika hendak dan bangun tidur menyalakan
internet, update status, ngetweet, menyampaikan apa saja, suka-sukanya. Mencek
dan membaca status teman, orang lain, kira-kira apa yang menarik, sehingga
tanpa sadar sudah berjam-jam.
Pada
jejaring sosial, kita membaca cerita, teks 140 kata, atau teks relatif panjang
pada Facebook. Di sana, kita satu sama lain, bisa membaca keadaan diri,
status diri, termasuk hal paling pribadi dan remeh temeh yang tak patut
diketahui khalayak. Jejaring sosial, akhirnya membagi ruang untuk setiap
siapa saja bercerita sendiri. Banyak yang merasa memuaskan batin dan diri, betapa
hidup, sesungguhnya harus diketahui orang, termasuk ketika kau mengganti celana
dalam dengan model terbaru.
Masyarakat
internet di jejaring sosial, adalah masyarakat yang seakan-akan segala
tentang dirinya, tentang aktifitasnya, ingin diketahui orang banyak. Karena
itu, wajar, kita tahu si A sekarang berada di mana, sedang makan apa, dan lagi
jatuh cinta dengan siapa, serta kira-kira dia sedang kesal pada siapa, mudah
dilacak di akun Facebooknya atau Tweeternya.
Dalam
satu ruang, pada meja yang sama, kita tak lagi bisa ngobrol, saling bersitatap,
karena di tangan kita, juga anak-anak kita, terpegang smartphone yang
lebih mengasyikan. “Kita harus mendidik anak-anak kita memahami pentingnya
membaca buku,” tukas sang ayah. Si ibu mengangguk. Keesokan harinya, ia
memanggil dua anaknya. Ia ajak berdiri dekat rak-rak buku sang ayah, kemudian
berkata, “Ibu ingin katakan, jangan biarkan buku-buku di rak ini berdebu.
Bacalah buku yang sesuai denganmu. Begitu ajak ayahmu. Ibu setuju!”
Mendengar
ungkapan si Ibu, anak-anaknya menjawab, “Kami akan membaca Ibu.” Ibunya
tersenyum. Ia membayangkan, setelah hari ini, di waktu senggang,
anak-anaknya akan sering ditemui dalam keadaan membaca. Namun, keesokan
harinya, beberapa minggu setelah itu, si ibu ini, juga sang ayah, hanya selalu
mendapatkan anak-anaknya tertawa terpingkal, senyum-senyum sendiri, dengan dua
jempolnya yang aktif BBM-an, atau update status Facebook. Ketika menyalakan
laptop, si ibu dan si ayah, melihat anaknya tengah membaca atau menulis status
Facebook temannya.
Diam-diam,
si ibu kecewa dan menuliskan perasaannya pada akun Facebooknya: Anak-anak lupa
dengan nasehatku di hadapan rak buku ayahnya. Dan, tanpa diduga, si anak
memberi komentar dari akunnya sendiri: Aku gak lupa dengan nasehat ayah
melalui ibu. Cuma kadang pingin tahu saja, kalau kita nggak baca memangnya
kenapa?
Dada
si ibu bergemuruh. Ia berkata dalam hati, masih perlu waktu mengampanyekan gerakan
membaca dalam keluarga, terutama pada anak sendiri.
_____________________________________________
Sumber : http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=3195