Direktur Rumah Baca Komunitas
Anak-anak adalah manusia masa depan,
Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-kupu dalam buku,
Tentu anakku, akan lebih siap melawan kegelapan masa depan
Pada saat anakku belum lahir aku
sudah menyiapkan berderet-deret rak buku bukan hanya untuk minatku, tetapi juga
buku-buku keluarga untuk bacaan istriku dan anak-anakku yang akan lahir ke
dunia. Tidak heran, disaat ekonomi tidak stabil kami masih nekat membeli buku
terbitan MDS yang harganya 1 -2 juta-an. Buku Halo Balita dan Ensiklopedia
Bocah Muslim itu sudah bertengger di rumah sebelum anakku lahir di bumi.
Gilanya, pada saat saya hanya seorang mahasiswa, dan istri saya sedang cuti
yang juga guru TK Islam dengan gaji tidak cukup untuk memnayar listrik dan
sembako setiap bulan. Dari buku itulah, rizki akan terbuka!
Itulah keyakinanku, itulah
keimanan kami kepada Allah dengan jalan mencintai berbagai binatang pengetahuan
dan imajinasi dalam buku.
Menjadi sedikit dari…
Artinya saya dan keluarga ingin
selalu menjadi bagian dari pembaca buku. Di saat kami bepergian kemana dan
sedang santai di mana kami selalu ‘sangu’ berbagai buku bacaan untuk saya,
istri, dan anak. Katakanlah, ketika kami main di Sunday morning UGM selalu asik
dengan aksi membaca di sekitar Masjid Kampus UGM. Semua menikmati dan bukan
sekedar menikmati angins egar pagi ciptaan tuhan, tetapi juga firman-firman
keindahan dan kebenaran dalam lembaran buku-buku yang diciptakan manusia. Di saat
antri servis motor, antri periksa dokter, saya selalu emmbiasakan membaca buku
baik ketika mengajak anak atau tidak. Dan ternyata itu menular kepada anak
saya….alhamdulillah.
Beberapa hari lalu. Saya menulis
catatan singkat ini:
Catatan Harian
Sangatlah kumimpikan sebuah
negeri dimana rakyatnya berdaya dengan menguatnya tradisi membaca diantara
warganya. Aku pun mencoba sekuat tenaga untuk membiasakan diriku, anak dan
istriku semampuku. Hafiz berkembang dengan ketertarikan terhadap buku-buku yang
bermacam-macam. Setiap hari, setiap waktu membawa dan membuka-buka halaman
buku.
Di tempat reservasi tiket kereta
api di stasiun tugu Jogjakarta. Pagi yang cerah, hari itu 14 Nopember 2012 saya
dan anakku Hafiz membelikan Pak Dhe Tri tiket kereta api untuk tujuan Jakarta.
Tentu saja sudah sangat berjubel dan nomor antrian panjang hingga lebih dari 55
orang sebelumku.
Aku: Nak, kamu tunggu dulu,
abi mau lihat-lihat jadwal tiket dan membeliknya secepatnya ya?
Hafiz : iya...,
Sejurus kemudian dia langsung
mendekati tempat duduku yang kosong dekat kasir tiket dan mengambil posisi
duduk dan mulai membuka tas bawaannya yang berisi dua buah buku. Aku pun sambil
mengisi blangko tiket dan sesekali melihatnya. Dia sangat sibuk membuka-buka
halaman buku dan dengan muka yang sangat ceria. Anak usia 3 tahun itu sudah
bisa cuek dengan lingkungan kerumunan orang dan sibuk menikmati
lembaran-lembaran buku. Walau sadar, dia belum bisa membaca vocal tetapi sudah
kenal angka, binatang, dan simbul-simbol tertentu.
Dialah, satu-satunya manusia yang
membaca buku di dalam ruang itu. Banyak anak-anak, remaja, mahasiswa, dan orang
tua menunggu dengan bengong, sms-an, dan sebagainya tetapi tidak ada satu pun
yang membaca buku. Ada ratusan orang berjubel memadati reservasi tiket memburu tiket
liburan cuti bersama dan akhir tahun baru. Mereka tentu saja akan merayakan
liburan, tanpa buku.
“Liburan dengan buku” adalah
surga bagi aku sendiri dan tentu saja anakku. Setiap ada bazaar dan pameran
buku pasti kami terlibat antrian panjang membayar buku dan menikmati gelaran
buku di situ. Ibaratnya, kami ingin mewujudkan mimpi-mimpi Taufiq Ismail dalam
puisinya “kupu-kupu dan buku” dimana dia memimpikan bangsa yang berbudaya
membaca.
Sangat menyedihkan! Khususnya
buatku, sebagai pegiat gerakan membaca dan pecinta buku. Salut untuk
anakku yang demen sekali dengan dunia buku.
Karena kisah itu inspiratif, maka
aku berpesan agar kamu semua, termasuk anak-anakku dan manusia pembelajar masa
depan untuk membaca puisi inspiratif ini. Sebuah kisah kupu-kupu dan imajinasi
masa depan bangsa. Silakan di simak puisi ini.
Ketika duduk di setasiun bis, di gerbang kereta api, di ruang tunggu
praktek dokter anak, balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca
buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika berjalan sepanjang gang-gang antara rak-rak panjang, di
perpustakaan yang mengandung ratusan rak buku dan cahaya lampunya
terang-benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua sibuk membaca dan
menuliskan catatan, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku
sekarang,
Ketika bertandang ke toko, warna warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat
pembayaran, dan aku bertanya di toko buku negeri mana aku sekarang,
Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya
tentang kupu-kupu pada mamanya, dan mamanya tak bisa menjawab keingintahuan
putrinya, kemudian katanya, “tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu
tentang kupu-kupu”, dan aku bertanya di negeri rumah mana gerangan aku
sekarang,
Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di setasiun bis dan ruang
tunggu kereta api negeri ini buku di baca, di perpustakaan perguruan, kota dan
desa buku dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang
tepajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.
(puisi Karya Taufiq Ismail dengan Judul ‘kupu-kupu dalam buku’)
karena anakku dan mungkin aku
saling menjadi sumber inspirasi untuk menegakkan perintah membaca. Maka spesial
untuk anak-anaku, istiqomahlah menjadi pembaca walau engkau dalam keadaan yang
paling tidak memungkinkan untuk membaca!
No comments:
Post a Comment