Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
(Pegiat Rumah Baca Komunitas)
Memperingati hari buruh
yang jatuh pada tanggal 1 mei, saya hendak mengetengahkan beberapa isu
berkenaan dengan pekerja anak (child
labor) di Indonesia. tema mengenai buruh memang selalu menjadi pembicaraan
yang menarik dalam literatur negara-negara maju hingga negara berkembang. Tentu
saja bukan berarti bahwa tema ini begitu eksploitatif hingga melampaui
kebutuhan substantif mengapa tema buruh dipersoalkan. Akan tetapi lebih kepada
bagaimana buruh, sebagai warga negara selalu termarjinalisasikan hak-haknya.
Dalam sejarah pun, posisi buruh meskipun diberikan pengakuan tertentu tetap
saja tidak cukup untuk mengantarkannya menjadi kelas sosial yang setara dengan
kelas borjuis. Faktor utamanya adalah bahwa, sebagai kelas, buruh dianggap
sebagai kelompok sosial yang harus patuh terhadap mekanisme modus-modus
produksi. Faktor kedua, buruh mengalami
problem akut mengenai posisinya yang makin ditekan dengan alasan efisiensi dan
efektifitas proses produksi melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Faktor terakhir, buruh kelas sosial yang kembali dipertanyakan
secara teoritis mengenai perannya dalam memperbaiki krisis kapitalisme. Yang
tentu saja dalam pandangan Marxian sendiri, harus diikuti oleh tindakan dan
upaya politik yang berlanjut. Sedangkan pada kenyataannya buruh justru_berdasar
pada faktor kedua_tidak dapat berbuat banyak karena kekuatan legitimasi
kapitalisme sudah merebut ruang kultural dan celah komunikatif antara pemilik
modal dan negara.
Hal menarik yang dapat
diperhatikan pada faktor terakhir tersebut, dengan jelas terekam pada apa yang
disebut Vedi R Hadiz dengan “hubungan industrial pancasila” pada masa Orde Baru.
Pemanfaatan pancasila sebagai basis legitimasi tindakan otoritatif membawa konsekuensi
paradigmatik bagi langkah buruh untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga yang
memiliki kepentingan khusus. Semangat pancasila demikian yang memiliki
legitimasi tertentu untuk menekan hak buruh menyampaikan aspirasinya bahkan
melalui tindakan kultural. Buruh, melalui legitimasi tersebut diarahkan untuk
menolak tindakan mogok, atau boikot. Perlakuan negara era Orde Baru tersebut
telah memposisikan buruh sebagai pengganggu stabilitas politik dan ekonomi.
Perlakuan itu diperkuat dengan tuduhan komunis, apalagi pada tahun 1996 tingkat
pemogokan buruh dilaporkan hingga 350 kasus.[1]
Buruh
di bawah Umur
Jika kita ingin menarik
variabel umur buruh, maka buruh di bawah umur atau pekerja anak menurut
lansiran data Komnas PA hingga tahun 2013 mencapai 4.7 Juta, dengan prosentase
terbesar yakni sekitar 34.7 % berada di Papua, dan terbanyak kedua sekitar 20.46%
berada di Sulawesi Utara. Rincian lain diberikan oleh badan statistik mengenai
jumlah pekerja anak sebesar 1.7 Juta jiwa, dengan rincian 674 Ribu berusia
dibawah 13 tahun, 321 Ribu berusia 13-14 tahun dan 760 berusia antara 15-17
tahun.[2]
Rincian statistik tersebut memang belum memiliki tafsiran apakah tren ini
berjalan cukup baik dalam kacamata industrialistik atau tidak. Dalam arti
apakah pekerja anak merupakan narasi penting pada masa reformasi mengenai
hubungan antara kebutuhan ekonomi dan perkembangan masyarakat. kenyataannya,
pekerja anak tidak mendapat posisi yang layak dalam hubungan industrial.
Meskipun dalam kacamata moral kita dapat memperbincangkannya dengan berbagai
macam perspektif. Misalnya bahwa mempekerjakan anak merupakan bentuk
eksploitasi tenaga kerja yang secara konstitusi dilindungi negara dari tindakan
diskriminasi, kriminalisasi dan eksploitasi. Pada tataran diskursus tersebut,
pekerja anak adalah term yang memiliki kontradiksi dan bentuk paradoks. Artinya
meskipun usia produktif diakui secara politis tetapi tidak selalu diikuti
dengan implementasi yang berpihak. Pekerja anak misalnya dibayar dengan upah
yang tidak sesuai UMR, atau sebagai bagian dari korban kebijakan pasar bebas
yang pada sisi lain mendorong bentuk-bentuk penelantaraan kualitas sumber daya
manusia melalui orientasi keberhasilan pertumbuhan ekonomi. Mengingat Indonesia
yang tidak seperti pada negara-negara Eropa dengan segala kesiapannya karena
sejarah hegemonik penguasaan terhadap sektor-sektor penopang kebijakan ekonomi
liberal, justru melestarikan eksistensi buruh dan secara perlahan
memarjinalkannya kembali.
Pekerja anak adalah
sub-varian di bawah buruh sebagai sub-sistem. Pertumbuhan penduduk dan keadaan
pasca krisis ekonomi Asia Tenggara tentu saja berdampak sangat buruk untuk
Indonesia. Maka industri yang berkembang di daerah-daerah pinggiran, atau
daerah-daerah periphery Indonesia
tidak menuai keberhasilan sebagaimana Hong Kong, Singapura, Taiwan atau Korea
Selatan karena proses produksi yang memang pada dasarnya tidak dapat bertindak
adil. Pekerja anak dengan demikian menjadi termarjinalisasikan hak-haknya
selain karena sebab Indonesia sebagai negara pasca kolonial tidak mampu keluar
dari krisis tersebut juga karena Indonesia pada dasarnya tidak dengan sempurna menjalankan
sistem kapitalisme, yang pada level tertentu baru berkembang justru pasca era
reformasi.
Relasi antara pekerja
anak dan negara memang tidak dapat dipandang sebagai hubungan yang relatif
mengikuti pola-pola yang tetap. Persoalannya karena representasi kepentingan
buruh di elit politik sulit mencapai tangga kekuasaan karena buruh tidak mampu
memberikan dukungan politik. Buruh sendiri menjadi kesulitan menarasikan
kepentingan-kepentingannya karena rasionalisasi bahasa yang tidak sama. Menyalahkan
buruh sebagai penyebab utama kegagalan tersebut tidak menunjukkan hal yang
berarti. Posisi tawar buruh di hadapan politik dan ekonomi sebagaimana yang
sudah disinggung, menjadi dilematis. Secara historis juga, kelas pekerja/buruh
berasal dari perubahan regulasi ‘kerja-paksa’ menjadi kerja upahan. Pada awalnya
buruh (dalam hal ini petani) berperan sebagai pemiliki tanah dan penyedia jasa
bagi pengolahan tanah perkebunan. Posisi demikian tidak lantas membuat petani
memiliki posisi tawar yang cukup untuk menghindarkan dirinya sebagai pihak yang
selalu dirugikan karena tidak dapat memperoleh kesempatan atas penentuan harga
jual komoditas yang dihasilkannya. Bagaimanapun, perkebunan merupakan perpanjangan
perkembangan kapitalisme agraris barat yang disosialisasikan melalui sistem
ekonomi kolonial.[3]
Hak
Pekerja Anak
Pekerja anak__kita
dapat memperdebatkan apakah istilah ini cukup memuaskan atau tidak__memiliki
hak sebagaimana pekerja pada umumnya. Hak pekerja anak melekat secara politis
karena menyangkut kewajiban majikan untuk memperhatikan perkembangannya. Negara
secara konstitutif tidak dapat membiarkan hak pekerja anak untuk menempuh
jenjang pendidikan, dan mememunih tugas-tugas perkembangannya. Proses marjinalisasi
manusia yang sistematis selalu berawal dari bagaimana negara memperlakukan
warga negaranya yang tidak bersandar pada asas egaliterisme. Di satu sisi
negara sanggup memberikan subsidi bagi sekolah-sekolah yang cukup mandiri untuk
membangun institusinya, tetapi lalai dalam memperhatikan institusi yang secara
geografis tersingkirkan dari peta regulasi perbaikan kualitas sarana pendidikan.
Pekerja anak bukan fenomena yang muncul sebagai bagian yang terpisah dari
tanggungjawab negara secara utuh untuk memperhatikan seluruh warga negara. Tetapi
lebih merepresentasi secara kecil bagaimana negara memperlakukan warga negara
pada umumnya. Pengabaian terhadap hak-hak pekerja anak juga menunjukkan
realitas pengangkangan negara terhadap hak-hak warga negara.
[1]
Lihat, Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan, (Jakarta:
LP3ES, 2005), hlm. 63.
[2] http://www.tempo.co/read/news/2013/07/18/173497715/Pekerja-Anak-Paling-Banyak-di-Papua,
diakses 30 April 2014.
[3]
Sartono Kartodirjo & Djoko Suryo, Sejarah
Perkebunan di Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 3.