Oleh: Sadida
Mahasiswi, Peserta Diskusi Reboan
Malam itu hujan turun cukup
galak, gerimis yang deras, diikuti sepinya jalanan karena orang-orang jelas
lebih nyaman berada di rumah mereka yang hangat. Tapi saat jam menunjukkan
pukul 20.30, sudah ada kurang lebih sepuluh orang berkumpul di Padepokan Rumah
Baca Komunitas, ceritanya, salah seorang pegiat RBK, sekaligus pendiri RBK, David
Efendi, akan berbagi pada kami semua tentang tesisnya. Menariknya, tesis yang
ditulis dalam bahasa Inggris itu dipresentasikan juga dengan bahasa yang sama,
dan dimoderatori dengan bahasa yang senada. Mengesankan, menyenangkan untuk
belajar, sedikit memusingkan sebenarnya, haha.
Tapi kelugasan bahasa cak David
membuat kami bisa mengerti apa yang ia sampaikan, tulisan di power point yang ditembak dengan
proyektor juga sangat membantu kami memahami arah dari presentasi ini.
Sejujurnya, saya pribadi nggak pernah membayangkan diskusi bisa menjadi
se-serius dan se-menarik ini, terutama karena pengantarnya bahasa yang belum
biasa digunakan. Tapi pembiasaan itu selalu lebih berguna dari teori apapun kan?
Garis besar dari presentasi cak
David adalah: bagaimana Yogyakarta bisa menjadi tempat dimana demokrasi
berjalan kalem. Ya, demokrasi berjalan sangat kalem karena adanya dominasi
Keraton Yogyakarta, cak David memaparkan teori yang mengklasifikasikan tiga lapis
golongan terkait cara demokrasi mereka, pertama demokrasi oleh golongan
pemerintahan, kedua demokrasi oleh golongan pergerakan dan paguyuban, dan
terakhir demokrasi oleh masyarakat keseharian yang belum jelas arah dan
tujuannya. Dominasi Keraton inilah yang kemudian menarik kebudayaan dan
ideologi masyarakat Yogyakarta masuk sebagai salah satu faktor penguatnya.
Diskusi kemudian merembet masuk
pada keistimewaan Yogyakarta (yang jelas tidak dapat dipisahkan dari upaya
demokrasi rakyat Yogyakarta itu sendiri), berbagai macam informasi masuk dan
tertanggapi dengan baik, dan berujung pada persoalan tanah di Yogyakarta.
Persoalan yang terus dipersoalkan namun masih bisa diredam oleh Keraton karena
hak milik tanah masih banyak yang beratas namakan milik Sultan.
Poin penting yang kemudian
muncul adalah bagaimana kita mengkritisi dan mengadvokasi hak-hak masyarakat
Yogyakarta, dimana titik keadilan serta akar persoalan demokrasi itu sendiri?
Di satu sisi kadang kita bisa melihat ketidak adilan yang justru adil bagi
masyarakat yang menjalaninya. Lantas demokrasi yang kita perjuangkan itu
sendiri merupakan demokrasi milik siapa? Rakyat Yogyakarta kah? Atau justru
buah kritisme kita yang kadang lupa mencari dasar dan akar permasalahan?
Untuk itulah media diperlukan, dan
untuk itulah diskusi-diskusi semacam ini harus terus dikembangkan. Kritis
memang salah satu sifat yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan,
tapi dalam sikap kritis tersebut, kita juga harus paham betul suatu
permasalaha. Bukan percuma jika kita mengkritisi suatu hal tanpa dasar, tapi
melakukannya tanpa pengetahuan yang cukup justru membuat sikap kritis tersebut
tidak tepat sasaran.
Tetap kritis, tetap berilmu, dan
tetap berbagi, karena ada banyak hal yang masih perlu kita semua ketahui, dalam
hal apapun itu.
-dida