Oleh : Mohammad Mudzakkir
Dosen Universitas Negeri Surabaya, Mantan Ketua PP IPM
Berdasarkan laporan dari Program
for International Student Assessment (PISA) tahun 2009 Indonesia hanya
bisa mencapai peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara. Kemampuan siswa yang
dinilai meliputi tiga bidang; Reading (57), Science (60),
dan Mathematics (61). Dalam kemampuan membaca, Indonesia masih
kalah dengan Thailand, yang menempati posisi ke-50. Bila dibandingkan
dengan Jepang, jarak Indonesia semakin lebih jauh. Jepang menempati
posisi ke-8 dalam hasil survey tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan Korea
Selatan dan Singapura yang masing-masing menduduki posisi ke 2 dan 5. Posisi
pertama justru diraih oleh negeri Tirai bambu Cina, yang mempunyai minat dan
kemampuan membaca tertinggi jauh meninggalkan negeri adidaya Amerika Serikat
yang hanya bertengger di peringkat ke 17.
Survei ini tentu cukup
mencengangkan tapi sekaligus menunjukkan perubahan peta dunia. Bila selama ini
Amerika Serikat beberapa dekade berada di posisi lima besar, justru saat ini
terlempar ke 20 besar. Bahkan persoalan penurunan peringkat ini telah menjadi
isu nasional di negeri Paman Sam, yaitu perlunya evalusi terhadap sistem
pendidikan mereka, khususnya dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan
sains. Fareed Zakaria, seorang pengamat politik Internasional terkemuka
Amerika, keturunan India-muslim, melihat bahwa persoalan ini bisa menjadi
persoalan serius bagi masa depan bangsa Amerika Serikat. Oleh karena itu
menurutnya, Pemerintah harus segera mencari solusi untuk memperbaiki dan
meningkatkan peringkat tersebut, yaitu dengan jalan mereformasi pendidikan.
Bukan hanya itu saja, kegelisahan itu pun segera direspon oleh Bill Gates, bos Microsoft dan
pendiri The Gate Foundation, dengan mendonasikan dana sebesar 5 miliar
dolar US untuk sekolah, perpustakan, dan beasiswa.
Mungkin bisa dipahami kegelisahan
yang dialami oleh Amerika Serikat bila dibandingkan dengan posisi Cina sebagai
kompetitor mereka yang semakin menguat. Negeri yang mempunyai penduduk terbesar
di dunia ini ternyata mampu bangkit dengan cepat dari ketertinggalan selama dua
dekade. Bukan hanya dalam hal kemampuan membaca, matematika, sains, saja tapi
juga dalam hal ekonomi, teknologi, bahkan dalam hal olah raga. Sudah dua
kali Olimpiade, Cina mampu mempertahankan diri sebagai juara umum di perhelatan
olahraga bergengsi dunia tersebut. Dan yang paling mutakhir, Cina juga mampu
menyandingkan Piala Thomas dan Uber yang beberapa dekade lalu menjadi langganan
Indonesia. Mungkin peradaban dunia sedang berputar kembali, dan Cina kembali ke
era keemasannya. Era ketika kertas pertama kali ditemukan dan
bermunculannya karya-karya sastra terbaik karya pujangga Cina, baik yang
ditulis pada era sebelum masehi maupun setelahnya. Maka bukanlah sebuah
kebetulan, bila Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “carilah ilmu hingga ke
negeri Cina”.
Hasil survey yang dirilis oleh
PISA tentu bukanlah sesuatu yang mengagetkan bila dikaitkan dengan tradisi
literasi kita, khususnya lagi dalam tradisi membaca. Seakan-akan survey
tersebut memperkuat pernyataan Taufiq Ismail, seorang maestro puisi sekaligus
juga pengelola Majalah Sastra Horison,bahwa bangsa Indonesia sedang
mengalami Tragedi Nol Buku alias kekurangan membaca buku. Ia sangat
sedih melihat budaya kita yang kian jauh dari tradisi membaca. Ia juga
membandingkan di masa perjuangan kemerdekaan. Ia mengatakan bila para aktivis
kemerdekaan itu memiliki budaya baca yang sangat tinggi. Tidak heran bila
mereka memiliki pemikiran yang visioner dalam membangun bangsa ini. Memiliki
langkah-langkah yang strategis dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Kemampuan mengorganisir perjuangan kemerdekaan itu diperoleh dari bahan bacaan
mereka yang beraneka ragam. Gagasan brilian dalam melawan segala tipu muslihat
penjajah merupakan rangkuman dari intisari buku-buku yang mereka baca (Rohmani,
2011).
Persoalan rendahnya tradisi
membaca bukanlah persoalan lembaga pendidikan saja, tapi juga masalah yang
dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini bisa kita lihat dari
kebiasaan membaca di masyarakat kita masih sangat rendah. Membaca belum menjadi
sebuah kewajiban dan pengisi waktu luang (leasure time) atau lebih tinggi lagi
menjadi bagian dari gaya hidup (Life style). Tetapi kebanyakan lebih menyukai
menonton televisi untuk mengisi waktu luang, atau jalan-jalan ke mal melihat
pakaian dan barang elektronik dari pada melihat dan membuka-buka buku di
Gramedia atau Toga Mas. Mengobrol atau meng-gosip ketika menunggu sesuatu
baik ketika di ruang kerja atau di perjalanan, dari pada membaca buku. Di
tambah lagi, buku juga belum menjadi barang yang menjadi prioritas utama dan lebih
baik untuk membeli barang lainnya. Kalau pun ada uang lebih mending untuk
membeli barang-barang elektronik mutakhir, seperti HP misalnya. Itu lah
realitas kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita yang masih jauh
dari tradisi membaca.
Saya ingin mengatakan bahwa
pendidikan tidak vacuum dari realitas sosial. Ketika kita berharap
agar para siswa mempunyai tradisi membaca-tulis yang kokoh, tapi di sisi lain
ketika mereka kembali ke keluarga, tetangga, dan masyarakat secara luas tidak
terbiasa dengan tradisi literal tapi lebih dominan tradisi oral, maka usaha
mulia ini menghadapi tantangan yang cukup serius. Belum lagi di tengah tradisi
konsumerisme masyarakat kita yang semakin menggila, khususnya dalam mengonsumsi
produk-produk elektronik mutakhir. Hal ini juga berimbas kepada anak didik,
yang tanpa sadar mereka juga mempunyai kecenderungan menjadi seorang konsumeris
dengan mantra “saya menjadi ada karena mempunyai HP terbaru”. Bukannya justru
sebaliknya “saya membaca buku baru maka saya ada”, itu lebih baik.
Meskipun demikian kita harus
optimis untuk membangun tradisi membaca di kalangan generasi muda, agar mereka
terhindar dari “rabun membaca dan tumpul menulis”. Gerakan-gerakan yang
ditujukan untuk meningkatkan minat baca banyak dilakukan masyarakat, misalnya
dalam bentuk kampaye pentingnya membaca, lomba menulis, meresensi atau
meringkas; pendirian taman bacaan dan perpustakaan umum; dan sebagainya.
Gerakan sastra masuk sekolah yang dipimpin oleh budayawan Taufik Abdullah,
merajuk anak didik, terutama yang duduk di sekolah menengah atas untuk membaca
karya sastra. Ia mencanangkan 6 gerakan sastra, yaitu menerbitkan sisipan “Kaki
Langit” di majalahHorison sejak 1996 untuk karya siswa SMU; melatih
guru-guru SMU dalam sastra sejak 1999; menggelar acara “Sastrawan Bicara, Siswa
Bertanya” di berbagai sekolah menengah; demikian pula di perguruan tinggi;
lomba mengulas karya sastra dan menulis cerita pendek untuk guru SMU; dan
membentuk sanggar sastra untuk siswa (Laksmi, 2004). Dan itu bisa direduplikasi
di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah di setiap level, dengan pendekatan
dan materi yang kontekstual tentunya.
Hingga saat ini, kurikulum
pendidikan di sekolah masih sangat memprihatinkan. Dalam kurikulum, kegiatan
membaca di sekolah belum menjadi prioritas utama, apalagi membaca karya sastra.
Padahal kemampuan baca tulis dan sekaligus menjadikannya sebagai sebuah habitus (kebiasaan)
merupakan pondasi awal bagi pengembangan akademik lainnya. Apabila sekolah
tidak mampu membangun lingkungan yang akrab dengan tradisi membaca, maka
sekolah ikut berkontribusi dalam tragedi nol buku, seperti yang diutarakan
oleh Taufiq Ismail. Memang usaha untuk merubah keadaan ini tidak gampang, namun
juga bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk kita pecahkan. Masalah ini bukan
sekedar masalah sekolah, tapi juga menyangkut struktur (negara yang) dan kultur
(budaya) yang tidak bersahabat dengan membangun kultur membaca.
Dengan keseriusan yang tinggi,
saya yakin sekolah mampu membangun habitus (kebiasaan yang kuat,
meminjam istialah Pierre Bourdieu) membaca di kalangan siswa-siswinya. Tentu
niatan tersebut harus direalisasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang
nyata dan berkelanjutan. Banyak strategi yang bisa dilakukan oleh pihak
sekolah, dan salah satu strategi yang bagus adalah seperti yang disampaikan
oleh Rahadjo (2004), yaitu:
1. Menciptakan
suasana. a) Membuat komitmen seluruh guru. Pendidik ini sangat penting
dalam memberi teladan dan menumbuhkan rasa cinta terhadap buku. Komitmen
sebaiknya juga membantu dan mengajarkan kepada murid bagaimana memahami bacaan. b)
Membuat program khusus yang terintegrasi. Murid akan berfikir bahwa kegiatan
baca-tulis penting jika sekolah membuatnya menjadi program khusus. Program yang
dimaksud adalah: membuat surat kabar/majalah/majalah dinding/kliping, membentuk
klub pecinta buku, membuka toko buku/koperasi sekolah, memberikan
ceramah/bimbingan pemakai secara rutin, memperingati Hari Buku, dan kunjungan
pengarang/illustrator : resensi buku, diskusi, bedah buku, pelajaran teknik
menulis, dan penghargaan kepada siswa-siswi yang mempunyai karya.
2. Perpustakaan
sekolah yang memadai. a) Koleksi di perpustakaan sekolah
sebaiknya sesuai dengan jenis dan kebutuhan sekolah, tertata rapi, terawat,
mudah ditemukan terus dan ditambah. b) Pustakawan profesional
sebaiknya menjaga komitmen dalam pekerjaannya, yaitu memberi teladan kepada
anak didik, mengembangkan pengetahuan mengenai perpustakaan dan mempelajari
metode pengajaran, kurikulum sekolah, sekaligus mempelajari perilaku manusia. c) Sarana
dan program perpustakaan. Perabotan yang nyaman, perlengkapan memadai,
jam buka dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan
menciptakan suasana yang menyenangkan.
3. Membaca
bersama dan berbagi pengalaman. Kegiatan membaca yang kita kenal umumnya
adalah membaca dengan diam. Bagi sebagian orang, kegiatan ini terasa berat dan
membosankan. Agar menarik, kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara
lain, seperti :membaca bergiliran, mengadakan acara jam bercerita, membaca
kumpulan puisi atau cerpen, mengadakan diskusi buku mengenai ceritanya,
pengarang, ilustrasi, pengalaman individu yang serupa, dan lainnya.
4. Melakukan
aktivitas. Guru atau pustakawan dapat mengembangkan kegiatan membaca
melalui berbagai aktivitas, seperti: a) membuat proyek bacaan
(mendata buku seperti pekerjaan yang dilakukan pustakawan). b) membaca
secara kreatif dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku, boneka,
topeng, kolase, bendera, film, jaket buku, kartu ucapan, penahan buku, brosur,
iklan, kartun, puisi, lagu, pantomim, drama, teka-teki, permainan, dan lainnya. c) Membuat
karangan karya sastra sederhana, membuat komentar atau ringkasan, diari, dan
lainnya. d) Belajar melalui gambar/barang, kunjungan, kliping, musik,
teka-teki, atau mengintegrasikan pelajaran-pelajaran. e) Mengadakan
pertunjukan drama, panggung boneka, dan lainnya yang dikaitkan dengan dunia
buku. f) Mengadakan kunjungan ke toko buku, penerbitan, percetakan,
perpustakaan lain. g)Mengkampanyekan buku-buku terbaik. h) Mengadakan
tukar menukar buku dengan perpustakaan, atau sekolah lain. i) Mengadakan
bazaar, pameran, atau lomba yang berkaitan dengan buku, dan memilih duta buku; Cak atau Yuk (Putra
dan Putri Jatim sebagai Duta) Buku atau Jambore buku.
Menurut saya, apapun
gagasan atau pun pemikiran besar kita, tetap harus dimulai dari langkah kecil
dan sederhana. Kualitas membaca yang rendah merupakan persoalan bangsa
Indonesia secara umum. Bukan hanya terjadi di lembaga pendidikan, tapi
juga dalam kehidupan masyarakat kita. Keluarga dan sekolah (pendidikan dasar)
merupakan pondasi awal bagi anak didik untuk mengembangkan intelektualitasnya,
dan salah satu keahlian yang sangat penting adalah membaca. Dan
kemudian diikuti oleh keahlian berikutnya yaitu menulis. “Membaca membuka
cakrawala dunia” ternyata bukanlah sekedar pepatah kosong tanpa makna. Serta
bukanlah sebuah kebetulan ketika Cina saat ini kembali menjadi raksasa dunia.
Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kemampuan membaca generasi mudanya
yang menduduki peringkat pertama di dunia saat ini. Akhirnya, kita harus
betul-betul meresapi perintah membaca sebagai wahyu pertama yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW. Jadi “membaca” adalah syarat wajib
agar kita bisa menyingkap dan menguasai dunia. Seperti yang dilakukan oleh
generasi muda Cina saat ini. Bagaimana dengan kita?
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Cikal, Edisi Juni 2012, SD Muhammadiyah Manyar Gresik