Kediaman
Ibu Trias Setiawati dan Bapak Ahmad Muntaha Baisa terletak sekian deret di
kompleks dosen UII. Jelang sehari, sebelum Ramadhan sampai diujung, undangan
buka puasa bersama datang dari keluarga ini untuk Rumah Baca Komunitas (RBK) pada 8 Agustus 2013. Ritual
ini sudah terjadi lama. Dan memang setelah bersantap dan menjalankan Sholat Maghrib,
ada sesi “spesial” yang akan dimulai. Sesi tersebut tidak di-istilahi apapun selain
berbagi pengalaman. Sudah jadi adat untuk
berdiskusi dan bicara kebenaran di rumah ini. “Tempat diskusi tanpa batas-batas
semu”, begitu pendapat yang muncul. Tidak heran jika, siapa saja bisa
menyampaikan satu hingga dua gagasan. Berikut adalah rekaman sepintas mengenai
berbagai pengalaman yang saya potret.
Potret
pertama berbagi pengalaman datang
dari pemilik kediaman, Ibu Trias. Pendidik di Universitas Islam Indonesia ini
mulai dengan perjalanan akademik beberapa saat yang lalu. Di Prancis,
perjalanan akademik itu beliau ceritakan. Inspirasi kemudian berbuah dari
perjalanan akademik yang dipadu. Apalagi kalau bukan “romantisme” kota paris. Terhadap
sebuah Katedral tua berusia 850 tahun, Ibu Trias mencoba menerangkan makna
bangunan bagi identitas bangsa. Ada juga satu-dua catatan tentang World Academy of Science, Engineering, and
Technology Conference (WASET) di Paris dengan berteman bersama Profesor
Dyah (IPB) selama dua hari (27-28 Juni 2013).
Potret
kedua berbagi pengalaman dipersilahkan
untuk Ahmad Sarkawi. Dari Eropa, pengalaman dikembalikan ke Asia, dimana Korea
Selatan adalah cerita berikutnya. Summer
School of CENA membuat pembahasan Nationalism
and Territorial Disputes in Asia: their impacts to nation-states, democracy and
Development ke dalam sekian sesi. sebuah perbincangan mengenai nasionalism
yang pernah menjadi begitu ribut di Indonesia tahun 2000 an. Perbincangan ini
begitu ribut karena menjadi sebuah_seperti kata Daniel Dhakidae ; pencarian berlanjut. Tidak jauh dari tempat
CENA membikin kegiatan, militer begitu khas di antaranya. Pasalnya, tidak
sampai puluhan kilo, ada garis antara korea selatan dan korea utara. Berbagi pengalaman
yang panjang pada potret kedua ini ditutup oleh arsitektur bangunan dan
hubungannya dengan konflik.
Potret
ketiga berbagi pengalaman dijelaskan
oleh Syahdara Annisa Ma’ruf. Dengan waktu yang singkat, Aktivis wanita ini menyelesaikan
pendidikan tinggi formal strata dua di UIN Sunan Kalijaga. Cerita menarik
diangkat dari kisah mimbar. Alkisah memang, mimbar-mimbar masih jadi area pria.
Sejak filsafat diperkenalkan juga yang muncul adalah mimbar filsafat pria. Jadi inilah yang coba dibicarakan.
Mimbar tarawih dicoba Annisa. Sebelumnya, di masjid UIN Sunan Kalijaga ceramah
tarawih juga diisi oleh dosen wanita. Ide yang coba ditelusuri adalah “bagaimana
jika posisi mimbar tidak didepan shaf pria?”. Ajuan pertanyaan menarik yang
bisa jadi butuh kesiapan.
Potret
keempat berbagi pengalaman ditutup
oleh Muhibbuddin Danan. Potretnya Bicara tentang manokwari, papua. Kisah-kisah
mas danan begitu luas. Bertutur mas danan tentang peta sosial hingga keadaan
geografis papua. Tidak berhenti disitu. Kajian mengenai perkembangan gerakan
dakwah juga disinggung. Menarik juga ketika pembicaraan mulai masuk ke orang jawa di papua. Juga, informasi
mengenai Konflik papua yang merambat lewat short
message service. Menurut mas danan, ada kelalaian yang terjadi, saat konflik justru begitu dinamis berpindah
melalui media itu. nampaknya analisis Mochtar Lubis saat berbincang mengenai
pupuk irasionalisme dan propaganda
dibalik itu, bisa juga dibaca secara sederhana dengan kasus ini. Perjalanan konflik
di papua memang bukan kumpulan memoar. Indonesia seharusnya (bahasa akademisi
non-teknokrat) mampu membaca alam papua. (Fauzan Anwar Sandiah)