Mencari Seni dalam Menulis (Essay)
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Saya termasuk orang yang senang menulis,
tapi tanpa motivasi apapun. Bagi saya, menulis adalah suatu cara untuk
berinteraksi dengan realitas. Karena dunia ini, adalah persoalan bagaimana
realitas diperlakukan. Maka saya selalu tidak sampai pikir mengapa menulis
menjadi semacam pekerjaan berat bagi sebagian orang. Saya tentu tidak bisa
bilang “menulis itu semudah membalikkan telapak tangan”, atau bla-bla yang lain. Tetapi, jika melihat
bahwa pekerjaan menulis sendiri adalah sebuah beban, saya tidak bisa
menerimanya.
Saya menulis karena harus
menulis. Mungkin juga karena prinsip itu, saya sangat jarang fokus pada satu
tema utuh. Kadang-kadang bolak-balik antara berbagai tema. Ketika membaca
filsafat, saya jadi ingin menulis filsafat. Membaca sastra, saya jadi
mengomentari karya sastra. Membaca kolom parodi di koran, saya jadi tergelitik
untuk menulis hal serupa.
Mungkin itu yang disebut
mudah terpengaruh. Tetapi saya ingin memaknainya sebagai kebebasan. Karena menulis
adalah tindakan seni, dan selayaknya tindakan seni pada umumnya, pelibatan dan
penghargaan terhadap hasrat sangat tinggi. Hasrat untuk menulis teoritik,
hasrat untuk menulis reflektif dan lain sebagainya bergantung pada menulis
sebagai tindakan seni.
Ada beberapa pertanyaan
menarik dari rekan-rekan saya, “bagaimana caranya menulis?”. Jujur saja, saya
tidak tahu jawabannya. Tetapi dengan sikap tanpa pantang mundur, mereka
mendesak saya untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Jika sampai pada situasi
begitu, saya jadi harus mengarang jawaban. Saya memulainya dengan refleksi dari
motivasi mengapa saya menulis. Hasilnya, mentok. Saya tambah bingung. Jadi saya
menjawabnya secara formal sekali “menulis itu harus dimulai dari tindakan
menulis itu sendiri”. Yang sering saya dengar dari pembicara dalam
seminar-seminar kepenulisan begitu. Ya sudah, saya kutip saja.
Sejak sekolah menengah,
menulis bukan keahlian saya. Hal ini lebih banyak didorong ketika saya mulai
tertarik dengan buku-buku biografi Hamka, Hatta, Syaffi Maarif yang awal-awal
saya baca pada tahun pertama menjadi mahasiswa strata satu. Pelan-pelan saya
mulai tertarik dengan menulis “dari-dalam”. Konsep menulis “dari-dalam” adalah
sebuah keyakinan bahwa kita mampu memproduksi gagasan sendiri. Konsep itu saya
bawa sampai tahun kedua menjadi mahasiswa.
Pengalaman awal menulis
sebenarnya tidak mudah, tetapi sangat inspirasional. Saya mulai berkenalan
dengan istilah plagiarisme dalam dunia menulis. Untung saja, sepanjang riwayat
menulis, saya terhindar dari tindakan plagiarisme. Hal itu menolong saya ketika
menulis paper untuk tugas kuliah. Dan
memotivasi saya untuk menghargai tulisan sebagai produk dari tubuh-pikiran kita
sendiri. Sehingga penolakan awal saya terhadap plagiasi bukan karena tindakan
itu secara normatif salah, tetapi karena plagiasi sendiri berarti kita tidak
menghargai pikiran-tubuh kita.
Nah, soal plagiarisme,
ini juga menarik. Pada tahun kedua menjadi mahasiswa, saya berkenalan dengan
dosen alumnus perguruan tinggi Belanda yang sangat produktif menulis. Melalui dirinya,
saya banyak belajar soal etika menulis dan beragam hal. Melalui dirinya juga,
saya dan rekan-rekan didorong untuk membuat jurnal ilmiah populer jurusan. Keseriusannya
dibuktikan dengan tanpa basa-basi menjadi donatur utama penerbitan jurnal
tersebut.
Saya ditunjuk menjadi
ketua redaksi jurnal. Posisi tersebut tentu memacu saya untuk meningkatkan
kualitas tulisan. Maka saya mulai bergaul dengan berbagai literatur untuk
mempersiapkan diri. Pada pukul 3 sore, saya pulang untuk makan dan kembali ke
perpustakaan yang saat itu hanya buka hingga pukul 5 sore. Hal itu saya lakukan
tiap hari. Saya membaca beberapa buku untuk menunjang akademik, dan meminjam
buku sastra untuk bacaan istirahat malam. Sebulan dua kali saya berkeliling
toko buku untuk memburu beberapa buku yang saya anggap penting. Pada waktu itu,
dorongan menulis lebih banyak disebabkan oleh perasaan saya untuk belajar
otodidak mengenai apa saja.
Perlahan-lahan,
pengalaman intensif saya bersentuhan dengan buku, mendorong saya untuk
meningkatkan penggunaan diksi. Pada waktu itu, belum terlintas mengenai
persoalan efektivitas penggunaan diksi, pemilihan diksi, dan lain sebagainya. Saya
memang pernah mendengar tentang hal itu, tetapi menurut saya itu tidak terlalu
penting. Suatu estetika kepenulisan bersifat historis, artinya direkonstruksi
oleh suatu model umum penyampaian gagasan melalui tulisan. Saya tidak pernah
tertarik dengan semacam “tips-tips menulis”, karena menurut pengalaman, saya
tidak cocok dengan yang begitu-begitu.
Soal estetika menulis,
saya punya pandangan. Menurut saya, menulis adalah pekerjaan manusia sejak
dahulu. Estetika terjadi setelah kebiasaan menulis mulai terbentuk. Estetika dengan
demikian bisa jadi sangat penting, tetapi jangan sampai melampaui substansi
mengapa tulisan harus muncul. Maka saya selalu percaya, bahwa seorang yang
memahami pentingnya tulisan jarang yang akan mereduksinya dengan komentar abstrak
mengenai lay out, footnote, dan
beberapa hal lain.
Pernah suatu kali saat
menggarap penelitian, laporan penelitian saya dibaca oleh seorang teman, dan
komentarnya seputar estetika menulis. Saya tidak paham maksudnya, maka diam
saja dan mengaguk seperti setuju. Saat itu, saya pikir tidak masalah, karena kehadiran
komentarnya termasuk keberuntungan untuk saya karena menemukan komentator yang
bisa jadi mewakili pandangan suatu “varian” mahasiswa mengenai estetika
kepenulisan. Setelah mendengar komentar panjang lebarnya, saya ucapkan terima
kasih.
Masih berkaitan
dengan cerita itu, dalam dunia menulis, kita akan bertemu dengan berbagai macam
komentator. “Komentar positif tidak masalah, tetapi, komentar negatif bagaimana
cara nanggapinnya?” tanya seorang teman suatu ketika. Sejujurnya, saya tidak
punya persediaan jawaban untuk pertanyaan ini. Saya tipe penulis yang yakin
bahwa soal estetika, itu soal rekonstruksi. Ada rekonstruksi resmi yang dibuat
oleh komunitas tertentu untuk mempermudah pekerjaan menulis, dan ada
rekonstruksi berdasarkan pada budaya. Makanya saya jarang terganggu dengan
komentar negatif mengenai estetika kepenulisan dari orang terhadap tulisan
saya. Bukan karena saya arogan, tetapi saya menikmati komentar itu. Saya pikir
komentar orang itu negatif atau positif merupakan informasi yang menarik soal
dunia kepenulisan. Jadi komentar-komentar itu menjadi data penting bagi saya
untuk memahami sudah sejauh mana dunia kepenulisan meresap dalam kesadaran
keseharian kita.