Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Ada yang selalu membakar. Selalu ada
optimisme. Ahmad Syafi’i Ma’arif biasa disapa buya, bagi saya adalah seorang
otentik. Tokoh bisa seliweran. Siapa saja bisa bicara wacana pluralisme,
nasionalisme, kebangsaan, atau keummatan, tetapi yang seperti Buya, saya rasa
belum tampak. Hal ini tentu tidak berarti ada kecenderungan pesimistik.
Di suatu Maghrib, bersama
rekan-rekan, saya datang ke rumah Buya. Sebetulnya rencana mengunjungi Buya
termasuk yang mendadak. Agenda hari itu sebenarnya adalah berangkat ke Solo.
Tetapi karena orang yang kami tuju memiliki kesibukan pada hari itu, maka dalam
konfirmasi terakhirnya dibatalkan. Acara berkunjung ke Solo, segera dialihkan
oleh seorang teman ke tempat Buya.
Seorang rekan yang
mengirim SMS ke Buya direspon positif. Tandanya, kita diterima untuk
mengunjungi Buya. Cukup mendadak, tetapi sudah rezeki hari itu untuk bertemu
Buya. Saya sebelumnya tidak pernah berkunjung ke rumah Buya. Biasanya, cuma
menyapa atau menyalami Buya pada acara-acara umum. Otomatis, berkunjung dan
menjadi satu dari enam orang yang datang adalah pengalaman baru.
Kendaraan yang kami
tumpangi berhenti di depan kediaman khusus Buya untuk menulis. Soal “rumah khusus”
ini pun menarik. Berdasarkan cerita banyak orang dekat Buya, rumah khusus itu
diperuntukkan untuk menerima tamu dan menulis. Sedangkan rumah Buya yang di
dekat masjid Nogotirto khusus untuk berkumpul bersama keluarga. Malahan,
sebelum ada rumah itu, menurut cerita takmir Masjid Nogotirto, Buya biasanya
menerima tamu di masjid. Ada diskusi juga Buya lebih senang bila di masjid.
Mobil berhenti, dari
depan pintu terlihat Buya sudah menunggu. Pakaiannya hari itu adalah kaos
berkerah lengan pendek dan sarung hitam. Tapi tatapan Buya tetap kuat. Bahunya
tampak masih tegak. Tapi usia tetap membiarkan sebagian ciri-cirinya pada tubuh
Buya. Rambutnya penuh uban, kulit sudah keriput.
Satu persatu kami masuk
ke rumah. Waktu masuk ke rumah Buya, banyak hal yang saya pikirkan. Tentu saja,
sebelum-sebelumnya, sudah banyak cerita yang saya dengar mengenai kehidupan
pribadi Buya. Misalnya, tentang keengganan Buya untuk ditolong dalam hal
apapun; menutup pintu, atau menyupir.
Ada yang menarik dari
pertemuan dengan Buya. Satu-persatu dari kami berenam diminta untuk bicara
terlebih dahulu. “Masing-masing ayo bicara” kata Buya. Permintaan Buya
sebenarnya mudah, tetapi tidak ada yang bepikir akan diminta secepat itu,
apalagi mengomentari persoalan besar tentang Negara, Bangsa dan Kemanusiaan.
Beberapa rekan mencoba terlebih dahulu. Memberikan komentar di hadapan tokoh
bangsa bukan pekerjaan yang sederhana.
Pekerjaan itu penuh
kehati-hatian. Kesalahan intonasi bisa berarti menggurui. Terlalu lama
memberikan respon atas pertanyaan juga kurang baik. Buya memang orang yang
senang mendengar pendapat anak muda terlebih dahulu sebelum perspektifnya dikemukakan.
Soal perspektif, saya selalu punya pegangan. Seperti
dalam banyak hal yang saya insafi ketika membaca pemikiran tokoh-tokoh. Selalu
ada apa yang sering saya sebut dengan “pergulatan daging-darah”. Pergulatan
itu, adalah pergulatan dimensional yang tidak dapat dimasuki oleh “yang-liyan”.
Pergulatan itu seperti suatu ruang yang sangat privat, komentator di luar
daripadanya sering menunjukkan kekurangajaran atau—kekurangajaran
pemuda—mengutip Nietzsche.
Maka jika kita merasa ada
“keterbatasan” dimensi dalam perspektif seseorang, itu bukan pertanda tentang
batas. Dan bukan juga penanda adanya “jarak pemikiran”. Kadang-kadang itu lebih
mirip sebuah padang pasir, dengan banyak sungai-sungai kecil. Masing-masing
orang punya sungai-sungai kecil itu, yang kita sebut oase. Jadi persoalannya
bukan pada seberapa berbedanya perspektif antar tiap orang, melainkan seberapa
sadar kita mengenai kehadiran oase-oase itu di sekitar kita.
Kembali ke cerita di
Maghrib itu. Setelah meminta kami untuk berkomentar satu-persatu, Buya memulai
pembicaraan dengan beberapa pertanyaan. Salah-satu yang sampai hari ini masih
terulang-ulang di kepala saya adalah pertanyaan begini; “Islam yang ada di
kantong kita apa (sudah cukup) bisa menyelesaikan persoalan bangsa?”.
Seingat saya, Bung Hatta
dahulu pernah membersitkan diri pada pertanyaan yang mirip-mirip begini pasca
pertemuannya dengan Agus Salim. Yakni tentang relasi antara agama sebagai
keyakinan, dan sifat transformatifnya atas problem kemanusiaan.
Tidak sedikit orang yang
menuduh Buya sebagai nihilis, karena tema-tema pembicaraannya terdengar ironis.
Tetapi saya justru tidak menangkap itu. Atau mungkin, saya cukup gagal sampai
pada kesimpulan begitu. Dalam banyak tulisan-tulisan Buya, kesan saya justru
refleksi ilmiah atas kondisi-kondisi yang mempengaruhi sejarah. Dalam analisa sejarah,
model refleksi demikian juga dipakai Kuntowidjoyo—yang dengan beberapa aspeknya
mengakui pengaruh materialisme historis. Tidak mengherankan, karena Buya
sendiri banyak menggunakan analisa Benedetto Croce dalam kondisi historis. Jadi,
walaupun ada kesan tentang kondisi yang mencekam, sesungguhnya justru
menawarkan oase reflektif, terkadang berbeda, dan bersifat emansipatif.
Pertemuan Maghrib itu
menjelaskan beberapa hal yang masih tidak saya pahami mengenai pemikiran Buya.
Termasuk hal-hal yang perlu saya pertegas karena banyak dipersoalkan oleh
banyak komentator pemikiran Buya. Misalnya, mengenai rantai wawasan yang harus
dimiliki dalam konsep leadership;
kemanusiaan, kebangsaan, keummatan, dan persyarikatan (Muhammadiyah). Paling
tidak, ada dua penafsiran umum mengenai ini. Pertama, yang melihatnya sebagai
rantai wawasan holistik. Kedua, yang melihatnya sebagai rantai wawasan
berjenjang. Cara penafsiran pertama maupun yang kedua, dapat dibenarkan sejauh
itu untuk memaknai pikiran Buya secara umum. Jadi begini, sekalipun holistik,
rantai wawasan tersebut tidak dapat dicampurkan. Problemnya ada pada
implementasi praksis. Wawasan kemanusiaan, dan wawasan keummatan dapat
berbenturan karena berpotensi bias kepentingan.
Tiap wawasan adalah pengetahuan,
oleh karenanya bergantung pada faktor-faktor siapa yang memiliki kuasa
hegemonial. Oleh karena itu, jika memahami rantai wawasan tersebut sebagai
sesuatu yang holistik, potensi terjebak dan buntu dalam tataran implementasi
sangat besar. Artinya, wawasan kemanusiaan dan wawasan keummatan dapat
berbenturan karena berangkat dari sistem epistemis yang berbeda. Dalam soal
ini, sebenarnya penyelesaian ada pada “pusat kesadaran”. Tentu saja, banyak
intelektual menggunakan kata holistik untuk menjelaskan kerumitan relasional.
Dan karena alasannya begitu, banyak juga yang terjebak untuk menafsirkan
relasi-relasi dari tiap wawasan dalam konsep leadership sebagai yang holistik.
Maghrib
itu Buya berbicara panjang tentang banyak hal. Buya selalu bicara dengan antusiasime
tinggi. Dan selalu ada perasaan motivasional setelah mendengar gagasan Buya.
tidak berbeda keadaannya, baik itu ketika membaca tulisan, “orasi”, atau
diskusinya. Saya sendiri selalu iri dengan orang-orang yang selalu bertarung
dalam hidup dan melewatkan hasil sebagai reward
yang harus diterima. Mereka menjalani hidup tanpa bermaksud pada hasil, karena
itu tidak pernah sengsara dengan prasyarat. Pikiran-pikiran mereka selalu
jernih, makanya tidak tersandera. Saya sendiri tidak merasa mampu mengikuti
jejak begitu. Paling tidak, berada di selasar oase mereka saja saya merasa
beruntung.
No comments:
Post a Comment