Pegiat Rumah Baca Komunitas
Kita ingat, pada akhir tahun 2004
ditutup dengan ratap tangis korban Tsunami di Aceh, akhir tahun 2009 ditutup
dengan suasana pedih korban gempa Padang, akhir tahun 2010 letusan
gunung merapi meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya. Sedangkan tahun 2012
yang konon kabarnya adalah tahun 'kiamat' ditutup dengan serentetan duka
konflik antarwarga. Termasuk sengketa iman, rebutan lahan, sentimen SARA semua
itu semakin menegaskan, gagalnya peran negara.
Kejadian di Lampung, dilihat dari
kacamata kami, warga yang tinggal di luar daerah yang dikenal sebagai say bumi
ruah jurai itu mengisyaratkan integrasi bangsa ini rapuh dan proses pembangunan
bangsa ini juga memang benar- benar belum usai. Menurut istilah Max
Lane, unfinished nation state building. Artinya, bangsa ini terus dihantui
oleh ancaman disintegrasi sosial, politik, ekonomi dan budaya--kapan dan dan
tanpa dapat diprediksi dengan tepat ibarat letusan gunung merapi.
Apa yang mesti dikoreksi dari
lintasan kejadian selama tahun 2012 ini. Mengutuk pemerintahan yang absen,
terlalu sibuk pencintraan, dan penyelamatan diri dari jaring anti-korupsi dan
sebagainya tentu saja belum cukup.
Kerentanan sosial dan politik
ini, salah satunya, dapat dibaca dari konsep 'governability' dimana negara yang
menurut Marx Weber adalah lembaga yang secaa syah menggunakan kekerasan itu
tidak dapat difungsionalisasikan dengan tepat sehingga justru paradok yang
muncul. Paradok artinya kehadiran dan ketidakhadiran 'negara' itu keduanya
membawa 'petaka' bagi eksistensi kedamaian dan kerentanan sosial. Jika 'negara'
yang sering diharapkan peran 'pembawa kebiakan umum' saja gagal menjalankan
fungsi dasarnya tentu saja psimisme bangsa akan melanda sampai ke level
paripurna. Wajar saja, komunitas Anti-Tank di Yogyakarta mempublikasikan seruan
untuk 'jangan pernah perecaya kepada pemerintah' dan juga menyebutkan bahwa itu
penuh “kebohongan|” dan “bajingan” (dengan gambar gedung MPR melatarinya).
Trust masyarakat telah dibunuh
oleh pemerintah itu sendiri sehingga klimaknya, setelah ada gambar Budiono:
antara ada dan tiada, lalu muncul di dunia maya mengabarkan kehilangan sosok
presiden: Dimana atau kemana presiden pada saat silang sengkurat antara Polri
dengan KPK. Sinyalemen pelemahan negara oleh pembajak demokrasi dan elit pembunuh
keadilan itu kemudian bermuara pada ekpresi masyarakat tentang 'kegagalan
negara dan kebohongan negara' yang juga menimbulkan kegaduhan politik yang
sangat serius----lantaran, negara menjawab kritik dengan membalas kritik
sehingga ada upaya menjawab dengan kerja keras dan kejujuran untuk menyampaikan
fakta. Inilah sebab kegaduhan dalam pemerintahan 'yang mengedepankan pencitraan
ketimbang menjawab kebutuhan riil publik.
"Kepolisian merupakan alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Demikian
dictum dari pasal 5 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian di Negara kita. Jelas
idealnya, lembaga Negara ini diharapkan menjadi bagian dari solusi baik
prefenstif maupun penindakan tetapi dalam praktiknya, lembaga Negara baik
kepolisian maupun TNI justru menjadi part of problem. Kasus sengketa wewenang
POLRI dengan KPK, TNI dengan insane media (di Ambon baru-baru ini setelah
kejadian di Riau) dan sejarah republik ini nampaknya oknum ‘pengguna kekerasan
secara sah’ ini kerap kali kontraproduktif dengan pembangunan politik dan
demokrasi.
Kondisi ini tidak 100% murni
kesalahan TNI ataupun polisi karena sebenarnya dalam batas tertentu mereka
sudah sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan iklim demokrasi dan batasan isu
Hak Asasi Manusia namun ada beberapa kondisi yang menjadikan posisi ‘agen’ jasa
keamanan resmi ini dalam situasi delematis. Satu sisi, laiknya Negara
transisional oknum ‘keamanan’ diharapkan mampu menjadi katalisator dari
berbagai upaya kelompok baik yang pro dengan strategi kekerasan (GAM di Aceh,
OPM di Papua, kelompok pro integrasi dan merdeka di Timor-Timur) dan
sebagainya. Namun, di sisi lain ada batasan dan penghargaan terhadap kebebasan
sipil dalam nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat serta berserikat.
Dalam situasi chaos seperti tahun
1998, 2003, konflik ‘SARA’ dan juga di penghujung tahun 2012 ini ‘negara’ benar-benar
dalam keadaan sulit untuk memastikan masyarakat hidup dalam damai. Kita lihat,
serentetan konflik antar desa, antar suku, antar aliran kepercayaan/agama terus
terjadi dan Negara dihadapkan kepada dua pertanyaan besar dari kedua belah
pihak baik yang menghendaki peran kuat Negara atau yang menghendaki tegaknya
Hak Asasi Masyarakat Sipil. Satu kelompok mempertanyakan kemana Negara di saat
situasi perang/konflik? Dan satu sisi melontarkan kenapa Negara bersifat
represif dan tidak memanusiakan manusia?
Mencari Solusi
Setidaknya ada dua penjelasan
solusi. Pertama, jika persoalan tawuran, geng motor, konflik antar keyakinan
agama, dan pilkada adalah dianggap sebagai ekpresi protes dari ketidakadilan
yang terjadi secara luas dan akibat Negara gagal menegakkan janji kesejahteraan
maka pemerintah harus menjawab dengan kerja nyata perbaikan ekonomi, kesempatan
kerja, pendidikan, secara nyata dan integral dengan tempo yang
sesingkat-singkatnya dan dengan komunikasi yang proporsional selama program itu
berlangsung tanpa tendensi politik musiman (baca: kepentingan pemilu 2014).
Dan kedua, apabila persoalan
kekerasan dan banalitas masyarakat yang menggejala akhir-akhir ini akibat dari
kegaduhan politik, korupsi, dan hilangnya kepemimpinan yang berkarakter pro- rakyat
(strong leadership) atau dalam bahasa agama keteladanan pemimpin (authentic
leadership) maka harus ada upaya yang sangat radikal untuk menghukum ‘pejabat’
bermental busuk dengan cara-cara yang diluar kebiasaan mekanisme birokrasi.
Gebrakan melawan mentalitas permisif itulah yang sekarang dibutuhkan tanpa
kehilangan dukungan moral publik.
Jika makna toleransi justru
dipelihara untuk melegalkan kejahatan terhadap bangsa, maka wajar saja dan akan
terus mengalami siklus kekuasaan elit yang bersifat predator dan kanibal yang
pada endingnya nanti baik secara langsung maupun tidak langsung, secara radikal
maupun konvensional akan turut andil meruntuhkan Indonesia. Jika demikian
kondisinya, tahun 2013 akan diliputi kabut hitam untuk mimpi Indonesia yang lebih
maju dan sejahtera
Sumber : koraneditor.com, (2 Jan 2013)