Oleh : Bambang Trimansyah
Editor Buku, Konsultan Naskah dan Penerbitan
|
misterluthfi.wordpress.com |
Alih-alih hendak menyiapkan
buku teks yang berkualitas, bukan tidak mungkin, dengan waktu penyiapan yang
singkat (kurang dari enam bulan), buku-buku tersebut dapat saja mengandung
aspek kelemahan editorial karena ditangani bukan oleh ahlinya atau tenaga profesional.
Apa yang dikhawatirkan kalangan
penerbit buku teks menyangkut pemberlakuan kurikulum baru tahun 2013 akhirnya
terungkap juga. Seiring dengan pelaksanaan uji publik kurikulum, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pun mengeluarkan komentar bahwa buku teks atau buku
pelajaran akan diadakan langsung dari Pusat (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, dalam hal ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan), yaitu penulisan dan
pengemasan editorialnya. Penerbit hanya diberi peran untuk menggandakan apa
yang diistilahkan "buku babon" (buku pegangan) ini.
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan berkilah, hal ini demi penyediaan buku yang berkualitas, terpusat,
dan tentunya menjadi jawaban atas fenomena yang berkembang dalam setahun
terakhir, yaitu adanya beberapa buku (LKS) yang bermasalah: mengandung
pornografi dan ketidakpatutan, juga disusupi paham berbahaya. Artinya,
penerbit buku teks yang selama ini berada di industri kreatif penerbitan
harus bersiap menghentikan kreativitasnya dan cukup berharap sekadar jadi
pencetak, padahal tidak semua penerbit memiliki usaha percetakan.
Pola yang serupa tetapi tak
sama adalah ketika Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kemdikbud)
menyediakan apa yang disebut buku teks pokok atau disebut buku paket hanya
untuk SD dan SMA pada 1990-an. Buku paket ini ditulis oleh tim yang dibentuk
Depdiknas (Pusbuk), terdiri atas pakar perguruan tinggi serta guru sekolah.
Buku ini pun diedarkan untuk digandakan dan didistribusikan di tingkat
kanwil, kandep, hingga sekolah (Supriadi, Anatomi Buku Sekolah di Indonesia,
2000). Bedanya, jika dulu ada buku teks pokok atau buku paket yang dibagikan
gratis, ada pula buku teks pelengkap yang membebaskan sekolah untuk memilih.
Di sinilah para penerbit swasta masih bisa berperan mengkreasikan
buku-bukunya dan bersaing dalam bisnis dengan istilah buku teks pelengkap.
Sewaktu proyek buku sekolah
elektronik (BSE) diluncurkan pertama kali pada masa Mendiknas Bambang
Soedibyo, lonceng kematian bagi penerbit buku teks sebenarnya sudah
dibunyikan. Penerbit hanya boleh berpartisipasi menilaikan bukunya ke Pusbuk
(sekarang Puskurbuk), lalu buku yang lolos akan dibeli hak ciptanya secara
berjangka selama 15 tahun. Belakangan, bukan hanya penerbit, tapi juga
penulis boleh mengajukan bukunya sendiri yang jelas memberi peluang lahirnya
penerbit swakelola (self publisher) buku teks. Buku pun bebas diunduh oleh
publik dari laman Pusbuk, dan siapa pun bebas mencetak serta menjualnya.
Dapat dibayangkan kekacauan peran di sini ketika pencetak juga menjadi
penerbit dan penjual BSE, toko buku juga demikian, dan siapa pun bisa menjadi
penerbit dan penjual BSE dengan ketentuan memberlakukan harga pagu. Industri
penerbitan buku teks hampir dibuat mati suri.
Namun, dalam konteks ini, para
penerbit buku teks masih melihat celah kehidupan, karena banyak juga sekolah
yang enggan menggunakan BSE dengan alasan faktor pengemasan editorial yang
tidak memenuhi ekspektasi mereka. Sekolah-sekolah itu lebih memilih buku teks
pelengkap (supplementary text book) yang diterbitkan penerbit swasta, apalagi
penerbit dengan pengalaman belasan hingga puluhan tahun di bisnis ini. Dalam
masa ini pula pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang larangan
penjualan buku langsung ke sekolah-sekolah dengan sanksi yang berat.
Penjualan buku dialihkan ke toko-toko buku ataupun koperasi sekolah.
Industri yang Memusingkan
Industri buku teks boleh
dikatakan industri yang sarat masalah dari dulu. Masalah dipicu ketika
penerbit buku teks melakukan penjualan langsung ke sekolah dengan memotong
jalur distribusi di tingkat toko buku. Penerbit bertransaksi dengan pengambil
kebijakan di sekolah (guru, kepala sekolah, yayasan). Akhirnya, modus
pemberian diskon atau iming-iming lain pun memunculkan persaingan dalam
bisnis ini yang terkadang menjurus tidak sehat. Buku yang berkualitas hanya
menjadi pertimbangan kesekian dibanding diskon yang besar.
Demi menguatkan eksistensi dan
perannya dengan potensi puluhan juta siswa di Indonesia, para penerbit pun
membangun jalur distribusi sendiri dengan mendirikan cabang-cabang di ibu
kota provinsi hingga ke daerah tingkat II. Seiring berlalunya masa,
kreativitas penerbit buku teks pun makin menjadi-jadi, baik dalam hal
pengemasan maupun penjualan. Pergantian kurikulum ibarat blessing in disguise
yang memicu penerbitan front list buku-buku baru. Alhasil, gelombang keluhan
dari masyarakat pun mengalir, terutama pada masa reformasi yang menolak
jargon "ganti tahun ganti buku" yang dulunya masih berbunyi "ganti
kurikulum ganti buku".
Buku teks pelengkap yang
dimaksudkan sebagai pendamping buku paket, seperti diungkapkan Dedi Supriadi
dalam Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, malah berfungsi
"menyingkirkan" buku paket. Buku paket bantuan pemerintah secara
cuma-cuma itu akhirnya hanya menjadi koleksi setia perpustakaan sekolah.
Industri buku teks ini menjadi
industri yang memusingkan, bahkan ditengarai seperti lingkaran setan yang tak
berujung, karena terjadi konflik kepentingan antara pemerintah, penerbit
swasta, pejabat pendidikan di daerah, distributor buku, pencetak, toko buku,
sekolah, orang tua, dan siswa. Tidak kurang Presiden Megawati dan Presiden SBY
pun menjadikan soal buku teks ini menjadi isu kampanye mereka bahwa rakyat
tidak boleh lagi dibebani dengan pembelian buku teks.
Di sisi lain, industri buku
teks ini juga hidup dari proyek-proyek pemerintah. Pemerintah merasa memang
tidak bisa sendiri melakukan pengadaan buku hingga akhir 1990-an. Awalnya,
buku paket untuk tingkat SD diadakan dengan kerja sama Pusat Perbukuan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Balai Pustaka (yang
memiliki hak penggandaan). Untuk SLTP (SMP), pemerintah melibatkan penerbit
swasta dengan Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca (PBMB) yang didanai
pinjaman Bank Dunia (World Bank) pada 1996-2000. Buku-buku penerbit
swasta--berupa buku teks siswa dan buku pegangan guru-dinilai oleh Panitia
Nasional Penilai Buku Teks (National Textbook Evaluation Committee/NTEC) yang
diketuai Dirjen Dikdasmen. Buku yang lulus kemudian dibeli oleh proyek.
Betapa bergairahnya penerbit buku teks masa itu, meskipun hanya berimbas pada
segelintir penerbit yang bukunya lulus. Belakangan, bantuan proyek ini
dihentikan World Bank karena dianggap beraroma korupsi dan kolusi, sehingga
beberapa penerbit masuk daftar hitam penerbit Indonesia versi World Bank.
Kerancuan Peran
Persoalannya sekarang bukan
hanya kebijakan ini telah menghentikan kreativitas penerbit buku teks yang
sama dengan membuatnya sekarat, melainkan benarkah pemerintah mampu
menyediakan buku teks dengan muatan kurikulum tematik integratif yang
memenuhi standar buku teks sebenarnya? Meskipun pemerintah memiliki dana untuk
menyiapkannya dan paling tahu tentang kontennya, tentu patut dipertanyakan
pula tentang sumber daya perbukuan yang dilibatkan, seperti penulis, editor,
penata letak, ilustrator, dan desainer buku. SDM penerbitan adalah para
profesional dengan keahlian di bidang masing-masing. Tampaknya Puskurbuk pun
harus melakukan perekrutan dan pengerjaan simultan yang memerlukan tenaga
terampil dengan tenggat yang ketat dan standar kualitas yang baik.
Alih-alih hendak menyiapkan
buku teks yang berkualitas, bukan tidak mungkin, dengan waktu penyiapan yang
singkat (kurang dari enam bulan), buku-buku tersebut dapat saja mengandung
aspek kelemahan editorial karena ditangani bukan oleh ahlinya atau tenaga
profesional. Buku pegangan versi pemerintah ini pun akan mubazir jika akhirnya
tidak dapat digunakan di sekolah-sekolah, karena Puskurbuk Kemendikbud dalam
hal ini memang bukan penerbit dalam arti sebenarnya.
Sumber : http://budisansblog.blogspot.com/2012/12/mensekaratkan-kreativitas-penerbit.html
|
No comments:
Post a Comment