Pada tahun 1970-an,
mitos bahwa krisis ekonomi tidak mungkin terjadi di desa hancur. Bagaimananpun,
petani mendapatkan pinjaman dari Bank lewat Kredit Usaha Tani yang berasal dari
pinjaman lunak Bank Dunia. pupuk yang digunakan petani sama saja, semuanya berbau
dolar. Pemerintah saat itu mengatasi langkanya kebutuhan pokok masyarakat
seperti beras dengan memanfaatkan bulog.
Tahun 2013, harga
kedelai tembus hingga Rp.10.000 per Kg. Komunitas pegusaha yang memanfaatkan
kedelai melakukan mogok selama tiga hari. Di Yogyakarta, saya tidak terlalu
merasakan dampaknya. Rumah makan masih menyediakan tempe atau tahu.
Pada tahun 1983 gerakan
pengapuran tanah masam dilakukan di Indonesia. Gerakan pengapuran digagas oleh Goeswono
Soepardi karena terinspirasi dari Ilmuwan tanah Brazil yang berhasil menemukan
teknologi pengapuran tanah bereaksi masam. Menteri pertanian saat itu, Affandi
menyetujui gagasan Goeswono untuk melakukan gerakan pengapuran. Satu tahun
kemudian, gerakan ini berhasil dan berdampak pada pertanian Indonesia. Gerakan
ini juga yang akhirnya membuat kedelai impor berkurang, karena sanggup
menyediakan stok yang cukup bagi Indonesia. Pada tahun 1988, gerakan pengapuran
dihapus karena Amerika tidak ingin kebijakan impor kedelai Indonesia berakhir
dan berkuasa atas produksi pangan dunia. Goeswono merupakan salah-satu pakar
yang menyadari propaganda dari perdagangan Indonesia untuk menguasai
Indonesia_setiap tahun impor kedelai 1 Juta Ton!_atau semisal program aneh
“empat sehat lima sempurna.”
Pada kasus impor
kedelai, kondisi saat itu terjadi sama dengan sekarang. Kedelai impor dianggap
bersih dan berkualitas tinggi, sedangkan kedelai lokal dianggap berkualitas
rendah. Masyarakat dibodohi dengan keterangan yang mengatakan bahwa kedelai
impor untuk memastikan kebutuhan pangan masyarakat, sedangkan kedelai lokal yang
berkualitas rendah untuk kebutuhan hewan. Kenyataannya, industri besar justru menggunakan
kedelai lokal, yang tentunya memiliki harga murah untuk diolah.
Memimpikan sebuah
kedaulatan pangan bukan dogeng. Perjalanan menuju kedaulatan tidak dapat
dilakukan kecuali pemerintah berani mengambil sendiri arus pertaniannya tanpa
harus terpengaruh secara tidak langsung sikap-sikap Amerika. Indonesia bisa
saja mandiri dalam hal kedelai, jagung, tepung gandung, atau daging. Inovasi
petani untuk memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produksi pertanian
tidak boleh ditekan dengan alasan-alasan yang melangkahi hak-hak masyarakat.
Harga pasar yang selama ini jadi dalih pemerintah seharusnya disadari bukan
menjadi hal yang begitu menentukan. “harga pasar” hanya sebuah gejala yang
biasa sebenarnya dalam teori ekonomi, harga pasar dapat dibuat atau
dikendalikan dengan mekanisme-mekanisme yang begitu nampak.
Sebenarnya Indonesia
hanya perlu memperhitungkan bagaimana agar terjadi keseimbangan antara sebaran
uang dan produktivitas masyarakat, hanya hal itu yang dapat memastikan inflasi
berhenti. Tidak mudah, tapi kalau tidak dilakukan sejak sekarang, produktivitas
masyarakat tidak akan terjadi sesuai dengan prediksi ekonomi yang begitu mikro.
Andaikata menteri keuangan meminta masyarakat agar aktif melakukan transaksi
beli agar dapat mempengaruhi perekonomian secara positif, itu tidak sepenuhnya
benar. Kecenderungan untuk membeli malah membuat nilai sebuah barang cenderung
naik, karena tingginya permintaan sedangkan kemampuan penyediaan barang tidak
berbanding sama. Kalaupun tindakan membeli dilakukan, barang-barang yang dibeli
sebenarnya tidak berdampak pada arus perputaran uang dalam bentuk rupiah.
Sekarang kalau ingin beli tempe, uangnya tidak kembali kepada penjual tempe, tapi
berputar dengan logika dolar, sehingga produktivitas hanya terjadi dalam dolar
bukan rupiah. Hal ini tentu tidak memberikan keseimbangan. Berbeda misalkan
jika pinjaman didapatkan dari mata uang semisal yen yang tentu lebih
“terjangkau” daripada dolar. Nilai barang yang meningkat akan terbaca sebagai
harga kenaikan sebuah barang. Bagaimana mungkin logika ini terus dipaksakan
kepada masyarakat?. Apapun yang kita beli, bau dolar pasti ada.