________________________________________________________________________
Oleh : M. Dawam Rahardjo
Dalam kata
pengantar untuk buku saya, "Nalar Ekonomi-Politik Indonesia" (IPB Press,
2011), Prof. Didin S. Damanhuri menarik kesimpulan bahwa ia tidak menemukan
satu aliran pemikiran yang saya ikuti secara konsisten. Tapi menurut
pembacaannya, saya mengambil dan mengkombinasikan berbagai teori untuk memahami
dan memecahkan masalah-masalah ekonomi-politik, misalnya masalah ekonomi
kerakyatan yang menjadi benang merah buku kumpulan karangan itu.
Dengan kata lain, saya, menurut penilaian Didin, mengikuti metode eklektika, suatu kesimpulan yang di masa lalu juga pernah dilontarkan orang mengenai metode pemikiran Soedjatmoko, namun dengan nada yang merendahkannya. Memang, dalam karangan-karangannya Soedjatmoko membahas berbagai masalah pembangunan dan perkembangan masyarakat. Ia sendiri dikenal sebagai seorang yang berfaham sosialis dan menulis buku mengenai kebudayaan sosialis. Tapi sebagaimana nampak pada Sjahrir, Soedjatmoko tidak nampak sebagai seorang penganut sosialisme ortodoks tertentu. Benang-merah yang dapat ditemukan orang adalah bahwa ia adalah seorang penganut paham humanisme universal, yang sesungguhnya dekat dengan faham Liberalisme, padahal faham ini dilawankan dengan sosialisme. Bahkan Herbert Feith menggolongkan aliran pemikirannya, bersama-sama dengan Arief Budiman yang menyatakan diri sebagai seorang Sosialis itu, dalam aliran yang disebut critical-pluralism.
Dengan kata lain, saya, menurut penilaian Didin, mengikuti metode eklektika, suatu kesimpulan yang di masa lalu juga pernah dilontarkan orang mengenai metode pemikiran Soedjatmoko, namun dengan nada yang merendahkannya. Memang, dalam karangan-karangannya Soedjatmoko membahas berbagai masalah pembangunan dan perkembangan masyarakat. Ia sendiri dikenal sebagai seorang yang berfaham sosialis dan menulis buku mengenai kebudayaan sosialis. Tapi sebagaimana nampak pada Sjahrir, Soedjatmoko tidak nampak sebagai seorang penganut sosialisme ortodoks tertentu. Benang-merah yang dapat ditemukan orang adalah bahwa ia adalah seorang penganut paham humanisme universal, yang sesungguhnya dekat dengan faham Liberalisme, padahal faham ini dilawankan dengan sosialisme. Bahkan Herbert Feith menggolongkan aliran pemikirannya, bersama-sama dengan Arief Budiman yang menyatakan diri sebagai seorang Sosialis itu, dalam aliran yang disebut critical-pluralism.
Terus terang
saya agak kaget dengan kesan Didin S. Damanhuri itu, karena dia memang sangat
mengenal pemikiran-pemikiran saya. Saya berpendapat bahwa kesan itu tidak
adalah sebuah kesalah-pengertian. Tapi munculnya kesimpulan semacam itu atas
pemikiran saya, sepenuhnya dapat saya mengerti. Saya sendiri ingin menjelaskan
kepadanya, bahwa aliran epistemologi yang saya ikuti dalam membahas
masalah-masalah ekonomi-politik adalah “ekonomi-kelembagaan” (institutional
economics), yang memandang ekonomi sebagai gejala yang kompleks dan selalu
berubah, dan oleh karena itu perlu didekati dari berbagai sudut dan perspektif.
Saya sendiri pernah menulis bahwa saya mengikuti metode berpikir “historis
struktural”, yang dapat ditelisik dalam buku kumpulan artikel saya di Majalah Prisma.
Benang merah itu dapat ditemukan oleh cendekiawan muda, Tarli Nugroho,
sebagaimana dapat dibaca dalam kata pengantar panjangnya terhadap buku
tersebut, yang berjudul Ekonomi Politik Pembangunan (2012). Metode
itu pernah saya terapkan terhadap gejala ketergantungan perekonomian Sumatera
Utara, sebagai suatu gambaran mengenai perekonomian Indonesia di tingkat
regional.
Kesan lain
yang juga saya nilai sebagai “stigmatik” terhadap pemikiran saya adalah apa
yang pernah dilontarkan oleh Hidayat Nataatmadja (1932-2009) pada tahun
1980-an, ketika ia mengatakan bahwa saya adalah seperti “perpustakaan
berjalan”, karena ia melihat tulisan-tulisan saya di Prisma selalu
mencantumkan banyak catatan kaki sebagai referensi. Saya tahu bahwa Hidayat
waktu itu merasa tersinggung terhadap kritik yang pernah saya lontarkan pada
suatu forum terhadap karangan-karangannya. Dalam sebuah seminar terbuka saya
memang pernah melontarkan penilaian bahwa tulisan-tulisannya memang lancar
bahasanya, tapi sulit dipahami, karena tidak jernih dan sederhana. Kesan njelimet itu
pada akhirnya mengesankan ketidak-jernihan pemikirannya, meskipun sebenarnya
tidak.
Penilaian
Hidayat terhadap pemikiran saya dapat saya pahami, karena saya ketika itu
memang masih mengikuti metode penulisan akademis yang harus mempertahankan
kejujuran pemikiran. Hidayat sendiri saya akui tergolong sebagai seorang
pemikir kritis-kreatif yang melampaui pemikiran akademis dan bidang-bidang
keilmuan yang bersifat fakultatif, sehingga saya paham kenapa ia tidak merasa
perlu mencantumkan catatan-catatan kaki pada karangan-karangannya. Sebagaimana
halnya Soedjatmoko, Hidayat mampu menulis pemikiran tentang banyak hal
melampaui suatu disiplin tertentu, karena ia memang memiliki bacaan luas yang
diinternalisasikan ke dalam cara berpikirnya itu. Tapi ketika menulis artikel
di Prisma, saya masih dan harus berpikir pada level akademis.
Saya memang
memiliki minat terhadap berbagai bidang pemikiran, sejak ekonomi, politik,
sosial, kebudayaan, filsafat dan agama. Dan sejak muda, saya memang seorang
pengumpul buku, sehingga sekarang bisa memiliki sebuah perpustakaan pribadi
yang cukup lengkap. Saya juga membaca buku-kuku dan mempelajari berbagai aliran
pemikiran dan epistemologi. Tapi dalam metode pemikiran, saya tertarik kepada
Marxisme, terutama Neo-Marxisme atau Kiri-Baru, teori kritis Mazhab Frankfurt,
dan nalar Islam Liberal atau “Kiri Islam”. Saya juga tertarik pada ajaran
sosial gereja Katolik dan gagasan Teologi Pembebasan Amerika Latin.
Namun
saya tidak puas dengan semua aliran pemikiran dan epistemologi itu dalam
berbagai aspek tertentu. Karena itu saya tidak menganggap diri saya ortodoks
atau tidakkaffah, atau tidak konsisten mengikuti aliran pemikiran tertentu,
termasuk dalam pemikiran keagamaan. Saya lebih mengikuti pemikiran kritis.
Karena itu saya menjadikan Marxisme dan nalar Islam sebagai suatu kritik
ideologi. Saya pernah menulis bahwa Marx saya temukan mengambil banyak
pemikiran dari para pemikir sebelumnya yang lalu ia jungkir-balikkan
pemikiran-pemikiran yang telah dipungutnya tersebut, tapi dari situ kita bisa
melihat bahwa teori yang dihasilkan Marx adalah orisinil.
Namun
dalam pangalaman berpikir saya, aliran pemikiran kritis itu mengandung
kelemahan yang tidak bisa saya terima, misalnya teori perjuangan kelas dengan
cara kekerasan. Itu saya jumpai ketika saya terlibat dalam gerakan sosial. Dari
pemikiran-pemikiran kritis itu tidak saya dapati konsep-konsep solusi. Dari
situlah saya tertarik pada gagasan-gagasan pembangunan alternatif. Tapi titik
tolaknya adalah teori modernisasi dan perubahan sosial yang konvensional.
Ternyata kecenderungan ini juga melahirkan kritik dari Saiful Mujani. Ia
mengatakan bahwa pemikiran saya tidak konsisten, karena di satu pihak saya
mengikuti pemikiran kritis Marxis, tetapi ketika berpikir mengenai pembangunan
dan gerakan sosial, saya kembali kepada teori modernisasi, yang juga dikritik
oleh seorang Neo-Marxis, Andre Gunder Frank, itu. Namun dalam pembangunan
alternatif, menurut saya, teori modernisasi itu dibangun berdasarkan
temuan-temuan kajian kritis, sehingga sudah berbeda dengan teori modernisasi
konvensional.
Di sini saya
teringat pada perdebatan antara pandangan idealis-spiritualis Hegelian-Weberian
dengan pandangan materialis Marx-Engel. Sebagai seorang yang beragama, tentu
saya cenderung pada pandangan Hegelian-Weberian yang percaya bahwa ide dan
spirit itu mampu membentuk dan mengubah dunia. Tapi saya juga tertarik pada
pandangan materialis, bahwa kondisi itu sangat mempengaruhi ide dan semangat
manusia. Di sisi lain, saya juga memperhatikan Karl Popper yang menentang
pandangan historisis-deterministis yang menurutnya justru menimbulkan pandangan
tentang kelemahan manusia yang dibelenggu oleh lingkungannya. Di sinilah saya
menemkan makna ayat al Qur’an, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu
kaum, kecuali kaum itu mengubah apa yang ada dalam diri (kepribadian) kaum itu
sendiri.
Sementara itu Gramsci mengeluarkan pandangan bahwa manusia itu
memiliki kemampuan untuk menciptakan sejarah. Saya lalu teringat kepada
kata-kata Marx sendiri bahwa hanya ide-ide revolusionerlah yang mampu mengubah
sejarah. Jika ajaran agama itu dijelaskan dengan pandangan Hegelian-Weberian
sebagai tesis di satu pihak, dan Marx-Engel sebagai anti-tesis di lain pihak,
yang disintesiskan melalui pandangan Popper dan Gramsci, maka itu adalah adalah
suatu jalan pemikiran ekletisisme juga. Itulah pula yang dikembangkan oleh Tan
Malaka dalam bukunya, Madilog (1946), yang menggabungkan pandangan
Marxis dengan teologi. Melalui proses materialisme, dialektika, dan logika
itulah maka Tan Malaka membimbing bangsa Indonesia untuk menemukan teori dan
kesadaran revolusioner guna mencapai Indonesia Merdeka. Proses pemikiran itu
pulalah yang terkandung dalam pamflet Mencapai Indonesia Merdeka (1936)
yang ditulis Bung Karno.
Para
perintis dan pejuang kemerdekaan pada umumnya adalah kaum terpelajar yang
pemikirannya dibentuk oleh pendidikan modern Barat, tetapi tetap berjiwa
religius dan memiliki kesadaran kebudayaan kebangsaan. Pemikiran dan pandangan
mereka itu sangat beragam dan bahkan pula saling bertentangan. Namun pandangan
antara lima tokoh utama, yaitu Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Soepomo dan
Sjahrir, meskipun sangat berbeda, kesemuanya mengarah kepada pandangan tentang
“Indonesia Merdeka”. Memang masing-masing tokoh itu memilih mengikuti seorang
tokoh tertentu, khususnya Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Tetapi tentang
demokrasi, muncul perbedaan diametris antara pandangan Soekarno yang mengarah
kepada kolektivisme atau integralisme, dengan pandangan Sjahrir yang mengarah
kepada demokrasi-liberal. Pengaruh perbedaan pandangan yang cukup mendasar
antara dua tokoh itu masih nampak dalam perkembangan politik dewasa ini.
Di antara
para pemikir Indonesia kontemporer telah timbul suatu gagasan untuk mengembangkan
“Filsafat Nusantara”. Upaya untuk merumuskan Filsafat Nusantara itu nampak
dalam buku Negara Paripurna (2011) yang ditulis Yudi Latif dalam
usahanya untuk mengembangkan interpretasi terhadap Pancasila dengan menggali
pemikiran para pendiri bangsa. Dalam pembahasan itu ia bertolak dari realitas
pluralitas Nusantara, sehingga menimbulkan gagasan pluralisme. Dalam pemikiran
itu maka metode yang digunakan adalah sintesa pemikiran, yang akan
menimbulkan kesan eklektisisme.
Itulah
sedikit penjelasan saya terhadap “tuduhan” Didin. S. Damanhuri, Hidayat
Nataatmaja, dan Saiful Mujani, sebagai pertanggungjawaban terhadap karier
pemikiran saya dalam ilmu-ilmu sosial.
__________________________
Babarsari,
Yogyakarta, 26 Juli 2012
sumber:
https://www.facebook.com/notes/m-dawam-rahardjo/renungan-pemikiran-sebuah-pertanggungjawaban/451563354863711
No comments:
Post a Comment