Oleh:
Fauzan Anwar Sandiah
Judul : Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir; Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer".
Penulis : Ausgust Hans den Boef & Kees Snoek
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun : 2008
Judul : Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir; Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer".
Penulis : Ausgust Hans den Boef & Kees Snoek
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun : 2008
Tidak ada puncak dari
ekspektasi Pramoedya Ananta Toer (seterusnya disingkat Pram), selain “semuanya
berakhir”, begitu bagian utama untuk memulai babak buku “Saya Ingin Lihat Semua
Ini Berakhir” (disingkat SILSIB). Buku ini secara praktis akan menjelaskan
mengapa politik rekonsiliasi yang digagas oleh Goenawan Mohamad tahun 2000 mengalami
kendala besar dan buntu dengan Pram. Dan mengapa niatan baik dari pemerintah
untuk duduk berangkulan secara damai dengan masa lalu tahanan politik (Tapol) justru
selalu menunjukkan sisi antipati bagi Tapol. Tidak sederhana untuk menjelaskan
semua ini, paling-paling yang terbersit adalah keengganan orang untuk
mempelajari secara mendalam hierarki kejiwaan tapol-tapol. Representasi kuat
tapol tentu saja adalah Pram. Bagaimana Pram sulit untuk menerima rekonsiliasi
bukan sulit secara subjektif, tapi juga sulit secara kemanusiaan. Seorang pram
hidup dengan ausdauer (daya-tahan) memahami betul tentang apa yang
disebut-sebut sebagai “maaf”. Kita melihat bahwa ide untuk mengajak para tapol
memaafkan rezim Orde Baru wajar saja ditolak. Egoisme memang harus diletakkan
secara hati-hati bagi para tapol. Mereka bukan kawanan misterius yang akhirnya
hidup menjadi penganut sinisme terhadap “kebaikan-kebaikan formalitas”. Mereka hanya
terlalu memahami bahwa “kebaikan-kebaikan formalitas” tidak pernah membuahkan
harapan, justru perlahan menjadi senjata membunuh. Tapol seperti sekelompok
orang yang dibenci oleh rezim dengan
menggunakan kekerasan psikis. Para tapol diberikan harapan bebas, harapan
kehidupan, tapi justru itu akhirnya menjadi siksaan.
Menulis
di Pasir
Bagi Pram, kekerasan
yang melukai adalah kenyataan tulisan-tulisannya dilarang bahkan dirampas tanpa
sisa naskah satupun. Kees Snoek, salah-seorang kontributor buku SILSIB,
menulisnya dengan gaya yang dramatis, “kadang-kadang Pramoedya merasa kecewa
atas sedikitnya jumlah peredaran buku-bukunya di Indonesia, seperti menulis di pasir…”(hlm.102). Tampaknya
Kees Snoek ingin menutupi atau menyelubungi kekecewaan Pram dengan “kadang-kadang”.
Terbukti, bahwa Kees Snoek sendiri menyadari bahwa ada perlakuan tidak pantas
untuk Pram dari kolega-koleganya pada suatu pertemuan di Bulan April 1988, “…beberapa
dari kenalan saya itu sepertinya tidak begitu menghargai perkenalan mereka
dengan Pramoedya…mereka santun…tetapi setelah itu mereka langsung pergi…”
(hlm.103). Sejarah sastra Indonesia yang dipegang oleh kelompok Humanisme
Universal hampir setengah abad lebih antara 1965-2000-an tidak menyisakan
ruangan untuk Pram. Menulis di pasir jadi kemewahan yang sia-sia untuk Pram, fenomena
yang terbukti menghantamnya cukup keras sampai ke titik jauh.
August
Hans, Kees Snoek, dan Pram
Buku SIlSIB meletakkan
dasar historis yang cukup penting untuk memulai memahami Lebenswelt Pram. August Hans
dan Kees Snoek menangkap perihal itu dengan cara yang berbeda. August Hans
secara diametral menghadapkan Pram dengan realitas kritikus barat abad 20 serta pemahaman umum tentang dirinya yang berkembang sebagai opini formal di masyarakat.
August Hans sah-sah saja bertindak begitu, mungkin hanya untuk menyadarkan
kepada kita bahwa tantangan yang dihadapi Pram tidak sekedar tindakan represif
pemerintah, tapi juga kecenderungan kritikus di Barat serta rekonstruksi opini masyarakat tentang dirinya. Dan memang, August Hans,
menangkap belokan-belokan corak Pram dari fatalisme menjadi komunisme. Belokan-belokan
demikian kemudian akan menjelaskan Lebenswelt
yang selama ini salah dipahami. Oleh karenanya informasi-informasi mengenai
perdebatan apakah PKI harus dimaafkan atau PKI memberi maaf harus dibaca
melalui laporan-laporan dokumentatif tentang masing-masing subjek yang memegan symbol
utuh tapol seperti Pram. August Hans membuat SILSIB menjadi bacaan wajib untuk
itu, walaupun laporannya cukup singkat.
Bagaimana dengan peran
Kees Snoek?. Kees Snoek merekam dengan tersirat bahwa ada mutual knowledge dalam pembacaan orang terhadap Pram dan
aktivitasnya. Apakah mutual knowledge tersebut?
itu menyangkut dengan satu proses yang membuat Pram “luar biasa terluka” menurut
Kees Snoek. Pram menganggap diskursus mengenai kritik-kritik kerasnya terhadap
kelompok Humanisme Universai bukan suatu yang penting untuk diajukan di dalam
sejarah sastra Indonesia. Bagi Pram yang penting adalah penelusuran terhadap
pembantaian kelompok-kelompok komunis. Hal ini menjadi lebih terang lagi
setelah memasuki pembebasan Pram, dan kemudian mulai membuka pendalaman
terhadap isu ini. Yang pasti, Pram ingin melihat semua ini berakhir..
No comments:
Post a Comment