berikut ini adalah catatan Anindita Siswanto Thayf, penulis Novel asal Jogjakarta, terhadap salah-satu karyanya "Tanah Tabu" yang memenangi sayembara menulis novel pada DKJ Tahun 2008.
_______________________________________________________
Oleh: Anindita Siswanto Thayf
“Suatu
hari saya membaca sebuah realitas, seketika hidup saya pun berubah…”
Dalam novelnya The New Life,
Orhan Pamuk mengisahkan seorang pemuda bernama Osman yang begitu terpengaruh
dan terobsesi dengan sebuah buku yang dibacanya. Tak hanya merampas
hari-harinya, pemuda itu justru sengaja menjerumuskan diri ke dalam
pencarian-pencarian makna rahasia dari buku tersebut, yang ternyata semakin
menjauhkannya dari “kehidupan normal” sebagai seorang mahasiswa.
Hampir mirip kisah Osman,
saya pun pernah merasakan hal sama. Bagaimana sebuah realitas yang saya temukan
tanpa sengaja lewat sejumlah tulisan di internet—dari sumber berbeda tapi
memaparkan kisah yang serupa—begitu memengaruhi saya. Membangkitkan sebentuk
kesadaran yang selama ini, sepertinya, hanya tidur-tidur ayam dalam diri saya.
Hingga terjagalah saya. Mulai kasak-kusuk sendiri karena merasa “cukup
terganggu”; mengapa saya baru tahu sekarang? Kemarin-kemarin saya ke mana saja?
Dulu-dulu mata saya hanya digunakan untuk “melihat” apa saja? Kok bisa-bisanya
saya lupa bahwa hidup tak hanya melulu diisi warna cerah yang menyenangkan hati,
tetapi warna suram yang menyimpan rahasia pun pasti ada. Sejak itu, niat saya
yang semula ingin mengumpulkan bahan untuk menulis sebuah buku non fiksi untuk
anak-anak tentang keindahan panorama alam di Pulau Kepala Burung, Papua, sontak
berubah haluan.
Untuk apa menulis tentang
keindahan jika di sebelahnya ada penderitaan yang lebih nyata dan sangat
membutuhkan perhatian? Bukankah sudah banyak buku/artikel yang membahas tentang
keindahan tersebut—bahkan telah diterjemahkan entah dalam berapa bahasa asing,
pada buku panduan wisata atau katalog tempat wisata, lengkap dengan foto
beresolusi tinggi dari seorang lelaki tua berkoteka—sebaliknya buku/tulisan
yang menyinggung nasib rakyat di pulau itu yang begitu menderita dan tersisih
di negara sendiri justru diwanti-wanti penerbitannya (padahal jumlahnya pun
sedikit). Apa pula gunanya mengabadikan keindahan pulau itu dalam bentuk buku
(tulisan)—yang jika kelak diterima penerbit dan diterbitkan, maka saya pun akan
mendapat keuntungan materi dari hal tersebut—sementara mereka yang tinggal di
tempat itu malah tidak bisa menikmati keindahan tanahnya sendiri karena terlalu
diberati beban hidup yang tak habis-habis?
Sebenarnya, pada titik ini,
semula saya ingin pura-pura “buta” saja. Pura-pura menyesal karena telah mendapat
informasi yang bertentangan dari yang saya butuhkan. Pura-pura telah salah baca
bahwa telah terjadi “ketidakadilan yang merata” di negara yang seharusnya
“berkeadilan merata” ini. Tapi apa boleh buat, saya tidak bisa. Benar-benar
tidak bisa! Realitas itu ada di mana-mana. Tertulis di buku, jurnal, koran,
situs internet, bahkan blog pribadi. Semakin saya hindari, semakin menari-nari
dalam kepala ini. Semakin tak digubris, semakin membuat diri serasa pengecut.
Pemerkosa kebenaran karena lebih memilih diam. Benarkah saya seperti itu?
***
Butuh keberanian untuk
meruntuhkan dogma “Diam adalah Emas”. Bohong jika saya berkata tidak ada palang
rintang yang harus saya lewati sebelum kemudian memantapkan hati menulis
tentang nasib rakyat tanah Papua dalam bentuk novel. Maksud saya, hey, bisakah
novel serius model begituan diterima penerbit? Sebagai seseorang yang bernapas,
makan, dan minum dari menjual tulisan (tidak ada pekerjaan lain, selain
mengurus rumah tangga), bisakah saya menggantung harapan atas seikat sayur
bayam dan sepotong tempe dari novel itu nantinya?—sungguh, waktu itu belum ada
niat untuk mengikutkannya dalam lomba, apalagi Sayembara DKJ, karena
berdasarkan hasil survey saya, novel pemenang DKJ selama beberapa tahun
terakhir tidak ada yang seperti novel yang akan saya tulis (dan saya pernah
memaksakan diri mengikutkan novel karya saya yang “lain sendiri” namun
hasilnya: kalah!). Dan Papua, tahu apa saya tentang pulau yang belum pernah
sekali pun saya kunjungi itu? Bagaimana dan dimana mencari bahan tulisan
tentangnya?
Sungguh beruntung saya lahir
di abad yang begitu modern sekarang ini. Kalau semisal saya lahir sezaman
dengan Pramoedya Ananta Toer, tentu saya harus bolak-balik keperpustakaan untuk
meminjam buku berbecak-becak, kemudian sampai di rumah diketik ulang buku-buku
itu sebagai bahan tulisan—dan mungkin pula saya tidak mempunyai ketekunan
seulet itu. Abad ini memudahkan saya melakukan ini-itu tanpa harus mengeluarkan
biaya yang bisa membuat saya dan suami bangkrut mendadak. Melintasi sulitnya
melakukan penelitian secara langsung, dari mulut orang pertama—karena saya
terbentur besarnya biaya untuk melakukan perjalanan ke Papua—saya pun memilih
melakukannya melalui tulisan.
Anak-anak pun tahu kalau
buku adalah jendela dunia. Namun bagi saya, tak hanya sebatas buku, semua
bentuk tulisan, apapun isi dan maksudnya, adalah jendela serba guna. Lewat
jendela itu saya bisa mengintip kehidupan di sebuah tanah yang belum pernah
saya jejaki, mencoba merasakan penderitaan penghuninya, dan menguping keinginan
terpendam mereka—dalam hal ini, saya pikir menguping adalah kegiatan positif.
Lewat jendela yang sama pula saya tersadarkan untuk melakukan sesuatu yang
berguna bagi mereka: membuat satu jendela baru yang semoga berguna bagi
siapapun yang membacanya. Hingga terbangkitkanlah sadar mereka, seperti sadar
saya dahulu. Sebuah kesadaran yang sangat penting, saya rasa, mengingat masih
adanya pandangan negatif dari segelintir orang yang menganggap mereka berbeda
(secara fisik, budaya, dan gaya hidup).
Satu kenyataan pahit yang
sempat membuat saya tersentak kaget dan miris, ketika menemukan betapa tidak
mudahnya orang Papua mencari rumah kontrakan atau kos di Jogja, yang sesuai
keinginan mereka, karena para pemilik kontrak dan kos-kosan (juga sebagian
besar tetangga) merasa mereka adalah sejenis tetangga yang suka bikin ribut
(baca: suka memasang musik keras-keras, berbicara keras-keras, dan bertengkar
keras-keras). Sebuah sikap yang membuat saya semakin bersemangat mengais-ngais
kisah tentang tanah leluhur mereka: Papua.
***
Tanah Tabu adalah judul yang
saya pilih untuk novel saya karena beranggapan bahwa setiap tanah yang
merupakan warisan leluhur pastilah ditabukan oleh turunannya yang berbakti.
Ditabukan dalam arti dipergunakan sesuai manfaat dan kebutuhan, serta dijaga
kelestariannya.
Dengan hanya berbekal riset
pustaka[3] dari berbagai jenis tulisan, entah dalam bentuk buku dan jurnal di
perpustakaan, atau artikel-artikel koran setempat, situs LSM lokal, bahkan blog
komunitas dan pribadi selama dua tahun, saya pun mulai menyusun informasi.
Dengan teliti, saya mencoba mengenali sumber permasalahan rakyat tanah Papua
dan menyusun kembali adegan kehidupan imajinatif yang harus mereka jalani dalam
kepala saya berdasarkan semua sumber pustaka itu. Dan untuk membantu
visualisasi, saya mencari potongan film dokumenter yang menggambarkan keadaan
masyarakat Papua di internet (biasanya milik sebuah LSM lokal atau yayasan
sosial asing), dan semakin rajin mengamati berita di televisi. Beruntungnya,
latar belakang saya yang lahir dan besar di Makassar, Sulawesi Selatan, dan
berasal dari keluarga bermacam suku (salah satu saudara nenek saya menikah
dengan orang Papua dan tinggal di sana) membuat saya dengan mudah memelajari
dan memahami aksen/logat bahasa Indonesia-Papua, yang sedikit banyak telah
dipengaruhi aksen/logat para pendatang dari Sulawesi, khususnya Bugis-Makassar.
Hingga akhirnya tibalah waktu untuk menulis.
Ada begitu banyak penulis
yang memengaruhi saya dalam berkarya. Saya telah membaca lebih dari satu kali
Anna Karenina-nya Leo Tolstoi (novel ini bagi saya sangat luar biasa dalam
pengarapan tokoh-tokohnya sehingga seolah-olah tokoh-tokoh itu punya daging dan
nyawa seperti kita), Ibunda-nya Maxim Gorki (walaupun saya tidak begitu suka
kalimat-kalimat Gorki yang mengiris ciri khas realisme sosialis, tapi saya
memuji semangat dan kejujuran Gorki dalam berkisah), The Famished Road-nya Ben
Okri ( ini novel favorit saya. Sudah saya membaca sebanyak enam kali novel ini
dan tak pernah bosan), The Name Shake-nya Jhumpa Lahiri, dan My Name is Red-nya
Orhan Pamuk (bagi saya Pamuk memang jago mendongeng tentang runtuh-bangunnya
peradaban). Dengan penuh ketakjuban, saya juga membaca kisah Minke-nya
Pramoedya Ananta Toer (dalam tetralogi Buru), kisah keturunan Jose Arcadio Buendia-nya
Gabriel Garcia Marquez (dalam Seratus Tahun Kesunyian), dan keajaiban hidup
Jean Valjean-nya Victor Hugo (dalam Les Miserables). Pun, saya tak pernah bosan
mengikuti setiap petualangan kata Ernest Miller Hemingway dengan Lelaki Tua dan
Laut, dan Salju Kilimanjaro-nya, Seno Gumira Adjidarma dengan tokoh Sukab-nya,
dan Naguib Mahfouz dengan Kisah Seribu Satu Malam-nya (walaupun Mahfoudz lahir
di Mesir, dalam karya-karyanya saya tak pernah mendapatkan dia berdakwah
tentang agamanya). Guna memperkaya kosa kata saya juga membaca puluhan buku
kumpulan puisi dan tentu saja kamus bahasa. Namun yang terjadi kemudian, ketika
tiba saatnya jemari ini mulai mengetikkan huruf demi huruf, maka yang terjadi
adalah saya menulis sesuai keinginan saya. Dengan gaya bahasa yang sesuai
dengan irama yang dimainkan kepala saya. Menggunakan kosakata yang pernah saya
dengar dan baca entah dimana. Mengeluarkan semua pengetahuan saya tentang pulau
yang jauh di ujung timur itu: Papua. Dan hasilnya, setelah melewati enam bulan masa
penulisan, novel tersebut rampunglah. Novel ala saya. Tanah Tabu. Bisa dibilang
novel ini mengikuti irama realisme magis ala saya. Dan, nantinya kalau ada
orang membaca novel ini dan ingin mencari-cari pahlawan di dalamnya, maka orang
itu akan kecewa, karena tidak ada pahlawan dalam Tanah Tabu. Atau kalau ada
yang ingin menemukan kisah percintaan, romantisme, perselingkuhan, seks dengan
segala variasinya, ataupun kutipan-kutipan dari ayat-ayat suci, maka ia pun
akan kecewa, karena di dalam Tanah Tabu hanya ada seorang bocah kecil, seekor
anjing dan babi!
Novel Tanah Tabu adalah
suara individu saya, sebagai penulis, yang merasa terpanggil untuk memotret
sekeping kebenaran yang terjadi tak jauh dari kita, tapi tersamarkan. Terlepas
dari kita yang terlalu acuh, atau realitas yang terlalu kejam, saya sangat
berharap novel saya tersebut dapat menjadi sebuah jendela yang akan
menghubungkan kita dengan kebenaran di luar sana, dengan manusia-manusia yang
terpinggirkan, dengan masalah-masalah yang sengaja ingin dilupa.
Akhir kata, saya ingin
mengutip kata Pramoedya Ananta Toer:
“Pengarang itu korps avant
garde, bukan penghibur… tugasnya melawan kejahatan dalam
tulisan-tulisannya.”
Sepenggal kalimat tersebut
terasa sangat hebat bagi saya yang masih pemula ini. Karenanya, saya coba
menjadikannya pedoman dan pemicu semangat. Mencoba menulis tanpa kenal takut.
Mencoba menulis atas nama kebenaran. Mampukah saya? Entahlah. Semoga saja.
*Lereng Merapi, Jogjakarta,
jelang 2009
No comments:
Post a Comment