Oleh: Windu W. Jusuf
KONON kabarnya, tidak ada
orang kiri di daftar calon menteri ekonomi sebelum diumumkan beberapa minggu
lalu. Alasannya bukan karena desakan oligarki—ingat, ini baru draft awal—tapi
karena memang sedikit sekali ‘calon ahli’ dari golongan kiri.
Ada satu pendapat menarik
dari nabi pasar bebas Milton Friedman seperti yang dikutip oleh Naomi Klein
dalam bukunya, Shock Doctrine (2007). Di buku itu, Klein panjang
lebar menceritakan bagaimana kebijakan pasar bebas diberlakukan di banyak
negara melalui kekerasan dan proyek-proyek rekonstruksi pasca-perang/bencana.
Yang kita lupa, pada dasarnya Shock Doctrine mengisahkan perjalanan
panjang gagasan Milton Friedman hingga menjadi kenyataan. Kata-kata Friedman
saya kutip agak panjang:
“Hanya krisislah—sungguhan
atau dibayangkan—yang menciptakan perubahan nyata. Ketika krisis terjadi,
tindakan-tindakan yang diambil akan bergantung pada ide-ide yang bersliweran di
sekitarnya. Saya percaya di situlah kerja kita yang sesungguhnya: mengembangkan
alternatif untuk kebijakan-kebijakan yang ada, menjaganya tetap hidup dan siap
pakai sampai kondisi yang mustahil secara politis berubah menjadi kondisi yang
tidak terhindarkan secara politis.”
Alkisah, dari paguyuban
Mont Pellerin Society, sejak akhir 1940an, Friedman mempopulerkan gagasannya ke
kampus-kampus di seluruh dunia, dengan sokongan lembaga-lembaga akademik dan
korporasi-korporasi raksasa dari Paman Sam. Selanjutnya, setahap demi setahap
kita menyaksikan perubahan besar, khususnya mulai di Chile sejak Allende dikudeta:
orang-orang yang memegang pos-pos penting perekonomian dan keuangan adalah Los
Chicago Boys, anak-anak ideologis Friedman, Mafia Berkeley-nya Chile. (Hei,
kapan kita bisa menciptakan ‘Mafia Caracas?’).
Sampai di sini Anda
mungkin akan bertanya: bukankah gagasan Friedman bisa mapan karena ditopang
teror, penghilangan massal, dan pembungkaman gerakan rakyat?
Tidak ada keraguan
sedikitpun tentang mesranya Friedman dan Pinochet. Tapi bukan di situ
poinnya—dan kalaupun faktor koersi (termasuk di dalamnya kekerasan fisik) jadi
pemakluman untuk tidak menganggap Friedman secara serius, sekarang keputusan
politik mana di dunia ini yang tidak mengandaikan paksaan, entah itu bersumber
dari tentara maupun dari … kekuatan massa-rakyat?
Pokoknya adalah, Bung dan
Nona, Friedman tekun memproduksi sebanyak-banyaknya ‘kader pengetahuan’ yang
berdedikasi, di saat politik sayap kanan tak laku di massa-rakyat. Pilihannya
tepat: organisir kampus, ambil-alih administrasinya, rebut posisi di editorial
jurnal-jurnal akademik, jangan malu-malu masuk ke pos-pos penting di
pemerintahan, tunggu saat yang tepat untuk bertindak besar.
Pelajaran dari Friedman
ini menjadi penting ketika gerakan progresif gagal, meminjam ucapan Sakirman,
orang Politbiro PKI, ‘menggunakan setjara maksimal “djalan dari atas”,’ supaya
anasir-anasir ‘anti-Rakjat dalam negara dapat disingkirkan atau se-kurang2nja
digerogoti, dan dipereteli sehingga mendjadi lumpuh samasekali.’
Tentu ada banyak faktor
eksternal yang menentukan apakah seseorang bisa menempati posisi strategis dan
bertaktik dari dalam. Namun pada kasus daftar calon menteri itu, sedikitnya
pilihan nama menunjukkan problem yang gawat: orang kiri yang sungguh-sungguh
mendalami ‘ekonomi-politik borjuis’ adalah endangered species. Nyaris
punah. Segala obrolan serius tentang ekonomi di kalangan kiri umumnya baru
lebih marak ketika pemerintah mengumumkan akan menaikkan harga BBM, ketika
tuntutan kenaikan UMR ditolak, atau belakangan, ketika penduduk dusun A terusir
dari kampungnya lantaran perusahaan B ingin membangun pabrik. Biasanya kita
langsung teriak: ‘Ini gara-gara kapital!’, ‘Modal asing!’, ‘Nasionalisasi
industri minyak!’ serta serapah khas kiri lainnya.
Advokasi memang
mahapenting. Tapi di luar itu, sebuah proposal kebijakan yang solid pastinya tidak
akan lahir dari umpatan-umpatan berbumbu teori siap-pakai—apalagi sambil
marah-marah. Maka, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ketika kader-kader
Friedman sukses menurunkan filsafat sang guru ke dalam kebijakan yang konkret,
banyak kelompok kiri nusantara malah merasa puas diri sudah bisa marah-marah
dengan meniru gaya memaki ala Lenin, Trotsky, anarkis Eropa abad 19—well, the
usual gang.
Belajar dari Friedman
pula, gerakan kiri nampaknya harus mengikis kebiasaan buruk lainnya, yakni
menjadikan perjuangan akar rumput sebagai fetish, jimat, mantra,
seakan-akan semua persoalan akan rampung dengan mengorganisir (pengetahuan) di
basis buruh dan tani. Jeleknya, kebiasaan ini tak jarang beriringan dengan
melabeli lembaga-lembaga mapan seperti kampus sebagai najis, borjuis, elit,
kelas menengah, apolitis, wadah kariris—tak usah heran kalau banyak kampus hari
ini administrasinya dikuasai PKS.
Bahwa buruh dan tani
adalah soko-guru perjuangan, itu benar. Bahwa kampus semakin lama semakin
dihuni orang-orang brengsek, itu juga benar. Namun, fakta keras bicara lain:
kampus masih dipercaya memberikan jasa konsultasi kebijakan publik yang akan
berdampak pada jutaan orang. Fetisisme terhadap akar rumput ini sebetulnya
berkebalikan namun senada dengan fetisisme liberal, bahwa yang paling penting
adalah berpolitik secara prosedural serta berpolitik lewat argumen moral ala
cendekiawan Kompas dan Tempo.
Pendeknya—tentu tanpa
menihilkan peran pengorganisiran massa—kita butuh ‘teknokrat kiri’, yang
mungkin akan lebih sering bekerja secara tradisional di balik meja dengan
ribuan data dan analisis, menggali sumber pengetahuan di tempat-tempat tak
terduga, mempersiapkan planning jangka panjang. Kerja-kerja yang
dapat dipastikan tidak seksi, tidak glamor, jauh dari kesan romantik, dan
seringkali sunyi dari slogan-slogan sangar. Tanpa kerja-kerja ini, politik kiri
akan sulit dibedakan dari keributan sia-sia di jalanan dan propaganda tanpa
program.
Tapi kan itu ‘nggak
ngorganik’?
Ah, ketika sekarang kita
menyebut ‘(intelektual) organik’, seringkali yang kita maksud adalah
‘heroik’—barangkali juga nekat.
Tapi spesialisasi itu kan produk
kapitalisme, orang kan mustinya bisa ‘berburu di pagi hari, memancing
di siang hari, beternak selepas ashar, dan jadi kritikus sastra waktu dinner?’
Tolong diingat baik-baik,
Bung dan Nona: itu baru bisa kejadian kalau masyarakatnya sudah mutlak kuminis.
Maka tantangan Friedman
harus sungguh-sungguh diseriusi, apalagi ketika aktivitas yang konon paling
intelektual di kiri adalah mempelajari dokumen dan keputusan politik
partai-partai kiri antah berantah yang mayoritas sudah bubar, tanpa keakraban
dengan luasnya kajian sejarah dan sosiologi masyarakat setempat.
Apa yang mau diharapkan
dari diskusi yang membatasi diri dengan referensi-referensi antagonis seperti
Revolusi 1917, Perang Sipil di Spanyol, atau peristiwa-peristiwa global
kekinian yang sengaja ditarik-tarik, dipas-paskan dengan konteks politik lokal,
dan akhirnya hanya minta ditertawakan? Tradisi macam apa yang ditawarkan dari
kiri yang sibuk bertengkar tentang siapa jagoannya yang lebih superior secara
moral (atau yang paling ‘anti-hirarki’): Marx atau Stirner, Lenin atau Stalin,
Lenin atau pelaut-pelaut kronstadt, Stalin atau Trotsky—atau meributkan
identitas kedirian yang sama sekali tidak relevan untuk dijawab: apakah
Soekarno borjuis kecil atau bukan?
Siapapun yang sempat
mengalami masa puber di era 1990an sangat paham dengan kebiasaan-kebiasaan
macam itu. Ini tradisinya penggemar Nirvana dan Guns ‘N Roses di Indonesia yang
saling bertengkar karena Kurt Cobain dan Axl Rose sempat baku-pukul di Amerika
sana. Tentu tidak semua penggemar Nirvana dan GnR berperilaku buruk seperti di
atas—itu namanya fans sontoloyo, yang secara kultural sebelas-duabelas dengan
‘kiri sontoloyo.’
Kalau Anda rajin main ke
pasar loak, sampai saat ini buku-buku terbitan Soviet Uni masih sering
ditemukan. Topiknya bukan cuma ajaran Marx, Lenin, dan the usual gang,
tapi juga buku-buku pertanian, perbankan, permesinan, prinsip-prinsip alat
bubut, kemiliteran, dan ketrampilan lain yang tidak wah dalam
ukuran-ukuran pembicaraan ala kiri, tapi dipelajari di sekolah-sekolah yang
didirikan PKI.
Maka, dibandingkan dengan
besarnya minat belajar di tahun-tahun ketika PKI masih punya sekolah, nampaknya
persoalan kita kini tidak sebatas minimnya spesialis di bidang ekonomi, tapi
jauh lebih gawat lagi, minimnya pemikir-ahli dalam segala bidang termasuk, well,
kebudayaan. Memang banyak orang kiri yang semangat bicara kebudayaan, tapi
terlalu malas memelototi berkardus-kardus halaman legislasi di arsip kementrian
kebudayaan, apalagi berurusan dengan birokrasi ngehek di sana.
Dijamin—baiklah, ini
otokritik—saya pun malas.***
*) Kutipan Lenin yang
dipajang di tiap ruang kelas sekolah-sekolah Rusia, sekurang-kurangnya sejak
1922.
sumber: indoprogress.com/2014/11/belajar-belajar-belajar/