Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
...Akuilah, sebuah buku lebih baik daripada benda
kecil tolol...
(Irene Tanurajaya, Balon
Merah)
Buku
Balon Merah karya Irene Tanurajaya
adalah sisi lain yang berbeda 360 derajat dari mahzab sastra yang sering saya
baca. Saya termasuk orang yang jarang membaca sastra atau novel populer. Tetapi
saya senang membaca novel dengan spirit tertentu. Spirit itu, jika saya
meminjam Pram, adalah spirit ausdaure.
Setiap daya-tahan (ausdaure) selalu
membangkitkan imajinasi yang melampaui. Kita tidak akan lagi berada dalam batas
pertanyaan eksistensial yang kadang tidak terjawab, dan mulai melupakan
perjalanan eksistensial itu sendiri sebagai sebuah kisah yang menguatkan batin.
Pertemuan saya dengan novel Balon Merah, kalau tidak salah,
pertengahan tahun 2013 saat sebuah paket kirim berisi buku Balon Merah datang ke Rumah Baca Komunitas (RBK) kami.
Paket buku itu dibungkus menarik. Lengkap
dengan permen-permen, yang menurut pengirim—Irene—ditujukan untuk “anak-anak”
di komunitas kami. Balon Merah adalah
novel karangan Irene untuk anak-anak yang pertama kali diterbitkan.
Irene, menawarkan sebuah imajinasi.
Tentang hal-hal kecil. Tentang tarian pohon yang jarang diperhatikan. Atau
tentang keindahan suatu wujud yang tak diperkirakan. Dalam bahasa, dibiarkannya
menemukan ekspresi; rumit, sederhana atau selesai. Itu terserah. Tapi
tampaknya, bahwa kata, dalam Balon Merah,
menemukan rekannya sendiri. Menemukan makna bersama rasa penasaran pembaca
pada setiap lembar.
Saya membayangkan Irene menuliskannya
dengan imaji yang otentik. Karena dia mencoba masuk ke dalam keingintahuan yang
khas. Keingintahuan itu lazim secara sarkastik dianggap polos, lugu atau
semacamnya. Tetapi keingintahuan itu sendiri adalah proses menguliti makna
melalui cara yang otentik. Menelusuri pengalaman dan kata. Sebagai yang
bersatu, kata dan pengalaman adalah kewajiban dari pengalaman ontologis
manusia.
Yang menarik bagi saya, Irene menyinggung
tentang petani, peternak dan pekerja. Suatu kelas yang kadang-kadang dikutip
bersama ironi. Tetapi pengungkapan Irene, “...ini adalah saat ketika para petani, peternak, dan pekerja...kau bisa
menari, walau kau tahu kau adalah penari yang buruk.” Tidak tentang
toleransi sisipus, tetapi tentang kebebasan yang klasik. Kebebasan yang
direngut oleh kapitalisme. Dan kebebasan yang tercerabut. Suatu citra singkat
tentang masyarakat.
Irene tidak bercerita dari konsep “tidak”, seperti kebanyakan penulis
pada umumnya. Irene mulai dari membuka harapan. Suatu narasi pada umumnya dari
penulis novel senang bermain antara yang seharusnya dan kenapa yang “tidak”
selalu terjadi. Dan sembari menunggu, Irene bermaksud dalam kalimat yang jenaka
“Apa? Cerita ini akan membosankan? Oh,
lihatlah diri kalian. Sepanjang hari menatap benda kecil...hanya menatap layar
benda itu berjam-jam...”. Irene mengelitik kesombongan dewasa manusia. Tingkat dimana
manusia meremehkan kontemplasi. Atau membiarkannya sebagai hasil yang terserak.
No comments:
Post a Comment