Pagihari ini langit tak bermendung sdikitpun. Iya terlihat biru laksana lautan hindia yang berpindah tempat menuju cakrawala. sehingga matahari dengan bebasnya memancarkan senyumannya tanpa ada yg menghalangi. Nampaknya hati ini tak selaras dengan keadaan ini. Sedih dan gundah terasa mengiris hati. Bukan karena aku tak suka sinar sang surya,..bukan....
Untuk pertama kalinya kuakui sebuah novel telah mampu membawaku bahkan jauh menyeretku ke dalam kisah masa silam tentang romantika percintaan, perlawanan, penindasan, bahkan hrga diri seorang pribumi. Kisahnya lebih indah dari kisah-kisah lakon Drama manapun bahkan Drama korea yang sering kutonton itu.
Iya...itulah tulisan yang disusun berbentuk novel yang diberi judul oleh penulisnya Pramoedya Ananta Toer " bumi manusia". Sebuah novel bergenre historis yang mampu menyihir dunia akan indahnya permainan kata- kata dan kisah yang dilukiskan oleh penulis.
Begitu berat rasanya jadi orang pribumi yang hidup di bawah bayang-bayang kolonialisme kala itu. Minke yang harus kehilangan istri karena Hukum Belanda, Nyai ontosoroh yang harus kehilangan anaknya Rober mallhamer dan Annelies dan harta hanya karena ia seorang pribumi. Penindasan yang dapat kubayangkan pedihnya.
Penindasan pribumi kemudian sejenak berhenti dengan deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semua menyambutnya dengan suka cita, Namun bapak proklamator mengingatkan " kemerdekaan ibarat sebuah jembatan, di seberangnya terbentang dua jalan, jalan sma rata sama rasa dan jalan sama ratap sama tangis". Nampaknya kata-kata itu bak ramalan seorang juru ramal yang tak meleset sdikitpun. Kata-kata itu bukan bualan belaka, ini benar-benar terjadi. Jalan sma rata sma rasa hanya dinikmati segelintir orang, sedangkan jalan sma ratap sma tangis terdengar menggelegar hampir di seluruh penjuru negeri.
Penindasan demi penindasan terjadi tiada henti. kasus nenek Minah, kasus pembakaran hutan, kasus sengketa lahan kulonprogo, pabrik semen Rembang, penggusuran lahan penduduk demi pendirian bangunan Hotel meminjam bahasa Abdur "kami menolak Lupa". Aduhai Luar biasa memang penindasan itu. Kemiskinan kian merajalela karena rakyat tak punya pekerjaan. pedih memang pedih, yang lebih pedihnya karyawan- karyawan asing malah dengan enaknya masuk bekerja di bumi pertiwi. Nampaknya kolonialisme nonformal mulai menggerus bangsa ini.
Ada juga prestasi gelap pemerintah, yaitu mampu menurunkan kemiskinan. Megutip lelucon Cak Lontong" kemiskinan menurun dari nenek menuju anak kemudian cucu". Ah lelucon itu memang menggelitik perut sekaligus mengurai air mata.
Ikong, Yogyakarta 23 Januari 2016
Saturday, January 23, 2016
Matinya Kota
#urbanliteracycampaign
I David Efendi
di Indonesia,
rata-rata umur kota antara 200 sampai 400 tahun dengan segala warisan masa
lalu, kisah kekerasan, dan juga pengalaman mengalami kebudayaan. Kebudayaan
kota ditentukan oleh bagaimana kota tersebut mampu memberikan kedamaian,
ketentraman, dan kesejaheteraan warga kota. Ibnu khaldun mendefinisikan kota
sebagai tempat tinggal yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa begitu puncak
kemewahan yang diinginkan tercapai. Jadi, hanya orang ‘kaya’ yang bisa bertahan
di Kota. Seiring dinamika politik dan ekonomi, muncul juga hasrat kompetisi
yang menyebabkan kota dirundung konflik dan perang. Nafsu akumulasi kapital
merasuk ke dalam pikiran banyak orang kota sehingga terjadilah apa yang disebut
Garreth Hardin (1965) sebagai tragedy of
the common.
Kota secara alamiah
semakin menua dan rapuh akibat gelombang zaman. Dr. David Kilcullen, a
Non-Resident Senior Fellow di lembaga Pusat Keamanan Amerika Baru menuliskan:
“Rapid urbanization creates economic, social and governance chal-
lenges while simultaneously straining city infrastructure, making the most
vulnerable cities less able to meet these challenges. The implications for
future conflict are profound, with more people fighting over scarcer resources in crowded, under-serviced and
under-governed urban areas.”
Di Indonesia, fenomena
hijrah dari desa ke kota, desa yang menjadi kota menjadikan persoalan sosial
ekonomi tak tertanggulangi. Kota menanggung beban besar sementara desa yang
seharunya memperkuat sektor agararis banyak ditinggalkan. Perkembangan ekonomi
di desa terlalu lamban dan tidak sanggup memenuhi hasrat berkonsumsi
manusianya. Kota menjadi pilihan. Peperangan pun dimulai: gelandangan,
premanisme, pengangguran, dan buruknya sanitasi. Apakah masih ada masa depan
untuk kota manusia? Pertama kita bicarakan paradigma yang mempengaruhi sistem
kota dan kekacauan-kekacauan yang membutuhkan solusi nyata dan tepat.
Konstelasi peradigma
Banyak sumber tulisan
mengarahkan pada kesimpulan bahwa di dalam kota itu embedded konflik di
dalamnya. Hal ini mendapatkan pijakan faktanya bahwa di kota lebih dipahami
sebagai arena pertempuran kapital atau sumber kesejahteraan. Pertempuran ini
seperti perang, ada pertempuran semut melawan semut, gajah melawan gajah, ada
juga peperangan menjadi asimteris bahkan ada jenis pertempuran yang tidak
diketahui siapa yang sedang dilawan. Mekanisme pasar itu adalah setan yang tak
kelihatan (invisible devil). Hal ini
menjadikan situasi perang semua melawan semua yang pernah dituliskan oleh
Thomas Hobbes menjadi kenyataan pahit kehidupan manusia kota kontemporer—homo
homini lupus. Kota-kota di indonesia sedang panen persoalan ini sebagai
konsekuensi dari status ‘the emerging city’.
Untuk menjelaskan hal
ini, bisa kita tengok dua paradigma pembangunan yang diyakini para
penyelenggara pemerintahan khususnya pembangunan perkotaan. Kedua cara pandang
tersebut adalah paradigma ekologi dan paradigma ekonomi-politik.
Tulisan ini akan mendiskusikan
satu persatu bagaimana kedua paradigma ini diyakini, dipekerjakan, dan
dihibridasi sedmeikian rupa dalam kehidupan kekinian. Pertama, adalah paradigma
ekologi. Paradigma ekologi bertolak dari kacaunya antroposentrisme yang
menjadikan pembangunan itu mengancam ekosistem yang ada. Paradigma ini
memberikan aturan main bahwa pembangunan harus mengakomodir beragam kebutuhan
lingkungan untuk sama-sama berdampingan dengan aktifitas manusia modern. Kedua
adalah paradigma ekonomi-politik. Paradigma ini sangat dominan sejak dulu
dimana beragam proyek tekhnokratis dihasratkan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas politik. Hal ini kerap kali menggelincirkan situasi tata
kelola kota sebagai politics as bussiness as usual—yang menerabas beragam etika
dan kedaulatan ekologis. Dari posisi ini sebenarnya, muncul beragam kritik atas
hukum besi perencanaan pembangunan tekhnokratik. Hukum besi yang tidak ramah
kepada manusia—terutama kelompok rentan: kaum miskin kota, perempuan, dan
anak-anak.
Matinya kota?
Kota yang oleh Khaldun
disebut sebagai “locus of civilization” artinya kota hari ini bukanlah gejala
modernitas. Peradaban selalu melahirkan kota dari ribuan tahun silam. Kota yang
beradab akan memungkinkan penduduknya memperoleh keamanan, kedamaian, dan
kesejahteraan. Ketiga hal ini semakin sulit digapai dalam kota yang padat,
panas, kemacetan, ruang publik yang sempit, banyak kemiskinan di berbagaisudut
kota dan pendidikan yang tak mengembangkan kebudayaan. Kota seperti mengalami
involusi. Hal-hal yang ideal mengenai ‘tomorrow of city’ atau the city of hope
sebagiamana yang dibayangkan warganya tak gampang ditemui. Justru stress dan
frustasi yang melanda.
Dalam sejarah manusia,
ada beberapa contoh kota yang punah yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun seperti
kota yang airnya membusuk/tidak mengalir yang kemudian bertransformasi menjadi
wabah penyakit di Maroko, juga ada beberapa kota yang musnah karena perang
sipil tak berkesudahan. Air, terutama dan paling utama, adalah harta paling
berharga yang menjadikan kota akan tetap hidup dan tumbuh. Jika salah urus air,
misalnya dengan privatisasi membabi buta, maka ada ancaman serius kota ini akan
punah—setidaknya punah manusianya dan hanya kelas tertentu yang memenangkan
pertempuran kota. Yugoslavia dan bosnia adalah contoh kota yang hilang, bagdad
menyusul. Dalam konteks yang lebih spesifik, ada juga kota yang mulai ditinggalkan
manusia seperti Jakarta. Ke jakarta hanya mencari uang, hidup lebih menjanjikan
ditempat lain.
Untuk mencegah kota
mati terlalu cepat dibutuhkan kerjasama yang sangat erat antara kelompok
pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku dunia bisnis. Di sektor pemerintah
diperlukan pemerintahan yang inklusif, membuka ruang partisipasi, mewujudkan
nilai-nilai keadilan, menyediakan pelayanan publik yang bagus,
mengimplementasikan model-model smart city yang relevan seperti connectifity,
tekhnologi infrormasi, dan di saat yang sama tetap mengapresiasi beragam
nilai-nilai kebudayaan yang selama ini masih dirawat dan dihargai oleh
masyarakat kota. Menjadi modern dan smart, tak selalu identik dengan proses
negasi terhadap keberadaan infrastruktur kebudayaan dan kearifan lokal.
Ambisi modernitas tak
boleh melanggar nilai-nilai yang menjadi keyakinan dasar manusia yang
menghuninya. Di jawa, misalnya, ada nilai-nilai keguyuban, nilai-nilai tepo
seliro (toleran), simbol-simbol arsitek dan sebagainya. Ini tak bisa dilanggar
sebagai konsekuensi dari kebudayaan. Kecuali memang seluruh isi kota bersepakat
untuk meninggalkan kebudayaan lamanya.
David
Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban
Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja
dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.
Gerakan Membunuh Jogja
#urbanliteracycampaign
I David Efendi
“...biar
bagaimana pun hastag#gerakanmembunuhjogja telah membuat huru hara di jogja...”
--Testimoni Gamatriono
Hastag
#gerakanmembunuhjogja awalnya dimaksudkan untuk kalimat satire pengganti bahwa
kami tak rela Yogyakarta dibunuh secara mengenaskan oleh brutalnya kapitalisme
dalam praktik bussiness as usual yang
diamini oleh rezim tekhnokrasi baik pemerintahan kota maupun DI Yogyakarta pada
umumnya. Pemerintahan berkelindan lintas level dan juga berkelindan dengan
berbagai aktifitas ekonomi dari bussiness society. Jadi hancur leburnya
perkotaan dan perdesaan di DIY ini tidak bisa kita alamatkan kepada walikota
semata tetapi semua penguasa termasuk dua institusi pengambang budaya dan
tradisi yaitu kraton ngayogyakarta dan Pakualaman.
Beberapa
teman mengatakan gerakan ini bagus tetapi orang ‘awam’ bisa salah paham bahwa
gerakan ini sulit dimengerti dengan hastag #gerakanmembunuhjogja dikira ini
gerakan yang negatif. Saya bisa memahaminya dengan munculnya beberapa
pertanyaan di twitter dengan meminta penjelasan. Di sisi lain, ada diskusi di
group instagram dan facebook yang memperlihatkan pemahaman cukup bagus mengenai
gerakan berbasis social media ini. Saya sangat mengapresiasi apa pun responnya
karena saya sendiri tidak menduga akan menjadi pembicaraan di dunia maya—sampai
dishared sebanyak lebih dari 1400 kali dan 500 kali (dua status yang sama) yang
saya posting tanggal 23 Desember 2015 silam. Respon yang sangat baik di twitter
salah satunya mengatakan #gerakanmembunuhjogja mencegah kota bunuh diri dengan
puluhan kali diretwiit. Lalu apa sebenarnya? Beberapa apresiasi di atas tak
jauh dari pikiran liar yang tumbuh di sarang kepala saya.
Namun
demikian, dalam kesempatan ini saya ingin berbagi dengan dinamika gerakan
membunuh jogja ini. Pertama, sabotage jenis ini sangat dipengaruhi oleh
kehidupan saya yang dekat dengan kota karena saya penduduk kota. Penegasan saya
sebagai penduduk kota jogja ini penting ketika beberapa orang inbox di FB saya
mengatakan bahwa saya hanyalah pengamat yang hanya bisa sumpah serapa. Beberapa
saya balas, saya warga kota jogja secara legal jadi saya pikir saya bukan
pengamat. Sejak beberapa tahun silam saya sering memfoto beragam gerakan
grafiti di tembok-tembok kota, juga di media online. Selain itu saya juga
memperhatikan gelandangan, pengemis, anak jalanan, loper koran difable, dan beragam
jenis kekerasan yang dialami perempuan di Yogyakarta. Buruknya sanitasi kota
sehingga gampang banjir, juga banalitas jalanan yang menggerus pedestrian side
yang sangat mencelakai pejalan kaki terutama kaum difable. Ini adalah bagian
kota yang luar biasa penting tetapi diabaikan begitu saja. Tidak banyak yang
berteriak lantang. Saya kira banyak status di social media mengutuk kekurangan
tata kota di jogja. Hanya kritiknya sangat private, tersembunyi, dan tak
teorganisir.
Jika
pemerintah kota sensitif, harusnya banyak complain di media sosial menjadi
rujukan untuk memperbaiki keadaan. Zaman sekarang, meminjam Gunawan Muhamad,
“...membela yang benar tidak cukup disimpan di dalam hati.” Ini benar menjadi
spirit kita semua untuk melakukan apa yang bisa dan mungkin kita lakukan. Untuk
meneriakkan kejahatan praktik pengelolaan pemerintah tak perlu menungu sejuta
orang. Ini sangat mendesak, karena kerusakan ekologi, banalitas kekuasaan itu
selalu nyata.
Kedua,
kehadiran individu-individu berdaya yang ada di Yogyakarta bener-bener
menggembirakan saya. Teman-teman yang aktif di “jogjaasat #wargaberdaya
#jogjaoradidol dan peran[peran lainnya yang tak terendus oleh media meanstream.
Kreatifitas kelompok-kelompok yang berjuang menahan kota dari tenggelam ke
dalam lumpur dengan poster poster yang mewaraskan akal sehat. Kehadiran, untuk
menyebut beberepa, Dodok dan Elanto selalu mengingatkan saya pada sepak terjang
individu seperti Al Gore yang menentang beragam kebijakan Amerika dalam ekspansi
perusahaan yang dianggapnya mengancam kedaulatan ekologi. Di Jogja, kelompok
yang saya sebut sebagai warga berdaya (super citizens) ini bukan hanya teriak
soal degradasi air akibat rakusnya bisnis perhotelan dan cahar budaya, mereka
juga memikiran masa depan kebudayaan dan juga etika jalanan (moge yang
dihadang, konvoi pilkada yang dipetisikan). Kesadaran atas persoalan riil dan
sikap otonom merupakan ciri khas dari warga berdaya. Dengan demikian, potensi
untuk menjadi alat kontrol atas beragam kebijakan yang diterapkan di daerah.
Ketiga, untuk
menjawab mengapa melalui sosial media?wasapp? mengapa facebook?(pemantik).
Kekuatan sosial media sangat luar biasa. Hampir semua orang berurusan dengan
minimal satu akun dimiliki dan diupdate secara reguler. Dengan demikian, banyak sekali pembaca yang
akan mendapatkan pengetahuan baru tentang apa yang sedang terjadi di kota
jogja. Setidaknya mereka akan yakini bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Diam
diam terkonsep dalam dirinya tentang apa yang disebut sebagai ‘living within truth’
sehingga dia akan berpotensi menolak kerusakan (bencana, human-made disaster) yang disengaja oleh suprastruktur (modal, atau
kuasa politik). Sebagai metode perlawanan, social media yang paling
memungkinkan untuk memviralkan ketakutan atau kesadaran bersama-rasa memiliki
kota. Selain murah, ini adalah medium yang paling kecil resikonya. Perasaan
saya, jauh lebih banyak yang support kepada gerakan menyelamatkan kota
ketimbang yang kontra. Kebaikan akan berdampak kebaikan. Ini adalah keyakinan
bukan sekedar jargon kosong.
Terakhir,
saya ingin menjawab mengapa diksi pilihannya #gerakanmembunuhjogja? Kenapa
tidak yang positif seperti #janganbunuhjogja #savejogja, dan banyak lagi kata
yang positif. Tentu ini pertanyaan menarik bagi saya dan saya gembira karena
sudah banyak dibicarakan di group wasapp Rumah Baca Komunitas. Diksi
membunuhjogja itu adalah kata yang menghentak ketika kita merasa buntuh. Orang
baik seolah jauh lebih lambat membangun,s ementara perusak kota itu liar luar
biasa akselerasinya. Jadi, bunuh saja kota ini. Orang baik sudah mati, kalah
dan menyerah. Nada putus asa ini secara peyoratif dapat membangun kesadaran
sebaliknya. Kita harus lawan! Kita banyak dan berlipat. Ini imajinasi yang
muncul.
Banyak respon
dan saya merasa beruntung dengan beragam masukan. Ada yang memberikan saran,
setelah akun gerakan membunuh jogja diblokir dan spasca huru-hara tentu ada
baiknya dibuat suatu website yang support untuk pemberian pengetahuan berbasis
data dan menggalang kekuatan baru untuk menjaring silent majority. Gagasan ini
penting sekali. Saya pribadi menyampaikan apresiasi kepada Mas Gama, Mas Adim,
Dolah, arya, Cak Abdullah, Mas Iwan, dan teman-teman lainnya yang turut
memikirkan upaya penyelamatan kota dari kepunahan yang tak dikehendaki.
Prinsip
gerakan yang saya fikirkan adalah tanpa pengorganisasian yang formal, kecil,
lincah, fleksibel, sporadis, tanpa pimpinan. Setiap orang punya cara melawan
dan melakukan upaya pembelaan terhadap hidup: tanah dan airnya. Maka,
bergeraklah seperti apa yang engkau inginkan bukan karena orang lain yang
paksakan. Gerakan no leader just together...mengawal
akal sehat karena akal sehatlah yang menjadikan kita berada di posisi yang
sama. We are 99%, kira-kira begitu jargon yang pernah kita lihat di media online
di benua Amerika: occupy wall street!.
David
Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat
Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di
Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...