#urbanliteracycampaign
I David Efendi
“...biar
bagaimana pun hastag#gerakanmembunuhjogja telah membuat huru hara di jogja...”
--Testimoni Gamatriono
Hastag
#gerakanmembunuhjogja awalnya dimaksudkan untuk kalimat satire pengganti bahwa
kami tak rela Yogyakarta dibunuh secara mengenaskan oleh brutalnya kapitalisme
dalam praktik bussiness as usual yang
diamini oleh rezim tekhnokrasi baik pemerintahan kota maupun DI Yogyakarta pada
umumnya. Pemerintahan berkelindan lintas level dan juga berkelindan dengan
berbagai aktifitas ekonomi dari bussiness society. Jadi hancur leburnya
perkotaan dan perdesaan di DIY ini tidak bisa kita alamatkan kepada walikota
semata tetapi semua penguasa termasuk dua institusi pengambang budaya dan
tradisi yaitu kraton ngayogyakarta dan Pakualaman.
Beberapa
teman mengatakan gerakan ini bagus tetapi orang ‘awam’ bisa salah paham bahwa
gerakan ini sulit dimengerti dengan hastag #gerakanmembunuhjogja dikira ini
gerakan yang negatif. Saya bisa memahaminya dengan munculnya beberapa
pertanyaan di twitter dengan meminta penjelasan. Di sisi lain, ada diskusi di
group instagram dan facebook yang memperlihatkan pemahaman cukup bagus mengenai
gerakan berbasis social media ini. Saya sangat mengapresiasi apa pun responnya
karena saya sendiri tidak menduga akan menjadi pembicaraan di dunia maya—sampai
dishared sebanyak lebih dari 1400 kali dan 500 kali (dua status yang sama) yang
saya posting tanggal 23 Desember 2015 silam. Respon yang sangat baik di twitter
salah satunya mengatakan #gerakanmembunuhjogja mencegah kota bunuh diri dengan
puluhan kali diretwiit. Lalu apa sebenarnya? Beberapa apresiasi di atas tak
jauh dari pikiran liar yang tumbuh di sarang kepala saya.
Namun
demikian, dalam kesempatan ini saya ingin berbagi dengan dinamika gerakan
membunuh jogja ini. Pertama, sabotage jenis ini sangat dipengaruhi oleh
kehidupan saya yang dekat dengan kota karena saya penduduk kota. Penegasan saya
sebagai penduduk kota jogja ini penting ketika beberapa orang inbox di FB saya
mengatakan bahwa saya hanyalah pengamat yang hanya bisa sumpah serapa. Beberapa
saya balas, saya warga kota jogja secara legal jadi saya pikir saya bukan
pengamat. Sejak beberapa tahun silam saya sering memfoto beragam gerakan
grafiti di tembok-tembok kota, juga di media online. Selain itu saya juga
memperhatikan gelandangan, pengemis, anak jalanan, loper koran difable, dan beragam
jenis kekerasan yang dialami perempuan di Yogyakarta. Buruknya sanitasi kota
sehingga gampang banjir, juga banalitas jalanan yang menggerus pedestrian side
yang sangat mencelakai pejalan kaki terutama kaum difable. Ini adalah bagian
kota yang luar biasa penting tetapi diabaikan begitu saja. Tidak banyak yang
berteriak lantang. Saya kira banyak status di social media mengutuk kekurangan
tata kota di jogja. Hanya kritiknya sangat private, tersembunyi, dan tak
teorganisir.
Jika
pemerintah kota sensitif, harusnya banyak complain di media sosial menjadi
rujukan untuk memperbaiki keadaan. Zaman sekarang, meminjam Gunawan Muhamad,
“...membela yang benar tidak cukup disimpan di dalam hati.” Ini benar menjadi
spirit kita semua untuk melakukan apa yang bisa dan mungkin kita lakukan. Untuk
meneriakkan kejahatan praktik pengelolaan pemerintah tak perlu menungu sejuta
orang. Ini sangat mendesak, karena kerusakan ekologi, banalitas kekuasaan itu
selalu nyata.
Kedua,
kehadiran individu-individu berdaya yang ada di Yogyakarta bener-bener
menggembirakan saya. Teman-teman yang aktif di “jogjaasat #wargaberdaya
#jogjaoradidol dan peran[peran lainnya yang tak terendus oleh media meanstream.
Kreatifitas kelompok-kelompok yang berjuang menahan kota dari tenggelam ke
dalam lumpur dengan poster poster yang mewaraskan akal sehat. Kehadiran, untuk
menyebut beberepa, Dodok dan Elanto selalu mengingatkan saya pada sepak terjang
individu seperti Al Gore yang menentang beragam kebijakan Amerika dalam ekspansi
perusahaan yang dianggapnya mengancam kedaulatan ekologi. Di Jogja, kelompok
yang saya sebut sebagai warga berdaya (super citizens) ini bukan hanya teriak
soal degradasi air akibat rakusnya bisnis perhotelan dan cahar budaya, mereka
juga memikiran masa depan kebudayaan dan juga etika jalanan (moge yang
dihadang, konvoi pilkada yang dipetisikan). Kesadaran atas persoalan riil dan
sikap otonom merupakan ciri khas dari warga berdaya. Dengan demikian, potensi
untuk menjadi alat kontrol atas beragam kebijakan yang diterapkan di daerah.
Ketiga, untuk
menjawab mengapa melalui sosial media?wasapp? mengapa facebook?(pemantik).
Kekuatan sosial media sangat luar biasa. Hampir semua orang berurusan dengan
minimal satu akun dimiliki dan diupdate secara reguler. Dengan demikian, banyak sekali pembaca yang
akan mendapatkan pengetahuan baru tentang apa yang sedang terjadi di kota
jogja. Setidaknya mereka akan yakini bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Diam
diam terkonsep dalam dirinya tentang apa yang disebut sebagai ‘living within truth’
sehingga dia akan berpotensi menolak kerusakan (bencana, human-made disaster) yang disengaja oleh suprastruktur (modal, atau
kuasa politik). Sebagai metode perlawanan, social media yang paling
memungkinkan untuk memviralkan ketakutan atau kesadaran bersama-rasa memiliki
kota. Selain murah, ini adalah medium yang paling kecil resikonya. Perasaan
saya, jauh lebih banyak yang support kepada gerakan menyelamatkan kota
ketimbang yang kontra. Kebaikan akan berdampak kebaikan. Ini adalah keyakinan
bukan sekedar jargon kosong.
Terakhir,
saya ingin menjawab mengapa diksi pilihannya #gerakanmembunuhjogja? Kenapa
tidak yang positif seperti #janganbunuhjogja #savejogja, dan banyak lagi kata
yang positif. Tentu ini pertanyaan menarik bagi saya dan saya gembira karena
sudah banyak dibicarakan di group wasapp Rumah Baca Komunitas. Diksi
membunuhjogja itu adalah kata yang menghentak ketika kita merasa buntuh. Orang
baik seolah jauh lebih lambat membangun,s ementara perusak kota itu liar luar
biasa akselerasinya. Jadi, bunuh saja kota ini. Orang baik sudah mati, kalah
dan menyerah. Nada putus asa ini secara peyoratif dapat membangun kesadaran
sebaliknya. Kita harus lawan! Kita banyak dan berlipat. Ini imajinasi yang
muncul.
Banyak respon
dan saya merasa beruntung dengan beragam masukan. Ada yang memberikan saran,
setelah akun gerakan membunuh jogja diblokir dan spasca huru-hara tentu ada
baiknya dibuat suatu website yang support untuk pemberian pengetahuan berbasis
data dan menggalang kekuatan baru untuk menjaring silent majority. Gagasan ini
penting sekali. Saya pribadi menyampaikan apresiasi kepada Mas Gama, Mas Adim,
Dolah, arya, Cak Abdullah, Mas Iwan, dan teman-teman lainnya yang turut
memikirkan upaya penyelamatan kota dari kepunahan yang tak dikehendaki.
Prinsip
gerakan yang saya fikirkan adalah tanpa pengorganisasian yang formal, kecil,
lincah, fleksibel, sporadis, tanpa pimpinan. Setiap orang punya cara melawan
dan melakukan upaya pembelaan terhadap hidup: tanah dan airnya. Maka,
bergeraklah seperti apa yang engkau inginkan bukan karena orang lain yang
paksakan. Gerakan no leader just together...mengawal
akal sehat karena akal sehatlah yang menjadikan kita berada di posisi yang
sama. We are 99%, kira-kira begitu jargon yang pernah kita lihat di media online
di benua Amerika: occupy wall street!.
David
Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat
Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di
Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.
No comments:
Post a Comment