#urbanliteracycampaign
I David Efendi
di Indonesia,
rata-rata umur kota antara 200 sampai 400 tahun dengan segala warisan masa
lalu, kisah kekerasan, dan juga pengalaman mengalami kebudayaan. Kebudayaan
kota ditentukan oleh bagaimana kota tersebut mampu memberikan kedamaian,
ketentraman, dan kesejaheteraan warga kota. Ibnu khaldun mendefinisikan kota
sebagai tempat tinggal yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa begitu puncak
kemewahan yang diinginkan tercapai. Jadi, hanya orang ‘kaya’ yang bisa bertahan
di Kota. Seiring dinamika politik dan ekonomi, muncul juga hasrat kompetisi
yang menyebabkan kota dirundung konflik dan perang. Nafsu akumulasi kapital
merasuk ke dalam pikiran banyak orang kota sehingga terjadilah apa yang disebut
Garreth Hardin (1965) sebagai tragedy of
the common.
Kota secara alamiah
semakin menua dan rapuh akibat gelombang zaman. Dr. David Kilcullen, a
Non-Resident Senior Fellow di lembaga Pusat Keamanan Amerika Baru menuliskan:
“Rapid urbanization creates economic, social and governance chal-
lenges while simultaneously straining city infrastructure, making the most
vulnerable cities less able to meet these challenges. The implications for
future conflict are profound, with more people fighting over scarcer resources in crowded, under-serviced and
under-governed urban areas.”
Di Indonesia, fenomena
hijrah dari desa ke kota, desa yang menjadi kota menjadikan persoalan sosial
ekonomi tak tertanggulangi. Kota menanggung beban besar sementara desa yang
seharunya memperkuat sektor agararis banyak ditinggalkan. Perkembangan ekonomi
di desa terlalu lamban dan tidak sanggup memenuhi hasrat berkonsumsi
manusianya. Kota menjadi pilihan. Peperangan pun dimulai: gelandangan,
premanisme, pengangguran, dan buruknya sanitasi. Apakah masih ada masa depan
untuk kota manusia? Pertama kita bicarakan paradigma yang mempengaruhi sistem
kota dan kekacauan-kekacauan yang membutuhkan solusi nyata dan tepat.
Konstelasi peradigma
Banyak sumber tulisan
mengarahkan pada kesimpulan bahwa di dalam kota itu embedded konflik di
dalamnya. Hal ini mendapatkan pijakan faktanya bahwa di kota lebih dipahami
sebagai arena pertempuran kapital atau sumber kesejahteraan. Pertempuran ini
seperti perang, ada pertempuran semut melawan semut, gajah melawan gajah, ada
juga peperangan menjadi asimteris bahkan ada jenis pertempuran yang tidak
diketahui siapa yang sedang dilawan. Mekanisme pasar itu adalah setan yang tak
kelihatan (invisible devil). Hal ini
menjadikan situasi perang semua melawan semua yang pernah dituliskan oleh
Thomas Hobbes menjadi kenyataan pahit kehidupan manusia kota kontemporer—homo
homini lupus. Kota-kota di indonesia sedang panen persoalan ini sebagai
konsekuensi dari status ‘the emerging city’.
Untuk menjelaskan hal
ini, bisa kita tengok dua paradigma pembangunan yang diyakini para
penyelenggara pemerintahan khususnya pembangunan perkotaan. Kedua cara pandang
tersebut adalah paradigma ekologi dan paradigma ekonomi-politik.
Tulisan ini akan mendiskusikan
satu persatu bagaimana kedua paradigma ini diyakini, dipekerjakan, dan
dihibridasi sedmeikian rupa dalam kehidupan kekinian. Pertama, adalah paradigma
ekologi. Paradigma ekologi bertolak dari kacaunya antroposentrisme yang
menjadikan pembangunan itu mengancam ekosistem yang ada. Paradigma ini
memberikan aturan main bahwa pembangunan harus mengakomodir beragam kebutuhan
lingkungan untuk sama-sama berdampingan dengan aktifitas manusia modern. Kedua
adalah paradigma ekonomi-politik. Paradigma ini sangat dominan sejak dulu
dimana beragam proyek tekhnokratis dihasratkan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas politik. Hal ini kerap kali menggelincirkan situasi tata
kelola kota sebagai politics as bussiness as usual—yang menerabas beragam etika
dan kedaulatan ekologis. Dari posisi ini sebenarnya, muncul beragam kritik atas
hukum besi perencanaan pembangunan tekhnokratik. Hukum besi yang tidak ramah
kepada manusia—terutama kelompok rentan: kaum miskin kota, perempuan, dan
anak-anak.
Matinya kota?
Kota yang oleh Khaldun
disebut sebagai “locus of civilization” artinya kota hari ini bukanlah gejala
modernitas. Peradaban selalu melahirkan kota dari ribuan tahun silam. Kota yang
beradab akan memungkinkan penduduknya memperoleh keamanan, kedamaian, dan
kesejahteraan. Ketiga hal ini semakin sulit digapai dalam kota yang padat,
panas, kemacetan, ruang publik yang sempit, banyak kemiskinan di berbagaisudut
kota dan pendidikan yang tak mengembangkan kebudayaan. Kota seperti mengalami
involusi. Hal-hal yang ideal mengenai ‘tomorrow of city’ atau the city of hope
sebagiamana yang dibayangkan warganya tak gampang ditemui. Justru stress dan
frustasi yang melanda.
Dalam sejarah manusia,
ada beberapa contoh kota yang punah yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun seperti
kota yang airnya membusuk/tidak mengalir yang kemudian bertransformasi menjadi
wabah penyakit di Maroko, juga ada beberapa kota yang musnah karena perang
sipil tak berkesudahan. Air, terutama dan paling utama, adalah harta paling
berharga yang menjadikan kota akan tetap hidup dan tumbuh. Jika salah urus air,
misalnya dengan privatisasi membabi buta, maka ada ancaman serius kota ini akan
punah—setidaknya punah manusianya dan hanya kelas tertentu yang memenangkan
pertempuran kota. Yugoslavia dan bosnia adalah contoh kota yang hilang, bagdad
menyusul. Dalam konteks yang lebih spesifik, ada juga kota yang mulai ditinggalkan
manusia seperti Jakarta. Ke jakarta hanya mencari uang, hidup lebih menjanjikan
ditempat lain.
Untuk mencegah kota
mati terlalu cepat dibutuhkan kerjasama yang sangat erat antara kelompok
pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku dunia bisnis. Di sektor pemerintah
diperlukan pemerintahan yang inklusif, membuka ruang partisipasi, mewujudkan
nilai-nilai keadilan, menyediakan pelayanan publik yang bagus,
mengimplementasikan model-model smart city yang relevan seperti connectifity,
tekhnologi infrormasi, dan di saat yang sama tetap mengapresiasi beragam
nilai-nilai kebudayaan yang selama ini masih dirawat dan dihargai oleh
masyarakat kota. Menjadi modern dan smart, tak selalu identik dengan proses
negasi terhadap keberadaan infrastruktur kebudayaan dan kearifan lokal.
Ambisi modernitas tak
boleh melanggar nilai-nilai yang menjadi keyakinan dasar manusia yang
menghuninya. Di jawa, misalnya, ada nilai-nilai keguyuban, nilai-nilai tepo
seliro (toleran), simbol-simbol arsitek dan sebagainya. Ini tak bisa dilanggar
sebagai konsekuensi dari kebudayaan. Kecuali memang seluruh isi kota bersepakat
untuk meninggalkan kebudayaan lamanya.
David
Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban
Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja
dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.
No comments:
Post a Comment