David Efendi
Pegiat
#urbanLiteracyCampaign dan Rumah Baca Komunitas
Apa gerangan yang
membuat rumah Jogja ini begitu gerah, sumuk, kemrungsung, suasana perang lebih
gampang dikenal ketimbang suasana damai? pertanyaan ini paling penting
ditujukan kepada siapa? siapa saja tentu punya legitimasi untuk menjawab, tak
peduli dari mana, apa jabatan, ktp jogja atau bukan. Jogja konon indonesia mini
wajah multikultural yang tercerahkan. Jadi, jangan sampai ethnisitas menjadi
penghalang untuk melihat obyek kebenaran mengenai apa yang sedang menimpah kota
pendidikan ini. Atau dengan cara bertanya lain, jenis perang apa yang sedang
berkecamuk siang malam di jogja kota republik ini? Perang asimetris? Bumi
mataram makin panas, perang pun sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari baik
secara tersembunyi maupun terang-terangan.
Ilustrasi di atas
sedikit memberikan peta pertempuran di Yogyakarta yang bersumber pada (1) dana
keistimewaan atau proyek pembangunan pemerintahan; (2) praktik per-mafia-an
tanah di DI Yogyakarta yang semakin mewabah berjejaring layaknya mafioso
Italia; (3) sengketa dan darurat hotel yang mengkonsolidasikan kekuatan pemodal
vis a vis warga berdaya--sayang pemerintah tidak jelas berada di kubu siapa.
Ketiga musabab pertempuran dalam perang kota Yogyakarta ini juga dapat dikembangkan untuk pemetaan
aktor-aktor yang terlibat mulai aktor dengan orotitas finansial, karismatik,
pragmatis-oprtunis, sampai pada aktor-aktor grassroot yang terus tumbuh.
Peperangan apa dan
siapa?
Dalam teori Bordieu
(1984) untuk terjadinya konfrontasi diperlukan apa yang dinamakan field of
force--yaitu kondisi yang memungkinkan beragam kekuatan dinamis yang ada di
masyarakat mewujud dalam ekpresi dan perannya. Misalnya, kondisi kemacetan,
panasnya kota, keringnya sumur warga, hilangnya ruang publik akan memicu
kelompok yang menolak kerusakan dan juga sekaligus kelompok yang mempertahankan
kepentingan proyek ekonominya di tengah reruntuhan harapan hidup masyarakat
luas. Kebudayaan guyup dihadapkan pada rezim pertumbuhan ekonomi yang tak kenal
siang dan malam dalam operasi merebut sumber kemakmuran (uang). Segregasi elit
baik di level official politics, masyarakat
bisnis s, atau actor politik intermediate sangat besar kontribusinya akan
potensi perang kota.
Faktor lainnya yang
juga sangat penting adalah apa yang disebut teori (1) contentious politics
(McAdam, Tilly) yang diolah oleh media yang dekat dengan masyarakat (TV,
koran lokal, radio dll) dan juga struktur peluang politik (political
opportunity) yang juga biasanya berkelindan dengan kepentingan ekonomi elit.
Site politik bernama pemilihan wali kota adalah ajang paling startegis untuk
menghasilam kekuatan bargaining baru akan apa yang menjadi concern publik dalam persoalan tata kota dan kebijakannya. Kedua
teori tersebut yang akan menjelaskan bagaimana transformasi ketidakgembiraan
masyarakat menjadi suatu gerakan sosial bahkan anarkisme. Anarkisme bukan
berarti tak mengakui Negara karena anarkisme baru itu adalah ekpresi otonomi
dan keberdayaan individu—tak berarti mengancam negara. Anarkisme itu adalah
seperti, nafas kehidupan, yang tak bisa dikebiri. Cara kerjanya akan
didiskusikan sebagai berikut.
Batalyon Warga Berdaya
Warga berdaya bukan
komunitas, melainkan sebuah inisiatif positif yang diusung oleh warga yang
hidup di ruang kota Yogyakarta. Kini dan seterusnya, gerakan Warga Berdaya
merupakan sebuah wadah terbuka bagi warga dan siapa saja yang mendukung prinsip
dan praktik pembangunan yang lestari dan adil di Yogyakarta (siapakah warga
berdaya?sumber: wargaberdaya.wordpress.com). Mungkin menjadi penanda penting,
ketika ratusan anak muda dengan bekal kreatifitas dari berbagai komunitas
berkumpul mengkritisi kotanya. Tanpa titel gerakan tertentu, mereka menyebut
diri sebagai warga Yogya peduli ruang publik kota. Sebelumnya, masing-masing
komunitas ini kerap melakukan aksi sporadis terkait pembenahan kualitas ruang
publik kota. Komunitas Jogja Last Friday Night, misalnya, telah terlebih dahulu
melakukan pengecatan ulang berbagai marka jalur sepeda. Komunitas Reresik
Sampah Visual, dan sebagainya. Kekuatan ini dikonsolidasikan oleh suatu common
enemy--mafia yang merusak kota.
Kemunculan aktor
masyarakat yang terhimpun dalam gerakan warga berdaya sudah memperlihatkan
konsolidasi warga yang merasa otonom dan berani menghadapi kemungkinan buruk
apa yang dipaksakan oleh pemilik modal (hotel dna mall) dan pembiaran yang
dilakukan oleh pemerintah yang selalu beralasan soal regulasi dan kewenanan
sebagai basis argumen ‘lepas tanggungjawab’nya. Di laman web warga berdaya
tertuliskan slogan “terus berkarya, jangan berharap kepada negara” ini sudah
mengarahkan kepada moral kelompok urban yang mirip kepada model anarkisme
petani yang pernah dituliskan James C Scott dalam the weapon of the weak. Bukan
karena lemah, mereka justru sangat percaya bisa bertindak secara otonom melawan
kebijakan negara baik langsung maupun tidak langsung.
Kelompok warga berdaya
ini sadar betul pentingnya media sebagai saluran contentious politics untuk
meroketkan perjuangan dan mencari simpati. di laman webnya ada hal menarik
yaitu ajakan kepada pengunjung untuk memboikot hotel bermasal. Di sana
tertulis:
“Mudik & liburan di Yogyakarta? Hindari menginap di hotel bintang
yang dibangun antara 2010 – 2015. Ada banyak indikasi pelanggaran pada izin
lingkungan dan IMB.Jangan sampai mudik atau liburan Anda jadi bagian dari
masalah bagi warga Yogyakarta. Selamat mudik dan berlibur di Yogyakarta
:)#JogjaOraDidol.
Kalau saja ini
dilengkapi list hotelnya tentu akan dapat memicu perang lebih nyata di bumi
mataram. Bisa saja nama-nama hotel sudah dikantongi tinggal disiarkan di social
media. Ini adalah senjata yang sangat cerdik dan halus (soft power).
Mafia Hotel dan Mall.
kelompok ini mewakili
kubu ekspansif yang kekuatannya bukan hanya lokal, bahkan internasional sebagai
habitat pebisnis yang melakukan penetrasi dengan beragam jenis usaha seperti
hotel, mall, swalayan berjejaring yang sangat berpengaruh langsung atas
kehidupan warga. Dengan hotel bagus yang banyak dan murah akan menggusur
losmen, akan mematikan ekonomi lokal selain itu juga dampak ekologisnya yang
berkepanjangan mengancam kehidupan. Kasus Fave hotel adalah cermin untuk
semua--untuk pengambil kebijakan IMB (pemerintah kota) dan Amdal (propinsi). Tidak
main-main, pengembang hotel dalam kurun waktu 5 tahun terakhir telah
mengantongi izin lebih dari 100 hotel, tahun 2015 sebanyak 67 hotel sedang
dibangun. Data lain mengatakan ada 189 hotel dan 34 mall yang sudah mendapat
izin. Sebagian sudah dibangun. Apabila pemerintah fair dan mau mempublish semua
‘fitnah’ Ini, tentu bermakna antisipatif dan juga provokatif. Hal akan
meningkatkan eskalasi perang kota yang luar biasa. Jika dirahasiakan, Ini
adalah bom waktu yang juga akan membunuh jogja, bumi mataram.
Memang tak mudah
hentikan kekuatan kapital berjejaring. Cara kerjanya seperti mafioso, licik
cerdik, ulet, dan punya banyak cara untuk mendapati kemauannya, nafsunya.
Seringkali kepala daerah, Bappeda, otoritas, preman, warga, tak berdaya
menghadapinya sehingga dengan diam-diam atau sembunyi-sembunyi berada di pihak
sindikat perusak kota (budaya, ekologi, dan hubungan sosial). Suasana tak rukun
juga kerap muncul akibat pembelahan sikap warga yang mendukung pembangunan
hotel/mall dengan yang tidak setuju (kubu seberang). Sebelum RTRW kelar,
izin-izin hotel sudah diberikan karena memang juga sudah didesakkan oleh para
mafia dan makelar. Inilah sistem pemerintahan yang hanya menekankan pada aspek
do thing right (sesuai atau tidak melawan regulasi) dan bukan do the right
thing (di atas hukum atau regulasi, ada dimensi etika dan nurani) karena bisnis
itu sama dengan politik sehingga berlaku pepatah politics as bussiness as
usual. kekuasaan politik adalah subordinasi kekuasaan kapital/ekonomi. Namun,
hal ini bukan berarti tak mendapat perlawanan.
Thomas Hobbes dan
Charles Darwin mengilustrasikan potensi manusia yang menjadi pemangsa atas
lainnya dalam kompeteisi bebas purba. Situasi perkotaan hari ini semakin
mendekati pada praktik kompetisi yang tidak manusiawi alias buas. Bukan hanya
karena sumber daya yang terbatas diperebutkan oleh semakin banyak orang, tetapi
ada satu kelompok yang jumlahnya tak lebih dari 1% itu sangat rakus dan buas
sehingga pertempuran di dalam 1% itu saj telah mematikan kesempatan banyak
orang di luar kelompoknya.
Situasi kesenjangan
antara the haves and the haves not ini adalah malapeta. Hadirnya gap kesejahteraan
ini dalam sejarah Indonesia telah terbukti bekerja untuk melahirkan perang
antar ethnis, antar kelompok dan tentu saja pihak yang paling dirugikan adalah
kelompok kebanyakan. kapitalist hanya akan pindah tempat setelah situasi
memburuk dan mencari daerah jajahan baru, pindah keluar negeri misalnya, dan
sementara orang-orang lokal (pribumi) akan mencari cara bertahan dengan apa
yang bisa dilakukan sesuai moral economy yang berlaku. Siapa yang jelas akan
merusak, jika sudah jelas seharunya tidak perlu menunggu keruskaan sempurnah
untuk kemudian di lawan. Bumi mataram adalah bumi manusia yang perlu
diselamatkan. Siapa saja dapat melakukan dan mengambil bagiannya dengan cara
masing-masing. Kekuatan individu tak lagi bisa dianggap sebelah mata.
No comments:
Post a Comment