Dua kutipan yang sangat mengundang perhatian saya di buku Gerry:
“kekuasan Negara berakar, sebagian, dalam politik mikro di tingkat lokal.” (Boone 1998:25)
“kelompok-kelompok kepentingan yang mengincar anggaran pengeluaran
pemerintah yang besar dan longgar sudah berurat berakar dalam system
politik.” (Mackie 1971: 62)
#
Saya membaca buku yang paling
meyakinkan soal kelas menengah waktu kuliah sarjana di Ilmu Pemerintahan
UGM. Buku tersebut berjudul “Politik kelas Menengah Indonesia” yang
diterbitkan oleh LP3ES dan diedit oleh Tanter dan Young (buku ini terbit
tahun 1996). Buku kumpulan tulisan dari akademisi dan intelektual dari
berbaai Negara dan universitas ternama dapat dikatakan juga sedahyat
perdebatan kumpulan tulisan dalam buku In search of middle Indonesia
yang sedang saya bicarakan. Buku politik kelas menengah ini meyakinkan
pembaca bahwa keberadaan kelas menengah (ada) dan jelas punya kontribusi
terhadap proses politik di Indonesia—baik atau buruk kontribusinya
dapat dikaji, namun ada upaya pembelaan akan adanya eksistensi ini
sebagai pendorong kekuatan pro-demokratisasi? Sebagaimana kata
Bottomore, no bourgeoisie no democracy!? Ini dua tantangan besar untuk
meng-iya-kan lantaran ada psimisme public juga bahwa kelas menengah di
Indonesia hanyalah kelas menengah semu. Jumlahnya membesar karena peran
Negara, jumlahnya membesar juga bisa karena ada di ranah life style
(perilaku borjuasi).
Lama sekali, perdebatan kelas menengan dan
politik berubah menjadi perdebatan soal rent seeker, soal local dinasti
yang merusak, soal kekuatan oligarki nasional, typan media, dan
sebagainya yang tidak dihubungkan secara kuat dengan teori-teori kelas
menengah. Nyaris, orang lupa soal kelas menengah dalam politik. Kabar,
meningkatnya jumlah kelas menengah, tidak lantaran dikaji sebagai
potensi dan musabab akan mahalnya biaya politik dalam proses electoral
sepuluh tahun terakhir ini, misalnya. Memisahkan kelas menengah dari
persoalan politik adalah satu tindakan ‘vandal’ dalam kajian dinamika
politik local maupun nasional.
Terbitnya dua buku berharga oleh
YOI dua tahun berturut-turut yiatu The making of middle Insonesia (2015)
karya Gerry van Klinken dan In search of middle Indonesia (2016) berisi
kumpulan tulisan peneliti yang diedit oleh Klinken dan Berenschot
membawa angina segar bagi kajian baru (research insight) di Indonesia,
khususnya dalam kontek lokalisme. Lokalisme yang mengandung kompleksitas
yang tidak sederhana. Karena, menurut Klinken, perlu mengajak lebih
banyak peneliti untuk menelisik transformasi sosial yang terjadi di area
yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai area “in-Between”. Buku ini
jelas, memberikan nafas energy baru untuk berselancar menuju kota kota
menengah dengan spesifikasi kajian yang diagendakan. Saya gembira,
ajakan penelitian Klinken ini bukan semata-mata ke kota di propinsi nan
jauh terpencil untuk melakukan penelitian etnhnografi, tetapi mengajak
menelisik praktik kekuasaan (hal.viii). Termasuk karakter dan metode
elitenya di dalam mempertahankan kuasanya. Karenanya, dalam beberapa
informasi saya kepada mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah politik
dan dinamika pemerintahan lokal dan juga mata kuliah yang berurusan
dengan birokrasi di daerah (EKOP), saya berikan beberapa keywords
penting kepada mereka: desentarlisasi, demokrasi, birokrat lokal,
dinamika ekonomi politik-lokal, local elites, etc,, agar mereka tak
salah pikir atau sejenis gagal paham (Bahasa kekinian) kalau kuliah umum
dengan Pak Gerry ini adalah kuliah sejarah atau kuliah dinamika ekonomi
an sich di regional/kota-kota menengah. Ini kuliah umum yang
menghubungkan masa lalu “kita” dengan masa kini dan masa depan negara,
serta ihwal keyakinan apakah kita ini (masih) berada di negara yang sama
bernama Indonesia. Imajinasi kelas menengah bagaimana? Jangan-jangan
kita benar berada di suatu Bangsa yang dibayangkan,
Judul kuliah
umum, “Mencari kelas menengah di kota-kota menengah di Indonesia”
seolah taka da kaitan dengan politik padahal sangat kuat ikatannya.
Klnken memberikan penjelasan bahwa yang disebut dengan “Indonesia
Menengah” (Middle Indonesia) mengacu pada peran-peran mediasi yang
dimainkan oleh kelas menengah di kota-kota propinsi di Indonesia.
Indonesia menengah sebagai area in between yang mencakup dimensi antara
ruang geografi (urban/rural); ruang sosial, ruang ekonomi, ruang
politik, antara formal dan informal, …yang memberikan ilustrasi dimensi
abu-abu yang tak kentara. Ruang-ruang yang ada perkotaan tapi tidak
industrial city, atau juga tidak kekeh dan fanatik akan tradisi, tapi
mereka cukup punya banyak informasi akan berbagai urusan politik dan
peluang/praktik bisnis. Dalam beberapa aspek, mereka juga mengalami
pembaratan (istilah Denys Lombard), misalnya dalam bagaimana manusia di
kelas menengah ini punya cara makan yang berbeda dengan yang bukan kelas
menengah. Ke-abu-abu-an lainnya adalah ihwal, mereka bisa menjadi kelas
menengah relative—di level nasional atau kota besar bisa saja seseorang
tidak tergolong kaya atau bahkan kelas menengah, tetapi di kota-kota
kecil seorang camat atau birokrat kelurahan dapat menjadi seorang kelas
menengah atau “orang kaya” dengan karakter khas : jamuan makan
(hal.184/Lay), berpakaian, social media, tetapi diingat juga, dengan
hadiranya media sosial yang murah dan terjangkau, siapa saja bisa
menjadi cosmopolitan (karakter kelas menengah). Jadi lagi-lagi kita
dihadapkan pada situasi abu-abu.
Ada beberapa kota di Indonesia,
hidup dan matinya mengandalkan uang Negara. Bagaimana manusia di kota
ini sebenarnya membangun karakter lokal? Ada juga istilah ‘bergaya di
kota konflik’, apa pula ini sebagai keadaan terkini kota di bagian timur
Indonesia? Ada juga karakter kelas menengah yang terbiasa menggunakan
kekerasan dalam interaksi politik dan ekonomi, dan masih banyak lagi
isu-isu yang belum disebutkan yang dapat kita diskusikan.
Siapakah mereka yang disebut kelas menengah? Bagaimana kepentingan
mereka berkelindan dengan urusan politik? Kosmopolitanisme islam, orang
orang bangsawan lama, birokrat, orang biasa jadi anggota dewan atau
pejabat publik punya cerita tentang ini semua.
Banyak bahan
harus di baca tentu saja untuk memperkuat pehamanan kita mengenai satu
jenis banyak karakter (kelas menengah) ini, setidaknya membaca buku
Gerry akan membawa kita pada upaya pencarian apakah kota-kota di
indoensia dan manusia kelas menengannya ini sedang mengalami involusi,
atau progresif menuju transformasi penting?
Dan saya kira, nanti
pasti diberitahu oleh Gerry dan kita juga akan diajak untuk mencari
secara sunggguh-sungguh bagaimana middle Indonesia bekerja dan bagaimana
kita memprediksi apakah negara ini tetap terikat sebagai suatu
nation-state lantaran kekuatan kelas menengah, atau bubar tergadaikan
karena lemahnya ikatan kelas menengah yang berpihak pada kepentingan
nasional?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...
No comments:
Post a Comment