Oleh : David Effendi
Direktur Rumah Baca Komunitas
Sangat jarang kita temui dalam bacaan bahwa minat baca
dihubungkan dengan pembangunan demokrasi dan politik di tanah air. Kedewasaan
berpolitik dalam kultur demokrasi di negeri Indonesia seolah tidak ada titik
temu dengan budaya membaca masyarakat. Hal ini bisa saja disebabkan bahwa
kualitas manusia Indonesia atau indeks pembangunan manusia tidak dianggap
mempunyai korelasi positif dengan tradisi membaca warganya. Belum lama
ini, Koran Tempo mempublikasikan data bahwa di tahun 2011 masih bertengger di
angka 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen dari jumlah penduduk Indonesia berusia
15-45 tahun (Koran Tempo, 12 September 2012). Artinya, kekhawatiran kita masih
berada di titik dasar yaitu baru persoalan kemampuan membaca-menulis
(literacy).
Saya setuju dengan pendapat bahwa buta huruf itu ‘AIB’
bangsa. Namun, bisa jadi angka buta huruf di Indonesia turun tetapi buta baca
(bisa membaca, ada buku tersedia tetapi tidak mau membaca) inilah tragedi anak
bangsa (‘buta huruf’ jilid 2) yang akan segera menyusul dan meruntuhkan bangsa.
Situasi ini dibenarkan dengan temuan riset Taufik ismail (2003) yang kemudian
popular dengan istilah ‘tragedi nol baca’ di Indonesia karena ternyata pelajar
SMA di Indonesia tidak membaca karya sastra walau satu buah buku padahal karya
sastra adalah sumber filosofi dan pengetahuan tentang nilai-niali agung budaya
bangsa sendiri. Namun perlu diketahui juga bahwa membaca dalam konteks tulisan
ini tidak hanya diartikan sebagai aktifitas membaca namun juga meliputi
memahami, meneliti serta kemampuan menaganalisa bukan hanya dari texts tetapi
juga dari realitas kehidupan sosial-budaya.
Situasi ini juga memperpuruk daya saing bangsa-bangsa sedang
membangun seperti sebagian besar bangsa di kawasan Asia Tenggara sekaligus
menjadi ‘mangsa’ empuk bagi Negara-negara imperealisme yang lebih awal
mengalami proses kapitalisme seperti pada umumnya negara-negara liberal Barat
(Eropa dan Amerika). Berbagai dampak ikutan dari rendahnya minat baca/tradisi
membaca senantiasa menghantui kita diantaranya adalah efeknya terhadap
pelaksanaan demokrasi semu, kekerasan, dan perasaan inferior anak bangsa
berhadapan dengan dominasi dan hegemoni kebudayaan asing (barat, sekuler).
Ketiga persoalan serius tersbeut akan dibahas sepanjang tulisan ini.
Budaya Baca dan “Demokrasi”
Kata Demokrasi yang berasal dari Yunani itu tidak bisa kita
artikan sebagai 100% impor dari ‘budaya barat’ karena pada prinsipnya nilai-nilai
demokrasi itu sudah melekat dalam tengah masyarakat yaitu adanya tradisi
kekeluargaan, ramah tamah, gotong royong (partisipasi), tenggang rasa, dan
menghargai perbedaan dalam berpendapat. Nilai toleransi yang seiring dan
sebangun dengan nilai-nilai barat ini sudah dipercaya sebagai kebudayaan bangsa
Indonesia. demokrasi yang mengajarkan permusyawaratan itu sudahtercantum dalam
konstitusi negara yang tentu akan menjadi ‘kompas’ bagi perjalanan dan
interaksi dengan bangsa lainnya.
Fakta membuktikan bahwa negara-negara yang lebih dewasa
dalam berdemokrasi (toleran atas perbedaan, penghargaan atas hak-hak orang
lain, dan partisipasi) mempunyai peringkat buta huruf lebih kecil dan minat
baca jauh lebih tinggi. Artinya, tradisi membaca dan partisipasi politik
mempunyai korelasi positif.
Jika kita tengok para pendiri bangsa (founding fathers) dan
pemikir kebangsaan republik ini, seperti Sukarno, Bung Hatta, Tan Malaka,
Shahrir dan seterusnya mereka mempunyai karakteristik dan tradisi membaca
sangat kuat bahkan banyak sumber mengatakan bahwa mereka ketika dikirim ke
pembuangan dan selama di pembuangan dibekali dengan berpeti-peti buku serta
menghasilkan berbagai jenis buku pemikiran yang sangat bermanfaat. Karakter dan
kepribadian mereka jelas sangat ‘demokratis’ dan mampu mengejatahkan dalam
kehidupan berbangsa sebagai pemimpin (negarawan). Selain itu, karya
pemikiran Sukarno yang dikenal sebagai Trisakti sangat relevan sampai hari ini
untuk meneguhkan jati diri bangsa yaitu berdaulat dalam pemerintahan, berdikari
dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Budaya Baca dan Kekerasan
Akhir-akhir ini, setidaknya 10 tahun terakhir, kita sering
kali dikagetkan oleh merebaknya berbagai peristiwa kekerasan baik atas nama
alasan agama, ras/ethnis, dan alasan lainnya. Taruhlah contoh, di Ambon,
Maluku, Palangkaraya, Jakarta, Jawa Barat, dan Madura. Kekerasan tersebut
seolah menjadi ekpresi kekecawaan baik karena negara maupun karena ekpresi
anti-budaya Barat yang sekuler. Hal ini juga disebabkan kompleksitas hegemoni
negara ‘super power’ seperti Amerika dan Inggris atas ‘negara-negara Islam’
seperti Palestina, Irak, dan Indonesia. Kecenderungan ekspansi kekeuasaan
militer dan budaya menjadikan kelompok tertentu marah.
Kemarahan dan ekpresi kekerasan itu dalam batas tertentu
dapat ditolerir namun apabila mengakibatkan situasi lebih kacau dan kerugian
bagi masyarakat sendiri tentu ini akan patut diantisipasi. Kekerasan hanya akan
melahirkan kekerasan baru dan pola ini akan terus berlangsung dan berlanjut tanpa
akhir sehingga peradaban manusia menjadi terancam. Kehidupan bersama sebagai
desa global (globalized village) yang damai menjadi sulit tercapai seperti
ungkapan jauh panggang dari api.
Keyakinan atas imajinai bahwa kita adalah satu entitas dalam
satu planet bernama bumi dan dapat hidup berdampingan haruslah ditopang dengan
pngetahuan yang cukup untuk memahami situasi multikulturalisme dan berbagai
perbedaan karakter sosial-budaya di bumi. Salah satu cara memberadabkan pikiran
kita adalah dengan sikap open minded, terbuka atas kebenaran lain dan
hasrat ingin belajar sebagai proses tanpa akhir (unfinished processes).
Karakter tersebut adalah karakter masyarakat pecinta buku yaitu masyarakat
pembelajar yang bersikap moderat, inklusif melalui bacaan-bacaan dan
pengetahuan yang didapatkannya.
Dalam hal budaya, mereka menganut kepercayaan bahwa
mengetahui budaya lain dan menghargainya tidak berarti kita larut dan
kehilangan karakter kebudayaan asli bangsanya. Dengan demikian, sikap eklusif
yang mengantarkan kepada kekerasan itu sering diakibatkan oleh tertutupnya
jalan pikiran atas kebenaran lain yang sebenarnya dapat didapatkan dari
berbagai sumber informasi (buku). Tentu saja ini paradok, sebagai maysrakat
yang menurut August Comte (year) sudah bergeser dari masyarakat mitos menuju
masyarakat ilmu tetapi kita tidak terbuka atas khasanah pengetahuan yang telah
disediakan/diwarsikan oleh para penulis, sastrawan, dan ‘ilmuwan’ dalam
berbagai literature.
Budaya Baca dan Counter Hegemoni ‘Barat’
Ada banyak komunitas yang melakukan kerja-kerja panjang dan
melalahkan untuk mencoba meningkatkan daya saing budaya bangsa menghadapi
kebudayaan negative dari bangsa lain yang super power. Komunitas yang kecil dan
massif itu sedang menghadapi banyak persoalan sinisme public dan Negara atas
kerja-kerja sosial yang dilakoninya setiap hari. Taruhlah contoh, Rumah Baca
Komunitas di Yogyakarta yang penulis juga aktif di dalamnya sangat gencar
mengkampanyakan gerakan membaca dengan berbagai kegiatan di dalamnya. Termasuk
kampanye melawan hegemoni industri televisi yang menyesatkan publik.
Pada suatu kesempatan diskusi di rumah baca yang bertajuk
“tadarus gerakan Iqro (membaca) dianggap perlu melakukan proses yang
disebut "ideologisasi Gerakan Iqro". Inti dari diskusi adalah
pentingnya nilai-nilai keislaman, keagamaan diinfeksikan ke dalam strategi
gerakan membaca sehingga membaca tidak lagi sebagai kegiatan yang terpisah dari
praktek ibadah seseorang. "Membaca adalah manifestasi keimanan,"
merupakan kata-kata yang cukup bertenaga muncul dari diskusi kali ini. Karena membaca
merupakan implementasi keberaagamaan kita tentu kemudian nilai-anilai yang
dihasilkan adalah nilai-nilai penghargaan atas manusia, keadilan, dan budaya
luhur yang bersumber pada nilai-nilai dan tardisi lokal.
Selain itu, dirumuskan setidaknya ada 5 pilar untuk sukses
gerakan Iqro, yaitu antara lain; Ideologi, Pelopor penggerak/komunitas,
Perpustakaan/rumah baca, “Industri” Perbukuan yang ramah, dan terakhir adalah
peran “Negara” (pemerintah). Menurutnya, kelima pilar itu harus berkolaborasi
stau sama lain dan menjadi suatu kekuatan tempur untuk melawan pembodohan
masyarakat (TV, hedonisme, kapitalisme, budaya negative lainnya).
Catatan Akhir
Dengan upaya revitalisasi gerakan membaca atau gerakan
literacy di Indonesia kita ibarat sebuah ungkapan yaitu sekali dayung tiga atau
empat tantangan dapat kita lewati. Peningkatan kualitas dan minat baca mampu
membangun tradisi berdemokrasi lebih dewasa karena masyarakat mempunyai
informasi lengkap dari berbagai bacaan. Selain itu hal ini mampu meminimalisir
kekerasan akibat kesalahpahaman dalam mengakses informasi. Terakhir, gerakan
membaca, apabila termanifestasikan dalam masyarakat secara integral (negara-civil
society) tentu akan menjadikan anak bangsa tidak merasa inlander atau inferior
menghadapai kompetisi global atau setidaknya kita percaya diri untuk
mengembangkan budaya khas dan asli yang ada di Nusantara dan tidak silau dengan
kebudayaan ‘asing’ yang hanya baik di kemasan dan miskin nilai folosofis.