David Efendi, pegiat
RBK
Pada tanggal 22 April 2013 sebuah perkumpulan anak-anak muda
di Yogyakarta yang tergabung dalam Rumah Baca Komunitas mengadakan refleksi
gerakan literasi dengan mengambil tema “habis gelap terbitlah terang”. Refleksi ini tepat pada tanggal hari Kartini.
Tepat sasaran. Itu kesan saya sebagai salah satu pegiat gerakan literasi.
Kartini telah membuka kotak Pandora penyebab selimut gelap peradaban ‘negeri
terjajah’ yang diberikan label INDONESIA. Kartini dilahirkan pada 21 April 1879
dan meninggal pada tahun 17 September 1904 pada saat umur 25 tahun di tengah bangsa
merasakan pahitnya pasungan penjajahan.
Buku, sebagaiman diyakini banyak orang, menjadi alat paling
efektif untuk merebut kebebasan yang sebenarnya. Keyakinan ini telah menjadi
bagian dari proses pemerdekaan “bangsa” Indonesia sebagiamana yang banyak dinarasikan
secara apik oleh Pramudya Ananta Toer dalam tetraloginya dan karya-karya
lainnya khususnya buku yang berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”. Sosok seorang yang dinamai Minke juga menjadi “fakta”
tak terbantahkan bahwa buku/tulisan adalah alat paling efektif untuk
menyebarkan ide-ide kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan.
Ketiga nilai di atas benar-benar menjadi kontribusi penting
dari seorang Kartini dalam panggung nusantara-dipantara yang secara luar biasa
dipaparkan oleh Pramudya AT dalam bukunya. Pram menyampaikan gagasan-gagasan besar dan
luhur Kartini dan kita bias melihat betapa mulia pemikiran perempuan pingitan
ini. Pertama, nilai-nilai kebebasan. Jelas, Kartini berupaya membebaskan
‘keterkengkangannya” dengan menuliskan karya sastra dan juga melakukan
korespondensi dengan dunia luar dengan menuliskan surat-surat. Kartini pernah
menuliskan:
“ sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan
cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami. Door Duisternis tot Licht (habis gelap
terbitlah terang).”
Kedua, nilai-nilai keadilan jelas menjadi konsen penting
bagi seorang Kartini untuk secara “diam-diam” dan “sembunyi-sembunyi”untuk
memperjuangan keadilan di zaman baru nanti—walau dirinya sendiri tidak
mendapatkan keadilan lantaran kekeangan budaya dan paradigm kaum feudal yang
berada dialam alam penjajahan. Keadilan yang diusung oleh perempuan ini adalah
keadilan generasi berikutnya. Kartini adalah futurist yang baru kita sadari sekian lama. Dia berani mengorbankan
status bangsawannya untuk sebuah makna ‘keadilan’. Dia menulis “mboekak peteng”
untuk mengepresikan gagasannya tentang optimisme “masa depan.” Sayang sekali,
karangan-karangan Kartini tidak banyak tersedia dan bahkan terjemahan atas
karya Kartini seringkali ‘terkontaminasi’ oleh konstruksi dari luar (tidak
sebagaimana karakter/kebatinan autentik sang penulis).
Terakhir, adalah satu kekuatan besar apabila koalisi
kebebasan dan keadilan itu unsur terpenting dari nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika kita bekerja keras untuk menegakkan keadilan, menolak diskriminasi dan
stigma maka kita sebenarnya sedang bekerja untuk pembebasan dan kemanusiaan itu
sendiri. Memanusiakan manusia, meminjam bahasa Paulo Friere dalam pendidikan
kaum tertindas (pedogogy of oppressed).
Dalam bahasa Pram, pentingnya menghormati hak-hak manusia itu harus sejak ada
dalam pikiran kita sehingga perbuatan pun menjadi adil—setidaknya, tidak
mengancam orang lain. Manusia yang punya kreatifitas, usia muda/waktu
produktif, dan kehormatan/harga diri yang harus kita tempatkan sebagai bagian
utama kemanusiaan—seperti halnya diri kita yang tak mau dirampas ‘kebahagiaan’
kita.
“Kronik” Kartini ini merupakan karya yang sangat
mengagumkan. Buku ini tentu sangat penting untuk dibaca semua orang terlebih
untuk generasi muda. Buku yang ditulis dengan berdarah-darah di zaman yang
tidak aman ini tentu perlu advokasi serius dari pemegang kekuasaan untuk
melakukan politik etis: kalau dulu ada pelarangan dan pembakaran buku Pram,
kini harus dibalik, diwajibkan!. Berdasarkan pengakuan Pram via penerbit
lentera dipentara, ada empat jilid buku tentang Kartini tetapi hanya dua yang
berhasil diselematkan. Tentu, ini kesedihan yang teramat sangat bagi saya. Bagi
pegiat literasi pada umumnya.
Jika di zaman ‘demokrasi’ ini masih ada ritual pembakaran
dan jenis pelarangan buku, maka sudah dapat diasumsikan bagaimana ‘kegelapan’
masa depan negara tercinta ini. Negara yang mematikan sastra dan kreatifitas
dalam peradaban buku/literasi adalah Negara yang otortiter dan kerap kali
menghakimi manusia. Negara selalu benar tak pernah bias disalahkan (The King
can do no wrong), dan masyarakat sebagai sumber persoalan. Maka pembabatan
total akan mengebiri hak-hak kemerdekaan manusia, kebebasan menjadi terampas. Republik
menjadi hanya milik segelintir orang elit dengan peringai mengganggu akal
sehat.
Agar kita tak dituduh hanya mampu memadamkan pelita, maka
periode kegelapan harus segera kita terangi dengan obor pengetahuan dan buku
adalah lampu benerang yang kita punya. Semoga menyala. Merdeka!
No comments:
Post a Comment