David
Efendi, Pegiat Rumah Baca Komunitas
Kegalauan aktifis gerakan pelajar itu antara lain karena beberapa
persoalan pertama, karena tidak mendapatkan kepuasan akan capaian-capaian yang
diharapkan; kedua, akibat kelesuhan para kader itu sendiri, dan ketiga adalah
lebih disebabkan oleh ‘frustasi’ melihat keadaan sekitar yang tidak sesuai
dengan imajinasi yang berkembang pada dirinya, atau pandangan organisasi.
Termasuk di dalamnya, adalah cuaca politik yang tidak ramah terhadap cita-cita
perjuangan. Bahkan, politik harapan pun tak dapat menyelamatkannya dari
kegalauan. Sebagai aktifis dan berlatar belakang terdidik, tentu kegalauan
adalah hal yang harus dilestarikan jika tidak mau mati sebelum berkembang.
Dalam tulisan ini akan diartikulasikan beberapa nilai-nilai yang
perlu dikembangkan dalam spirit gerakan pelajar yang tentu saja diharapkan
progresifitas/kemajuan untuk lanskap sosial-kebudayaan yang lebih luas, lebih
humanis, dan inklusif. Secara praktis, keberadaan Gerakan pelajar seperti PII, Ikatan Pelajar
Muhammadiyah (IPM) dan gerakan
pelajar lainnya mempunyai tantangan paradigmatik dan tantangan praksis sangat besar mengingat
basis massanya luas sekitar 20 jutaan anak-anak muda berusia antara 15-24 tahun.
Mereka semua adalah subyek perubahan dan mereka betul-betul mempunyai takdir
sejarah untuk mengelola bangsa ini. Tanpa mereka, kerja keras Negara untuk
‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ hanyalah sebuah ‘piknik kemanusiaan’, layaknya
sebuah keterputusan sejarah yang dampaknya maha mengerikan. “pelajar hari ini,
pemimpin masa depan’, begitu ungkapan bijak arab mengajarkan.
Mengingat semakin mengganasnya situasi sosial kebudayaan kita yang
tepat menembak jantung para kader bangsa ini, tentu strategi untuk
mempertahankan diri dari gempuran nilai-nilai yang melawan akal sehat, menghina
kebudayaan bangsa, adalah sebuah keniscayaan untuk kembali mempertegas jati
diri, mempraktikakkan kesadaran dan aksi kritis untuk memperoleh keberhasilan
dalam deretan kemenangan-kemenangan kecil—kemanangan yang sejati yang setiap
hari kita raih.
Nilai-nilai yang kita perjuangkan setidaknya ada tiga hal yang masih sangat relevan untuk
memnyumbangkan kekuatan pada gerakan pelajar kontemporer. Pertama, nilai-nilai ideologi
“islam-inklusif” di mana praktik dan nilai ajaran agama akan membangun kekuatan
lintas organisasi, latar belakang, status sosial sehingga ‘rahmat untuk
semesta’ itu benar-benar adalah nilai yang sudah tertanam kuat dalam akal pikir
dan akal budi serta tercermin dalam sikap-perbuatan. Jadi, sikap ‘open minded’
yang dibingkai oleh nilai-nilai ketulusan, kejujuran, dan keadilan itu harus
menjadi bagian dari akal sehat kita. Kekuatan nilai-nilai ini yang akan
menjamin berlansungnya kehidupan bangsa—dari bayi bangsa menjadi anak semua
bangsa.
Kedua, memperkuat tradisi literasi sebagai bagian perjuangan yang
tak boleh diceraikan atau disia-siakan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang
tingkat melek baca dan melek wacananya tinggi. Dengan dalih apa pun, merebut
ilmu pengetahuan dan hasanah kebudayaan adalah dengan jalan membangun budaya
literasi—baik membaca, menulis, dan mendiskusikannya untuk mendpaatkan
pemahaman dari dialektika yang konstruktif. Tanpa itu, sejarah akan gampang
dilupakan dan tanpa buku peradaban akan membisu. Dari tradisi literasi ini
pula, proses pengilmuwan gerakan menjadi sangat mungkin untuk didesiminasikan
menjadi aksi nyata—mendapatkan kemenangan kecil terus menerus sampai menjadi
gerakan yang massif. Kesadaran literasi telah berkonstribusi membangun kesadaran dan merebut kebebasan dalam sejarah
Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan, tanpa propaganda tulisan bangsa ini
mungkin saja maish jauh di bawah lumpur penjajahan.
Dengan demikian, aktifis gerakan pelajar harus meneladani bangsa
sendiri sebelum menaladani bangsa-bangsa di atas angin, bangsa-bangsa dari
semua bumi manusia. Tak boleh tidak, para pengggerak pelajar haruslah tekun dan
sabar membaca jejak pejuang literasi sejati: membaca Bung Karno, Bung Hatta,
Tan Malaka, Pramudya AT, Rendra, dan masih banyak lainnya, membaca perjuangan
para intelektual dan aktifis yang menjadi martir sejarah dengan mempelajari dan
meneladani anak-anak muda dari anak kandung peradaban seperti Munir, Wiji
Tukul, dan masih banyak lainnya. Anak-anak muda sekarang harus menyibukkan
mencari kekuatan diri sendiri, dari bangsa sendiri, bukan sibuk mencari
kelamahan sambil memberhalakan keunggulan bangsa-bangsa lain—yang kadang mereka
tak segan-segan merebut kemerdekaan anak bangsa.
Terakhir, nilai-nilai “dekonstruktif” sebagai karakter anak muda.
Keberanian keluar dari pakem kelaziman, “thinking out of the box”, berani
salah, tidak takut resiko, berani tidak popular, adalah permintaan sejarah yang
mestinya dipenuhi oleh aktifis pelajar. Kita saksikan anak-anak muda hari ini
yang ingin terkenal, ingin mendapat pujian, dari pada berkhidmat pada
nilai-nilai kemanusian sesama teman seperjuangan dan mendekatkan pada basis
massa tanpa terdistorsi kepentingan sesaat. Pelajar yang tidak berani melawan
arus dan takut mengalami kerugian masa depan, maka pada saat itu juga mereka
telah berubah menjadi sosok manusia tua renta yang tinggal menunggu nyawa
meregang dari sel-sel darahnya.
Tentu, berani menempuh “jalan lain” bukan tanpa argumentasi, bukan
‘membabi buta’ asal berbeda karena gerakan pelajar sudah mencapai pada tahap
pengilmuwan (“masyarakat ilmu”, meminjam istilah Kuntowijoyo) sehingga tak
beralasan jika langkah yang ditempuh hanyalah euphoria
tanpa akar pengetahuan). Dengan kekayaan ilmu pengetahuan karena budaya
literasi telah well established dalam
diri kader, tentu saja langka-langka dekonstruktif dalam gerakan menjadi sangat
kuat untuk kemudian diwujudkan dalam beragam kegiatan yang ‘positif’—misal,
advokasi kebudayaan lokal, nilai-nilai counter hegemoni, dan anti-dominasi.
Kemampuan mengagendakan dan menngelola perubahan itu penting bagi
organisasi pelajar karena memang dinamika menjadi tuntutan zaman. Anak-anak
muda dengan kemampuan khusus menafsir tanda-tanda zaman ditunjang oleh
kemampuan literasi yang kuat tentu mendesains sebuah perubahan yang pro-pelajar
dan pro-terhadap cita-cita perjuangan menjadi hal yang tidak mustahil untuk di
raih. Bahkan dalam kegiatan sehari-hari msalnya dalam kegiatan pro lingkungan,
pemberdayaan komnitas, kedaulatan pelajar, dan beragam bentuk kemenangan kecil
lainnya itu akan sangat intensif untuk diperoleh—sebagai bekal mendapatkan
kemanangan yang besar pada waktunya nanti. Sebagai penutup, ketiga nilai-nilai
itu seharusnya mempu menghentikan kemandegan gerakan dan sebagai manusia kita
tak boleh “menyerah dengan kelelahan.”
No comments:
Post a Comment