Oleh Wilson Bhara
Watu, Tinggal di Jakarta
Beberapa
waktu lalu beberapa media nasional memberitakan peristiwa diresmikannya kantor
“United Liberation Movement for West Papua” (ULMWP) yang berlangsung di Wamena
15 Februari 2016 lalu. Pihak pemerintah Indonesia melihat peristiwa ini sebagai
sebuah bentuk gerakan separatis yang merusak kesatuan bangsa dan harus segera
diredahkan. Sejauh ini pihak kepolisian setempat sudah mamanggil beberapa saksi
terkait peristiwa tersebut termasuk melayangkan surat panggilan pemeriksaan
terhadap seorang imam yang bertugas di Wamena, Pater John Djonga, yang juga
hadir dan memimpin ibadat peresmian tempat tersebut.
Walaupun
kejadian itu dilihat sebagai bentuk aksi separatis (versi Indonesia), toh hal
itu terjadi bukan tanpa alasan. Dalam wawancara TEMPO akhir tahun 2015 lalu,
Pater John Djonga membeberkan beberapa situasi yang cukup memprihatinkan yang
dilakukan negara pada warga lokal. Beliau menjelaskan bahwa masyarakat kerap
mengalami perlakuan berlebihan oleh pihak polisi yang sering kali curiga tanpa
alasan dan mengambil tindakan penahanan tanpa bukti yang bisa
dipertanggungjawabkan. Selain itu beberapa kasus pelanggaran HAM yang dilakukan
pada warga setempat seolah didiamkan oleh negara. Mereka juga masih jauh
tertinggal dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan sosial.
Selain itu, menurut beliau ada upaya militerisasi yang cukup kuat yang terjadi
di sana. Tekanan terhadap gerakan-gerakan itu dilakukan dengan militerisasi.
Beliau juga memperingatkan bahwa hal serupa (militerisasi) juga terjadi saat Timor
Timur masih menjadi bagian dari NKRI dan akibat yang muncul kemudian adalah
pemisahan dari NKRI. Situasi serupa, menurutnya, bisa terjadi di Papua kalau
seandainya tekanan militer semakin kuat dan massif.
Negara, Untuk Siapa?
Sebelum
lebih jauh menilai peristiwa tersebut dari kaca mata filsafat politik, saya
hendak terlebih dahulu mengangkat salah aspek teoretis terbentuknya negara
yaitu paradigma kontrak sosial. Menurut paradigma kontrak sosial Thomas Hobbes,
negara hadir sebagai sebuah upaya gencatan egoisme demi sebuah tujuan survival. Itu berarti, tanpa negara,
kita hanya hidup dalam perang egoisme satu dengan yang lain karena setiap
manusia mencoba mengafirmasi kepentingannya masing-masing (yang mungkin saja
tak terbatas) atau dalam istilah Hobbes disebut sebagai situasi “bellum omnia contra omnes”, perang semua
melawan semua. Sebab itu, tuntutan logis mengatakan bahwa kondisi ini hanya
bisa diatasi jika setiap individu rela tunduk di bawah aturan-aturan yang
membatasi kebebasan dan mengkoordinasi perilaku manusia (Otto Gusti Madung,
2013:38).
Menurut
Hobbes tuntutan logis ini bisa terjadi jika “Setiap orang secara sukarela menanggalkan haknya atas
semua (ius omnium in omnia), dengan
syarat bahwa yang lain juga bersedia bekerja sama, sejauh hal itu dipandang
penting demi menciptakan perdamaian serta tujuan survival; ia harus menciptakan
ruang bebas untuk orang lain sebagaimana orang lain memungkinkan kebebasan
untuknya”(Otto Gusti Madung, 2013:40). Menurut garis pemikiran Hobbes ini,
keberadaan negara merupakan sebuah hasil pertimbangan rasional untuk
menghindari perang kepentingan tapi dengan menaati kewajiban-kewajiban kontrak
dan saling menghormati hidup dan hak milik. Sebab itu bagi Hobbes, “Kontrak
yang sudah dibuat wajib ditaati”, (pacta
sunt servanda).
Kita
dapat melihat ada beberapa tekanan yang diberikan dalam mekanisme kontrak
sosial ini antara lain adalah politik pengakuan timbal balik antar warga,
pengakuan akan otonomi individu, serta keuntungan bagi semua yang terlibat
dalam kontrak sosial tersebut. Jadi bisa kita katakan bahwa keberadaan dan
tujuan negara seturut pandangan teori kontrak sosial adalah untuk menjamin
kebebasan setiap individu atas hak-hak dasar yang melekat padanya. Dalam
konteks ini, invidu atau bangsa yang tergabung dalam kesepakatan membentuk atau
bergabung dalam sebuah negara tidak hanya menuntut haknya tetapi juga memenuhi
kewajiban-kewajiban dasar yang telah disepakati. Singkatnya, atas alasan
terjaminnya hak-hak dasar dan ruang kebebasannya, seorang individu atau sebuah
bangsa memutuskan untuk melucuti egoismenya dan bergabung dalam sebuah negara!
Hak Warga, Harga Mati
Munculnya
gerakan-gerakan di Papua Barat yang berciri separatis bukanlah sebuah fakta
baru tanpa sebab. Boleh dikatakan ini merupakan kepingan dari sejarah kontrak
sosial “yang tidak sempurna” yang terjadi sejak tahun 1969 ketika rakyat Papua
Barat diberi kesempatan untuk menentukan pilihan mereka sendiri. Penelitian
Historis yang cukup menyeluruh yang dibuat oleh sejarahwan Belanda P.J.
Drooglever menunjukkan adanya ‘noda hitam’ dalam proses integrasi Papua Barat
ke dalam Negara Kesatuan Indonesia. Saat itu seharusnya diadakan referendum
penuh. Namun kemudian hal itu tidak dilaksanakan dan oleh Indonesia diganti
dengan sistem musyawarah mufakat dalam proses penentuan pilihan untuk memilih
bergabung dengan Indonesia atau tidak. Pilihan kemudian jatuh pada integrasi ke
dalam NKRI (yang mana menurut temuan Drooglever sarat dengan tekanan dari pihak
Indonesia). Sebelum masuk pada proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), Papua
Barat sendiri sebenarnya sudah mempunyai impian untuk menentukan nasibnya
sendiri dan bebas dari jajahan bangsa lain. Mereka mau agar hak-hak dan
kebebasan mereka sebagai sebuah bangsa mendapat ruang yang tidak diganggu
seperti ketika mereka dijajah.
Sekarang
sudah hampir 50 tahun Papua Barat bergabung dengan Indonesia dan menjadi bagian
dari NKRI. Seharusnya dalam kurun waktu yang cukup lama ini hak-hak dasar
mereka sebagai warga negara yang setara sudah dijamin secara utuh. Gerakan-gerakan
yang berciri separatis tidak akan pernah hilang selama hak-hak dasar mereka
tidak dipenuhi. Merujuk pada mekanisme kontrak sosial, keberadaan negara justru
akan tergerus saat hak dan kebebasan warganya tidak dijamin secara utuh.
Sebagai
sebuah negara dengan bangsa yang plural, kita mungkin tidak dipersatukan oleh
kesamaan budaya. Kita mungkin menganggap konsep rasa senasib dan sepenanggungan
sebagai cikal bakal persatuan kita sebagai sebuah negara. Namun, rasa senasib
dan sepenanggungan saja sangat tidak cukup. Kita bersatu sebagai sebuah bangsa
karena harapan akan adanya jaminan akan hak dan kebebasan kita. Tidak ada
bangsa yang mau bergabung ke dalam sebuah negara jika mereka tahu kalau hak-hak
dasar mereka tidak akan dipenuhi kendati pun mereka memiliki perasaan senasib
dan sepenanggungan dengan bangsa lain dalam negara tersebut. Dengan kata lain,
tak mungkin sebuah kontrak sosial terjadi (atau kalau sudah terjadi kemudian
akan bertahan) jika salah satu pihak yang ada di dalamnya diabaikan dan merasa
rugi.
Selain
itu, ada hal lain yang juga mesti dipertimbangkan. Negara bukanlah tujuan pada
dirinya sendiri. Negara merupakan sebuah bentukan manusia yang secara rasional
yakin bahwa hak-hak mereka dapat dipenuhi dalam sebuah komunitas politik dengan
otoritas tertentu. Sebab itu, konsep bahwa NKRI merupakan sebuah harga mati
sebenarnya bersifat relatif. NKRI bukan harga mati. Hak warga lah yang
merupakan harga mati. Adalah sebuah kebohongan jika negara terus memperjuangkan
kesatuan sebagai sebuah negara di satu sisi namun mengabaikan hak-hak dasar
warga negaranya di sisi lainnya. Hemat saya, negara akan bertahan sejauh
hak-hak dasar warganya dijamin!
No comments:
Post a Comment