Oleh :
Fauzan Anwar Sandiah[2]
Membicarakan pengalaman mengelola
komunitas literasi terikat dengan beberapa hal penting. Pertama, setiap
pengalaman mengelola komunitas merupakan sebuah eksperimentasi baru mengenai
peran partisipatif setiap orang di dalam kehidupan sosial. Kedua, pengalaman
mengelola komunitas berkaitan dengan cara-cara praktis yang meskipun tidak
selalu baru, seringkali ditujukan bagi tantangan-tantangan yang jamak
ditemukan. Ketiga, pengalaman mengelola komunitas bersumber dari berbagai hal
yang berkelindan antara tiga hal penting yakni; pengalaman, refleksi, dan
tindakan. Tiga hal inilah yang menjadi siklus belajar pengalaman mengelola
komunitas literasi.
Istilah komunitas sebagai bagian dari social movement di dalam literatur mengacu kepada bentuk
organisasi lokal yang digerakkan berdasarkan pada proses apresiasi kultural.
Komunitas dengan demikian bermakna sekumpulan orang yang terhubung secara fisik
ataupun tidak, yang menetap atau terikat, di mana terjadi proses berbagi nilai,
budaya, dan simbol (Cnaan, Milofsky, Hunter, 2006). Komunitas sebagai
organisasi pada umumnya ditandai dengan beberapa hal, yakni; (1) melibatkan voluntir
dalam menggerakkan atau mengembangkan komunitas dengan jenis partisipasi yang
berbeda; (2) budget yang minim; (3) pengelolaan
yang bebas dan mandiri.
Menurut Albert Hunter, komunitas
terdiri atas tiga dimensi. Pertama adalah apa yang disebut Hunter dengan shared ecology, yakni bahwa setiap orang
dalam komunitas terlibat dalam proses berbagi ruang fisik. Artinya setiap pihak
berbagi lokalitas (tingkat spasialitas dan keistimewaan lokasi) atau tempat
hidup keseharian tanpa batas ruang (space-bound).
Kedua, karakter jaringan di dalam komunitas berbentuk organisasi sosial, di
mana terjadi interaksi antar tiap orang di dalam komunitas untuk membahas
berbagai hal secara kolektif. ketiga, kebersamaan dalam memaknai kebudayaan
beserta simbol di dalam komunitas. Melalui proses memaknai secara bersama-sama
nilai-nilai budaya dan simbol-simbolnya, setiap orang di dalam komunitas mampu
mengembang jenis inisiatif sekaligus juga membentuk identitas diri personal.
Nilai Dasar Mengelola Komunitas
Rumah Baca Komunitas (RBK) berdiri
pada tanggal 2 Mei 2012 di Onggobayan, Kasihan, Bantul. RBK sebagai komunitas
literasi berproses dari bentuk awalnya sebagai “rumah belajar” menjadi
“komunitas literasi yang berpihak” pada tahun 2013 sewaktu pindah ke Jl.
Parangtritis, yang berlanjut hingga RBK pindah ke Kalibedog pada tahun 2014.
Meskipun demikian, RBK dibangun dengan proses belajar atas niat-niat literasi
semacam maringi (berbagi). Niat
literasi semacam itu menjadi penuntun cara-cara para pegiat RBK mengambil
inisiatif dalam mengelola komunitas. Beberapa
di antaranya ialah mengelola komunitas literasi 24 Jam setiap hari. Konsep
pengelolaan ini kemudian menjadi dasar bagi program perpustakaan komunitas 24
Jam. Sejak tahun 2012, RBK membuka ruang baca yang dapat diakses 24 Jam. Niat
literasi semacam maringi juga
merupakan salah-satu nilai dasar yang dipelajari oleh pegiat RBK. Melalui nilai
dasar ini, para pegiat memiliki kebebasan untuk memilih jenis partisipasi yang
diinginkannya. Pegiat RBK ataupun voluntir di RBK tidak pernah diarahkan secara
mutlak untuk mengikuti model-model aktivitas yang direncanakan setiap tahun,
tetapi mengikuti dinamika dan keinginan belajar yang terus tumbuh di kalangan
pegiat ataupun voluntir.
Maringi
tidak
saja menjadi nilai dasar yang dipegang oleh pegiat dan voluntir, melainkan juga
titik tolak dari segala aktivitas atau program RBK. Dari maringi beberapa program dikembangkan, misalnya program
perpustakaan jalanan mingguan di alun-alun kidul yang diberi istilah RBK On the Street (ROTS), hibah buku
bagi komunitas marjinal seperti Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis, atau
program penitipan buku di angkringan-angkringan sekitar RBK. Program yang
bersifat sharing tersebut dilakukan
berdasarkan pada rasa saling percaya. Membagi bahan bacaan kepada pihak lain
adalah tantangan tersendiri. Tetapi komunitas literasi memiliki kekuatan lebih
dalam hal ini.
Pengelolaan komunitas pada umumnya
sebagaimana diungkap oleh para ahli dilakukan melalui proses komitmen terhadap
nilai-nilai kultural. Komitmen terhadap nilai-nilai menjadi arah bagi
pengembangan komunitas, termasuk di dalamnya bagaimana interaksi antar setiap
pegiat, bagaimana mengelola sumber-sumber operasional program literasi, hingga
bagaimana membentuk jaringan dengan komunitas lainnya.
Melibatkan Voluntir
Voluntir (volunteer) merupakan subjek penting dalam pengelolaan komunitas. Komunitas
literasi semacam RBK, konsep antara voluntir dan pegiat dari aspek kapasitas
partisipasi tidak memiliki perbedaan yang jelas. Voluntir berarti subjek yang
melakukan tindakan atau aktivitas secara non-profit.
Bagi seorang voluntir, segala aktivitas yang dikerjakannya merupakan bagian
dari tanggungjawab individualnya terhadap persoalan sosial. Oleh karena itu,
tak jarang konsep voluntir melekat dengan tindakan altruistik. Voluntir
merupakan sebuah istilah yang berkembang untuk menyebut subjek-subjek yang
melakukan tindakan kesukarelaan. Sebenarnya konsep voluntir bukan merupakan
sesuatu yang asing bagi masyarakat, sebab konsep ini berhubungan dengan model
pembagian kerja secara sosial yang dilakukan oleh banyak masyarakat pra ekonomi
industri. Transisi ekonomi yang menyebabkan transformasi besar (great transformation) telah memindahkan
pembagian kerja sosial ini bagi masyarakat urban menjadi pembagian kerja yang
profesional dengan kapital sebagai motif utama.
Pengelolaan relasi antara komunitas
dan voluntir merupakan hal penting. Syarat utama pengembangan komunitas
sebenarnya terletak pada daya yang dihasilkan oleh voluntir. Spirit
kesukarelawanan menjadi hal yang pokok bagi kemunculan inisiasi-inisiasi
kreatif yang dinamis. Beberapa komunitas yang gagal membangun relasi dengan
voluntir akan mengalami persoalan regenerasi. Persoalan utamanya adalah bahwa
komunitas yang mapan cenderung untuk mempertahankan relasi antara pengurus
komunitas dan voluntir semakin berjarak. Padahal sangat penting bagi komunitas
untuk menjadikan voluntir sebagai bagian integral dari kepengurusan komunitas.
Termasuk membolehkan voluntir untuk ikut mengambil keputusan komunitas.
Pengelolaan voluntir di RBK dilakukan
secara terbuka, partisipatif, dan apresiatif. Setiap voluntir di RBK diberi kesempatan
untuk menentukan jenis program yang ingin dikelola. Perlu dijelaskan juga,
voluntir yang bergabung ke RBK pada umumnya berdasarkan pada testimoni. Model
perekrutan juga pernah dilakukan RBK di universitas-universitas. Tetapi,
partisipasi voluntir lebih kuat dilakukan berdasarkan testimoni para pegiat
atau orang-orang yang pernah berkunjung ke RBK. Oleh karena itu, voluntir di
RBK pada umumnya merupakan jejaring pertemanan di antara para pegiat atau
voluntir. Dengan demikian penting sekali menjaga lingkungan komunitas yang
tetap manusiawi.
Pengelolaan Biaya
Biaya (budget) pada umumnya dipahami sebagai ekspresi kuantitatif berupa
kapital (uang) dalam proses operasionalisasi perencanaan program. Selain
voluntir, bagi sebagian besar komunitas ataupun bentuk pengorganisasi massa
lainnya, pembiayaan merupakan hal yang krusial. Beberapa lembaga bahkan
mengembangkan bentuk-bentuk pengelolaan dana melalui koperasi atau amal usaha
untuk menjaga kestabilan sumber pembiayaan. Komunitas literasi juga tidak pernah
lepas dari pembahasan mengenai pengelolaan biaya. Hanya saja, bagi komunitas
literasi, pembiayaan yang tak kalah penting adalah partisipasi sukarela. Hal
ini disebabkan karena komunitas pada dasarnya menjalankan program-program
alternatif. Sehingga keterlibatan partisipan yang didasarkan pada uang, di satu
sisi justru akan menjadi penghambat kreatifitas.
Pengelolaan dana bagi komunitas
didasarkan pada kebutuhan. Komunitas mengelola dana untuk kepentingan yang
tidak dapat dihindari seperti perawatan kantor, dan beberapa biaya
administratif. Pengelolaan dana untuk agenda rutin komunitas pada umumnya
diserahkan pada bentuk partisipasi kreatif voluntir atau pegiat di komunitas. Setiap
voluntir ataupun pegiat berlatih untuk bertindak sukarela untuk menyelenggarakan
agenda rutin komunitas. Hal ini dimungkinkan karena agenda rutin komunitas
seringkali tidak membutuhkan biaya lebih untuk konsumsi, penyewaan tempat, atau
untuk membayar narasumber. Komunitas pada umumnya menyelenggarakan agenda rutin
dengan bersandar pada inisiatif pegiat atau voluntir.
Sumber penggalangan dana (fundrising) berasal dari infaq jejaring
komunitas. Teknologi informasi mempermudah akses setiap orang untuk ikut
berinfaq bagi komunitas. Dana itu dikelola untuk kepentingan komunitas dan
masyarakat lokal. Selain infaq, model fundrising
lainnya ialah melalui strategi kreatif lainnya, selama tidak bersifat
terikat. Prinsip dalam penggalangan dana pada dasarnya jangan sampai membuat
komunitas menjadi sangat tergantung. Program dan misi literasi harus digerakkan
sekreatif mungkin.
Bebas dan Mandiri
Mengelola komunitas berarti membangun
kehidupan secara kolektif dan organik dengan lebih bermakna. Berbeda dengan
LSM, komunitas pada dasarnya dikelola sebagaimana tata cara hidup kolektif yang
jamak ditemukan pada masyarakat-masyarakat lokal. Komunitas dapat berkembang
dengan baik hanya jika kesadaran terhadap otonominya begitu kuat. Artinya,
komunitas sebagai bentuk kolektif masyarakat dalam mendorong inisiasi bagi
kepentingannya, sedapat mungkin merencanakan program-programnnya secara bebas
dan mandiri. Makanya komunitas tidak pernah merumuskan program berbasiskan pada
ketersediaan funding. Hal ini tidak berarti komunitas
menghindari bantuan, melainkan menjaga prinsip dalam penerimaan dana yang dapat
mencerabut nilai-nilai lokal komunitas.
Pengelolaan komunitas yang bebas dan
mandiri dilakukan dari hulu hingga hilir dan memastikannya sebagai cara
mengembangkan komunitas. Setiap komunitas harus mampu menjaga kebebasan atau
otonominya sehingga mampu menentukan jalan komunitas berdasarkan pada kehendak
masyarakat. Kebebasan komunitas dalam menetukan pengembangannya akan menjadi
jalan bagi kemandirian komunitas yang sebenarnya.
Lampiran I
Profil
Rumah Baca Komunitas
Inspirasi
Tan Malaka menceritakan dalam Madilog
bahwa Leon Trotzky membawa berpeti-peti buku menuju tempat pembuangannya begitu
juga Sukarno dan Hatta atau Pramoedya Ananta Toer. Kegilaan terhadap buku telah
membesarkan para pemimpin rakyat dan penulis besar. Situasi ini harus diperangi
semampu kita dengan menggunakan berbagai pendekatan seperti budaya, agama, dan
politik sekalipun. Membaca harus menjadi semangat baru bahwa membaca adalah
bagian dari iman dan sebagai manifestasi sosial harus ada terobosan baru untuk
menyulap perpustakaan pribadi menjadi perpustakaan komunitas. Kehadiran rumah
baca ini juga diharapkan mampu mempromosikan nilai-nilai perdamaian melalui
ragam buku bacaan dan karya tulis lainnya.
Nama
Komunitas ini bernama Rumah Baca
Komunitas yang kemudian disingkat dengan RBK.
Genealogi Komunitas
Embrio awal komunitas ini adalah
dengan berdirinya Kantor jejaring antar beberapa komunitas di Bantul,
Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 2012. Rumah Baca Komunitas merupakan salah-satu
komunitas yang memanfaatkan kantor jejaring tersebut. Komunitas ini awalnya
beralamat di Jl. Pak Rebo No.119 RT 03, Onggobayan, Ngestiharjo, Kasihan,
Bantul, D.I Yogyakarta. Bulan Februari tahun 2013, Rumah Baca Komunitas berdiri
kembali dan pindah ke alamat Jl. Parangtritis KM 3.5, No.192, Sewon, Bantul,
DIY. Bulan Februari tahun 2014, Rumah Baca Komunitas pindah ke Sidorejo,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, RT 08.
Logo/simbol
Logo berbentuk buku yang menaungi nama
komunitas dengan arti bahwa buku dapat mempersatukan dan menjadi payung untuk
semua golongan.
Sifat Komunitas
Komunitas ini bersifat independen, non-profit, dan tidak terikat oleh
organisasi, ideologi, dan kepentingan politik tertentu.
Prinsip dan Nilai-Nilai
1.
Keadilan dan Emansipasi
2. Anti-Diskriminasi
3. Nir-Kekerasan
4. Pemberdayaan
Diri
5. Volunterisme
dan Gerakan Mikroba
6. Kepercayaan
7. Apresiasi
Visi dan Misi Komunitas
Komunitas ini mempunyai visi yaitu
menggerakkan aras perjuangan literasi melalui komunitas terwujudnya manusia
berdaya emansipatif dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
Misi Komunitas ini adalah sebagai
berikut:
1. Menyediakan
ruang literasi sebagai ruang hidup
2. Mempromosikan
nilai-nilai yang emansipatif bagi pembentukan komunitas yang lebih manusiawi
melalui spirit literasi
3. Memperkuat
kehidupan komunitas melalui paradigma organik
Kepengurusan
(Pegiat dan Voluntir)
1. Siapa saja
dapat mengajukan diri sebagai pengurus.
2. Pegiat dan
voluntir komunitas dapat berasal dari latarbelakang etnik, agama, keperayaan,
dan aliran manapun. selama setuju dengan spirit literasi Rumah Baca Komunitas.
3. Otoritas
kebijakan mengenai pegiat dan voluntir diatur dalam asas kekeluargaan dan
kebersamaan.
4. Masing-masing
pegiat atau voluntir diperbolehkan menggunakan kesempatan di Rumah Baca
Komunitas sebagai proses belajar kolektif, dan dua arah.
5. Setiap
Pegiat atau voluntir dilindungi hak-haknya untuk memperoleh perlakuan yang
setara, aman, bebas dari kekerasan, tindakan diskriminatif, pelecehan,
pemerasan, penindasan, dan bullying,
6. Kepengurusan
baik pegiat atau voluntir dapat berakhir atas keinginan sendiri dengan
mengundurkan diri, dan atau meninggal dunia.
7. Kepengurusan
dapat dibuktikan dengan keterlibatan yang manusiawi di dalam komunitas.
4. Kepengurusaan
akan diperbaharui sesuai dengan kebutuhan.
5. Setiap
pengurus berhak menentukan jenis partisipasinya dalam upaya membangun
kemanusiaan dan berhak menyampaikan ide/gagasan serta dilindungi dari segala
kekerasan.
Pendanaan
Komunitas ini bersifat independen maka
pendanaan berasal dari swadaya, bantuan masyarakat dan iuran anggota. Berikut
adalah beberapa nilai yang mengatur pendanaan komunitas:
1. Komunitas
menerima bantuan pendanaan dari pihak-pihak yang mendukung proses pembentukan
komunitas yang manusiawi
2. Komunitas
terbuka menerima pendanaan dari pihak manapun selama yang bersangkutan (bisa
dalam bentuk lembaga atau individu) tidak terlibat dalam kasus-kasus kekerasan,
kerusakan ekologi, pelanggaran HAM, pembakaran buku, pelarangan buku, lembaga
yang mengesahkan UU yang tidak
manusiawi.
3. Komunitas
menerima pendanaan selama tidak bersifat mengikat
4. Penerimaan
pendanaan dari pihak manapun harus dilaporkan kepada pengelola keuangan yakni
bendahara. Penerimaan di atas Rp. 50.000, 00 wajib disampaikan dalam forum
rapat.
5. Penerimaan
pendanaan hanya diizinkan melalui jalur bendahara, tidak diperbolehkan melalui
rekening pribadi.
Inventaris
1. Inventaris
komunitas sepenuhnya dimiliki oleh komunitas. Penggunaan nama komunitas untuk
mendapatkan inventaris pribadi tidak diperbolehkan.
2. Penggunaan
inventaris komunitas untuk kepentingan pribadi tidak diperbolehkan. Kerusakan
inventaris oleh penggunaan pribadi harus diatasi oleh yang bersangkutan.
Kode Etik
1. Setiap
pegiat dan voluntir harus belajar dalam proses yang manusiawi dan apresiatif.
2. Tidak
dibenarkan salah-satu pihak yang terlibat relasi dalam komunitas untuk melakukan
diskriminasi, kekerasan, bullying, pelecehan, pemerasan, pemaksaan, dan segala
bentuk penindasan.
[1]
Disampaikan dalam Rakernas Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah,
6 Mei 2016 di Universitas Ahmad Dahlan.
[2]
Pegiat Rumah Baca Komunitas, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. fauzansandiah@gmail.com
No comments:
Post a Comment