Thursday, June 16, 2016
Wednesday, June 15, 2016
Danang dan Rasyid✊
Powered by 🐜pekerja.co
Tahun 2013, pasca pindah dari Onggobayan menuju Jl. Paris, hanya ada satu alasan mengapa RBK layak dipertahankan. Alasan itulah yang pada akhirnya melatarbelakangi proses apresiasi penuh atas kerja-kerja literasi pegiat RBK sejak berdiri di Jl. Pak Rebo Onggobayan. Ada perasaan mendalam yang dirasakan oleh pegiat RBK. Mereka merasa RBK telah menjadi komunitas yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya membantu proses transformasi diri.
Itulah salah-satu alasan mengapa RBK menjadi sangat berharga bagi para pegiatnya. Maka seringkali saya merasa RBK ini memerankan gerakan literasi sebagai gerakan transformasi. Genealogi gerakan literasi sendiri jika bercermin dari kerja-kerja Freirian, bertujuan utama untuk mentransformasi hasrat menindas yang bersemayam dalam diri manusia menjadi hasrat purna. Jadi gerakan literasi tidak hanya soal kemampuan baca-tulis. Gerakan literasi merupakan perjuangan melawan reproduksi hasrat-hasrat yang membawa manusia menjadi predator-predator baru dari sistem yang dikuasai oleh mode sosial alienatif. Tujuan gerakan literasi berbasis komunitas dengan demikian adalah menunjukkan bahwa proses reproduksi pengetahuan yang alienatif bukan merupakan jalan mengerem proses kerusakan.
RBK persisnya memainkan peran demikian. RBK berusaha memperkuat transformasi diri tiap pegiatnya melalui kerja literasi. Diskusi dua kali setiap minggu yang dinamakan Reboan dan DeJure pun sebenarnya bertujuan mengajak para pegiat RBK untuk merefleksikan dirinya dan realitas yang majemuk. Begitu juga dengan ROTS yang digelar pada minggu pagi. Tujuannya adalah melatih etos berbagi. RBK sekali lagi merupakan tempat yang cocok bagi siapa saja yang ingin belajar terus menerus. Hal ini bisa terbaca dari tema-tema Reboan atau DeJure yang tampak masuk ke berbagai topik. Tentu saja hasrat belajar yang menolak redup itu juga tercermin dari dua orang pegiat RBK; Danang dan Rasyid.
Saya merasa kuat membaca testimoni yang ditulis oleh Danang. Begini testimoninya:
"
"Banyak hal yg menggembirakan yang saya dapat ketika rots atau gabung di perpustakaan jalanan, terutama dari seorang pengunjung guru ngaji yang mengatakan bahwa baru kali ini menemui komunitas yang mau sukarela meminjamkan buku dg cara segampang ini, ada juga ibu ibu yang rada menyesal baru tahu ada perpustakaan jalanan padahal rumahnya dekat, dan seorang bapak2 yang ketika pertama kali datang hanya seorang diri selanjutnya ketika datang lagi membawa anaknya. Banyak hal yang saya rasa indah saat kita menjalaninya. Ketika melihat mereka tersenyum dan mengucapkan terima kasih adalah hal yg luar biasa. Apalagi bl ada yg mendoakan kita. Luar biasa senangnya."
Bisa dibayangkan betapa kuatnya dua orang ini membuka lapak perpustakaam jalanan yang biasa disebut ROTS. Tentu saja mereka berada di tengah kondisi puasa dan harus memantau jadwal masuk kuliah. Ditambah lagi, mereka selalu menyesuaikan diri dengan cuaca yang kadang begitu terik, kadang diguyur gerimis. Saya tak bisa bayangkan dua mahasiswa ini berjibaku kreatif dan tampak tak lelah. Perlu kita ketahui, mereka juga tengah sibuk menghadapi sejumlah tugas akademik, problem keseharian mahasiswa, hingga tantangan yang tak terduga.
Sewaktu saya mampir ke Alun-Alun Kidul tempat ROTS dibuka, Rasyid berkata pada saya "Mas, sebaiknya kita harus gimana lagi ya supaya ROTS ini semakin asik?". Setelah bertanya dia melanjutkan dengan pertanyaan lain "Mas, buku ini diletakkan di mana ya..?". Obrolan berlanjut sambil kami beraktifitas.
Kebetulan saat itu salah-satu stasiun TV sedang meliput NgabubuRead ROTS RBK. Danang dan Rasyid merupakan dua pegiat yang konsisten membuka lapak selama bulan puasa. Sewaktu diliput, dua pegiat ini tetap tampak asik beraktifitas. Saat hujan mengguyur dari langit yang gelap, mereka tampak ceria saja. Dari kaos yang basah mereka kelihatan selalu baik-baik saja. Memang benar, dalam badan yang berdaya-tahan, ada pikiran sehat yang dirawat.
Satu motor berdua dikendarai rasanya semua bagian sudah penuh sesak. Tapi Tidak untuk Danang Dan rasyid pegiat ROTS yang memenuhi motornya dengan satu container sedang berisi buku, dua rangsel berisi buku, banner besar, 3 buah tampah bertuliskan RBK dan satu tampa bertuliskan "aku Dan buku" ditambah dua TIKAR cukup makan tempat. Ini dilakukan hampir tiap hari di bulan penuh berkah. Menurutku ini tindakan ultra militan yang sangat mengesankan. Semoga Allah menambah kasih sayangnya pada pegiat Literasi
Aku taunya ketika mereka berdua mampir rumah, masyaallah seperti tosa yang mendarat di gang sempit. Bentuk bentuk tindakan yang paling penting diapreasiasi pada hari hari penuh Polemik ini.
Selalu saja ada manusia yang memperpanjang nafas literasi. Sambung menyambung, saling bergantian, saling berbagi peran.
Zaman sudah banyak berubah, sangat banyak. Yang tergelincir, terhempas mati tak tertolong....yang masih tahan terus bertahan.
Monday, June 13, 2016
Tinju
Oleh Lutfi Zanwar Kurniawan
Lama rasanya tak membaca esai-esai renyah Emha Ainun Nadjib. Esai yang kerap menyajikan peristiwa harian yang luput dari tangkapan. Dan Emha berhasil memotretnya, menuliskannya dengan gaya yang terkadang jenaka, di lain waktu liris kontemplatif. Bacalah kumpulan esainya dalam buku Markesot Bertutur, di sana akan kita temukan campuran gaya itu.
Satu hal yang kerap saya temukan ketika membaca esai-esainya, selain gaya yang saya sebut di atas. Emha adalah esais yang mampu menangkap kemudian menampilkan realitas dalam tulisannya di luar kerangka rutinitas. Realitas yang ia tampilkan hampir selalu realitas dengan multi wajah, sehingga melahirkan beragam pemahaman dan pemaknaan. Realitas olahraga tinju misalnya. Melalui baku pukul dua manusia di atas ring Emha mampu memberi makna dan mengaitkannya dengan penindasan dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang diterima rakyat kecil.
Dunia tinju adalah dunia yang penuh kontroversi. Jika ada petinju sakaratul maut atau bahkan meninggal di atas ring akibat terkena hantaman lawan. Segera saja muncul di berbagai media analisis pakar dan pengamat dunia pertinjuan. Mereka berdebat, berpolemik, yang tak setuju tinju mengatakan bahwa olahraga ini tak manusiawi, menganggap manusia layaknya hewan yang diadu dijadikan tontonan. Yang setuju mengatakan tak ada yang salah dengan tinju, toh para petinju sudah mengerti konsekuensi yang mereka hadapi apa. Mereka jiga dibayar untuk itu, dan ada peraturan ya g ketat di dalam olahraga ini. Sakaratul maut atau kematian petinju adalah insiden bagi mereka yang setuju.
Lalu sebaiknya bagaimana sikap kita terhadap tinju? Kita semua terseret ke dalam perdebatan abadi itu tanpa pernah tahu kapan pernah selesai. Keterseretan kita, kesulitan kita menemukan ketepatan-ketepatan dalam mengambil sikap dikarenakan kita memandangnya sebagai pengamat dari jarak yang terlampau jauh. Itupun hanya dari media, dari koran, dari tivi tidak ikut bertungkus lumus, menceburkan diri, mengalami sendiri realitasnya.
Emha menceritakan suatu kali pernah menjadi ofisial darurat seorang petinju kelas ayam sayur. Petinju partai tambahan empat ronde yang setiap ronde petinju akan dihonori sebesar sepuluh ribu rupiah. Kalau petinju ndlosor di ronde pertama, ya sepuluh ribu saja perolehannya. Petinju kelas ayam sayur itu menang. Tetapi kemenangan itu membuat Emha menangis. Sebab, lawannya juga seorang suami miskin dengan istri dan dua anaknya yang menunggu di rumah. Tentunya tindakan yang ideal adalah memberinya pekerjaan di luar tinju. Akan goblok dan sadis kalau kita mengatakan kepadanya bahwa tinju itu biadab, memukul orang itu haram.
Karena kita selama ini mengetahui realitas itu dari koran, tivi yang pasti telah melalui proses pembingkaian. Sehingga kita tak pernah benar-benar tahu realitas yang lebih utuh seperti apa. Kita tidak akan pernah mengetahui mayoritas petinju yang nasibnya sekedar untuk pancikan (batu pijakan) para petinju top. Demi menghidupi keluarga mereka, anak dan istri yang menunggu di rumah.
Bertinju di ring masih lumayan moralnya. Mereka saling pukul dan dipukul karena suatu akad yang telah disepakati bersama. Ada yang "bertinju" lebih kejam dari itu, yakni mekanisme orang ditinju, dipukul, dan disakiti dalam berbagai bidang tanpa orang itu rela disakiti dan tak memiliki "kewajiban" apapun disakiti. Mereka yang disakiti juga tidak dilengkapi oleh "peralatan" atau instrumen dan "jurus-jurus" untuk melawan balik. Kecuali dengan protes.
Lama rasanya tak membaca esai-esai renyah Emha Ainun Nadjib. Esai yang kerap menyajikan peristiwa harian yang luput dari tangkapan. Dan Emha berhasil memotretnya, menuliskannya dengan gaya yang terkadang jenaka, di lain waktu liris kontemplatif. Bacalah kumpulan esainya dalam buku Markesot Bertutur, di sana akan kita temukan campuran gaya itu.
Satu hal yang kerap saya temukan ketika membaca esai-esainya, selain gaya yang saya sebut di atas. Emha adalah esais yang mampu menangkap kemudian menampilkan realitas dalam tulisannya di luar kerangka rutinitas. Realitas yang ia tampilkan hampir selalu realitas dengan multi wajah, sehingga melahirkan beragam pemahaman dan pemaknaan. Realitas olahraga tinju misalnya. Melalui baku pukul dua manusia di atas ring Emha mampu memberi makna dan mengaitkannya dengan penindasan dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang diterima rakyat kecil.
Dunia tinju adalah dunia yang penuh kontroversi. Jika ada petinju sakaratul maut atau bahkan meninggal di atas ring akibat terkena hantaman lawan. Segera saja muncul di berbagai media analisis pakar dan pengamat dunia pertinjuan. Mereka berdebat, berpolemik, yang tak setuju tinju mengatakan bahwa olahraga ini tak manusiawi, menganggap manusia layaknya hewan yang diadu dijadikan tontonan. Yang setuju mengatakan tak ada yang salah dengan tinju, toh para petinju sudah mengerti konsekuensi yang mereka hadapi apa. Mereka jiga dibayar untuk itu, dan ada peraturan ya g ketat di dalam olahraga ini. Sakaratul maut atau kematian petinju adalah insiden bagi mereka yang setuju.
Lalu sebaiknya bagaimana sikap kita terhadap tinju? Kita semua terseret ke dalam perdebatan abadi itu tanpa pernah tahu kapan pernah selesai. Keterseretan kita, kesulitan kita menemukan ketepatan-ketepatan dalam mengambil sikap dikarenakan kita memandangnya sebagai pengamat dari jarak yang terlampau jauh. Itupun hanya dari media, dari koran, dari tivi tidak ikut bertungkus lumus, menceburkan diri, mengalami sendiri realitasnya.
Emha menceritakan suatu kali pernah menjadi ofisial darurat seorang petinju kelas ayam sayur. Petinju partai tambahan empat ronde yang setiap ronde petinju akan dihonori sebesar sepuluh ribu rupiah. Kalau petinju ndlosor di ronde pertama, ya sepuluh ribu saja perolehannya. Petinju kelas ayam sayur itu menang. Tetapi kemenangan itu membuat Emha menangis. Sebab, lawannya juga seorang suami miskin dengan istri dan dua anaknya yang menunggu di rumah. Tentunya tindakan yang ideal adalah memberinya pekerjaan di luar tinju. Akan goblok dan sadis kalau kita mengatakan kepadanya bahwa tinju itu biadab, memukul orang itu haram.
Karena kita selama ini mengetahui realitas itu dari koran, tivi yang pasti telah melalui proses pembingkaian. Sehingga kita tak pernah benar-benar tahu realitas yang lebih utuh seperti apa. Kita tidak akan pernah mengetahui mayoritas petinju yang nasibnya sekedar untuk pancikan (batu pijakan) para petinju top. Demi menghidupi keluarga mereka, anak dan istri yang menunggu di rumah.
Bertinju di ring masih lumayan moralnya. Mereka saling pukul dan dipukul karena suatu akad yang telah disepakati bersama. Ada yang "bertinju" lebih kejam dari itu, yakni mekanisme orang ditinju, dipukul, dan disakiti dalam berbagai bidang tanpa orang itu rela disakiti dan tak memiliki "kewajiban" apapun disakiti. Mereka yang disakiti juga tidak dilengkapi oleh "peralatan" atau instrumen dan "jurus-jurus" untuk melawan balik. Kecuali dengan protes.
Refleksi URAT, Universitas Rakyat RBK
[Lutfi Z Sandiah]
Seorang terpelajar yang ditumbuhkan dari dunia pendidikan formal tanpa terlibat di komunitas dengan yang terlibat di komunitas tentu sangat berbeda hasilnya. Sarjana yang tak terlibat cenderung menganut, menyalin, menyerap kaidah-kaidah ilmu yang diberikan. Sebaliknya mereka yang terlibat di komunitas akan mencari jati diri dan mengembara di tengah belantara keilmuan. Mereka relatif lebih merdeka menerobos, slulup (menyelam) ke dalam berbagai ragam aliran sungai ilmu. Jurusan yang diambil tak akan menjadi pembatas ruang geraknya untuk berkelana menerabas batas disiplin keilmuan yang terkotak-kotak.Hal ini cenderung berkebalikan dengan mereka yang hanya berdiam diri di kampus.
Tidak adanya kewajiban seseorang untuk terlibat di komunitas, mereka relatif lebih berkesempatan menjadi murid. Murid itu kata subjek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya, seseorang yang berkehendak. Seseorang menjadi subjek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup. Ia mempelajari apa-apa yang menurutnya penting. Dengan kata lain seseorang itu menyusun sendiri kurikulumnya. Berbeda dengan sekolah, kuliah, belum tentu seseorang itu menghendakinya. Terkadang karena adanya sistem sosial yang menekan, memberikan cap buruk pada mereka yang tak sekolah, tak kuliah. Apalagi jika jurusan kuliah itu dipilihkan dan diharuskan orang tua walaupun tak dikehendakinya. Jurusan diambil hanya atas dasar pertimbangan lulusannya laku di pasaran. Sudah sekolah, sudaj kuliah lantas datang ke kelas dalam kondisi pasrah bongkokan dan mulutnya menganga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang telah disediakan. Orang-orsng itu lebih pantas disebut murad, seseorang yang dikehendaki.
Proses pematangan seseorang pada dasarnya merupakan urusan soliter. Pematangan itu merupakan proses terus menerus yang tak akan pernah selesai. Oleh sebab itu dibutuhkan suasana dan lingkungan yang memerdekan seseorang untuk mengembara mencari jati dirinya. Lingkungan tak bisa mendikte, seharusnya cukup menyediakan anasir-anasir yang menumbuhkan suasana yang kondusif bagi seseorang untuk berproses mematangkan dirinya. Lingkungan menyediakan Lawang Sewu (seribu pintu), seorang boleh dan keluar melalui pintu manapun. Konsep Lawang Sewu memberikan kesempatan untuk memasuki banyak pintu. Menjajal berbagai ragam disiplin ilmu. Konsep ini tidak mengurung dan memerangkap seseorang dalam situasi yang mengasingkan dirinya dari realitas.
Sehingga kelak yang lahir bukan seseorang dengan cara pandang dan cakrawala fakultatif. Memahami sesuatu secara sektoral, parsial, dan sempit. Umpanya jika seseorang disodori makanan, lalu ditanya, "apa ini?" Paling-paling jawaban seseorang dengan cakrawala dan pandangan fakultatif sektoral hanya menjawab sejauh yang dilihatnya. "Itu pizza. Ini burger. Itu gudeg. Itu ayam goreng." Mereka tidak mampu menjawab itu mula-mula hasil kerja petani yang diproses lebih lanjut melalui mekanisme-mekanisme pengolahan pangan. Ada peristiwa sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tak sanggup mereka jangkau.
Dibanding kampus, komunitas relatif lebih bisa menyediakan Lawang Sewu. Sebab ruang geraknya lebih fleksibel karena tak dituntut oleh berbagai macam aturan birokrasi dan administratif. Memang komunitas tetap punya aturan, punya nilai yang dijunjung tinggi, kekhasan-kekhasan dalam bergerak. Namun semua hal itu sekedar bahan dan masukan yang memperkaya. Seseorang yang terlibat di dalam komunitas sendirilah yang mengatur dan menguasai nilai, aturan, dan kekhasan bergerak itu dalam dirinya sendiri.
Seorang terpelajar yang ditumbuhkan dari dunia pendidikan formal tanpa terlibat di komunitas dengan yang terlibat di komunitas tentu sangat berbeda hasilnya. Sarjana yang tak terlibat cenderung menganut, menyalin, menyerap kaidah-kaidah ilmu yang diberikan. Sebaliknya mereka yang terlibat di komunitas akan mencari jati diri dan mengembara di tengah belantara keilmuan. Mereka relatif lebih merdeka menerobos, slulup (menyelam) ke dalam berbagai ragam aliran sungai ilmu. Jurusan yang diambil tak akan menjadi pembatas ruang geraknya untuk berkelana menerabas batas disiplin keilmuan yang terkotak-kotak.Hal ini cenderung berkebalikan dengan mereka yang hanya berdiam diri di kampus.
Tidak adanya kewajiban seseorang untuk terlibat di komunitas, mereka relatif lebih berkesempatan menjadi murid. Murid itu kata subjek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya, seseorang yang berkehendak. Seseorang menjadi subjek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup. Ia mempelajari apa-apa yang menurutnya penting. Dengan kata lain seseorang itu menyusun sendiri kurikulumnya. Berbeda dengan sekolah, kuliah, belum tentu seseorang itu menghendakinya. Terkadang karena adanya sistem sosial yang menekan, memberikan cap buruk pada mereka yang tak sekolah, tak kuliah. Apalagi jika jurusan kuliah itu dipilihkan dan diharuskan orang tua walaupun tak dikehendakinya. Jurusan diambil hanya atas dasar pertimbangan lulusannya laku di pasaran. Sudah sekolah, sudaj kuliah lantas datang ke kelas dalam kondisi pasrah bongkokan dan mulutnya menganga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang telah disediakan. Orang-orsng itu lebih pantas disebut murad, seseorang yang dikehendaki.
Proses pematangan seseorang pada dasarnya merupakan urusan soliter. Pematangan itu merupakan proses terus menerus yang tak akan pernah selesai. Oleh sebab itu dibutuhkan suasana dan lingkungan yang memerdekan seseorang untuk mengembara mencari jati dirinya. Lingkungan tak bisa mendikte, seharusnya cukup menyediakan anasir-anasir yang menumbuhkan suasana yang kondusif bagi seseorang untuk berproses mematangkan dirinya. Lingkungan menyediakan Lawang Sewu (seribu pintu), seorang boleh dan keluar melalui pintu manapun. Konsep Lawang Sewu memberikan kesempatan untuk memasuki banyak pintu. Menjajal berbagai ragam disiplin ilmu. Konsep ini tidak mengurung dan memerangkap seseorang dalam situasi yang mengasingkan dirinya dari realitas.
Sehingga kelak yang lahir bukan seseorang dengan cara pandang dan cakrawala fakultatif. Memahami sesuatu secara sektoral, parsial, dan sempit. Umpanya jika seseorang disodori makanan, lalu ditanya, "apa ini?" Paling-paling jawaban seseorang dengan cakrawala dan pandangan fakultatif sektoral hanya menjawab sejauh yang dilihatnya. "Itu pizza. Ini burger. Itu gudeg. Itu ayam goreng." Mereka tidak mampu menjawab itu mula-mula hasil kerja petani yang diproses lebih lanjut melalui mekanisme-mekanisme pengolahan pangan. Ada peristiwa sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tak sanggup mereka jangkau.
Dibanding kampus, komunitas relatif lebih bisa menyediakan Lawang Sewu. Sebab ruang geraknya lebih fleksibel karena tak dituntut oleh berbagai macam aturan birokrasi dan administratif. Memang komunitas tetap punya aturan, punya nilai yang dijunjung tinggi, kekhasan-kekhasan dalam bergerak. Namun semua hal itu sekedar bahan dan masukan yang memperkaya. Seseorang yang terlibat di dalam komunitas sendirilah yang mengatur dan menguasai nilai, aturan, dan kekhasan bergerak itu dalam dirinya sendiri.
Saturday, June 11, 2016
Melawan Lupa Sejarah Bangsa
oleh Alhafiz Atsari
Bangsa yang menghargai sejarah bangsanya dan “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu adalah penggalan pidato yang disampaikan oleh Bung Karno saat hari ulang tahun Republik Indonesia yang ke-21. Belakangan ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pembicaraan hangat di media massa baik cetak, dan elektronik serta media sosial seperti Facebook. Munculnya beragam meme seperti “palu dan arit” diindikasikan sebagai gejala bangkitnya kembali PKI oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Tidak berhenti sampai di situ saja, penangkapan seorang pemuda karena mempunyai baju bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia (PKI) dan beberapa buku yang mengulas tragedi 30 September 1965 juga menjadi sasaran tangkap oleh aparat tertentu. Pembubaran pemutaran film di sekretariat Aliansi Jurnalistik Indonesia di Yogyakarta diduga sebagai kegiatan bangkitnya PKI dan pembubaran diskusi-diskusi oleh organisasi massa tertentu yang mengindikasikan bahwa diskusi yang dilakukan berhubungan dengan munculnya PKI yang identik dengan Komunisme/Marxisme/Leninisme walaupun itu berada pada lingkungan institusi pendidikan seperti perguruan tinggi.
Melihat gejolak penangkapan dan pembubaran oleh aparat dan ormas tertentu, penulis ingin menjelaskan dari sudut pandang yang berbeda. Dengan jelas dapat diamati, seperti pertarungan antara generasi muda versus generasi tua. Generasi muda yang diindikasikan sebagai kubu PKI dan generasi tua sebagai kubu Anti PKI. Namun, tidak semua generasi muda dapat dikategorikan seperti itu dan begitu juga sebaliknya dengan generasi tua.
Kejadian-kejadian seperti itu pasti ada pemicunya dan menunjukkan bahwa adanya ketidakjelasan sejarah di negeri ini. Pemerintah begitu lamban menyelesaikan tragedi 65 yang sudah berjalan 50 tahun dan menjadi misteri di republik ini. Menjadi misteri bagi generasi mudanya. Kisah-kisah sejarah bangsa yang dituangkan dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah baik dasar, menengah dan juga atas tidak mampu membendung semangat generasi muda yang ketika masuk ke perguruan tinggi untuk mencari kebenaran sejarah bangsanya. Dari beberapa contoh di atas, sudah menggambarkan bagaimana generasi muda menyikapi sejarah bangsanya.
Pendidikan
Pertanyaannya kemudian, apakah yang dilakukan sebagian anak muda itu salah? Siapa yang harus disalahkan?. Pemerintahan saat ini harus serius menyikapi permasalahan ini. Generasi muda mutlak akan meneruskan estafet perjalanan bangsa. Jika semakin banyak pemuda khususnya yang lahir pada era 90-an tidak mengetahui dan memahami sejarah bangsanya dengan baik dan benar, akankah bangsa ini bisa berjalan dengan baik?. Bangsa seperti itu bisa digambarkan seperti sebuah jalan beraspal yang sangat mulus tapi dibawahnya terdapat lubang yang sangat besar yang pada suatu saat nanti ketika orang yang melintasinya tiba-tiba terjatuh ke dalam karena tidak mengetahui bahwa lubang itu tidak ditutup dengan baik oleh si pembuatnya.
Pemerintah tidak boleh abai dengan persoalan ini. Kesaksian sejarawan Milan Hulb yang dikutip oleh Anton Kurnia dalam buku Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa (2016) mengatakan langkah pertama untuk menaklukkan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya. Faktanya cara ini, tidak mampu bertahan lama di negeri ini, terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang penulis jelaskan sebelumnya.
Jika pendidikan formal baik dasar, menengah, dan atas adalah sarana dan cara terbaik bagi pemerintah untuk menutupi sejarah yang belum terungkap kepastian akan kebenarannya, maka dengan cara pendidikan seperti itu juga yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki dan mengembalikan sejarah yang benar kepada generasi muda sebagai calon penerus bangsa. Dua belas tahun pendidikan SD, SMP, dan SMA adalah waktu yang cukup untuk menanamkan sejarah yang benar untuk generasi penerus bangsa ini. Penyediaan bahan bacaan seperti buku-buku yang cukup valid harus dilakukan mulai saat ini. Butanya sebuah generasi pasti disebabkan oleh generasi sebelumnya.
Pancasila
Bangsa ini memiliki Pancasila sebagai falsafah ideal yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Namun, ada kemunduran oleh generasi penerusnya karena tidak mampu membumikan ajaran-ajaran Pancasila sebagai nilai yang seharusnya hidup di dalam jiwa masing-masing masyarakatnya. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh cendikiawan-politisi Amerika Serikat John Gardner yang dikutip oleh Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011)—tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Oleh sebab itu, menjadi tanggungjawab dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengarahkan dan memahami kembali Pancasila sebagai pedoman, dasar dan arah bangsa ini. Karena seperti yang dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno dalam prolog buku Negara Paripurna bahwa kebangsaan Indonesia di abad ke-21 kita ini bukan sesuatu yang terberi, melainkan hasil sebuah proses nation building terus-menerus. Kalau tidak dipelihara maka dapat juga menguap. Melupakan adalah bentuk lain dari kematian–karangan novelis Cekoslovakia Milan Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting (1979).
Bangsa yang menghargai sejarah bangsanya dan “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu adalah penggalan pidato yang disampaikan oleh Bung Karno saat hari ulang tahun Republik Indonesia yang ke-21. Belakangan ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pembicaraan hangat di media massa baik cetak, dan elektronik serta media sosial seperti Facebook. Munculnya beragam meme seperti “palu dan arit” diindikasikan sebagai gejala bangkitnya kembali PKI oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Tidak berhenti sampai di situ saja, penangkapan seorang pemuda karena mempunyai baju bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia (PKI) dan beberapa buku yang mengulas tragedi 30 September 1965 juga menjadi sasaran tangkap oleh aparat tertentu. Pembubaran pemutaran film di sekretariat Aliansi Jurnalistik Indonesia di Yogyakarta diduga sebagai kegiatan bangkitnya PKI dan pembubaran diskusi-diskusi oleh organisasi massa tertentu yang mengindikasikan bahwa diskusi yang dilakukan berhubungan dengan munculnya PKI yang identik dengan Komunisme/Marxisme/Leninisme walaupun itu berada pada lingkungan institusi pendidikan seperti perguruan tinggi.
Melihat gejolak penangkapan dan pembubaran oleh aparat dan ormas tertentu, penulis ingin menjelaskan dari sudut pandang yang berbeda. Dengan jelas dapat diamati, seperti pertarungan antara generasi muda versus generasi tua. Generasi muda yang diindikasikan sebagai kubu PKI dan generasi tua sebagai kubu Anti PKI. Namun, tidak semua generasi muda dapat dikategorikan seperti itu dan begitu juga sebaliknya dengan generasi tua.
Kejadian-kejadian seperti itu pasti ada pemicunya dan menunjukkan bahwa adanya ketidakjelasan sejarah di negeri ini. Pemerintah begitu lamban menyelesaikan tragedi 65 yang sudah berjalan 50 tahun dan menjadi misteri di republik ini. Menjadi misteri bagi generasi mudanya. Kisah-kisah sejarah bangsa yang dituangkan dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah baik dasar, menengah dan juga atas tidak mampu membendung semangat generasi muda yang ketika masuk ke perguruan tinggi untuk mencari kebenaran sejarah bangsanya. Dari beberapa contoh di atas, sudah menggambarkan bagaimana generasi muda menyikapi sejarah bangsanya.
Pendidikan
Pertanyaannya kemudian, apakah yang dilakukan sebagian anak muda itu salah? Siapa yang harus disalahkan?. Pemerintahan saat ini harus serius menyikapi permasalahan ini. Generasi muda mutlak akan meneruskan estafet perjalanan bangsa. Jika semakin banyak pemuda khususnya yang lahir pada era 90-an tidak mengetahui dan memahami sejarah bangsanya dengan baik dan benar, akankah bangsa ini bisa berjalan dengan baik?. Bangsa seperti itu bisa digambarkan seperti sebuah jalan beraspal yang sangat mulus tapi dibawahnya terdapat lubang yang sangat besar yang pada suatu saat nanti ketika orang yang melintasinya tiba-tiba terjatuh ke dalam karena tidak mengetahui bahwa lubang itu tidak ditutup dengan baik oleh si pembuatnya.
Pemerintah tidak boleh abai dengan persoalan ini. Kesaksian sejarawan Milan Hulb yang dikutip oleh Anton Kurnia dalam buku Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa (2016) mengatakan langkah pertama untuk menaklukkan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya. Faktanya cara ini, tidak mampu bertahan lama di negeri ini, terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang penulis jelaskan sebelumnya.
Jika pendidikan formal baik dasar, menengah, dan atas adalah sarana dan cara terbaik bagi pemerintah untuk menutupi sejarah yang belum terungkap kepastian akan kebenarannya, maka dengan cara pendidikan seperti itu juga yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki dan mengembalikan sejarah yang benar kepada generasi muda sebagai calon penerus bangsa. Dua belas tahun pendidikan SD, SMP, dan SMA adalah waktu yang cukup untuk menanamkan sejarah yang benar untuk generasi penerus bangsa ini. Penyediaan bahan bacaan seperti buku-buku yang cukup valid harus dilakukan mulai saat ini. Butanya sebuah generasi pasti disebabkan oleh generasi sebelumnya.
Pancasila
Bangsa ini memiliki Pancasila sebagai falsafah ideal yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Namun, ada kemunduran oleh generasi penerusnya karena tidak mampu membumikan ajaran-ajaran Pancasila sebagai nilai yang seharusnya hidup di dalam jiwa masing-masing masyarakatnya. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh cendikiawan-politisi Amerika Serikat John Gardner yang dikutip oleh Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011)—tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Oleh sebab itu, menjadi tanggungjawab dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengarahkan dan memahami kembali Pancasila sebagai pedoman, dasar dan arah bangsa ini. Karena seperti yang dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno dalam prolog buku Negara Paripurna bahwa kebangsaan Indonesia di abad ke-21 kita ini bukan sesuatu yang terberi, melainkan hasil sebuah proses nation building terus-menerus. Kalau tidak dipelihara maka dapat juga menguap. Melupakan adalah bentuk lain dari kematian–karangan novelis Cekoslovakia Milan Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting (1979).
Literasi Camp dan Anak Panah Literasi
Oleh: Hanapi
Pegiat Rumah
Baca Komunitas dan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY
“jalan
literasi adalah jalan jihad kotemporer untuk kemaslahatan masa depan untuk
semua generasi, membangun bangsa yang dicekoki oleh iklan dan berita yang tidak
sehat untuk perkembangan paradigma keilmuwan untuk masyarakat suatu bangsa maka
gerakan literasi berbasis komunitas suatu pilihan dakwah yang sebenarnya untuk
membangun masyarakat ilmu yang sejati”
Literasi camp yang diselenggarakan oleh
Pimpinan Pusat ikatan Pelajar Muhammadiyah di banten pada tanggal 27-29 mei
merupakan agenda strategis dan sekaligus sebuah upaya yang sungguh-sungguh
untuk mewadahi gerakan literasi yang ada di indonesia untuk saling mengenal,
berbagi, menguatkan, kolaborasi untuk menghidupkan sudut-sudut ruang yang masih
gelap, ter-komersialisasi secara massif dan ruang yang tidak berpihak untuk
masyarakat. Selama ini bangsa indonesia masih terkenal sebagai bangsa yang
memiliki indeks yang rendah dalam hal membaca, pelabelan negative ini menjadi
tantangan bagi generasi muda untuk bergerak dengan segala upaya pikiran dan
tenaga bahwa indonesia bukan bangsa yang malas tapi bangsa yang hanya sedang
dilanda oleh kebijakan yang tak berpihak dan tak mengandung nilai pancasila
sesungguhnya.
Ada banyak
hal yang menyebabkan kenapa indeks baca masyarakat indonesia lemah, Menurut Syahruddin El-Fikri “Rendahnya budaya
baca masyarakat ini dikarenakan oleh masyarakat indonesia lebih suka menonton televisi,
mendengarkan radio, dan bergelut pada dunia maya dibandingkan membaca buku”
selain itu Teguh Hindarto mengatakan ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya
dan lemahnya minat baca masyarakat yang Pertama, Faktor internal, Menurut
Setiawan Hartadi lebih kepada peran orang tua dalam menamkan budaya baca kepada
anaknya agar nilai-nilai ketertarikan terhadap buku sudah melembaga tetapi
peran orang tua untuk sekarang tidak berjalan malahan membiarkan anaknya untuk
bermain gadget; Kedua, Faktor eksternal, Nooraida Permana mengatakan untuk
eksternal ini “dibutuhkannya peranan pemerintah dan perpustakaan dalam
meningkatkan minat membaca masyarakat”.
Kelemahan
yang terjadi ini menjadi tantangan sekaligus bahan untuk menguatkan energi
bahkan menambah kapsul literasi Revolusioner agar perjuangan untuk mewujudkan
masyarakat literasi benar-benar memiliki daya tahan yang berkelanjutan, di
dalam acara literasi camp David Efendi mengatakan lakukan hal yang sederhana
dan radikal untuk melakukan perjuangan literasi yang dicontohkan dengan membawa
beberapa buku melalui motor, terus buka lapak, itu merupakan usaha literasi
yang mudah dan radikal. Perjuangan literasi tidak harus seperti yang dilakukan
pemerintah yang harus menunggu waktu lama, membangun gedung yang mewah, tinggi
tapi kebanyakan penuh aturan yang tidak membangun budaya kepercayaan, Kak David
mengatakan Pemerintah saja takut kehilangan bukunya dengan membuat aturan
seperti denda. Menurut penulis inilah salah satu penghambat dunia literasi
dimana pemerintah tidak bisa membangun kepercayaan publik bukan berarti aturan
tidak baik kalau sudah sampai tahap denda maka jalan literasi tadi sedikit
ternodahi karena niat baik pada awalnya, harus memiliki proses yang baik dalam
menjalankannya. Di Rumah baca komunitas kegiatan RBK on the street yang
dilakukan tiap hari minggu di alun-alun kidul dimana buku dipinjamkan dengan
tanpa syarat kepada publik. tentunya ini menjadi formula yang jauh lebih
menarik ketimbang bersama aturan yang kolot dan kaku tapi usaha tanpa syarat ini bagian jihad literasi
sesungguhnya karena selain membangun kedekatan melalui kepercayaan publik, yang
dibangun ini budaya untuk bersama dan menunjukkan bahwa buku bukanlah barang
mewah sekaligus tidak ribet untuk mengaksesnya.
Acara
literasi camp ini dihadiri oleh berbagai pegiat literasi salah satu nya ada
pegiat literasi dari lampung atau lebih dikenal komunitas Griya Buku yang
menggerakan literasi yang kontekstual melalui ekonomi kreatif sesuai kebutuhan
masyarakat seperti yang dikatakan pegiatnya yang disapa dengan panggilan Pak
Cik, literasi yang tidak hanya berwacana tetapi aksi melalui ekonomi kreatif
untuk warga begitulah katanya, Omah Buku dari Jatim dari Kak Manu, Rumah Baca
Hos Cokro Minoto dan masih banyak komunitas lainnya. Dalam acara Literasi Camp
Mas Golla Gong seorang pendiri Rumah Dunia dengan semboyan “Aku bangun dengan
kata-kata”, memberikan cerita banyak hal tentang dunia literasi, mulai dari
bagaimana Ia membangun rumah dunia dan memasuki dunia literasi, Ia mengatakan
buku memiliki dua manfaat yang pertama, membuat seorang percaya diri; Kedua,
bisa mengunjungi banyak tempat, Ia juga mengatakan kalau ingin “mendirikan
komunitas harus kuat luar dan dalam”.
Dalam
kegiatan literasi camp begitu banyak hal yang mengispirasi, mengenal perbedaan
menjadi sebuah kekuatan dan komitmen untuk bersatu, sebuah gerakan literasi
multicultural yang miliitan bukan semu dan kosong. Kak Wiek seorang pegiat
Rumah Baca Komunitas mengatakan Literasi harus memiliki keberpihakan terhadap
kaum yang dimarginalkan, inilah literasi yang memiliki semangat membebaskan dan
men-advokasi untuk menegakkan nilai-nilai ilmu pengetahuan demi kebenaran,
dalam arus modernisasi yang tidak tentu kemana arah pembangunan bangsa ini,
gerakan literasi ini menjadi gerakan pemberdayaan umat yang efektif dan efisien
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan juga ketika modernisasi menggeruskan
budaya dan mengubah prilaku dari segala arah dan ketika arus akumulasi modal
terus meningkat secara exploitatif dalam suatu negara maka anak panah literasi
harus terbang untuk bediri, bergerak, mempelopori dari segala arah agar cahaya
pencerahan hidup di zaman modern yang penuh dinamika dan tantangan, melawan
ketidakadilan bersama pena dan buku yang mengantarkan jalan perlawanan
sesungguhnya namun bisa bersatu atas nama apapun selama itu kebaikan yang
diharapkan banyak orang atau masyarakat luas.
Seorang
pegiat literasi, pencinta buku, orang suka berbagi tentang ilmu pengetahuan,
mengabdi untuk pendidikan, merekalah anak panah literasi yang menyebarkan
virus-virus literasi untuk membawa perubahan menuju bangsa dan desa yang cinta
akan ilmu pengetahuan. Dauzan Farook mengatakan “siapapun bisa menjadi peggerak
literasi”. Literasi camp yang diselenggarakan ini menjadi suatu wadah
integaralisasi multicultural perjuangan jalan jihad kotemporer dalam mewujudkan
indonesia berkemajuan.
“kalau kapitalisme telah menjarah kita,
nilai-nilai kezaliman telah beterbangan bahkan telah membunuh banyak orang maka
ambilah penamu, lakukan perjuangan, kritik secara vokal, peluklah bukumu,
kuatkan iman hidup sesuai keyakinanmu, telitilah masalah secara mendalam,
halulantakkanlah ketidakadilan itu agar anak panah literasi itu mampu menjadi
pencerah disetiap zaman” Hanapi (Anak Panah Literasi).
“ketika hutan
ditebang secara liar, hukum adat tidak berjalan, masyarakat adat berada dalam
posisi digerus arus pembangunan yang tidak adil maka jalan literasi hadir
sebagai jawaban untuk menyelamatkan bumi yang dilanda nafsu serakah demi
kepentingan ekonomi semata, bersama literasi dan ekoliterasi inilah bumi
terawat dan terjaga karena nilai-norma maupun etika yang langkah masih tetap
terjaga disegala zaman karena itu bingkai moral dan keadaban landasan untuk
membangun masyarakat utama” Hanapi (Anak Panah Literasi).
“jika nanti
ibumu bertanya, apa cita-citamu maka jawablah aku ingin jadi anak panah
literasi, jika Ibumu bertanya kenapa alasannya? Jawablah karena aku melihat
begitu banyak orang pintar tapi jauh dari rakyat” Hanapi (Anak Panah Literasi).
“ketika
bisnis selalu menggunakan logika profit maka bisnis itu hanya kerusakan dimuka
bumi, istilah literasi entrepreneur sangat cocok untuk menjawab zaman, selama
bisnis itu tidak merampas hak orang lain apalagi hak orang-orang tertindas”
Hanapi (Anak Panah Literasi).
Hati-hati dengan Buku, Kawan!
David Efendi
FB: David Efendi I
@kejarlahmimpi I WA:081357180841
Tulisan ini
diniatkan untuk berbagi dengan teman-teman pegiat komunitas Banggai Membaca
yang merupakan penggerak literasi yang dimotori oleh teman-teman mahasiswa asal
kebupaten Banggai yang sedang belajar di Yogyakarta. Saya menyambut gembira
diskusi yang dilaksanakan menjelang berbuka puasa di asramah putra mahasiswa
Banggai yang letaknya tak jauh dari rumah saya di daerah Krapyak, Bantul. Saya
sering melewati padepokan orang-orang panting pewaris republik ini kelak. Kali
ini saya ingin berbagi sekilas biorgrafi saya sebagai pembaca dan apa yang
telah berhasil aku rebut dari peristiwa membaca, menyisikan waktu untuk membaca
dari pada bekerja mencari uang, atau menggeser keinginan membeli baju untuk
sebuah buku.
Awal mula saya
membaca buku pelajaran yang sama sekali tidak menarik perhatian saya selain
terror keseharian jika saya tidak selesai mengerjakan tugas-tugas isian yang
ada di dalam buku pelajaran sekolah di saat menempuh sekolah dasar di salah
satu desa di tepian bengawan solo, Lamongan. Karenanya, saya sangatlah membenci
kegiatan di bangku sekolah dan lebih sering melarikan diri ke sawah, mencari
belalang atau ikan, atau sekedar berenang di sepanjang sungai yang bermuara ke
bibir bengawan solo. Sungai raksasa ini yang menghidupi kami semua, bukan negara
atau industri lainnya. Sampai kelas 5 SD
saya baru mengenal ada majalah asik dibaca yang taka da terror di dalamnya.
Majalah itu namanya majalah kuntum yang sampai hari ini terbit di Yogyakarta.
Pertama yang mengenalkan majalah ini adalah mahasiswa yang sedang belajar di
Yogyakarta dan Surabaya yang sering membawa majalah ini. Malam jumat, saya
membaca majalah ini. Ada puisi, ada tebak-tebakan mang kunteng, juga ada banyak
bahan untuk berpidato.
Sejak itu saya
tahu, ada dunia perbukuan lebih baik ketimbang buku-buku di perpustakaan
sekolah yang gelap dan bocor jika musim hujan. Perpustakaan itu lebih dekat
dengan gudang dari pada tempat membaca buku. Itu kesan pertamaku tentang
mahkluk bernama ‘perpustakaan’ atau ‘library’ yang konon hari ini dikenak
sebagai rumah pengetahuan, atau jendela dunia.
Karya sastra dan
karya penelitian juga menjadi penting untuk mendorong peradaban bergerak maju
dan tidak ditengelamkan oleh banalitas modernism yang kadang tidak pandang bulu
untuk merusak sebuah perdaban mulia. Daya saing literasi suatu bangsalah yang
akan menjamin apakah bangsa ini akan menjadi bangsa yang progresif atau bangsa
yang gagal. Pesan Malala Yousafjai, seorang penerima nobel perdamaian asal
Pakistan, sangatlah kuat yaitu : one child, one pen, one book, and one teacher
can change the world” (satu anak, satu bullpen, satu buku dan satu guru dapat
mengubah dunia.” Optimism jenis ini perlu kita wujudkan kebenarannya dengan
cara kita sendiri-sendiri dengan kekuatan yang ada pada kita. Prinsip penting
pegiat literasi adalah berdiri di atas kaki sendiri—tidak disibukkan mengharap
uluran tangan dari sesuatu yang kita tidak miliki .
Saya kira obor
literasi bangsa kita telah dinyalakan di
berbagai penjuru tanah air seperti teman-teman literasi jalanan di Ternate,
rumah belajar, perahu pustaka, akademos, urban campus literacy, peprustakaan
bergerak di Indonesia bagian timur dengan segenap manusia-manusia unik yang
berda di dalamnya. Di Sumatra, kita lihat vespa pustaka di Bangka selatan yang
digerakakn seorang sarjana muda baru pulang dari Yogyakarta. Di JOgja ada
beragam komunitas literasi yang “tak biasa” seperti rumah baca komunitas,
podjok batcja, Indonesia boekoe, dll yang mana aktifisme literasi ini pasti
dipicu oleh keyakinan manusianya bahwa buku dapat membangun kesadaran
keloektif, bahwa buku-buku dapat menggerakkan perubahan.
Buku mengubahku!
Dari beragam ulasan
sejatinya saya juga tidak bisa menyangkal betapa banyak manfaat membaca buku.
Saya termasuk yang berkeyakinan dengan tanpa keraguan bahwa pekerja literasi,
pecinta buku, pembaca buku adalah pekerjaan yang tak pernah sia-sia. Ini haruslah
menjadi kekuatan mendasar bagi insan pekerja literasi. Kita bisa berkaca, taka
da bangsa menjadi raksasa tanpa tradisi literasi yang kuat. Daya saing sebuah
bangsa selain capaian ekonomi dan tekhnologinya, hal mendasar yang bisa dilihat
adalah tradisi keilmuwan—yang sedikit banyak disimbolkan dari keberadaan pusat
altar pengetahuan yaitu perpustakaan umum-nya.
Dari banyak studi
yang dilakukan universitas ternama di dunia, ada beberapa list mengapa membaca
itu menjadi bermanfaat antara lain adalah membaca dapat meningkatkan kapasitas
intelektual, kemampuan orasi/verbal, mengurangsi stress, membangun imajinasi,
meningkatkan empati, juga mengatrol kecerdasan. Saya merasakan temuan ini tidak
ada yang keliru dan personally saya merasakan ada banyak kebaikan yang tak
ternilai dari kebiasaan membaca, mendiskusikan bacaan, dan menguoayakan
menuliskan apa yang kit abaca untuk dibagi dengan pembaca lain. Ini mungkin
peluang zakat pengetahuan yang akan langgeng sampai hari kiamat kelak.
Beberapa buku yang
sangat mempengaruhi hidup saya adalah tetralogi Pramudya Ananta Tour dan juga
beberapa buku karya Pramudya lainnya yang sangat penting dalam hidup saya.
Buku-buku yang mengajarkan kita percaya pada kekuatan sendiri, buku yang
mengajarkan menolak tunduk dalam keterbatasan, …dan tentu saja tulisan pram
merangsang saya untuk menuliskan sesuatu baik memasukkan gagasannya dalam
artikel atau menancapkan kalimat bebas seperti puisi untuk membangun kekuatan
jiwa dan berbagi kepada teman-teman. Ada juga buku-buku seputar ideology
pendidikan Paulo friere juga sangat mempengaruhi cara pandang saya tentang
dunia pendidikan sampai hari ini.
Membaca dan menulis
nyaris tak dapat dipisahkan untuk memperoleh kekuatan maksimal maka kedua
aktifitas ini menjadi penting diberdayakan, dikolaborasikan. Membaca dan
menulis ini juga sekaligus menjadi fondasi dari tradisi riset. Untuk menjadi
peneliti yang handal, tentu perlu memperkuat tradisi membaca dan menulis sejak
dini.
Hati hati dengan buku, Kawan
Mengapa harus
hati-hati dengan buku? Ada tiga alasan penting mengapa mengasuh buku menjadi
sangat berbahaya bagi kehidupan kita. Bahaya itu bisa multitafsir karena
seringkali apa yang kita lakukan adalah kebaikan sosial dan keshalehan
individual terkait bacaan yang kita Imani, kita anggap sementara sebagai
pengetahuan bermakna. Tapi, kadang tidak bagi Negara atau bagi kelompok
‘terbebani dosa sejarah’.
Pertama, buku buku
mengajarkan kebebasan. Sangat jelas kekuatan buku ini dirasakan oleh
manusia-manusia hebat yang pernah melakoni hidup bersama buku. Muhammad Hatta
yang merupakan pendiri bangsa ini pernah mengutarakan bahwa “aku rela
dipenjarah asal bersama buku karena dengan buku aku bebas.” Makna buku yang
membebaskan berkait dengan imajinasi yang tumbuh subur dari kegiatan membaca serta
kebebasan universal yang melekat dari insan-insan yang mampu membebaskan dari
nafsu enak sendiri. Apa yang dimaknai kebebasan bukan hanya sekedar lepas dari
jeruji besi namun ada dimensi kebebasan yang bisa dilahirkan dari resiko-resiko
pilihan hidup.
Kedua, buku-buku
sangat kuat mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran. Embaca buku itu
belajar jujur dan tidak puas dengan kebenaran yang sekilas didapatkan sehingga
membaca atau proses belajar pada umumnya adalah never ending process atau
unfinished learning. Makanya, sebagai pembaca yang ‘matang’ tidak gampang
menghakimi pendapat orang atau mematikan inisiatif pembaca lain atau orang
lain. Salah satu contoh, pembaca buku kiri sangat ‘tidak terima’ jika buku buku
yang disukainya disita negara—karena mereka sedang menghayati manfaat buku
tersebut dan belum puas dengan satu sisi sejarah yang dipaksakan oleh dominasi
kekuatan tertentu (state terrorism atau
power abuse). Hal ini sangatlah berbahaya di tengah sengketa sejarah bangsa
yang tak kunjung usai. Jalan ini juga pernah ditempuh oleh Masyraakat Literasi
Yogyakarta yang mengirim maklumat kepada publik belum lama ini, juga pegiat
Rumah Baca Komunitas yang menyelenggarakan festival dilarang melarang untuk
menyuarakan protes pada kebiadaban rezim penghancur buku.
Terakhir, buku-buku
mengajarkan kita agar berpihak. Semakin banyak membaca semakin kuat
kebeprihakan pada nilia-nilai yang ia yakini dan juga menjadi kompas untuk
mengantarkan pegiat/pembaca pada jenjang-jenjang kearifan dimana kepentingan orang
banyak menjadi utama dan juga kekuatan-kekuatan baru untuk berpihak pada
kedaulatan lingkungan dan menghadang banalitas kekuasaan (rezim
pembangunanisme). Jadi, membaca dan memilih buku bukanlah pekerjaan tanpa
resiko. Bukan sekedar menyalurkan hasrat kepuasan pribadi tetapi pilihan untuk
berada dipihak yang mana kita ada. Maka, hati hati dengan buku, Kawan!.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...