Oleh: Lutfi Zanwar Kurniawan)**
Delapan belas tahun sudah reformasi berhasil
melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan yang telah ia genggam selama 32
tahun. Agenda reformasi tidak hanya sebatas menggulingkan jenderal besar
Soeharto, namun juga menuntut penghapusan peran dwi fungsi militer.
Militer harus kembali ke barak, fokus mengurusi pertahanan negara. Hari-hari
ini terjadi gelombang balik perlawanan militer terhadap usaha demokratisasi di
Indonesia. Kemunculan gelombang perlawanan balik militer untuk kembali masuk ke
ranah kehidupan sosial harus dipandang secara kritis. Memandang kemunculan
gelombang perlawanan balik perlu kita adopsi pandangan bahwa di balik setiap
kemunculan militer di ranah sosial, tak lepas dari kepentingan ekonomi politik
militer itu sendiri. Sebab militer di negeri ini telah bermetamorfosa menjadi
kekuatan politik yang menentukan, dan di bidang ekonomi pun kekuatannya tidak
bisa dipandang sebelah mata.
Konsep dwi fungsi sendiri pertama kali dilontarkan
oleh A.H Nasution pada peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional pada 12
November 1958 di Magelang. Istilah dwi fungsi sendiri merupakan istilah untuk
menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi Pembina wilayah atau
pembina masyarakat. Nasution menganggap bahwa TNI bukan sekedar alat sipil
sebagaimana di negara-negara barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang
memegang kekuasaan negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan
rakyat yang bahu membahu dengan kekuatan rakyat lainnya. Dwi fungsi ini muncul
sebagai refleksi atas pengalaman politik masa sebelumnya. Sebelum 1952, hampir
semua keputusan-keputusan politik ditentukan oleh politisi sipil, sementara
campur tangan militer di politik sangat minim dan tidak signifikan, (Noorsalim
dan Savitri, 2004:180)
Banyak cara yang dilakukan oleh militer untuk
kembali berperan dan masuk ke ranah sosial politik. Salah satu dan paling
sering dipakai militer adalah memanfaatkan konflik dan gejolak sosial-politik
yang terjadi di berbagai daerah. Hasil penelitian Jamal Bake, Muhamad Abas, dan
Rinusu mengindikasikan bahwa: aparat terkesan lamban menyebabkan meluasnya
konflik etnik, aparat memanfaatkan konflik antar etnik untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya, dan aparat keamanan membiarkan dan memelihara konflik.
Adapun tujuan militer memelihara konflik agar kehadirannya dibutuhkan. Semakin
besar kerusuhan suatu daerah, semakin besar pula kehadiran militer dibutuhkan.
Besarnya peran militer tentu saja berpengaruh pada bargaining potition terhadap pemerintahan sipil.
Retorika resmi yang selalu kita dengar setiap kali
pemerintah melibatkan pasukan militer ke daerah-daerah yang begolak adalah
untuk menjaga suasana agar tetap kondusif, menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa. Retorika itu kembali kita dengar hari-hari ini. Pemberangusan buku-buku
dengan muatan ideologi tertentu dan maraknya kampanye ganyang PKI membuktikan
bagaimana militer mulai kembali bermain di wilayah yang seharusnya tidak mereka
jangkau. Di lain pihak kekuatan dan
ketegasan yang dimiliki militer juga digunakan untuk menghalau perlawanan warga
di berbagai daerah tentang konflik agraria. Militer tak segan melakukan
tindakan represif, melakukan tindak penganiayaan yang tak sedikit menyebabkan
jatuhnya korban luka-luka dari warga.
Beberapa kejadian di atas dengan segera menunjukkan
kepada kita kedigdayaan militer dalam seluruh konstelasi politik di Indonesia.
Sampai saat ini ketergantungan Indonesia terhadap militer sangat besar.
Misalnya beberapa bila ada kerusuhan, protes warga, aksi massa, maka militer
adalah pihak pertama yang akan dipanggil. Seolah-olah tidak ada kekuatan lain
yang bisa menyelesaikannya, (Tjahjono, 2004:50). Padahal konflik yang terjadi
tak harus selalu diselesaikan dengan menggunakan cara-cara militeristik. Dalam
banyak kasus yang terjadi di lapangan menunjukkan militer kerap tak mampu
menghentikan konflik yang sedang terjadi. Alih-alih turut meredakan konflik,
pihak militer justru memanfaatkan situasi dengan memancing di air keruh. Mereka
menjadikan konflik tersebut untuk kepentingan politik mereka sendiri. Menaikkan
posisi tawar di hadapan pemerintah sipil. Mereka tampil seolah-olah menjadi
juru selamat negara dari ancaman perang saudara dan perpecahan. Posisi tawar
yang menguat ini, akibat seringnya militer setiap kali timbul konflik,
digunakan untuk mendesakkan kepentingan tertentu kepada pemerintah. Misalnya
meminta tambahan dana anggaran atau konsensi-konsensi politik lain. maka
kemudian muncul dugaan-dugaan tentang seberapa jauh peran militer dalam
“menciptakan” kerusuhan-kerusuhan tersebut.
Analisa tentang bagaimana militer bermain politik
anggaran ditulis oleh Tarli Nugroho dalam status Facebooknya tangga; 4 Mei
2016:
…..Polri
maupun TNI bukanlah aktor politik yang independen terhadap modal. Poin ini
sangat penting untuk dicatat terutama dalam memahami tren munculnya kembali
wacana anti-komunisme dan pelarangan buku di Indonesia. Poin berikutnya yang
juga penting untuk dicatat terkait soal yang sama adalah mengenai adanya
"gap anggaran" antara Polri dengan TNI. Sesudah unsur-unsur ABRI
dipecah kembali menjadi TNI dan Polri, yang mengakhiri era supremasi militer,
bukan merupakan rahasia jika secara anggaran Polri kini lebih diuntungkan dari
TNI.
Dalam
APBN, anggaran Polri tahun 2016 naik
Rp20 triliun, menjadi Rp73 triliun. Sementara pada saat bersamaan anggaran
Kementerian Pertahanan justru turun Rp7 triliun, menjadi Rp95,9 triliun.
Anggaran Kementerian Pertahanan ini di dalamnya sudah termasuk anggaran bagi
tiga angkatan TNI. Anda bisa membayangkan sendiri struktur anggaran tersebut,
termasuk mengaitkannya dengan perdebatan soal alutsista yang selalu berlangsung
tiap tahun.
Isu
komunisme ini bisa membawa konsekuensi yang jauh, bahkan lebih jauh daripada
isu terorisme, sebab isu yang mudah sekali dihubungkan dengan soal ideologi
negara ini menyangkut soal pertahanan, dan bukan hanya soal keamanan.
Sebagaimana halnya wacana kegiatan bela negara oleh Kementerian Pertahanan
tempo hari yang kontroversial itu, isu komunisme ini menurut saya, sebenarnya
masih terkait dengan soal anggaran. Sederhananya, isu ancaman pertahanan
terhadap ideologi negara ini merupakan sebuah proyek yang seksi dari sisi
anggaran, sama seksinya dengan isu terorisme yang menjadi domain utama Polri.
Itu
sebabnya, dalam menyikapi situasi terakhir, termasuk soal aksi sweeping buku
oleh tentara, kita perlu melihatnya dalam kerangka non-tradisional. Menganggap
bahwa tentara itu goblok karena mengira mereka takut terhadap hantu komunisme
adalah anggapan yang tidak cerdas, selain terlalu sarkastis dan penuh sentimen.
Fakta bahwa sesudah era militerisme para pensiunan tentara masih bisa eksis di
panggung politik demokrasi, bahkan dengan determinasi signifikan, menunjukkan
jika mereka tidaklah bodoh, sehingga kita memerlukan penjelasan lain selain
asumsi tradisional yang selalu kembali pada soal1965 itu.
Soal
politik anggaran ini, ….. jika tidak diperhatikan dan dikelola sedemikian rupa,
memang potensial melahirkan implikasi-implikasi liar yang seolah rumit di atas
permukaan namun sebenarnya sangatlah sederhana di bawah permukaan. Soal ini
mendesak untuk diperhatikan
Bagaimana
dengan isu pecah kongsinya para jenderal?
Soal
itupun sebenarnya bisa dilihat dengan kacamata "moda produksi" yang
sama. Sudah bukan merupakan rahasia lagi jika para jenderal yang berlatar
belakang intelijen memiliki kaki di banyak tempat, terutama di sektor privat,
sementara para jenderal komando umumnya hanya hidup dari kesatuannya. Jadi,
perbedaan pandangan antara dua kelompok itu terkait komunisme tidak mewakili
perbedaan ideologis, dimana satu pihak dianggap lebih rasional dan akademis
dibanding kelompok lainnya, melainkan mewakili cara pandang yang lebih di-drive
oleh soal "moda produksi" yang berbeda tadi saja.
Gampangannya,
kenapa jenderal yang berlatar intelijen lebih soft dalam menghadapi isu ini
dibanding para jenderal yang berlatar komando?! Karena kalau sudah bisa mroyek
isu lain di tempat lain, ngapain juga harus mroyek isu lama dengan cara-cara
lama?
Apa yang disampaikan Tarli Nugroho dalam status
Facebooknya itu bukan tanpa pijakan sejarah sama sekali. Feith dalam Noorsalim
dan Savitri (2014:181) mengungkapkan bahwa paska pemberangusan partai-partai
politik di awal 1960-an, kekuatan nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu
Soekarno, PKI, dan militer (AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan
melakukan manuver untuk menarik perhatian Soekarno. Kemudian, di tahun 1965
terjadi peristiwa kontroversi G 30 S, yang tidak saja mematikan PKI di
Indonesia, melainkan juga merubuhkan kekuasaan politik Soekarno.
Kelahiran orde baru, naiknya militer ke tampuk
kepemimpinan nasional dengan menjadikan Soeharto sebagai presiden menjadi
bukti. Melenyapkan kelompok komunis pada tahun 1965-1966 yang dianggap
“memecah” keutuhan bangsa sebagai legitimasi kelompok militer berkuasa. Sejak
saat itulah hampir tanpa ada kekuatan lain yang mampu menandingi supremasi
militer dalam konstelasi perpolitikan nasional. Setidak-tidaknya, terdapat tiga
peran militer pada masa orde baru yang berkaibat buruk bagi kehidupan
demokrasi. Pertama, militer menempati jabatan-jabatan politis sepeti, Gubernur,
Bupati, anggota Golkar, dan duduk mewakili dirinya sendiri di DPR. Kedua
militer menghemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contohnya yang paling mencolok
adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, yang dapat diartikan
sebagai salah satu upaya mengendalikan intelektual. Ketiga, militer melakukan
tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada
masa itu adalah orde baru melakukan pembunuhan terhadap kelompok-kelompok yang
dianggap menganggu kepentingan pemerintah. Serta memenjarakan ribuan lainnya
tanpa proses peradilan, (Aditjondro, 20014:183)
Beberapa pengamat mengungkapkan bahwa keterlibatan
militer dalam politik itu penting, terutama dalam jalur perkembangan
negara-negara dunia ketika yang kondisi ekonomi, sosial politiknya belum
stabil. Salah satunya ialah Huntington dalam Made Supriatma (1997:54)
menyatakan bahwa negara-negara yang sistem politiknya belum mapan, masih rapuh
ataupun sedang terjadi guncangan. Tidak ada lembaga politik yang cukup kuat
untuk berkuasa secara hegemonik. Terjadi pertentangan politik berkepanjangan
yang sungguh melelahkan dan menguras energi masyarakat. Kondisi inilah yang
menyebabkan terjadinya pembusukan politik. dan satu-satunya yang mampu tampil
secara hegemonik adalah kalangan militer. Kaum militer relatif bebas dari
konflik karena mereka adalah manusia-manusia yang “professional”. Mereka tidak
lagi terikat dengan solidaritas-solidaritas primordial.
Pembangunan ekonomi mensyaratkan adanya situasi
politik yang kondusif. Berbagai protes dan perlawanan yang dilakukan oleh warga
membuat situasi politik menjadi tak menentu. Hal ini tentu saja mengganggu
jalannya pembangunan besar-besaran yang dicanangkan pemerintah. Pengerahan oleh
pemerintah dalam meredakan gejolak yang terjadi di masyarakat militer jelas
dianggap merupakan cara yang efektif untuk mewujudkan stabilitas politik
sehingga pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan lancar. Pengerahan militer
dianggap sebagai satu-satunya cara penyelesaian pragmatis agar konflik yang
berlangsung secara tajam dapat direpresi.
Penggusuran di Ibu
Kota misalnya, untuk memuluskan rencana penggusuran terhadap masayarakat miskin
pemerintah DKI Jakarta mengerahkan bantuan militer. Pengerahan militer ini
tentu bukannya tanpa imbal balik. Menurut banyak pihak, militer memperoleh
keuntungan ekonomi dari keterlibatannya dalam program penggusuran ini.
Penggusuran yang melibatkan militer ini diduga dibiayai oleh salah satu
pengembang pemenang proyek. Seperti dilaporkan tempo dalam lamannya
metro.tempo.co berjudul Podomoro Klaim Biaya Penggusuran Kalijodo Barter Reklamasi:
PT
Agung Podomoro Land mengklaim membiayai penggusuran kawasan prostitusi Kalijodo
di Penjaringan, Jakarta Utara, akhir Februari lalu. Menurut Direktur Utama
Ariesman Widjaja perusahaannya mengeluarkan Rp 6 miliar atas permintaan
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Uang sebesar itu, kata Ariesman
yang menjadi tersangka penyuap kontribusi tambahan pulau reklamasi, digunakan
untuk mengerahkan 5.000 personel gabungan dari Satuan Polisi Pamong Praja,
kepolisian, dan tentara untuk menggusur wilayah yang bersisian dengan Kanal
Banjir Barat tersebut. Pengakuan Ariesman itu disampaikannya kepada penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi, seperti dimuat dalam berita Koran Tempo edisi 11
Mei 2016. Penyidik menemukan memo permintaan Ahok itu di kantor Ariesman dalam
penggeledahan 1 April 2016.
Masalahnya,
kesaksian Ariesman dibantah oleh petinggi Podomoro lain. “Untuk Kalijodo,
setahu saya kami tidak ada kontribusi apa pun,” kata Senior General Manager PT
Agung Podomoro Land Alvin Andronicus, kemarin. Namun, ia mengakui bahwa rumah
susun Daan Mogot dibangun oleh perusahaannya sebagai bagian dari kewajiban
pengembang.|
Wakil Kepala
Satuan Polisi Pamong Praja Yani Wahyu Purwoko mengaku tak tahu sumber anggaran
pasukannya ketika menggusur Kalijodo pada akhir Februari lalu. Pengerahan 2.500
personel itu, kata Yani, memakai anggaran lembaganya. “Buat membeli nasi
bungkus saja,” kata dia tanpa menyebutkan nominal dan alokasi anggaran
Ahok pun mengakui kalau pihak pengembang memberikan
dana kerahiman kepada aparat. Seperti dirilis News Okezone.com, 12 Mei 2016:
Mengenai pembiayaan kontraktor
dan aparat pengamanan saat pelaksanaan proyek, Ahok mengatakan memang ada.
Tetapi, itu sepenuhnya ditanggung perusahaan dan tidak masuk hitungan kewajiban
perusahaan yang dilaporkan dan diserahkan kepada pemerintah.
"Lalu kalau dia kasih ada
polisi, tentara, atau dikasih kerahiman buat orang pulang kampung, ada enggak?
Ada, lalu ngitungnya gimana? Ya kami enggak mau ngitung dong. Dari mana dia
ngambilnya? Dari keuntungan, kalau kamu ngerjain proyek kan ada keuntungan tuh,
begitu di-appraiser (perkiraan harga) kan bukan appraiser at cost, tapi
appraiser harga pasar. Nah, ada selisih itu, dia pakai," tutupnya.
Betapapun terjadi debat di media tentang ada
tidaknya keterlibatan pihak swasta mendanai penggusuran itu, tersingkaplah
sedikit tabir hubungan intim antara pihak pengembang properti atau pengusaha
swasta dengan aparat militer. Aditjondro (2004:84-85) mengutip berita Jakarta
Post, 14 dan 16 Maret 2003, Koran tempo 14 Maret 2003 menyebutkan pertengahan
Maret tahun 2003, AFX Global Ethics Monitor, milik kantor Berita AFP, memuat
pengakuan juru bicara PT. Freeport Indonesia bahwa perusahaannya telah membayar
biaya proteksi sebesar 5,6 juta dolar AS kepada sekitar 2300 personil aparat
keamanan Indonesia pada tahun 2002. Pada tahun sebelumnya PT. Freeport
Indonesia menyetor 4,7 juta dolar AS. Selain itu maskapai tambang juga telah
mengeluarkan biaya 400 ribu dolar AS untuk berbagai prasarana pertanahan selama
tahun 2002. Dan setengah juta dollar AS di tahun sebelumnya. Informasi itu
bersumber dari laporan konfidensial perusahaan induk PT. Freeport Indonesia-Mc
Morran Copper et Gold Inc kepada US Securities and Exchange Commision.
Berita-berita ini mulai menyingkap kepentingan ekonomi politik milter di balik
dalih keamanan dan ketertiban. Kalau benar ada dari swasta, apa imbalan balik
yang diharapkan dari dana yang telah mereka kucurkan dan imbalan yang
diharapkan militer dari keberhasilannya mengamankan kepentingan pihak swasta?
)* Bahan diskusi
Dejure dalam agenda Ramadhan di RBK #Ramadhan Melawan ke-2
)**
Sunan Kalibedog, besar di padepokan lintas alam
Sumber Bacaan
Negeri Tentara, Membongkar Ekonomi Politik Militer.
Jurnal Wacana, Edisi 17, Tahun III, 2004
Demokrasi dan Formasi Sosial. Jurnal UNISIA, No.
34/XIX?II/1997
No comments:
Post a Comment