David Efendi
FB: David Efendi I
@kejarlahmimpi I WA:081357180841
Tulisan ini
diniatkan untuk berbagi dengan teman-teman pegiat komunitas Banggai Membaca
yang merupakan penggerak literasi yang dimotori oleh teman-teman mahasiswa asal
kebupaten Banggai yang sedang belajar di Yogyakarta. Saya menyambut gembira
diskusi yang dilaksanakan menjelang berbuka puasa di asramah putra mahasiswa
Banggai yang letaknya tak jauh dari rumah saya di daerah Krapyak, Bantul. Saya
sering melewati padepokan orang-orang panting pewaris republik ini kelak. Kali
ini saya ingin berbagi sekilas biorgrafi saya sebagai pembaca dan apa yang
telah berhasil aku rebut dari peristiwa membaca, menyisikan waktu untuk membaca
dari pada bekerja mencari uang, atau menggeser keinginan membeli baju untuk
sebuah buku.
Awal mula saya
membaca buku pelajaran yang sama sekali tidak menarik perhatian saya selain
terror keseharian jika saya tidak selesai mengerjakan tugas-tugas isian yang
ada di dalam buku pelajaran sekolah di saat menempuh sekolah dasar di salah
satu desa di tepian bengawan solo, Lamongan. Karenanya, saya sangatlah membenci
kegiatan di bangku sekolah dan lebih sering melarikan diri ke sawah, mencari
belalang atau ikan, atau sekedar berenang di sepanjang sungai yang bermuara ke
bibir bengawan solo. Sungai raksasa ini yang menghidupi kami semua, bukan negara
atau industri lainnya. Sampai kelas 5 SD
saya baru mengenal ada majalah asik dibaca yang taka da terror di dalamnya.
Majalah itu namanya majalah kuntum yang sampai hari ini terbit di Yogyakarta.
Pertama yang mengenalkan majalah ini adalah mahasiswa yang sedang belajar di
Yogyakarta dan Surabaya yang sering membawa majalah ini. Malam jumat, saya
membaca majalah ini. Ada puisi, ada tebak-tebakan mang kunteng, juga ada banyak
bahan untuk berpidato.
Sejak itu saya
tahu, ada dunia perbukuan lebih baik ketimbang buku-buku di perpustakaan
sekolah yang gelap dan bocor jika musim hujan. Perpustakaan itu lebih dekat
dengan gudang dari pada tempat membaca buku. Itu kesan pertamaku tentang
mahkluk bernama ‘perpustakaan’ atau ‘library’ yang konon hari ini dikenak
sebagai rumah pengetahuan, atau jendela dunia.
Karya sastra dan
karya penelitian juga menjadi penting untuk mendorong peradaban bergerak maju
dan tidak ditengelamkan oleh banalitas modernism yang kadang tidak pandang bulu
untuk merusak sebuah perdaban mulia. Daya saing literasi suatu bangsalah yang
akan menjamin apakah bangsa ini akan menjadi bangsa yang progresif atau bangsa
yang gagal. Pesan Malala Yousafjai, seorang penerima nobel perdamaian asal
Pakistan, sangatlah kuat yaitu : one child, one pen, one book, and one teacher
can change the world” (satu anak, satu bullpen, satu buku dan satu guru dapat
mengubah dunia.” Optimism jenis ini perlu kita wujudkan kebenarannya dengan
cara kita sendiri-sendiri dengan kekuatan yang ada pada kita. Prinsip penting
pegiat literasi adalah berdiri di atas kaki sendiri—tidak disibukkan mengharap
uluran tangan dari sesuatu yang kita tidak miliki .
Saya kira obor
literasi bangsa kita telah dinyalakan di
berbagai penjuru tanah air seperti teman-teman literasi jalanan di Ternate,
rumah belajar, perahu pustaka, akademos, urban campus literacy, peprustakaan
bergerak di Indonesia bagian timur dengan segenap manusia-manusia unik yang
berda di dalamnya. Di Sumatra, kita lihat vespa pustaka di Bangka selatan yang
digerakakn seorang sarjana muda baru pulang dari Yogyakarta. Di JOgja ada
beragam komunitas literasi yang “tak biasa” seperti rumah baca komunitas,
podjok batcja, Indonesia boekoe, dll yang mana aktifisme literasi ini pasti
dipicu oleh keyakinan manusianya bahwa buku dapat membangun kesadaran
keloektif, bahwa buku-buku dapat menggerakkan perubahan.
Buku mengubahku!
Dari beragam ulasan
sejatinya saya juga tidak bisa menyangkal betapa banyak manfaat membaca buku.
Saya termasuk yang berkeyakinan dengan tanpa keraguan bahwa pekerja literasi,
pecinta buku, pembaca buku adalah pekerjaan yang tak pernah sia-sia. Ini haruslah
menjadi kekuatan mendasar bagi insan pekerja literasi. Kita bisa berkaca, taka
da bangsa menjadi raksasa tanpa tradisi literasi yang kuat. Daya saing sebuah
bangsa selain capaian ekonomi dan tekhnologinya, hal mendasar yang bisa dilihat
adalah tradisi keilmuwan—yang sedikit banyak disimbolkan dari keberadaan pusat
altar pengetahuan yaitu perpustakaan umum-nya.
Dari banyak studi
yang dilakukan universitas ternama di dunia, ada beberapa list mengapa membaca
itu menjadi bermanfaat antara lain adalah membaca dapat meningkatkan kapasitas
intelektual, kemampuan orasi/verbal, mengurangsi stress, membangun imajinasi,
meningkatkan empati, juga mengatrol kecerdasan. Saya merasakan temuan ini tidak
ada yang keliru dan personally saya merasakan ada banyak kebaikan yang tak
ternilai dari kebiasaan membaca, mendiskusikan bacaan, dan menguoayakan
menuliskan apa yang kit abaca untuk dibagi dengan pembaca lain. Ini mungkin
peluang zakat pengetahuan yang akan langgeng sampai hari kiamat kelak.
Beberapa buku yang
sangat mempengaruhi hidup saya adalah tetralogi Pramudya Ananta Tour dan juga
beberapa buku karya Pramudya lainnya yang sangat penting dalam hidup saya.
Buku-buku yang mengajarkan kita percaya pada kekuatan sendiri, buku yang
mengajarkan menolak tunduk dalam keterbatasan, …dan tentu saja tulisan pram
merangsang saya untuk menuliskan sesuatu baik memasukkan gagasannya dalam
artikel atau menancapkan kalimat bebas seperti puisi untuk membangun kekuatan
jiwa dan berbagi kepada teman-teman. Ada juga buku-buku seputar ideology
pendidikan Paulo friere juga sangat mempengaruhi cara pandang saya tentang
dunia pendidikan sampai hari ini.
Membaca dan menulis
nyaris tak dapat dipisahkan untuk memperoleh kekuatan maksimal maka kedua
aktifitas ini menjadi penting diberdayakan, dikolaborasikan. Membaca dan
menulis ini juga sekaligus menjadi fondasi dari tradisi riset. Untuk menjadi
peneliti yang handal, tentu perlu memperkuat tradisi membaca dan menulis sejak
dini.
Hati hati dengan buku, Kawan
Mengapa harus
hati-hati dengan buku? Ada tiga alasan penting mengapa mengasuh buku menjadi
sangat berbahaya bagi kehidupan kita. Bahaya itu bisa multitafsir karena
seringkali apa yang kita lakukan adalah kebaikan sosial dan keshalehan
individual terkait bacaan yang kita Imani, kita anggap sementara sebagai
pengetahuan bermakna. Tapi, kadang tidak bagi Negara atau bagi kelompok
‘terbebani dosa sejarah’.
Pertama, buku buku
mengajarkan kebebasan. Sangat jelas kekuatan buku ini dirasakan oleh
manusia-manusia hebat yang pernah melakoni hidup bersama buku. Muhammad Hatta
yang merupakan pendiri bangsa ini pernah mengutarakan bahwa “aku rela
dipenjarah asal bersama buku karena dengan buku aku bebas.” Makna buku yang
membebaskan berkait dengan imajinasi yang tumbuh subur dari kegiatan membaca serta
kebebasan universal yang melekat dari insan-insan yang mampu membebaskan dari
nafsu enak sendiri. Apa yang dimaknai kebebasan bukan hanya sekedar lepas dari
jeruji besi namun ada dimensi kebebasan yang bisa dilahirkan dari resiko-resiko
pilihan hidup.
Kedua, buku-buku
sangat kuat mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran. Embaca buku itu
belajar jujur dan tidak puas dengan kebenaran yang sekilas didapatkan sehingga
membaca atau proses belajar pada umumnya adalah never ending process atau
unfinished learning. Makanya, sebagai pembaca yang ‘matang’ tidak gampang
menghakimi pendapat orang atau mematikan inisiatif pembaca lain atau orang
lain. Salah satu contoh, pembaca buku kiri sangat ‘tidak terima’ jika buku buku
yang disukainya disita negara—karena mereka sedang menghayati manfaat buku
tersebut dan belum puas dengan satu sisi sejarah yang dipaksakan oleh dominasi
kekuatan tertentu (state terrorism atau
power abuse). Hal ini sangatlah berbahaya di tengah sengketa sejarah bangsa
yang tak kunjung usai. Jalan ini juga pernah ditempuh oleh Masyraakat Literasi
Yogyakarta yang mengirim maklumat kepada publik belum lama ini, juga pegiat
Rumah Baca Komunitas yang menyelenggarakan festival dilarang melarang untuk
menyuarakan protes pada kebiadaban rezim penghancur buku.
Terakhir, buku-buku
mengajarkan kita agar berpihak. Semakin banyak membaca semakin kuat
kebeprihakan pada nilia-nilai yang ia yakini dan juga menjadi kompas untuk
mengantarkan pegiat/pembaca pada jenjang-jenjang kearifan dimana kepentingan orang
banyak menjadi utama dan juga kekuatan-kekuatan baru untuk berpihak pada
kedaulatan lingkungan dan menghadang banalitas kekuasaan (rezim
pembangunanisme). Jadi, membaca dan memilih buku bukanlah pekerjaan tanpa
resiko. Bukan sekedar menyalurkan hasrat kepuasan pribadi tetapi pilihan untuk
berada dipihak yang mana kita ada. Maka, hati hati dengan buku, Kawan!.
No comments:
Post a Comment