Saya ingin share tulisan lama beberapa tahun silam tentang sebuah keasikan membaca buku dalam kereta api ekonomi yang berjubel penuh sesak dan berasap. Ini adalah hasil refleksi waktu itu.
Di
malam itu jasad masih terkulai lemas. Semalam mengejar kereta progo yang
meninggalkan diriku. Habis show, musikalisasi puisi di kantor Ford Foundation,
Jakarta. Baru kali ini saya main di Jakarta yang didengarkan oleh puluhan
doctor, dan juga kurang lebih 8 orang Amerika dan beberapa dari Negara lainnya.
Puisi Taufiq Ismail saya ancang untuk dimainkan dengan beberapa improvisasi
untuk menghajar koruptor, gayus, markus dan tikus termasuk para buaya darat.
Ada musik yang bagus dipetik dari gitar oleh Cak Jay, seorang tuna netra yang
punya energi besar untuk mengubah cara pandang saya dan siapa saja yang
mengenalnya. Beliau adalah roomate saya yang ini sedang study di eropa. Beliau
seorang jebolan master dari UPI dan juga seorang master gitar. Pertunjukkan
berakhir dengan traditional dance pada pukul 09.30. tentu kereta progo sudah
take off dari senin. Aku nyengir saja malam ini di Menteng. Entahlah saya ingin
pulang!
Tanggal
10 siang. April 2010. aku langsung kabur menuju Stasiun senin untuk membeli
tiket sekaligus tolak ke Jogjakarta. Apa pun yang terjadi. Meski harus berdiri
dengan satu kaki. Saya harus ke jogja. (jangan bilang-bilang, saya dua kali
berdiri dengan satu kaki di toilet bersama 6 orang di sana, lima diantara kami
perokok, itung-itung untuk menghilangkan bau WC, tidak seperti biasanya, saya
tidak berani protes kepada ahli hisab itu kali ini,waktu itu hari ahad habis
liburan iedul adhah dan natal).
Jam.14.00.
Di sebuah kereta rakyat kelas ekonomi yang diberi nama Gaya Baru Malam Selatan
yang meluncur siang pukul 12.30 dari Stasiun senin Jakarta menuju Gubeng
Surabaya melalui Lempuyangan Yogyakarta. Karena saya beli tiketnya lima menit
sebelum berangkat maka saya dapatkan tiket berdiri. Ini yang kesekian kalinya
menikmati perjalanan kereta ekonomi setiap seminggu dua kali atau tepatnya tiga
hari dua kali meluncur dari dan ke Jogja-Jakarta.
As
always, aku betul-betul menikamti keberagaman dan keanekaragaman hayati manusia
di kereta mulai dari berbagai profesi dan gaya hidup kaum-kaum marginal yang
merupakan sisi lain modernitas kata Antoni Gidden. Paradoks gemerlap tepat
disudut lain seperti rumah yang terdapat seongok tempat sampah. Disinilah para
pengais rizki tinggal, mereka tetap tersenyum dan tetap optimis menjalani kisah
hidupnya yang menurut saya sebagian dari kita menuliskannya dalam cerpen,
novel, atau sekedar status facebook. Demi manusia dan apa-apa yang
dituliskannya.
Namanya
juga kereta ekonomi. Sering kali berhenti. Kadang sangat lama dan membosankan
menunggu giliran setelah bisnis dan eksekutif lewat. Beberapa orang kipas-kipas
tak sabar dan beberapa memaki menggeruti soal kenapa eksekutif lama sekali gak
datang-datang dan ekonomi yang jadi lama menunggu.
Jam
15.00 saya masih berdiri tegak sambil membacai buku yang saya pinjam dari teman
di Jakarta. Judul bukunya antik sekali terjemahan dari luar tentunya konon di
covernya tertilis international bestseler. Judulnya The Black Swan, Rahasia
Terjadinya Peristiwa-peristiwa Langkah yang Tak Terduga. Ganjil. Ini kisah
sederhana sebab dulunya semua angsa berwarna putih. Ketika ada yang hitam
gemparlah dunia. Sama seperti kisah nyamannya orang Amerika ketika di bom WTC
pada 9/11 terguncanglah ekonomi dunia. Tidak hanya Amerika. Termasuk yang
membajak pesawat konon kaget sebelum meninggal karena bom yang dibikin tak
sehebat yang terjadi. Inilah black swan. Keanehan yang datang. Peristiwa ganjl
yang penuh tanda tanya. Karena nyata terjadi maka usaha untuk menemukan rahasia
dibalik peristiwa mutlak dilakukan. Ah…saya tidak bermaksud berlama-lama. Buku
ini setebal 479. cukup untuk dibaca sepanjang jalan dari Jakarta-Jogja.
Penulis
buku dahsyat ini namanya Nassim Nicholas Taleb. Dari buku itu saya tertarik
tentang kisah plato yang merupakan kutu buku dan juga bab tentang Umberto Eco’s
dan Antilibrary, atau bagaimana mencari kebenaran. Ini kisah tenang
perpustakaan pribadi Umberto yang membuat orang terheran karena saking
banyaknya buku menumpuk di perpustakaan pribadinya itu. Ini saya utipkan buku
The Black Swan, awal bagian pertama buku itu dimulai dengan:
”Penulis
yang bernama Umberto Eco termasuk diantara hanya sedikit cendekiawan yang serba
tahu, berwawasan luas dan tidak menjemukan. Ia memiliki sebuah perpustakaan
pribadi yang besar, berisi 30 ribu judul buku dan membagi para pengunjungnya
menjadi dua kelompok: mereka yang bereaksi dengan ” wow!signore proffesor
dottore Eco! Hebat sekali perpustakaan yang anda miliki! Berapa banyak diantraa
buku yang sudah anda baca?” dan sebuah kelompok lain, sedikit sekali, yang
paham bahwa sebuah perpustakaan pribadi bukan pelengkap untuk menaikkan gengsi
pemiliknya, melainkan alat untuk penelitian. Buku-buku yang telah dibaca
memiliki nilai yang lebih rendah dari pada buku-buku yang belum dibaca/terbaca.
Perpustakaan harus berisi sebanyak mungkin yang tidak anda ketahui sama seperti
informasi keuangan, yang tidak harus anda kuasai sepenuhnya tetapi dapat anda
ketahui ketika dibutuhkan. Anda akan menghimpun pengetahuan dan buku lebih
banyak sejalan pertambahan usia, dan makin banyak buku di rak yang dengan sedih
akan memandang karena belum terbaca. Marilah kita sebut sekumpulan buku yang
belum terbaca ini dengan antilibrary.” (page.1)
Jam
21.00. Purwokerto. Kereta berhenti agak lama. Sama seperti di Cirebon. Banyak
penumpang turun cari toilet sebab di kereta ekonomi toilet dipakek nongkrong
perokok, atau memang tidak ada air sama sekali. Kecuali anda mau bilang permisi
dan membawa botol aqua untuk membersihkan pipis. Tapin sayang mereka menolak
permisi kita sebab memang kalau kereta diam alias tidak jalan kita dilarang
menggunakan toilet sebab baunya akan kemana-mana ikut arah angin dan arah masuk
angin. Saya melanjutkan membaca buku putih itu:
”Kita
cenderung menempatkan pengetahuan dan buku sebagai hak milik pribadi yang harus
dilindungi dan dipertahankan. Pengetahuan sejatinya seperti sebuah ornamen yang
memungkinkan kita naik ke posisi lebih terhormat. Maka kecenderungan untuk
meremehkan perpustakaan Eco dengan berfokus pada yang diketahui/dibacanya
merupakan bias manusiawi yang selanjutnya berpengaruh pada kerja mental kita.
Orang tidak berjalan kemana-mana membawa pengumuman negatif mengatakan yang
belum pernah mereka pelajari atau mereka alami (itu tugas para pesaing mereka),
tetapi alangkah baiknya anda mereka melakukannya. Sama seperti kita peru
menegakkan logika perpustakaan di kepalanya, kita akan berusaha mendirikan
pengetahuan sendiri di kepalanya. Perhatikan bahwa Black Swan dimulai dari
kesalapahaman terhadap kejutan-kejutan yang dapat terjadi, terhadap buku-buku
yang belum terbaca karena kita terlalu sibuk dengan yang ita ketahui meskipun
sedikit.” (page.2).
Kawan,
terpaksa saya bertanya. Ada berapa buku yang kamu beli yang belum terbaca?
Kapan buku itu harus dikeluarkan sebagai tiang pengetahuan agar makin kokok dan
mereka tidak lagi bersedih menunggu dan menunggu kapan kita pelajari dan bacai.
Buku adalah misteri jika kita tidak mencoba mempelajari.
Seperti
yang dilakukan Eco, Saya sedang membangun perpustakaan pribadi yang publik,
perpustakaan itu berada di rumah dan juga di otak pengetahuan yang saya miliki.
Jika anda berminat tentu tidak ada yang menghalangi termasuk kelakuan meminjam
buku yang tidak kunjung kembali adalah bagian bahwa buku saya buka harta milik
seorang yang bernama David. Miliki dan sebarkan ilmu semampu anda mengejar
matahari!.
Akhirnya
tulisan ini saya cukupkan. Jam.22.30. Kereta sudah mendarat di Lempuyangan. Ase
dan Afif batal menjemputku dan batal pula makan malam di angkringan. Malam yang
gerimis disambut sahabat dan istri dengan segelas wedang teh dan jahe hangat.
Alhamdulillah. Petualangan hari ini selesai dengan sempurna. Thanks God!
Saya
berhutang budi pada Rizki yang meminjami buku ini. Thanks sobat kita sama-sama
berada di kereta yang sama yaitu kereta Tradisi membaca!