Oleh : Tan Malaka
Kita masih ingat berapa sindiran dihadapkan pada almarhum
Leon Trotsky, karena ia membawa buku berpeti-peti ke tempat pembuangan yang
pertama di Alma Ata. Saya masih belum lupa akan beberapa tulisan yang
berhubungan dengan peti-peti buku yang mengiringi Drs. Mohammad Hatta ke tempat
pembuangannya. Sesungguhnya saya maklumi sikap kedua pemimpin tersebut dan
sebetulnya saya banyak menyesal karena tiada bisa berbuat begitu dan selalu
gagal kalau mencoba berbuat begitu.
Bagi seseroang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan,
baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Seorang
tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok
dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan catatan
dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa
menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan
yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam
propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti
semen dan batu tembok buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai
sebagai barang bahan ini, buku-buku yang berarti tentulah besar faedahnya buat
pengetahuan dalam arti umumnya.
Ketka saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari
Indonesia, pada 22 Maret 1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun tiada
lebih dari satu peti besar. Disini ada buku-buku agama, Qur’an dan Kitab Suci
Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme, perkara ekonomi yang berdasar
liberal, sosialistis, atau komunistis, perkara politik juga dari liberalisme
sampai ke komunisme, buku-buku riwayat Dunia dan buku sekolah dari ilmu
berhitung sampai ilmu mendidik. Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan
pendidik terpaksa saya tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke
Moskow saya mesti melalui Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme. Dari
beberapa catatan nama buku di atas, orang bisa tahu kemana condongnya pikiran
saya.
Di Moskow saya cocokkan pengetahuan saya tentang komunisme.
Dalam waktu 8 bulan disini saya sedikit sekali membaca, tetapi banyak
mempelajari pelaksanaan komunisme dalam semua hal dengan memperhatikan segala
perbuatan pemerintah komunis Rusia baik politik ataupun ekonomi, didikan
ataupun kebudayaan dan dengan percakapan serta pergaulan dengan bermacam-macam
golongan. Disini saya juga banyak menulis perkara Indonesia buat laporan
Komintern. Ketika saya meninggalkan Rusia, memang saya tiada membawa buku
apapun, sedang buku peringatanpun tidak. Pemeriksaan di batas meninggalkan
Rusia keras sekali.
Tetapi sampai di Tiongkok dan kemudian di Indonesia, saya
dengan giat mengumpulkan buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik,
sejarah, ilmu pengetahuan, science (sajans), buku-buku baru yang berdasar sosialisme
dan komunisme. Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan
giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan
dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka yang tiada berdaya
apa-apa. Tetapi tiada banyak bahagia yang saya peroleh. Sebab kelumpuhan otak
seperti saya sebutkan di atas, maka tak lebih dari satu jam sehari saya bisa
membaca buku bertimbun-timbun itu. Saya terpaksa menunggu sampai kesehatan
membenarkan, tetapi rupanya pustaka tak bisa mengawani saya.
Pada perang Jepang – Tiongkok di Shanghai penghabisan tahun
1937, tiga hari lamanya saya terkepung di belakang jalan bernama "North Su
Chuan Road’’, tepat di tempat peperangan pertama meletus. Dari North Su Chuan
Road tadi Jepang menembak kearah Pao Shan Road dan tentara Tiongkok dari
sebaliknya. Di antaranya di kampung Wang Pan Cho saya dengan pustaka saya
terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin kepada kampung
tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam
waktu 5 menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya
mesti tinggal. Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni
sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah
rapinya "lalilong’’ alias tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin
saya putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali.
Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.
Sampai saya ditangkap di Hongkong pada 10-10-1932, saya
sudah punya satu peti pula. Sesudah dua bulan di dalam penjara, saya dilepaskan
buat dipermainkan seperti kucing mempermainkan tikus. Maka dekat Amoy,
saya bisa melepaskan diri. Tetapi dengan melepaskan pustaka saya sendiri.
Pustaka saya, tanpa saya, berlayar menuju ke Foechow. Saya terlepas dari
bahaya, tetapi juga terlepas dari pustaka. Saya berhasil menyamar masuk ke Amoy
dan terus ke daerah dalam Hok Kian tiga-empat-tahun lamanya, terputus dengan dunia
luar sama sekali, beristirahat, berobat sampai sembuh sama sekali.
Pustaka baru yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936
sampai 1937, juga sekarang, juga sekarang terpendam disana, ketika tentara
Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua tiga buku-buku peringatan yang penting
sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah: catatan penting,
buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke laut dekat
Merqui, sebelum sampai di Ranggoon.
Putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan
duka cita sekali. Tetapi putusan itu belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon
memeriksa buku-buku saya yang masih ada dalam peti seperti "English
Dictionary’’ dengan teliti sekali, malah kulitnya diselidiki betul-betul. Kantongpun
tak aman. Di antara Merqui dan Ranggoon di pantai laut, disanalah terletak
beberapa buku peringatan cukup dengan rancangan, catatan dan suggesti atau
nasehat buat pekerjaan sekarang.
Dalam permulaan 3 tahun di Singapura saya amat miskin
sekali. Gaji yang diperoleh sedikit sekali - enam setengah
rupiah sebulan. Dengan tak ada diploma-Singapura, tak lahir di Singapura,
memakai pasport Tiongkok, walaupun bisa bercakap Tionghoa, tetapi tiada bisa
membaca huruf Tionghoa susah mendapat kerja yang berhasil besar pada perusahaan
Tionghoa. Susah pula mendapat izin mengajar bahasa Inggris dari tuan Inspektur,
sedangkan masyarakat Indonesia tak berarti sama sekali di bekas kota
"Tumasek’’ (nama Singapura sekarang di Jaman Majapahit) Ini uang buat
makan secukupnya saja, pakaian jangan disebut lagi. Masuk jadi anggota pustaka
(Library) tiada mampu. Disini pengetahuan saya walaupun kesehatan sempurna
kembali, cuma bisa ditambah dengan isi surat kabar, dan pengamatan mata dan
telinga sendiri. Tetapi lama kelamaan atas usaha sendiri saya mendapatkan
pekerjaan dan hasil pekerjaan yang baik sekali.
Seperti saya sebut diatas, akhirnya saya dapat bekerja pada
sekolah Normal Tinggi (Nanyang Chinese Normal School) sebagai guru Inggris dan
belakangan juga sebagai guru Matematika dalam dan luar sekolah tersebut. Saya
mulai kumpulkan catatan buat buku-buku yang mau saya tulis sekarang. Rafles
Library memberi kesempatan dan minat yang besar. Buku yang paling belakang saya
pinjam ialah Capital, Karl Marx. Tetapi armada udara Jepang tak berhenti
datangnya hari-hari. Sebentar-sebentar saya mesti lari sembunyi. Cuma dalam
lubang perlindungan saya bisa baca Capital, buat mengumpulkan bahan yang
sebenarnya saya ulangi membacanya. Sampai 15 Febuari 1942 saya masih pegang
Capital itu dengan beberapa catatan. Tetapi sesudah Singapura menyerah, semua
penduduk laki-perempuan, tua-muda dihalaukan dengan pedang terhunus kiri-kanan,
dengan ancaman tak putus-putusnya menuju ke satu lapangan. Disini ratusan
penduduk Tionghoa ditahan satu hari buat diperiksa. Disini saya juga turut
menghadapi senapan mesin. Di belakang hari kami mendengar bahwa maksud tentara
jepang yang bermula ialah memusnahkan semua penduduk Tionghoa yang ada di
Singapura. Tetapi dibatalkan oleh pihak Jepang yang masih mempunyai pikiran
sehat dan rasa tanggung jawab terhadap dunia lainnya.
Sebelum kami dikirim ke padang tersebut, saya sudah maklum
bahwa tak ada pelosok rumah atau halaman rumah yang mesti kami tinggalkan
selama pemeriksaan diri dijalankan, yang kelak akan dilupakan oleh Kempei
Jepang. Sepeninggalan kami rumah tempat saya tinggal diperiksa habis-habisan.
Barang berharga habis di copet.
Sebelum meninggalkan rumah menuju ke lapangan pemeriksaan
saya beruntung mendapat kesempatan menyembunyikan buku Capital ke dalam air. Di
"upper Seranggoon Road’’ di muka rumah tuan Tan Kin Tjan, disanalah
sekarang di dalam tebat (empang) bersemayam buku Capital terjemahan "Das
Kapital’’ ke bahasa Inggris, pinjaman saya, Tan Ho Seng, dari Raffles Library
di Singapura.
Sesudah dua atau tiga minggu Singapura menyerah, saya coba
dengan perahu menyebrang ke Sumatra, tetapi gagal karena angin sakal. Saya
terpaksa mengambil jalan Penang-Medan. Hampir dua bulan saya di jalan antara
Singapura dengan Jakarta, melalui semenanjung Malaka, Penang, selat Malaka
(perahu layar) Medan, Padang, Lampung, selat Sunda (perahu) dan Jakarta. Di
jalan saya bisa beli buku karangan Indonesia. Di antaranya Sejarah Indonesia,
yang mesti saya sembunyikan pula baik-baik, sebab dalamnya ada potret saya sendiri.
Inilah pustaka saya dulu dan sekarang. Ada niatan buat
membeli sekarang, tetapi banyak keberatan. Pertama uang, kemudian banyak buku
mesti datang dari luar negeri, dan ketiga dari pada dicatat dari satu atau dua
buku lebih baik jangan dicatat atau catat dari luar buku ialah ingatan sama
sekali, seperti maksud saya tentang Madilog ini. Biasanya buku-buku reference
yang dipetik, atau pustaka itu ditulis di bawah pendahuluan. Biasanya diberi
daftar pustaka yang dibaca oleh pengarang. Tetapi dalam hal saya, dimana
perpustakaan tak bisa dibawa, saya minta maaf untuk menulis pasal terkhusus
tentang perpustakaan itu.
Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku
Madilog ini semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang
pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga adalah murid dari
pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya
ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri.
Ada lagi! Walaupun saya tidak akan dan tidak bisa mencatat
dengan persis dan cukup, perkataan, kalimat, halaman dan nama bukunya, pikiran
orang lain yang akan dikemukakan, saya pikir tiada jauh berbeda maknanya dari
pada yang akan saya kemukakan.
Al Gazali pemikir dan pembentuk Islam, kalau saya tiada
keliru pada satu ketika kena samun. Penyamun juga rampas semua bukunya. Sesudah
itu Al Gazali memasukan semua isi bukunya ke dalam otaknya dengan
mengapalkannya. Bahagia (gunanya) mengapal itu buat Al Gazali, sekarang sudah
terang sekali kepada kita.
Pada masa kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan
dalam bahasa ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah
sedikit berakal, saya sesali dan saya bantah kebisaan saya itu. Pada ketika itu
saya sadar, bahwa kebiasaan mengapal itu tiada menambah kecerdasan, malah
menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya ingat bukan lagi arti
sesuatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku, dimana kalimat tadi
tertulis. Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa
diapalkan lagi. Tetapi saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada
dalam otak. Begitulah saya ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak.
Apalkan, ya, apalkan, tetapi perkara barang yang sudah saya
mengerti betul, saya apalkan kependekan "intinya’’ saja. Pada masa itulah
di sekolah Raja Bukit Tinggi, saya sudah lama membikin dan menyimpan dalam
otak, perkataan yang tidak berarti buat orang lain, tetapi penuh dengan
pengetahuan buat saya.
Buat keringkasaan uraian ini, maka perkataan yang bukan
perkataan ini, saya namakan "jembatan kedelai’’ (ezelbruggece) walaupun
tidak sama dengan ezelbruggece yang terkenal. Buat menjawab pertanyaan siapa
yang akan menang di antara dua negara umpamanya, saya pakai jembatan keledai
saya : "AFIAGUMMI’’.
A huruf yang pertama mengandung perkataan Inggris, ialah
(A)rmament. Artinya ini kekuatan udara kekuatan darat, dan laut. Masing-masing
tentu mempunyai cerita sendiri dan A huruf pertama itu bisa membawa
"jembatan keledai’’ yang lain seperti ALS, ialah susunan huruf pada
perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces (tentara).
Sesudah dibandingkan perkara Armament diantara kedua negeri itu, maka harus
diuji perkara yang kedua, yakni Finance, terpotong oleh huruf "F’’.
keuangan dsb.
Demikianlah "jembatan keledai’’ AFIAGUMMI ini saja
boleh jadi meminta seperempat atau setengah brosure kalau dituliskan. Dalam
ekonomi, politik, muslihat perang, science dan sebagainya saya ada menyimpan
"jembatan keledai. Kalau buku penting yang saya baca ada dalam bahasa
Inggris, maka "jembatan keledai’’ saya, susunannya tentu dari permulaan
atau sebagian perkataan inggris.
Kalau tidak beratus, niscaya berpuluh ada "jembatan
keledai’’ di dalam kepala saya. "ONIFMAABYCI AIUDGALOG’’ yang berbunyi
bahasa Sanskreta, bukanlah bahasa Sanskreta atau bahasa Hindu, melainkan teori
ekonomi yang bertentangan dengan teori ekonomi Mahatma Gandhi.
Kalau badan saya ada sehat, maka perkataan guru itu biasanya
mudah saya tangkap. Isinya saya ternakkan dan masukkan ke dalam "jembatan
keledai’’. Kalau kertas atau buku peringatan saya umpamanya dibeslah (disita –
catatan editor) di Manila atau Hongkong oleh polisi, maka hal itu tiada berarti
dia tahu membaca perkataan itu, malah sudah pernah menjadikan mereka pusing
kepala berhari-hari, mengira yang tidak-tidak.
Dalam buku yang akan ditulis di belakang hari (kalau umur
panjang!) saya kelak bisa meneruskan cerita "jembatan keledai’’ saya ini.
Saya angap "jembatan keledai’’ itu penting sekali buat pelajar di sekolah
dan paling penting buat seseorang pemberontak pelarian-pelarian. Bukankah
seseorang pelarian politik itu mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Ia
tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian.
Hatinya terutama tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai
tolan. Dia haruslah bersikap dan bertindak sebagai "marsuse’’ (angkatan
militer siap gempur – catatan editor) yang setiap detik siap sedia buat
berangkat, meninggalkan apa yang bisa mengikat dirinya lahir dan batin.
Ringkasnya walaupun saya tiada berpustaka, walaupun
buku-buku saya terlantar cerai-berai dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok,
Lautan Hindia atau dalam tebat di muka rumah tuan Tan King Cang di Upper
Seranggoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya kehilangan "isinya’’
buku-buku yang berarti.
Tetapi barang yang lama itu tentu boleh jadi rusak.
Catatan atau makna yang saya kemukakan dari pikiran orang
lain boleh jadi tiada cukup atau bertukar arti. Dalam hal ini sekali lagi saya
minta maaf dan simpati.
__________________________________________________
Sumber: Pendahuluan Buku Madilog, diketik ulang dan diambil
bagian "perpustakaan" oleh David Efendi (pegiat Rumah Baca
Komunitas).
No comments:
Post a Comment