Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Kita akan berbicara mengapa
sebuah buku atau karya tulis dapat mengajak pembacanya menjadi demikian
terikat. Gagasan dalam sebuah buku memberikan peluang bagi pembaca untuk
memutuskan apakah menjadi bagian dari yang memperjuangkan gagasan atau
mempertanyakan gagasan dan memilih untuk menciptakan anti-thesis temporer. Tapi
sebenarnya yang akan kita kejar adalah bayang seorang guru yang mulai membuat
mantra karena membaca buku.
Suatu kali, seorang guru
mendapati buku-buku “asing” saat berjalan pulang menuju surau tempat dia juga
“nyambi” mengajar. Dalam pertanyaan-pertanyaan dia memutuskan untuk membawa
buku-buku tersebut dan tenggelam selama beberapa waktu setelah isya. Apa yang
kemudian disadari oleh guru tersebut adalah kenyataan atau realita yang
berbeda. Penemuannya menyeretnya kepada kepentingan untuk mulai mempertanyakan
strata sosial, dan objek-objek semu dari yang dihasratkan manusia. Dia mulai
mempertanyakan apakah kita tidak sedang tertidur?. Apakah kita tidak sedang
dalam fase yang begitu miris dan begitu kosongnya nilai-nilai hakiki pada
setiap putaran-putaran sejarah?. Si guru mulai meraba-raba tentang muka-dua
manusia, sebuah kedustaan yang berangkat dari sistem.
Nampaknya buku-buku tersebut
membantu si Guru untuk menata realita yang sebelumnya hanya berupa
potongan-potongan gambar tanpa ada interpretasi. Kejadiannya mirip seperti, dua
orang yang memperhatikan sebuah lukisan Jojing-nya
Delsy Syamsumar. Yang pertama
interpretasinya adalah mengenai kumpulan wanita yang berlenggak-lenggok di
depan tamu undangan lurah. Atau seperti lazimnya acara-temu di kampung-kampung
di mana kepala desa akan menyediakan hiburan-hiburan “wanita dangdut”. Yang
kedua akan menganggapnya sebagai realita dari “sesajen” politik bagi tamu. Mana
yang benar?. Itu bukan pertanyaan yang memuaskan.
Dalam kasus membaca
potongan-potongan gambar realita, ada penemuan baru tentang tatanan realita.
Bagi si Guru, dia akhirnya menganggap telah melihat realita yang
“sebenarnya”. Maka si Guru mulai akan
menasehati murid-muridnya dengan cara begini, yang dia sebut “mantra”.
“anak-anakku, kalian akan jadi penghamba tanpa membaca
Akan jadi apa kalau tidak kau paham apa-apa?.
Bukan soal uangnya mereka, tapi soal nuranimu kemana?.
Memang kau tidak mau kebebasan?”
Jauhi pengecut-pengecut menjijikkkan, para pencipta
neraka dunia
Yang bahkan syaitan pun enggan menerima kawan macam
mereka
Kau harus sadarkan duniamu, dan kalau bisa selamatkan”
Dengan agitasi begitu, si
Guru mulai bernafas lega dan menimbang dilemma. Apakah cukup?. Si Guru ingat
dengan Nasihat untuk Anakku, Karya
Motinggo Busye.
“Ya sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada
arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa tulis apa saja yang bisa
kutulis…dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap…dengan buku harian…aku
merasa jauh lebih merdeka..biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk diriku sendiri
saja”.
Si Guru menambahkan
mantranya dengan kebajikan-kebajikan yang dia pelajari dari kitab suci,
buku-buku dan hasil renungnya siang-malam. Dan suatu kali di tengah kerumunan
orang di pasar, tanpa sengaja dia membaca mantra itu lagi di depan muridnya
yang sedang menjual ikan di pasar “ba’da shubuh”. Orang-orang melihatnya dengan
senyum sinis seakan sebuah optimisme adalah jualan murahan yang tidak laku lagi
di kehidupan nyata. Si Guru membalas dengan mengatakan, “sepertinya waktu aku
belum tiba”, tapi mantraku semoga saja berhasil. “barangkali warta atau mantra ini
masih aneh”.
No comments:
Post a Comment