Geger
Riyanto,
Alumnus
Sosiologi Universitas Indonesia
Kata
orang, itu buku cetakan mereka. Suka-suka merekalah mau buku itu disobek,
dibuang, atau, seperti yang sudah kejadian, dibakar. "Lagi pula kamu pada
dasarnya tak terlalu tertarik dengan isi buku tersebut, kan? Jadi apa
urusanmu?" kata suara apatis yang saya imajinasikan di benak saya sendiri.
Tapi sayang, seandainya saja semua memang sesederhana itu.
Boleh saja ada yang berpikir bahwa pembakaran buku saban
hari merupakan buah dari kesepakatan mutualistis dua pihak dan apalah urusan
pihak-pihak lain untuk ikut mencampurinya. Namun, mau dikatakan apa pun,
ancaman tetaplah ancaman. Bila kita hidup di negara hukum, ia adalah sebuah
perbuatan kriminal. Kalaupun pihak penerbit mengaku tidak diancam dan
pembakaran tersebut merupakan inisiatif perusahaan untuk mengoreksi
kekhilafannya, saya kira saya mewakili para pekerja pengetahuan ketika
mengatakan bahwa pemusnahan buku Lima Kota Paling Berpengaruh di Duniamenodongkan
ancaman kepada kami semua.
Cukup dalam hitungan menit setelah peristiwa itu, setiap
pekerja buku yang memiliki BlackBerry mengetahuinya. Seperti yang bisa Anda
duga, ada yang mengutuk tindakan tersebut, ada yang menyesalkan kebungkaman
pemerintah, ada yang sekadar menyatakan keprihatinan. Tetapi di antara beragam
tanggapan yang mencuat, cepatnya penyebaran informasi itu punya satu pesan
gamblang tersendiri: ini adalah situasi darurat bagi mereka yang bergiat di
dunia buku.
Dan benar. Para penyalur buku memperingatkan
penerbit-penerbit, jangan mencetak buku bertema sensitif. Menyayat? Jelas. Namun
lebih jauh, adegan tersebut mencangkokkan pada benak mereka bayangan
mencemaskan didatangi gerombolan pria berjubah--perasaan yang, ironisnya,
berpadanan dengan kerisauan para jurnalis di rezim-rezim otoriter membayangkan
kantornya diketuk oleh pria berseragam. Dan lagi, dengan ikut melaporkan
penerjemah dan penyunting buku karangan Douglas Wilson ke polisi, pihak pelapor
sudah membantu membangun kesadaran bahwa kerja mengolah naskah pun bisa jadi
identik dengan kejahatan.
Apa pun motif pelakunya, entah membela keyakinan, entah
mengoreksi pihak yang mereka anggap keliru, asap dari pembakaran ini adalah
sinyal besar yang bisa dilihat oleh semua: jangan macam-macam, ini wilayah
kami. Mengingat buku adalah produk dari aktivitas pikiran, berarti lebih tepatnya
kecaman itu berbunyi, jangan berpikir macam-macam. Dan sialnya, garis-garis
kekuasaan yang bahkan tak pernah diperoleh mereka secara legal ini kian
dipertegas lewat kebergemingan aparat hukum, entah ada kesepakatan apa di
baliknya. Bila para penegak keamanan sipil itu sudah menetapkan sasaran,
rasanya sudah menjadi pengetahuan yang sangat umum bahwa sang korbanlah yang
justru akan diperlakukan sebagai pelaku kejahatan itu sendiri oleh negara.
Apa lagi yang bisa kita tafsirkan dari pengkambinghitaman
yang demikian vulgar selain ia adalah upaya untuk menjejalkan ke benak kita
bahwa otoritas para penguasa kekerasan tersebut memang sah serta mesti
diindahkan? Mengalami perlakuan tak menyenangkan lantaran mengolah pengetahuan
yang merupakan rutinitas keseharian kami, bahkan setelahnya kami diancam
dikriminalisasi, apa lagi yang bisa kami artikan dari hal ini selain kami
sedang dipaksa untuk mengakui bahwa kebenaran tidaklah adil--hanya milik
segelintir yang cukup kuat untuk menegakkannya?
Belum lama ini, ada sebuah kasus yang tak banyak mendapat
sorotan, namun sekadar membayangkannya saja, lidah rasanya kelu; seorang
sosiolog, akibat kesaksiannya di pengadilan, dihukum adat oleh sebuah
organisasi kesukuan. Di samping dituntut untuk membayar denda yang sangat
besar, penelitiannya bahkan diperintahkan untuk dimusnahkan karena dianggap
mencemarkan nama suku tertentu. Ya, Anda tidak salah dengar, sebuah temuan
riset dipaksa untuk dimusnahkan seakan ia narkotik, pornografi, DVD bajakan,
atau barang-barang haram lainnya. Dan seperti biasa, negara bergeming. Kali itu
tidak hanya membiarkan pembayar pajaknya menjadi korban yang sekaligus pihak
yang bersalah, tapi juga mempersilakan irasionalitas dirayakan.
Pada masa mendatang, seperti apa yang kita harapkan bila logika
mendapat tempat yang sedemikian rendah, jauh di bawah kapasitas untuk mengasari
orang lain? Bila konstitusi sebagai aturan main tak lebih nyata dari kebuasan?
Masa depan distopis yang diproyeksikan George Orwell dalam novelnya 1984?
Dalam salah satu bagian dari novel tersebut, interogator dari partai yang
berkuasa bertanya kepada tahanannya, berapa dua tambah dua. "Empat,"
jawab Winston. "Tidak selalu," ujar O'Brien, sang petugas interogasi.
Bisa jadi lima, katanya, kalau partai menghendakinya demikian. Dan O'Brien pun
melanjutkan menyiksa Winston sampai ia menjadi waras berdasarkan standar
partai.
Kalau, ya, kita mendambakan masa depan di mana 2 + 2 = 5,
maka biarkan saja apa yang terjadi sekarang terus berlarut-larut. Biarkan
kebenaran terus-menerus ditentukan oleh perangai liar dan destruktif. Mengutip
slogan presiden kita sekarang ini sewaktu berkampanye tempo hari,
"lanjutkan!" Biarkan lidah kami kelu. Biarkan tangan kami terkekang
oleh ketakutan. Biarkan bernalar menjadi aktivitas yang tabu.
Bakarlah buku-buku. Kecamlah pemikiran dengan parang.
Bungkamlah pernyataan-pernyataan seseorang yang didasari bukti empiris yang
kokoh dengan pengadilan yang tak mungkin dimenangkannya. Biarkan mereka yang
memenangkan kebenaran dengan kekerasan terus menikmati kebenarannya, dan
luruskanlah kami yang mendayagunakan pikiran kami ke dalam barisan penganut
kebenaran tersebut. Kerasilah kami agar melupakan metode berpikir rasional dan
meyakini pandangan dunia Anda tanpa perlu kami renungkan.
Maka bersiap-siaplah menyambut Indonesia yang tegak di
atas reruntuhan sesuatu yang dulu pernah dikenalnya dengan nama akal sehat.
Apa, toh, kuasa kami untuk mencegahnya?
_________________________
tulisan pernah dimuat di Koran Tempo 07 Juli 2012
No comments:
Post a Comment