Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Membaca adalah pengalaman
mistis. Suatu kali Einstein pernah mengatakan bahwa dia “menahan napas” saat
membaca buku People’s Books on Natural Science, karya Aaron
Bernstein. Saat Max Talmud membawakan buku tersebut, Einstein berusia sepuluh
tahun. Ini adalah pengalaman yang begitu lain dan mistis. Pengalaman yang
begitu mempengaruhinya. Hingga Walter Isaacson menulis, "buku karya
Bernstein tersebut tampaknya telah memberi pengaruh terhadap Einstein yang
kelak menyusun teori relativitas."
Setiap buku adalah makhluk.
Kepercayaan ini tampak tidak berlebih-lebihan kalau kita menimbang bahwa buku
sebagai eksistensi yang mempesona itu disebabkan oleh adanya pengaruh, gugatan,
dan candu dalam buku. Kita tidak tahu bahwa buku lahir untuk membuktikan bahwa
kata-kata, konsep selalu menjadi indikator dari peradaban.
Tempo dulu, kemampuan
menyusun puisi, atau sajak-sajak bukan pekerjaan sembarang lipat. Kemampuan membaca
puisi atau sajak-sajak dan kemudian menafsirkannya adalah kemampuan yang begitu
diidamkan. Maka, tidak heran pendengar akan berebut ke keramaian pasar di
daerah gurun pasir timur tengah dulu hanya untuk menunggu dibacakannya sebuah
puisi atau sajak. Atau saat pencatat hikmah kehidupan Yunani dulu berpidato di
sekumpulan pemuda-pemudi Athena yang mengharapkan oase untuk perbaikan
kualitas hidup.
Sekarang rasa-rasanya,
pekerjaan tidak butuh lagi keagungan membaca, menulis dan berpikir, asal bisa
tercapai kegunaan dan fungsi.
Saat Pram didatangi oleh
sekelompok oknum tentara di rumahnya, permintaan Pram Cuma satu “kalian boleh
membawa semuanya, tapi saya mohon jangan ada kertas yang dirusak. Jika Negara
membutuhkan ambillah, tapi jangan rusak satupun”.
Bagi seseorang yang memahami
pentingnya membaca dan menulis, kertas adalah karya Tuhan yang memikat. Dalam
kesederhanaan yang memikat, kertas melakukan pekerjaannya sebagai media tinta
kehidupan pengarang. Maka kertas adalah media penghubung pengalaman empiris dan
kacamata perspektif pengarang terhadap realita. Sungguh menakjubkan.
Pengarang diajak setia untuk
terus menggores tinta, tidak untuk memastikan pemikiran, tapi juga dengan imperatif
berkata pada diri “ini belum selesai”. Pengarang meletakkan sebuah kebajikan
subjektif melalui kata-kata dan sambil bertanya-tanya. Akhirnya pembaca akan
sadar bahwa ada proses metafisik yang terjadi antara kertas dan manusia. Sebuah
proses yang tidak akan selesai andaikata pohon-pohon ditebang untuk membikin
kertas dan lautan berubah jadi tinta.
No comments:
Post a Comment