Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Apa yang menarik dari
sejarah adalah realitas sejarah itu sendiri. Sebagai bagian dari realitas,
sejarah adalah proses konstruksi yang rumit. Menawarkan kembali penjelasan atau
analisa dalam sejarah adalah pekerjaan yang melelahkan atau bahkan menjemukan
hati. Selalu ada pertentangan ketika mengisahkan sejarah. Baik karena
pertentangan itu merupakan riwayat utama sejarah, atau karena pertentangan itu
juga merupakan tema yang didiskusikan terkait presisi data sejarah. Namun
melampaui itu semua, sejarah menawarkan sejumlah gagasan penting dalam proses
pembentukan dialektika kekinian.
Karena pertanyaan hari ini
adalah juga masalah di hari kemarin yang kita alpakan. Apa yang sudah kita
lewatkan dari seorang Pram?. Kita yang terlalu muda dalam memahami Pram?.
Judul tulisan ini berasal
dari kalimat penutup Pramoedya Ananta Toer yang menjawab surat terbuka Goenawan
Mohamad dalam Tempo edisi 3-9 April
tahun 2000 ; “Dalam hitungan hari,
minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah
jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya”. Goenawan Mohamad meminta
Pram mempertimbangkan permintaan maaf Gus Dur pada tanggal 9 April tahun 2000
di Tempo. Pram Menolaknya
mentah-mentah.
Melihat perbedaan horizon di
antara keduanya tidak semudah melihat bahwa Pram merokok dengan garpit
sedangkan Goenawan Mohamad setia dengan cerutu__Ini bukan soal, ‘murah’ dan
‘mahal’. Ini soal apa yang ‘tidak bisa dikembalikan’ dan soal ‘keadilan’.
Bagi Pram, Goenawan Mohamad
juga hanya basa-basi dengan membawa kebijaksanaan dewa ala Nelson Mandela. “Di Afrika Selatan penindasan dan
diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan
hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia
tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat”. Menurut
Goenawan Mohamad, Pram bertindak naïf, dengan mengatakan ; “Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang
bukan-korban yang meminta maaf”. Goenawan Mohamad menganggap Pram perlu
mempertimbangkan posisi Gus Dur, sebagai ‘bukan-korban’ yang meminta maaf.
Tidak ada rekonsiliasi. Pram
menganggap ide rekonsiliasi Gus Dur yang dibela oleh Goenawan Mohamad hanya
basa-basi. Bagi Pram, keadilan tidak dibentuk dengan mudah melalui pernyataan
seorang besar dengan anonimitas posisi. Pram mempertanyakan posisi Gus Dur
ketika meminta maaf. “Gus Dur
pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa”.
Goenawan Mohamad mengenal
Pram dengan kondisi yang terlambat. Setidaknya begitu yang dia tampakkan dalam
buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2004),
“Saya tak tahu bahwa sebuah buku dilarang
dan seorang pengarang terkenal dipenjarakan”. Buku yang dimaksud adalah
“Hoakiau di Indonesia”. Dalam beberapa Catatan
Pinggir (Caping), Goenawan
Mohamad pernah membawa nama Pram. Pram
dipuji oleh Goenawan Mohamad, “Ia mengguncang asumsi yang umum berlaku”.
Goenawan Mohamad memberikan kata pengantar untuk buku Pram yang berjudul Tales From Djakarta : Caricatures of
Circumtances and Their Human Beings (1999).
Caping 6 Oktober 1984,
dengan Judul Yang Keras, Goenawan
Mohamad menulis, “Pramoedya Ananta Toer
memperkenalkan babat…(kata ‘babat’ yang diperkenalkan Pram) menyarankan satu hantaman dengan parang,
untuk merobohkan lalang dan belukar”.
Seperti yang kita tahu, Goenawan Mohamad akan begitu kenal dengan Pram. Dan
kita sudah mencatat dengan baik bahwa Goenawan Mohamad juga adalah seorang yang
pernah mendukung pemberian Magsaysay tahun 1995 kepada Pram. Dalam surat
terbuka tersebut, Goenawan Mohamad tahu dengan jelas apa makna rekonsiliasi,
karena pada tahun 1990-an dia sendiri sudah menggagas rekonsiliasi antara
mantan tahanan politik dan seniman kiri. Menurut Goenawan Mohamad, Pram adalah
seorang “penantang abadi”, dan representasi geraman eksistensial.
Apa
yang kita sebut Adil?
Penolakan Pram terhadap
permintaan maaf Gus Dur tidak dapat dilihat sebagai sikap akhir. Kita diberi
pilihan untuk menilai seseorang melebihi apa yang ditampakkannya dalam
masa-masa tertentu. pernyataan ‘tidak memaafkan’ bukan penegasian terhadap
nilai ‘memaafkan’ itu sendiri. Pram mengetahui betul apa arti keadilan dan
kekerasan. Yang dengan begitu, sudah pasti memahami apa arti ‘maaf’. Kata-kata
tidak selamanya mewakili entitas sebuah kebenaran. Kadang-kadang kebenaran
sulit diterima ketika disimbolkan dalam sebuah diksi, karena kebenaran kemudian
malah membingungkan. Mungkin demikian kebenaran yang tidak dapat dikenali
dengan mudah dalam diri Pram. Dengan kata lain, entitas kebenaran memaksa kita
untuk terlebih dahulu menarik secara mendalam pengalaman dan gesekan batin
subjek yang tertindas.
Kita bisa bertindak toleran
karena pernah merasakan toleransi. Dan kita sulit memahami mengapa orang bisa
sangat sentimentil karena tidak pernah merasa ‘kehidupan’ sentimentil. Tapi kita
bisa melakukannya karena kita bisa membayangkan jadi mereka. Pram menyaksikan
akhir dari kehidupan orang-orang terdekatnya, disiksa, dipukul, dan dibunuh. Tapi
seperti tidak ada waktu luang untuk memikirkan sebuah cara untuk menikmati sisi
kebajikan orang-orang keji tersebut. Pram merasa semua itu tidak mudah dan
berujar “Saya bukan dia, dan tidak ingin
menjadi dia (Mandela)”. Pram tidak ingin jadi Mandela yang dapat ‘memaafkan’.
Basa-basi
dan Agresi
Sebagaimana lelucon,
basa-basi pun bisa berubah menjadi agresi. Si Jenakawan bisa jadi aggressor, dan si tukang basa-basi bisa
jadi aggressor pula. ‘Meminta maaf’ adalah basa-basi yang berangkat dari
tindakan eufisme untuk menyamarkan atau
menghapuskan kenyataan pahit sejarah. Kenyataan bahwa perlakuan sosial yang
tidak mengenakkan terhadap Pram adalah kesimpulan yang adil untuk menilai bahwa
basa-basi ‘meminta maaf’ sebagai agresi terselubung__bahwa maaf masih tetap
melukai. Permintaan maaf dari sebuah rezim tidak otomatis menghapuskan
persangkaan yang buruk terhadap diri Pram. Setelah upaya meminta maaf tersebut,
masih jarang kita temui nama Pram dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah.
Ini hanya main-main.
Pram mengatakan dalam sebuah
wawancara bersama Kees Snoek (1991) ; “Dan sekarang ini, saya hidup di dalam
hari depan saya. Hari depan saya adalah hari sekarang”. Pram selalu mengeluh
tentang karya-karyanya yang dicekal di negeri sendiri, “seperti menulis di
pasir” ungkapnya. Pram adalah persona non
grata di negara tempat dia dilahirkan.
Pandangan
Pram tentang ‘Baik’
Beberapa pihak menyayangkan
sikap menolak Pram. Sikap keliru telah ditunjukkan oleh seorang Pram. Apakah Pram
tidak merasa perbuatannya telah melangkahi keadilan?. Jadi apakah yang
dipandang sebagai ‘baik’ menurut Pram?.
Pram menekankan dengan tegas
bahwa harus ada sebuah keadilan. Pram mendapatkan kewarganegaraannya dengan
‘perkelahian’ dan resiko. Pram mendaulat dirinya sebagai anak renaisans. Jadi
kalau demikian apakah sebuah ‘baik’ menurutnya?.
Pram dididik oleh seorang
Ibu yang berumur tidak panjang. Walau begitu Pram selalu mengenang dengan penuh
rasa hormat terhadap Ibunya. Pram diajarkan tentang arti kemuliaan, keadilan
dan sebuah kepantasan menjadi manusia yang bermoral. “Jangan makan keringat
orang lain, makanlah keringatmu sendiri” tiru Pram saat mengisahkan tentang petuah
Ibunya. Saat Ibunya wafat karena TBC, Pram memeluk dan mencium jenazah Ibunya
tanpa peduli dengan resiko. Pram berada dalam kesetiaan dan kesendirian untuk
merawat jenazah Ibunya sampai proses pemakaman, “…tidak ada seorangpun yang
datang menolong”.
Pram sebenarnya peka
terhadap penderitaan orang, tapi kepekaannya berubah menjadi rasa hormat yang
dituliskannya untuk membangun kesadaran orang lain juga. Setiap penderitaan
dianggapnya sebagai tindakan mandiri dan berkesadaran penuh atas resiko-resiko.
Kita melihat munculnya sosok perempuan mandiri dalam karya-karya Pram seperti
Nyai Ontosoroh membawa optimisme yang bagus. Perempuan yang ditampilkan oleh Pram
kadang-kadang menjadi simbol keberanian untuk membela diri sendiri dan
menghindari bergantung pada orang lain.
Pernah tersiar kabar bahwa
Pram adalah tipe orang yang tidak sabaran, suka meledak-ledak dan sombong. Tapi
begitu mengenal Pram, menurut Andre Vltchek dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta Toer dalam
Perbincangan (2006), “tidak terlihat
kesombongan di raut mukanya. Dia malah begitu hangat, sarkastik, dan banyak tertawa
serta bercanda”. Saat itu Vltchek bersama rekan-rekan sedang menggarap
proyek film Terlena: Breaking of Nation pada
tahun 2003.
Pram mengatakan bahwa
ideologi yang dia anut adalah cinta akan keadilan.
"Ideologi ditanamkan di dalam diri saya oleh keluarga saya, yaitu cinta akan keadilan" (Kees Snoek, 1991).
"Ideologi ditanamkan di dalam diri saya oleh keluarga saya, yaitu cinta akan keadilan" (Kees Snoek, 1991).
“Kadang-kadang Saya merasa sangat terisolasi. Saya hidup di dunia saya
sendiri, dan hal ini seperti berada di pengasingan. Saya tidak tahu apakah
orang masih ingin tahu apa yang sebenarnya saya pikirkan…” (Saya Terbakar
Amarah, 2006).