Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Lantas
Apa
Kesadaran kolektif diuji saat
orang mulai bertanya “lantas apa”
setelah pembongkaran informasi mengenai keterlibatan Goenawan Mohamad dengan
politik agresi kebudayaan dan intelektual di Indonesia. Pertanyaan “apa”
terdengar sangat materialistik karena menuntut bentuk. Pertanyaan ini meminta
ungkapan praktis tentang hal-hal yang jika dijelaskan secara rasional
mengandung muatan yang berbeda. Pertanyaan “lantas apa” bukan titik utama dari diskursus yang dikonstruksikan yang
pada saat bersamaan akan melahirkan pertanyaan praktis lain tentang bagaimana
bersikap atas buku-buku terbitan YOI atau karya Goenawan Mohamad.
Pertanyaan “lantas apa” akan
dengan sendirinya tenggelam jika yang jadi masalah pokok sekarang adalah
warisan-warisan ideologi orde baru tidak serta merta habis pasca 1998. Warisan
tersebut sampai sekarang menjadi biang kejijikan tertentu terhadap perbedaan
ideologi. Secara normatif, harus diakui bahwa tidak ada masyarakat beyond good and evil. Hampir seperti
utopia mengharapkan masyarakat melampaui apa yang baik dan buruk. Maka
masyarakat selalu mengadopsi atau yang mewarisi ideologi-ideologi yang dibangun
dengan bantuan makelar-makelar intelektual. Akan tetapi syaratnya adalah
mempertahankannya menjadi bentuk-bentuk elegan.
Ketelitian
Baru
Maka kondisi yang sebenarnya
sedang terjadi adalah bahwa tiba-tiba orang mulai sadar dari mana asal notion iklim intelektual. Semua
kecurigaan mungkin sudah mulai tercium dari sejumlah komentar-komentar lepas
tanpa sadar, atau kritik-kritik yang tidak sempat disensor pada
pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi. Kecurigaan lain juga mulai beredar lewat
tulisan yang mengkaji tokoh-tokoh yang menjadi agen dari gagasan liberalisme. Dan
sekarang kita juga mulai dipaksa memperhatikan dengan jelas tafsiran-tafsiran
para penulis Eropa, Afrika, Asia dan Amerika (singkatnya darimana saja) yang
tergabung di dalam CCF atau yang tidak terlibat tapi memiliki visi yang serupa dan mulai
membangun ketelitian baru. Sebuah usaha yang pada beberapa waktu hanya
dilakukan oleh segelintir orang saja yang menyadari terjadi agresi liberalisme di
Indonesia. Bahkan dalam kondisi yang serba terlambat seperti sekarang ini,
kesadaran tersebut menjadi tercampur dengan pertanyaan “lantas apa” yang
jelas-jelas tidak mendudukkan sejarah karena kebenaran. Maka muncul watak
pemaafan destruktif terhadap wajah lama historis di Indonesia. Kenyataan yang
sudah dapat diprediksi mengingat liberalisme sudah melakukan transfigurasi yang
cepat dan nyaris tanpa sekat.
Migrasi intelektual secara massif
yang sudah terjadi sejak 70-an ke liberalisme dengan sendirinya ingin
menegaskan eksistensinya yang tidak kenal lelah. Dan keberhasilannya dicetak
dengan jelas pada apatisme masyarakat terhadap persoalan-persoalan ideologi dan
filosofis negara. Ada jarak yang jauh antara kelompok yang konsisten
memperhatikan ideologi dan masyarakat pada umumnya. Jarak yang dibangun
perlahan-lahan dengan cara memaklumi kejadian dunia sebagai kejadian itu sendiri dan bukan sebagai
proses yang dapat di-rekayasa dan diubah. Kesulitan akses pendidikan dan
kesehatan dipandang sebagai kejadian yang tidak terhindarkan. Ketimpangan ekonomi,
sosial, politik juga dipandang lumrah karena berpijak pada
pemakluman-pemakluman.
Pencapaian
Liberalisme
Pencapaian-pencapaian fisik liberalisme
sendiri memang memukau insting kapital manusia. Akan tetapi, pencapaian seperti
demikian jarang terjadi secara merata di sebuah negara, termasuk Indonesia. Sehingga
dibutuhkan “bangunan” lain yang dapat mengadakan pra-kondisi penerimaan akan
kemungkinan-kemungkinan kegagalan liberalisme dalam jangka waktu dekat yang
pada umumnya nampak tidak berkaitan secara erat. Iklan-iklan komersil
mengangkat tema “cinta tanah air”, dan sejumlah isu sentimentil bagi logika
masyarakat yang baru merdeka tahun 1945 dan praktis kehilangan figur-figur
penting pada saat yang bersamaan. Atau kemudian kegandrungan masyarakat
mengidentikkan euphoria dengan
menyandarkan kekuatan jiwanya terhadap simbol-simbol liberal-kapital. Singkatnya
kita bangga tanpa sadar atas keadaan yang seharusnya memalukan.
Bicara soal pencapaian liberalisme,
kekerasan struktural adalah primadona layak bin unggul. Infasi liberalisme dalam
ruang-ruang publik memberikan legitimasi kepada pihak minoritas-ekslusif yang
memegang kekuasaan untuk bertindak sentralistis, sedangkan pihak yang mayoritas
(masyarakat) dipaksa untuk memahami kondisi tertindas sebagai nasib. Pihak minoritas-ekslusif
kemudian menjadi demikian sensitif dan merasa dibutuhkan dan harus bebas dalam
mengejawantahkan kehendak-kehendaknya dan pihak mayoritas harus menerimanya
tanpa syarat karena tidak berhak mengajukan keberatan. Kekerasan struktural
muncul dengan rasionalitas yang dia bangun sendiri, yakni bahwa apa yang bisa
dicapai pihak mayoritas membutuhkan syarat yang sudah ditentukan oleh pihak
minoritas-ekslusif. Tidak hanya itu, watak keserakahan akan masuk ke dalam
upaya menyimpangkan hak-hak masyarakat.
Masyarakat
Paradoks
Sulit luar biasa memang
menyatakan bahwa seluruh sejarah dan masa depan berada dalam tangan liberalisme,
atau_menurut Francis Fukuyama dengan Kapitalisme. Apakah kita berada dalam
masa-masa membuktikan hipotesis tersebut?. Semoga tidak. Akan tetapi tidak bisa
dianggap remeh juga nada-nada pesimis mengenai kemunculan sistem baru yang akan
menanggalkan liberalisme dan ajaran-ajarannya. Pertentangannya untuk sementara
bukan semata pertentangan klas, tapi pertentangan ideologi. Alasannya sederhana
bahwa pertentangan dalam sejarah terjadi karena ketidaksepakatan terhadap makna
simbol-simbol realitas. Ketidaksepakatan itu kemudian mengakibatkan makna simbol-simbol
yang dilekatkan pada diksi-diksi menjadi beragam dan tidak tunggal.
Ekses dari proses-proses
yang terjadi demikian menyebabkan masyarakat terjepit dan bersikap paradoks. Banyak
orang memprotes jika anak-anak, atau remaja ikut demo atau kampanye
gerakan-gerakan sosial dengan menyebutnya sebagai eksploitasi. Akan tetapi
iklan-iklan “manis” yang menampilkan anak-anak atau remaja mempromosikan produk
komersil, tidak semuanya sepakat menyebutnya sebagai eksploitasi. Ini bukan
persoalan terselubung atau bukan, ini persoalan sejauh mana invasi ideologi liberalisme
dengan berlindung pada slogan “kebebasan ekspresi” telah berhasil mengaburkan
wilayah-wilayah tersebut.
Akhirnya kita melihat proses
eksploitasi diri sendiri juga muncul bersamaan dengan kejadian pengaburan makna
eksploitasi. Saat masyarakat bersikap paradoks dengan melihat anak sebagai
subjek kampanye gerakan sosial dengan anak sebagai subjek iklan produk
komersil, hasil mengerikan yang sebenarnya akan muncul setelah sikap tersebut,
yakni eksploitasi berdasar pada kemauan sendiri. Masyarakat dengan suka rela
mempromosikan secara cuma-cuma produk komersil lewat media sosial internet atau
lewat interaksi-interaksi wajah hedonis. Fenomena ini terjadi karena basis liberalisme
menyediakan reason bagi subjek-subjek
tertentu dalam masyarakat untuk memahami tindakan-tindakan tersebut sebagai hal
yang tidak patut untuk dihindari dengan berlindung pada kebebasan berekspresi.
Hilangnya sekat-sekat yang
selama ini menjadi pencengkram-pembatas asimilasi budaya mengakibatkan
munculnya “masyarakat tanpa sekat” dan masyarakat yang berpikir kontradiktif. Ramalan
singkatnya pada bagian ini adalah bahwa peningkatan intervensi kekuatan-kekuatan
besar dunia akan melahirkan imperialisme budaya dan terorisme di bidang ekonomi
hingga imperialisme informasi. Fenomena ini mau tidak mau menjatuhkan tatanan
masyarakat dan pemerintah sebagai aktor yang melalui kerjanya harus berpikir
tentang arah pembangunan negara. David C. Korten dalam “A not so Radical Agenda
for A Sustainable Global Future” mengatakan nilai-nilai spiritual pada kondisi
demikian akan menjadi bahan yang dibutuhkan untuk memperbaiki peradaban. Dan sudah
pasti dibutuhkan penelaahan kembali ideologi-ideologi yang mempromosikan liberalisme di Indonesia.
Menutup
Kegelisahan
Saya akan menutup catatan
singkat atas komentar-komentar pribadi mengenai apa yang bagi saya menarik
untuk diperbincangkan terkait dengan “lantas apa” dalam liberalisme budaya
Goenawan Mohamad. Beberapa tahun belakangan ini pasca 1998 perkembangan
gagasan-gagasan intelektual sepertinya menemukan tempat yang nyaman di
belantara kepustakaan masyarakat Indonesia. Mudah saja sekarang kita membeli
karangan-karangan filsuf Eropa barat, Amerika, Jerman, Prancis. Fakta ini
secara terselubung seolah-olah menunjukkan bahwa pada masa orde baru,
pemikiran-pemikiran ini “asing”. Kenyataannya bukan “asing” melainkan
di-kanalkan sesuai dengan kepentingan semangat agresi liberalisme Amerika. Adapun
masa pasca 1998 yang kita anggap sebagai gerbang bagus dalam wacana intelektual
sebenarnya tidak lebih dari proses hegemoni selera intelektual yang kian tidak
mudah terdeteksi. Di beberapa daerah di Indonesia misalnya malah mengalami
gejala konflik luar biasa, di Papua, tahun 2012, sampai disebut sebagai tahun
kekerasan. Apakah hubungan semuanya dengan liberalisme?.
Kejatuhan blok timur tahun
1991 seakan menegaskan keabadian liberalisme-kapital untuk menghakimi solusi
sosialisme terhadap dunia. Ditopang dengan kemunculan knowledge worker yang berhaluan ideologi anti-kiri sudah jelas akan
bagaimana masa depan masyarakat. kategori kelompok sosial unggul ini akan
menentukan faktor-faktor penting dalam memainkan agresi liberalisme terutama
dalam bidang ekonomi, politik, dan tentu saja budaya. Dengan demikian
pertanyaan “lantas apa” adalah indikator utama dan kuat yang menunjukkan proses
menggerogoti kejatuhan negara dengan kesadaran masyarakatnya yang luar biasa
aneh.
No comments:
Post a Comment