Oleh : Tati D. Wardi
Mahasiswi S3 Ohio State University
Mahasiswi S3 Ohio State University
Pendidikan yang berporos pada kemampuan nalar belakangan
menjadi isu yang gencar disuarakan para ahli pendidikan. Prof Iwan Pranoto,
guru besar matematika Institut Teknologi Bandung, misalnya, dalam sejumlah
tulisannya mengingatkan soal pendidikan bernalar. Kemampuan bernalar dalam
konteks ini mencakup daya berpikir logis, keterampilan mengolah informasi dari
bacaan, dan kemampuan menyimpulkan dengan pemikiran sendiri.
Dalam disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar sejatinya
bertaut erat dengan literasi. Perlu dicatat, konsep literasi di sini tak lagi
dimaknai secara sempit yang terbatas pada kemampuan baca-tulis, tapi juga
berkaitan dengan kemampuan memaknai teks, seperti huruf, angka, dan simbol
kultural, seperti gambar dan simbol secara kritis.
Literasi dalam arti luas seperti ini sejatinya sudah
cukup lama menjadi acuan UNESCO. Ini bisa kita baca dari Literacy for Life,
laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia. Di situ dinyatakan, literasi
adalah hak dasar manusia sebagai bagian esensial dari hak pendidikan.
Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan
teknologi, dan aturan hukum, serta mampu memanfaatkan kekayaan budaya dan daya
guna media. Singkatnya, literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup
manusia. Karena itu, ia merupakan sumbu pusaran pendidikan.
Untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia di bidang
literasi ini, yang paling mendesak untuk dilakukan adalah merevisi paradigma
usang literasi dan menggantinya dengan paradigma yang lebih merefleksikan
kebutuhan berliterasi di era ketika siswa dikelilingi teks, informasi, dan
gambar dari pelbagai penjuru. Upaya strategis yang bisa kita lakukan untuk
menumbuhkan daya literasi Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan
adalah dengan memulainya dari pendidikan di sekolah.
Negara dengan tingkat literasi tinggi, seperti Finlandia,
Jepang, dan Amerika, secara sistematis menempatkan buku sebagai pusaran
kegiatan pembelajaran. Di Amerika, misalnya, sejak jenjang pendidikan dini,
anak diperkenalkan dengan konsep buku dan berdialog dengan teks dan gambar.
Dengan dibantu guru, sejak belia siswa dibiasakan bertanya, termasuk pesan apa
yang ingin disampaikan oleh pengarang buku. Mereka belajar berdialog dengan
teks, bukan sekadar membaca sambil lewat.
Di jenjang sekolah dasar, siswa dikondisikan untuk
belajar memperkaya kosakata dan menumbuhkan daya analisis mereka menggunakan
bacaan berjenjang (leveled reading) yang disesuaikan dengan tingkat kognitif
dan kematangan mereka. Bacaan berjenjang biasanya dibedakan seberapa kompleks
bacaan (seperti kosakata, struktur, logika, dan konsep). Ketika di tingkat
menengah, siswa akan terbiasa mendiskusikan buku beragam genre, dan teks
beragam bentuk (seperti digital) dengan tingkat kesulitan sesuai dengan yang
diharapkan di perguruan tinggi ataupun dengan kebutuhan literasi ketika mereka
terlibat langsung dengan masyarakat luas. Pada akhirnya, keterbiasaan dengan
buku akan menumbuhkan cinta mereka terhadap membaca.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus di atas?
Satu hal yang pasti: peningkatan literasi terkait erat dengan pengoptimalan
peran buku. Fungsi buku dan teks bukan sekadar rujukan, tapi juga sebagai
medium untuk berpikir kritis dengan cara mendiskusikan makna yang bukan sekadar
permukaan. Pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan (lebih dari sekadar
buku teks) sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan siswa dalam proses
pembelajaran yang dialogis, aktif, dan kritis.
Buku tentu saja bukan satu-satunya faktor di sini.
Peningkatan literasi siswa juga mengandaikan perlunya guru dipersiapkan untuk
menanamkan pemahaman literasi dan mengajarkannya di kelas. Dengan begitu, siswa
punya kesempatan meningkatkan daya literasi mereka di sekolah.
Korelasi antara literasi dan peran guru inilah yang
menjadi salah satu temuan penelitian saya dua tahun lalu di Jakarta. Saya
melibatkan mahasiswa calon guru di UIN Jakarta sebagai fokus penelitian. Mereka
saya minta belajar memahami dan membaca buku dan teks dengan kritis. Ketika
membaca buku berilustrasi, saya memperkenalkan konsep narasi dalam relasi teks
dan gambar yang ada dalam suatu buku. Asumsinya, teks dan gambar sejatinya
memiliki cara unik untuk menyampaikan cerita sesuai dengan yang diinginkan oleh
pengarang. Saya meminta para mahasiswa calon guru tersebut lebih memperhatikan
secara saksama pesan dalam teks, dan bagaimana pesan itu disampaikan, juga efek
apa yang diinginkan terhadap pembaca. Hasilnya, mereka membaca dengan lebih
kritis dan cenderung tidak menerima begitu saja informasi yang mereka baca.
Paradigma baru literasi, yang tak lagi berpuas diri pada
kemampuan baca-tulis, tapi juga peningkatan daya nalar siswa, tentunya
mensyaratkan proses peningkatan literasi yang berkesinambungan, dari jenjang
pendidikan dini hingga dewasa. Tak ada jalan pintas untuk itu.
No comments:
Post a Comment