Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Ruth
Havelaar menulis bahwa pengaruh bacaan pada manusia memang besar tetapi tidak
patut dibesar-besarkan juga. Saya sepenuhnya tidak setuju dengan Havelaar. Apa yang
dia maksud dengan “tidak patut dibesar-besarkan” bermakna realis. Padahal aktivitas
membaca tidak pernah ada kaitannya dengan apakah tindakan membaca merupakan
sebuah perilaku yang apatis terhadap dunia sekitar. Kita memang menyaksikan ada
banyak manusia soliter yang berhenti di menara gading kecendikiawannya. Tapi kita
juga melihat pergerakan manusia aktif seperti Emiliano Zapata (Zapatista) atau
Paulo Freire yang tidak bermain dalam jebakan perdebatan abstrak.
Persoalannya
adalah bahwa membaca memberikan kita insight khusus. Dan bergantung dari
gesekan antara hasil insight tersebut dengan pengalaman empiris akan
menghasilkan apa. Nelson Mandela meyakini bahwa buku adalah jembatan untuk
mengenal posisi manusia. Dan yang paling mengesankan adalah bahwa buku tidak mengurung
Mandela dalam keadaan sebagai masyarakat kalah. Buku memberikan dia alasan dan
kekuatan untuk bertindak membelah realitas sebagai hasil konstruksi barbar. Keyakinan
Mandela terhadap materialism-dialektik juga berasal dari pengaruh buku-buku
yang dia baca. Mandela akhirnya menjadi begitu akrab dengan Karl Marx,
Friedrich Engels, Mao Zedong dan lain sebagainya.
Mandela
sebenarnya bukan orang yang asing dengan membaca dan menulis. Hanya saja perjuangan
Mandela dalam mengakses bahan bacaan menjadi sulit setelah berbagai macam
kebijakan penjara terhadap dirinya. Salah-satu yang juga menjadi batu “hambatan”
adalah dampak dari perlakuan kasar di penjara yang tidak mengizinkannya
menggunakan kacamata saat memecah batu. Tugas Mandela di tambang pada tahun
1965 tersebut mengakibatkan material batu kapur berhubungan langsung dengan
matanya. Hal ini mengakibatkan penglihatan Mandela terganggu. Tapi seperti yang
sudah kita lihat, bahwa sembari berada dalam masa tersebut, Mandela
memperjuangkan gelar LLB-nya.
Mandela
yang terlahir dengan nama depan Rolihlahla,
yang berarti “pembuat masalah” pada tahun 1975 pindah ke tahanan kelas A,
dihentikan hak belajarnya karena menyelundupkan tulisan otobiografinya. Hal ini
patut disesali karena otomatis hubungan surat-menyurat Mandela dan Mangosuthu Buthelezi
serta Desmon Thutu jadi berakhir sementara. Pasca kebijakan tersebut, hingga
tahun 1985 Mandela lebih banyak membaca dan berkebun.
Dalam
tiga masa tahanan yang dialaminya, Mandela tidak mencoba mengubur ambisinya untuk
perang terhadap rasisme, yang ternyata dibantu terjaga oleh sebuah buku yang
dibawa oleh Sonny Venkatrathnam yang diloloskan dari sipir penjara karena
menggunakan sampul “Kitab Hindu”. Buku yang berada dibalik sampul tersebut berjudul
Complete Works of Shakesphere. Mandela kemudian tertarik dengan bagian Julius
Caesar act II scene II, Cowards die many times before their deaths.
Ketika banyak orang yang melihat lompatan besar Mandela dalam penjara,
bagaimana mereka melihat juga peran buku dalam penyemaian spirit tersebut?.
Mandela
yang didaulat sebagai simbol politik “welas asih” memberikan apresiasi
tersendiri terhadap buku (Jelani Cobb membuat tajuk tulisan Mandela and The Politics of Forgiveness).
Resonansi terpenting yang ditemukan oleh Mandela sebelum sampai kesitu adalah
kesempatan membaca dan memiliki tabiat baik dalam mengubah paradigma. Siapa yang
tidak tergelitik untuk membalas dendam terhadap kelompok yang dengan
nyata-nyata ingin kepalanya digantung?. Sepertinya tidak bagi Mandela, itu
sebuah tindakan pengecut. Mandela memperjuangkan prinsipnya tidak untuk
melanggar prinsip kemanusiaan. Buku yang telah menemani Mandela dan aktivitis
lainnya mengajarkan optimisme terhadap kemanusiaan, “bahwa manusia tidak
terlahir dengan sikap diskriminatif”.
No comments:
Post a Comment