Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Antara ketiganya sudah tidak
ada lagi yang hidup. Beberapa waktu belakangan, selain syndrom stockholm tentang Soeharto yang ganjil, kita menemukan juga
sebagian pihak yang mulai membicarakan gagasan-gagasan pembangunan masyarakat.
Hatta kemudian dibicarakan lagi dalam tataran gagasannya atas demokrasi,
ekonomi kerakyatan dan visi sebuah negara. Hamka kemudian diwartakan kembali
tentang sikap pluralitas yang arif dalam masyarakat majemuk, dan Mandela yang
dirindukan karena kehendak politik memaafkannya yang melampaui rasionalitas
manusia normal post-modern. Ketiganya sulit ditemukan lagi_jika mungkin memang
tidak ada lagi prasyarat khas untuk menciptakan kembali manusia-manusia begini.
Hatta lahir tahun 1902,
Hamka lahir tahun 1908, dan Mandela lahir tahun 1919. Ketiganya hidup dalam perpaduan
berbagai masa berkecamuk. Ekspansi jiwa kapitalisme tidak sebesar perang ideologi
yang saat itu begitu kental. Masing-masing negara sedang memperebutkan posisi,
dan sibuk mencari dukungan. Muncul kelompok-kelompok alternatif baik yang berhaluan
kiri atau berhaluan kanan. Di Indonesia sendiri, gerakan-gerakan pembaharuan
agama mulai membuka gerbang baru bagi upaya kesadaran agama dan konteksnya
dalam membangun negara dinilai cukup terlambat karena baru terjadi pada akhir
abad sembilanbelas dan awal abad duapuluh.
Dalam konteksnya
masing-masing, Hatta bangun dengan kesadaran bahwa bangsa Indonesia harus
menentukan kehendaknya sendiri tanpa harus terjebak pada tarikan-tarikan
eksternal. Sedangkan Hamka menjadi jembatan antara masyarakat “agamis” dan jiwa
nasional untuk tumbuh dalam rangka perjuangan keagamaan. Dan untuk Mandela,
konteksnya adalah membangun kemanusiaan dalam kehidupan dengan mengesampingkan
syarat-syarat sosiologis atau antropologis. Ketiganya pernah merasakan menjadi
pihak yang dianggap mengancam stabilitas. Hatta dianggap tidak konsisten
memainkan strategi politik non-koperatif. Hamka diburu karena mengganggu proses
penguasaan tanah sumatera pemerintah kolonial dengan mengadakan
propaganda-propaganda sampai ke Medan. Dan Mandela berniat digantung karena mengancam
dominasi kuasa kulit putih terhadap kulit hitam. Ini bukan persoalan ringan.
Hatta, Hamka dan Mandela berjalan dalam tiga masa situasi politik yang berbeda
dan khas.
Hatta adalah representasi
kecil kelompok pemimpin sekaligus pemikir yang rajin menulis. Setelah selesai
sekolah di Belanda, Hatta aktif memberikan komentar-komentar terkini tentang
keadaan politik di Indonesia dan dunia internasional melalui tulisan-tulisan. Hatta
yang banyak menguasai tentang strategi politik, ekonomi hingga filsafat
menuliskan beragam gagasan dan upaya kontemplatifnya di atas kertas dengan gaya
yang khas. Sifat tulisan Hatta selalu membawa optimisme dan mendalam secara
filosofis. Analisis dan prediksi yang ditulis Hatta sejak masa pra-kemerdekaan
ternyata masih begitu relevan hingga saat ini. Pidatonya “Mendayung di antara Dua
Karang” atau artikel “Demokrasi Kita” entah sudah berapa kali dibicarakan. Semuanya
masih begitu lekat dengan dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Begitu
sulit memang mencari pemimpin yang menulis dengan isi otaknya sendiri tentang
langkah-langkah politik mikro dan makro yang hendak diajukannya dan sudah siap
jika digugat.
Hatta adalah pemimpin yang
optimistis. Dalam intisari pemikiran politiknya, Deliar Noer yang menulis
biografi Hatta menyatakan bahwa salah-satu ciri pemikiran Hatta adalah “percaya
pada kemampuan sendiri”. Tidak sulit untuk membenarkan intisari ini, karena
seluruh kehidupan Hatta adalah sebuah visi dengan keyakinan tegus terhadap
kemampuan bangsanya sendiri. Dalam berkawan dengan negara lain, Hatta punya
syarat, “bebas-aktif”. Indonesia, menurut Hatta tidak harus bersikap pro kepada
salah-satu kubu blok hanya untuk menentukan cita-cita bangsanya sendiri. Hatta
tidak ingin Indonesia menjadi objek dari perundingan politik dunia
internasional.
Kapasitas Hamka ada dalam
dirinya sendiri. Menurut Hamka, Kapasitasnya sebagai ‘ulama berada dalam dua
himpitan kehendak. Pertama adalah bahwa ‘ulama mempertanggungjawabkan dirinya
di hadapan Tuhan. Kedua adalah ‘ulama selalu berada dalam desakan
manusia-manusia. Dalam konteks ini, Hamka mungkin lebih dikenal karena fatwa haram
bagi muslim untuk mengucapkan selamat natal. Peristiwa ini bagi beberapa
kelompok yang menganggap Hamka sudah menjadi kaki-tangan pemerintah Soeharto
membuka mata bahwa Hamka dalam persoalan aqidah selalu berhati-hati. Sedangkan bagi
kelompok nasionalis, Hamka dianggap tidak sesuai dengan semangat zaman
pembangunan. Akan tetapi sepertinya yang terjadi adalah ketidakadilan dalam
menilai Hamka. Meskipun sangat hati-hati dalam persoalan aqidah, Hamka tidak
memaksa pandangannya. Hamka menguasai tentang sejarah hak asasi manusia. Tahun 1968
Hamka menerbitkan bukunya yang berjudul “Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi
Islam” yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap perbudakan. Menurut Hamka,
bentuk-bentuk deklarasi yang dibuat oleh kelompok-kelompok tertentu pada
awalnya berniat untuk membebaskan manusia, tapi pada akhirnya dia hanya jadi “barang
suci” dan tidak dilaksanakan. Kemanusiaan, Kebebasan, dan anti-perbudakan ada
dalam diri Hamka.
Perlawanan Apartheid dan
Nelson Mandela bisa jadi adalah wajah sejarah yang paling dikenang dalam peta
kongkrit perwujudan sosialisme. Mandela adalah Dyonisus dengan bentuk paling
nyata. Semangat Dyonisus untuk mengemansipasi manusia agar setara dengan dewa tidak
jauh berbeda dengan apa yang dilakukan juga oleh Mandela. Mandela memulai karir
politiknya setelah menjadi pengacara. Setelah itu Mandela mulai aktif
menggungat kebijakan-kebijakan pemerintah yang meletakkan dominasi kekuasan
kepada kelompok kulit putih. Inferioritas kulit hitam bagi Mandela disebabkan
oleh supremasi kulit putih melalui sistem dan kebijakan. Tahun 1964, Mandela
membuka sebuah pidato pembelaan di Pengadilan Rivonia dengan kalimat “I am the First Accused”. Mandela
melanjutkannya dengan “…They do not look
upon them as people with families of their own; they do not realize that they
have emotions - that they fall in love like white people do; that they want to
be with their wives and children like white people want to be with theirs; that
they want to earn enough money to support their families properly, to feed and
clothe them and send them to school. And what 'house-boy' or 'garden-boy' or
labourer can ever hope to do this?”. Ini adalah pidato yang menggugah. Begitu
sentimentil dan optimis.
Apa yang sama dari Hatta,
Hamka dan Mandela adalah tentang pembebasan. Ketiganya berbicara dengan resonansi
masing-masing. Kebebasan untuk menentukan apa yang dapat dilakukan dan apa yang
menjadi pegangan. Ketiganya bukan penjual barang-barang prinsipil dalam hidup. Masyarakat
modern yang dikotori oleh kaidah kapitalisme sudah menjadi barang haram bagi
ketiganya. Kecintaan mereka tentang kebebasan manusia dari tindakan ekploitasi
mengajarkan banyak hal. Pertama adalah kemampuan diri untuk menjaga harkat
sebagai manusia bebas. Kedua adalah menjaga keseragaman tanpa melakukan
penindasan. Ketiga adalah kehendak untuk memaafkan dan “welas asih” kepada siapa
saja. Hatta, Hamka dan Mandela selalu dianggap sebagai musuh. Tapi sangat
jarang kita melihat ketiganya menaruh kebencian. Hatta, Hamka dan Mandela
melihat dunia dalam jangkauan perspektif yang luas. Jika Aristoteles
menginginkan “pemimpin bijak” maka ketiganya bisa kita daulat sebagai kandidat.
Dengan ketiganya kita akan belajar mendayung di antara tiga karang kebajikan.
No comments:
Post a Comment