Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK
Kadang-kadang, kita, penonton, butuh ending.
Kita butuh yang meneguhkan kegelisahan setelah dua jam memperhatikan, mencerna,
dan menyimpulkan alur film. Begitu yang saya pikirkan saat mengetahui akhir
dari film yang saya tonton hanya menyatakan tentang keberlanjutan dari
perjalanan tragis manusia. Film itu mengisahkan tentang nasib anak-anak di
Jepang, yang tumbuh di luar hukum. Mereka adalah anak-anak hasil
hubungan seksual di luar pernikahan, yang akhirnya harus bersembunyi dari dunia
sosial, dari masa-masa yang harusnya mereka maknai. Anak-anak tersebut terdiri
dari empat orang kakak-beradik beda ayah. Yang tertua (usia 12
tahun, lelaki) adalah anak hasil hubungan si ibu dengan seorang pekerja
di Bandara, anak kedua (usia sekitar 11 tahun, perempuan), adalah anak hasil
hubungan dengan seorang manajer studio rekaman, anak ketiga (usia sekitar 6
tahun, lelaki) dan keempat (usia sekitar 4 atau 5 tahun, perempuan) tidak
dijelaskan. Seperti ciri khas film drama Jepang pada umumnya, atau lebih
spesifik lagi yang mulai berkembang setelah tahun 90-an, mencoba menunjukkan
hidup secara eksistensialis. Kekuatan filsafat yang secara pribadi saya rasa
lebih kuat ke arah Baudelaire daripada Sartre.
Film ini diawali dengan sebuah tawaran
bagi penonton. Tawaran itu, adalah bersikap bertanya-tanya. Mengapa film diawali
oleh sebuah teks tentang kenyataan si empat bersaudara harus berpindah-pindah
tempat tinggal bersama sang Ibu?. Dan mengapa di antara keempat anak tersebut,
hanya si sulung yang diperkenalkan oleh sang Ibu sebagai anak kepada
pemilik losmen? Mungkin bagi mata sosial, hal itu penting, saya menafsirkan
demikian. Anak ketiga dan anak keempat disembunyikan dalam tas koper besar,
sedangkan anak kedua menunggu di pusat kota. Intinya, ketiga anak-anak tersebut
tidak berada dalam radar sosial pemilik apartemen sebagai anak sang Ibu. Dan
pemilik apartemen tidak tahu soal mereka. Hanya pada bagian pertengahan cerita
saja, ketika ketiga anak tersebut ketahuan berada di dalam apartemen,
memperkenalkan diri sebagai sepupu si anak sulung.
Kembali ke soal ending film.
Saya sebagai penonton dibuat membimbang bahkan sampai beberapa saat setelah
film tersebut selesai. Konon, cerita tersebut bersumber pada kisah nyata. Kalau
menilik kehidupan masyarakat Jepang, hal tersebut memang sukar dibantah. Dan di
Indonesia kenyataan demikian dapat juga terjadi, tentu dengan bumbu yang
berlainan. Soal ending film, sang Ibu meninggalkan keempat anak tersebut
terlunta. Saya bisa menerima ending demikian, sudah hal biasa dalam
drama manapun. Tetapi dramatisasi terjadi saat anak keempat meninggal. Setelah
dikuburkan di sebuah tanah lapang dekat Bandara, si sulung berkata sambil
tertunduk dengan tangis yang ditahan. Dia berkata; “pagi itu, saat saya
memegang tangannya yang dingin, beku, kaku. Saya tahu itu sangat
mengerikan...”.
Penonton membutuhkan ending film
yang melegakan dan menyenangkan bukan karena ingin agar realitas dunia dalam
film terlihat baik-baik. Tetapi ini soal kebutuhan untuk percaya. Sama
seperti kenapa kita membutuhkan Tuhan dalam penjelasan Nietzsche. Kita
menemukan bahwa realitas tidak sepenuhnya terdiri dari sungai firdaus, kadang
ada yang menyakitkan, seolah neraka menempati dunia. Dengan realitas yang
begitu, kenapa ada yang tetap mempercayai Tuhan?. Hal itu, menurut Nietzsche
karena manusia membutuhkan sesuatu yang meneguhkan dirinya, tidak sekedar
karena pada diri-Nya terdapat Kebenaran, tetapi karena pada diri yang Ilahi
tersebut kita selama ini merawati dan mewaraskan diri. Pada Tuhan kita selama
ini mempercayakan kehidupan. Dan Tuhan, kata Nietzsche telah melindungi diri
kita selama ini. Dalam karya magnum opus-nya, Zarathustra, pada kisah
orang gila, Nietzsche menggambarkan penjelasan itu dengan cara yang bagus.
Tuhan bukan soal apakah sebagai yang Ilahi terinderai oleh objektivitas atau
validitas kebenaran, tetapi karena kita sendiri sebenarnya adalah manifestasi
keberadaan dari yang Kuasa tersebut.
Mengapa kita butuh ending baik-baik
dan menyenangkan pada sebuah film?. Karena kita, manusia memang membutuhkannya
dan karena sebab utama kita sendiri dalam realitas yang sebenarnya
membutuhkan-Nya. Itukah alasan kenapa ada surga dan neraka?.
Kalau Arendt Ikut Berkomentar
Mereka adalah, kata Hannah Arendt
sebagai manusia pada umumnya. Kalau kita mencari apakah yang dimaksud
oleh paham liberal tentang bentuk kebebasan humanisme yang konkrit, kata
Arendt, temui komunitas-komunitas yang ada di kamp Nazi, temui imigran tanpa
Negara, atau manusia tanpa ikatan dengan suku apapun, dalam film ini temui
keempat bersaudara tersebut. Mereka adalah, manusia pada umumnya. Sebuah
komunitas yang bebas secara universal tetapi tidak secara hukum. Dalam konteks
ini, Arendt hendak menjelaskan tentang paradoksnya kebebasan universal. Sebuah
konsep, yang menurut Arendt tidak dapat ditemukan pada manusia.
Kita, manusia bukan bebas secara
universal. Dan kita tidak dapat bebas sepenuhnya menurut definisi tersebut. Kebebasan
adalah kepatuhan terhadap hal-hal yang membatasi keinsanan manusia.
Demikian komentar dua filsuf tersebut. Dalam mata yang menghadap TV biasanya komentar-komentar tidak dapat kita tahan.
Demikian komentar dua filsuf tersebut. Dalam mata yang menghadap TV biasanya komentar-komentar tidak dapat kita tahan.